" SYARAT-SYARAT PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM"
Syarat-syarat
perceraian termaktub dalam pasal 39 undang-undang perkawinan terdiri dari 3
ayat yaitu:
a.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
b.
Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antar suami isteri
tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
c.
Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri. [1]
Al-Quran
memberi bermacam-macam usaha guna menghindari perceraian. Atas dasar ajaran
Qur’an semacam itulah Muhammad SAW menyebut perceraian sebagai barang halal
yang paling tidak disukai oleh Allah. Kesan umum seakan-akan orang Islam boleh
menceraikan isterinya dengan sewenang-wenang, ini hanyalah memutar balikkan
undang-undang Islam yang terang benderang tentang perceraian.
Perceraian biasa disebut cerai talak dan atas
keputusan pengadilan disebut cerai gugat. Berdasarkan pasal 14 PP No. 9 Tahun
1975 menyatakan bahwa “Cerai talak yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada
isterinya yang perkawinannya dilaksanakan menurut Agama Islam”. Pasal 20 ayat
(1) menyatakan bahwa “Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang
suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan
kepercayaan itu selain agama Islam. Dan pasal 30 ayat (1) menyatakan bahwa Cerai
talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. [2]
Gugatan provosional dijelaskan dalam pasal 77
dan 78 UU no. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebelum putusan akhir
dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provosional di Pengadilan Agama
untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:
a.
Memberikan izin kepada isteri untuk tinggal terpisah dengan suami
b.
Izin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami
isteri bertikai tingkal serumah.
c.
Menentukan biaya hidup/nafkah bagi isteri dan anak-anak yang seharusnya
diberikan oleh suami.
d.
Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak.
e.
Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang
menjadi harta bersama (gono gini) atau barang-barang yang merupakan harta
bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan terdahulu. [3]
Setiap perceraian yang terjadi
tentu didasari atau dilatarbelakangi dengan berbagai permasalahan yang terjadi
dalam perkawinan. Perceraian yang tanpa alasan adalah perceraian yang hukumnya
haram. Dalam fikih tidak disebutkan terperinci tentang alasan-alasan yang
menyebabkan perceraian, akan tetapi dijelaskan tentang beberapa tindakan yang
bisa menyebabkan perceraian seperti syiqaq,
nusyuz, zhihar, li’an, dan ila’. Pengajuan gugatan perceraian ke
Pengadilan harus disertai dengan alasanalasan yang cukup sesuai dengan
alasan-asalan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan ini. [4] Alasan perceraian menurut Hukum Perdata, hanya dapat terjadi berdasarkan
alasan-alasan yang ditentukan Undang-undang dan harus dilakukan di depan sidang
pengadilan. [5] Alasan
terjadinya perceraian berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 adalah:
1) Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah
satu pihak (suami istri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun yang sah
terkait dengan kewajiban memberikan nafkah lahir dan batin.
3) Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dapat membahayakan
pihak lain.
5) Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami istri.
6) Antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, serta
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. [6]
Disamping Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tersebut di atas, bagi yang beragama Islam sesuai dengan
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam ada penambahan sebagai berikut: [7]
1) Suami
melanggar taklik talak.
2) Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah
tangga.
Pada Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan. Kemudian dalam Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami istri tidak akan hidup sebagai suami istri. Berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, maka dapat disimpulkan bahwa perceraian tidak dapat dilakukan dengan sesuka hati.
Demikian perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi rumusan yang ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan kata lain Pengaturan tersebut sesuai dengan asas dasar perkawinan yang mempersulit adanya perceraian.
Melihat ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian seperti tersebut di atas, di samping itu adanya ketentuan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya pada asasnya walaupun perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang. Namun seseorang tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinan tanpa alasan yang kuat. Jadi pada dasarnya, Undang-Undang Perkawinan mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan itu pada dasarnya adalah untuk selama-lamanya. [8]
[1]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), h. 227
[2]Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[3]Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[4]Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan, (Yogyakarta: Cetakan Keenam, Liberty, 2007), h. 129.
[5]Yahya harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada
Peradilan Agama, (Jakarta: Al-Hikmah, 1975) h. 133.
[6]Republik Indonesia,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[7]Republik Indonesia, Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[8]Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan, h. 130.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar