Minggu, 20 Mei 2018

Islam Masa Bani Abbasyiah


ISLAM MASA BANI ABBASYIAH”

Islam Masa Abbasiyah
A.      PENDAHULUAN
Setelah berakhirnya masa khulafaur rasyidin; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, kepemimpinan dunia Islam dipegang oleh Bani Umayyah pada tahun 661 M. Muawiyah dibaiat sebagai khalifah pertama memimpin dunia Islam dari ibu kota Damaskus. Setelah itu, ia menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Yazid tahun 680 M. Saat itulah pertama kali terjadi sistem dinasti di dalam Islam dan terus berlangsung hingga tahun 1924 M.
Selama 1292 tahun kekhalifahan, beberapa dinasti silih berganti memimpin umat Islam dunia. Pergantian dinasti yang pertama adalah tatkala Bani Abbasiyah mengadakan pemberontakan terhadap Bani Umayyah sekitar tahun 740-an. Lalu mereka membangun sebuah kerajaan muslim yang terkuat sepanjang masa.[1]
Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah. Di buktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di awali dengan menerjemahkan naskah–naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat ilmu pengetahuan dan perpustakaan Bait al- Hikmah, dan terbentuknya madzhab- madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir yang menjadi ciri khas pada masa Abbasiyah lambat laun mengalami kemunduran sebab-sebab kemunduran Dinasti ini di latar belakangi oleh faktor internal dan eksternal. Masa berkuasa Dinasti Abbasyiah berlangsung cukup lama dan banyak melahirkan para tokoh pembesar Islam yang terkenal hingga saat ini dengan berbagai pemikirannya.

B.       PEMBAHASAN
1.    Revolusi Dan Awal Pendirian Bani Abbasyiah
Pada tahun 747 M, orang-orang Abbasiyah merasa saat untuk revolusi pun telah tiba. Propinsi pertama yang dikuasai Abbasiyah adalah propinsi Merv, karena banyak pendukung mereka di sana sehingga mudah melengserkan amir kota Merv dari kepemimpinannya. Kemudian mereka beranjak menuju Kufah, salah satu kota basis pendukung mereka juga.
Bertemulah dua kelompok pasukan di Irak; pasukan Daulah Umayyah dengan membawa bendera putih sebagai representasi orang-orang Arab dan pasukan gabungan Abbasiyah, Syiah, dan orang-orang Persia dengan membawa bendera hitam sebagai representasi orang-orang non-Arab. Pertempuran ini terjadi pada 25 Januari tahun 750 di daerah dekat sungai Zab, Irak. Peperangan ini dimenangkan oleh orang-orang Abbasiyah dan pendukungnya, meskipun jumlah mereka lebih sedikit dari pasukan Daulah Umayyah.
Kemenangan ini menandai jatuhnya Daulah Umayyah setelah beberapa kekalahan dalam perang-perang sebelumnya. Khalifah Marwan II melarikan diri ke Mesir lalu ditangkap dan dieksekusi. Saat-saat itu merupakan masa paling mengerikan bagi keturunan Umayyah. Mereka semua ditangkap dan dibunuh, kecuali Abdurrahman al-Umawi yang berhasil melarikan diri ke Andalusia, Spanyol, lalu mendirikan kerajaan Bani Umayyah II. Setelah itu ia dikenal dengan nama Abrurrahman ad-Dakhil.
Dinasti Abbasiyah pun berdiri menggantikan Dinasti Umayyah memimpin dunia Islam. Khalifah pertama mereka adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib atau yang dikenal dengan Abul Abbas as-Safah. Ia disebut dengan as-Safah yang berarti menumpahkan banyak darah karena ia banyak membunuh manusia sehingga dapat duduk di kursi khalifah.
Kerajaan ini berdiri selama 524 tahun, dan Baghdad sebagai ibu kotanya. Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan Islam yang terkuat sepanjang masa dan berhasil menjadikan umat Islam merasakan zaman keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun berhasil memberikan nilai-nilai keadilan terhadap orang-orang non-Arab dan lebih memberikan peran kepada mereka di masyarakat, namun Dinasti Abbasiyah gagal memenuhi janji mereka untuk mengembalikan era kekhalifahan khulafaur rasyidin di masa pemerintahan mereka.
Dinasti ini pun berasal dari nama keluarga Bani Hasyim, yakni seleluhur dengan nabi Muhammad SAW. Yang diambil dari nama paman beliau  al Abbas, yang secara resmi diplokamirkan oleh Abd Allah Al Shaffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abd Allah ibn Abbas. Keturunan paman nabi Muhammad inilah yang disebut dengan bani Abbas. Yang mana keturunan al Abbas ini mengklaim dirinya lebih baik menggantikan posisi nabi ketika beliau wafat, dari pada Ali bin abi Thalib, yang mana mereka menganggap paman nabi inilah yang lebih berhak, ketimbang keponakan nabi. Pada awal mula pemikiran ini belum muncul ketika nabi meninggal, tetapi mengemuka ketika cucu Ali bin abi Thalib, yang kekaligus pemimpin syiah al Khaisaniyah, atau kelompok terbesar keturunan Ali yang melakukan perlawanan kepada Ummawiyah. Dari Dinasti Abbasiyah ini tidak begitu terpengaruh dari peradaban Arab, seperti halnya pad masa Dinasti Ummawiyah dikarenakan perpindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad.
Selain itu yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah terdapatnya beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung kekuasaan imperium bani Umayah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij [2] serta kaum Mawali yaitu orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persi. Mereka merasa di perlakukan tidak setara dengan kelompok Arab karena pembebanan pajak yang terlalu tinggi kelompok inilah yang mendukung revolusi Abbasiyah
Kekuasaan bani Abassiyah berlangsung dalam  kurun waktu yang sangat panjang berkisar tahun 132 H sampai 656 H (750 M-1258 M) yang dibagi menjadi 5 periode: [3] Periode pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Di sebut periode pengaruh Persia pertama. Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945 M). Di sebut masa pengaruh Turki pertama. Periode ke tiga (334 H/ 945 M – 447 H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau pengaruh Persia kedua. Periode ke empat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau pengaruh Turki dua. Periode ke lima (590 H/1194 M – 565 H/1258 M). Merupakan masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban islam.
2.    Masa Keemasan Peradaban Islam Bani Abbasiyah.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Dinasti abbasiyah, pada masa kekuasaannya memberikan kemajuan bagi kalangan umat Islam, sehingga masa ini dikenal dengan The Golden Age of Islamic. Kalau dasar-dasar pemerintahan Khilafah daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). namun dari ketujuh khalifah ini yang paling terkenal dan paling besar pengaruhnya dalam perkembangan peradaban Islam ada di masa Khalifah Harun al Rasyid dan anaknya al Ma’mun.
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.[4]
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M), serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga sampai masa Al Mutawakkil. Pada masa Harun Al-Rasyid kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Sementara pada masa Al-Ma’mun, ia gunakan untuk menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, sabi dan bahkan penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing kedalam Bahasa Arab, serta mendirikan Bait al Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan. Didalamnya diajarkan berbagai ilmu , seperti kedokteran, matematika, geografi, dan filsafat. Disamping itu Masjid-masjid juga merupakan sekolah, tempat untuk memepelajari berbagai disiplin ilmu dengan bebagai halaqat didalamnya. Pada masanya kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. [5]
Kekhalifahan Bani Abbasiyah biasa dikaitkan dengan Khalifah Harun al-Rasyid. Harun al-Rasyid yang digambarkan sebagai Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Khalifah digambarkan sangat bijaksana, yang selalu didampingi oleh penasihatnya, yaitu Abu Nawas, seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya adalah seorang ahli hikmah atau filsuf etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah 1001 malam sebagai negeri penuh keajaiban.
Di masa-masa inilah para Khalifah mengembangkan berbagai jenis Kesenian, terutama kesusastraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku bermutu diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran pemikiran Muktazilah yang amat mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam dunia Islam. Sedangkan dari sastra Persia terjemahan dilakukan oleh Ibnu Mukaffa, yang meninggal pada tahun 750 M. Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu Tammam (meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal 869 M), Abul Faraj (meninggal 967 M) dan beberapa sastrawan besar lainnya. [6]
Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja juga berkembang , meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi, Kedokteran dan lain sebagainya. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam bidang sejarah muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Popularitas Daulah Abbasiyah juga mencapai puncaknya di zaman Khalifah al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. [7]
3.    Faktor-Faktor Kemajuan Masa Bani Abbasyiah
Masyarakat Islam pada masa Abbasyiah ini, mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
a.    Faktor Politik
1)   Pindahnya ibu kota negara dari Syam ke Irak dan Bagdad sebagai ibu kotanya (146 H). Bagdad pada waktu itu merupakan kota yang paling tinggi kebudayaannya dan sudah lebih dulu mencapai tingkat ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dari Syam.
2)   Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana. Khalifah-khalifah Abbasyiah misalnya al Mansur, banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan Persia. Yang terbesar dan banyak pengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak dan kemudian turun temurun ke anak dan cucu-cucunya. Keluarga Barmak ini berasal dari Bactra dan dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta filsafat dan condong pada paham Muktazilah. Mereka disamping sebagai wazir, juga menjadi pendidik anak-anak khalifah.
3)   Diakuianya Muktazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa khalifah al Ma’mun pada tahun 827 M. Muktazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa dinasti Abbasyiah I.
b.   Faktor Sosiografi
1)   Meningkatnya kemakmuran umat Islam pada waktu itu. menurut Ibn Khaldun sebagaimana dikutip oleh Ahmad Amin, ilmu itu seperti industri, banyak atau sedikitnya tergantung pada kemakmuran, kebudayaan, dan kemewahan masyarakat. Kemakmuran yang dicapai oleh umat Islam ketika itu seakan-akan hanya terdapat dalam alam khayal.
2)   Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Persia dan Romawi yang masuk Islam kemudian menjadi muslim yang taat. Hal ini menyebabkan perkawinan campuran yang melahirkan keturunan yang tumbuh dengan memadukan kebudayaan kedua orang tuanya. Hal ini banyak dilakukan oleh khalifah, panglima, gubernur, menteri dan pembesar lainnya. Golongan keturunan ini sangat menonjol pada zaman Abbasyiah karena mereka mempunyai banyak keistimewaan dalam bentuk tubuh, kecerdasan akal, kecakapan berusaha, berorganisasi, bersiasat, dan terkemuka dalam segala bidang kebudayaan.
3)   Pribadi beberapa khalifah pada masa itu, terutama pada masa dinasti Abbasyiyah I, seperti Al Mansur, Harun al Rasyid, dan al- Ma’mun yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga kebijaksanaannya banyak ditujukan kepada ilmu pengetahuan.
4)   Selain itu semua, menurut Ahmad Amin, karena permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks dan berkembang. Maka, untuk mengatasi semua itu diperlukan pengaturan, pembukuan dan pembidangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu naqli yang terdiri dari ilmu-ilmu agama, bahasa dan adab. Adapun ilmu aqli seperti kedokteran, manthiq, dan ilmu-ilmu riyadhiyat, telah dimulai oleh umat Islam dengan metode yang teratur.
c.    Aktifitas Ilmiah
Ada beberapa aktifitas ilmiah yang berlangsung dikalangan umat Islam pada masa dinasti Abbasyiah yang mengantar mereka mencapai kemajuan dibidang ilmu pengetahuan yaitu; [8]
1)   Penyusunan Buku-Buku Ilmiah, dibagi dalam tiga fase. Fase pertama, pencatatan pemikiran atau hadis atau hal-hal lain pada kertas kemudian dirangkap. Fase kedua, pembukuan pemikiran-pemikiran atau hadis-hadis Rasulullah dalam satu buku. Fase ketiga, adalah penyusunan dan pengaturan kembali buku yang telah ada kedalam pasal-pasal dan bab-bab tertentu.
2)   Penerjemahan, aktifitas penerjemahan pada masa Abbasiyah ini semakin berkembang dengan pesat. Misalnya penerjemahan buku-buku ilmu falaq dari bahasa India kedalam bahasa arab dan buku-buku tentang perhitungan lainnya. Selain itu juga dilakukan penerjemahan buku-buku yunani, hingga pada masa al Ma’mun didirikan Bait al Hikmah di Bagdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakaan dan lembaga penerjemahan. Selain di Kota Bagdad aktivitas penerjemahan juga terjadi di Kota Marwa (Persia Tengah) dan Jundaisabur (Barat Persia).
3)   Pensyarahan, menejelang abad ke 10 M, kegiatan kaum muslimin bukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan) dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkaslalu dalam wujud yang lebih luasdan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan, analisis dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Bahkan dengan kepekaan mereka hasil kritik dan analisis itumemancing lahirnya teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri.
d.   Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Aktivitas ilmiah yang dilakukan oleh kaum muslimin mengantarkan mereka sampai pada puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Abbasyiah. Penerjemahan yang dilakukan dengan giat menyebabkan mereka dapat menguasai warisan intelektual dari tiga jenis kebudayaan, yaitu Yunani, Persia, dan India yang pada akhirnya kaum muslimin mampu membangun kebudayaan Ilmu baik ilmu agama maupun filsafat dan sains (ilmu umum).
1)   Ilmu Agama[9]
a)    Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir yaitu ilmu yang menjelaskan tentang makna/kandungan ayat Al Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat / Azbabun nuzulnya, hukumnya dan lain-lain. Adapun ahli tafsir yang termasyur ketika itu antara lain; Ibnu Jarir At Thabari dengan tafsirnya Al-Qur’annul Azim sebanyak 30 juz, dan Abu Muslim Muhammad bin Bahr Isfahany (mu’tazilah), tafsirnya berjumlah 14 jilid.
b)   Ilmu Hadis
Ilmu hadist adalah ilmu yang mempelajari tentang hadist dari sunat, perawinya, isi dll. Pada masa itu bermunculan ahli-ahli hadist yang besar dan terkenal beserta hasil karyanya, antara lain; 1) Imam Bukhari, , kitabnya yang termasyur adalah al-Jami’us shohih dan terkenal dengan shohih Bukhori. 2) Imam Muslim, Kitabnya Jaim’us Shohih dan terkenal dengan ”Shahih Muslim”. 3) Abu Dawud dengan kitab hadistnya berjudul “Sunan Abu Dawud”. 4) Ibnu majah dengan kitab hadistnya Sunan Ibnu majah. At-Turmidhi dengan kitabnya “Sunan Turmidhi”.
c)    Ilmu Fikih[10]
Ilmu fikih, yaitu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum Islam (segala sesuatu yang diwajibkan, dimakruhkan, dibolehkan dan yang diharamkam oleh agama Islam. Beberapa tokoh fikih yang termasyur ialah; Imam Abu Hanifah ( 80 – 150H / 700 – 767M ) beliau menyusun madzhabnya yaitu madzhab Hanafi. Imam Malik Bin Anas, lahir di Madinah tahun 93 H / 788 M dan meninggal di Hijaz pada tahun 170 H / 788 M, beliau menyusun madzhab Maliki. Imam Syafii nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Syafi’i (150 – 204H/767 – 820M ), sewaktu berumur 7 tahun sudah hafal Al-Qur’an dan menyusun madzhabnya yaitu madzhab Syafi’i. Imam hambali ( 164 – 241H / 780 – 855M ), beliau menyusun madzhabnya, yaitu madzhab Hambali. Para mujtahidin mencurahkan segala kemampuannya untuk mendapatkan ilmu-ilmu praktis dalam syariat Islam sehingga umat Islam dengan mudah dapat melaksanakan.
d)   Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf, yaitu ilmu yang mengajarkan cara-cara membersihkan hati. Pikiran dan ucapan dari sifat yang tercela, sehingga tumbuh rasa taqwa dan dekat kepada Allah. Untuk dapat mencapai kebahagiaan abadi (bersih lahir dan bathin). Orang muslim yang menjalani kehidupan tasawuf disebut “Sufi”. Tokohnya antara lain; Rabi’ah Adawiyah (lahir di Baghdad tahun 714 M ajaran tasawufnya dinamakan “Mahabbah”. Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Ghozali (1059 – 111 M) – hasil karyanya yang terkenal adalah “Ihya Ulumuddin”. Abdul Farid Zunnu Al Misri, lahir tahun 156 H / 773 M – 245 H / 860 M), beliau dapat membaca Hieroglif yang ditinggalkan di zaman Firaun (Mesir).
2)   Ilmu-Ilmu Umum
a)    Filsafat
Filsafat islam adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakekat segala sesuatu yang ada, sebab asal hukumnya atau ketentuan-ketentuannya berdasarkan al-Quran dan hadist. Adapun totkoh filsafat Islam antara lain; Al-Kindi ( 185 – 252H / 805 – 873M ), terkenal dengan sebutan “Filosof Arab” beliau menerjemahkan buku-buku asing kedalam bahasa Arab. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama filsafat. Al Kindi bukan hanya Filosof, tetapi juga ahli ilmu matematika, astronomi, formakologi dan sebagainya. Al Farabi ( 180 – 260H / 780 – 863M ) beliau menerjemahkan buku-buku asing kedalam bahasa Arab. Al Farabi banyak menulis buku mengenai logika, matematika, fisika, metafisika, kimia, etika dan sebagainya. Filsafatnya mengenai logika antara lain dalam bukunya “Syakh Kitab al Ibarah Li Aristo”, menjelaskan logika adalah ilmu tentang pedoman yang dapat menegakkan pikiran dan dapat menunjukkannya kepada kebenaran. Dia digelari sebagai guru besar kedua, setelah Aristoteles yang menjadi guru besar pertama, buah karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. Ibnu Sina (Abdullah bin Sina) ( 370 – 480H / 980 – 1060M ). Di Eropa dikenal dengan nama Avicena. Sejak kecil ia telah belajar bahasa arab, geometri, fisika, Logika, Teologi Islam, Ilmu-ilmu Islam dan Kedokteran. Beliau seorang dokter di kota Hamazan Persia menulis buku-buku kedokteran dan mengadakan penelitian tentang berbagai macam jenis penyakit, beliau juga seorang filosof yang terkenal dengan idenya mengenai faham serba wujud atau Wahdatul wujud, juga ahli fisika dan ahli jiwa. Pada usia 17 tahun ia sangat terkenal. Karangan Ibnu Sina lebih dari dua ratus buku. Karangan beliau hingga kini masih banyak dijumpai di perpustakaan Eropa dan Amerika. [11]
b)   Kedokteran
Pada masa daulah Bani Abbasiyyah kedokteran mengalami perkembangan dan kemajuan, khususnya tatkala pemerintahan Harun ar Rosyid dan khalifah-khalifah besar sesudahnya. Pada waktu itu sekolah-sekolah tinggi kedokteran didirikan, sehingga banyak mencetak sarjana kedokteran. Diantara dokter-dokter muslim tersebut yang terkenal antara lain;  Hunain Ibnu Iskak, lair pada tahun 809 M dan meninggal pada tahun 874 M. beliau adalah dokter spesialis mata, karyanya adalah buku-buku tentang berbagai penyakit, dan banyak menerjemahkan buku-buku kedokteran yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Ibnu Sina, disamping filosof juga sebagai tokoh kedokteran, bukunya yang sangat terkenal dibidang kedokteran adalah Al-Qonun Fi Al-tib dijadikan buku pedoman kedokteran di Universitas-universitas Eropa maupun negara-negara Islam. [12]
c)    Astronomi
Astronomi adalah ilmu yang mempelajari perjalanan matahari, bumi, bulan dan bintang-bintang dan planet-planet yang lain. Tokoh-tokohnya antara lain; Abu Mansur Al Falaqi, Jabir Al Batani, beliau pencipta alat teropong bintang yang pertama.
d)   Matematika
Para tokohnya antara lain; Al-Khawarizmi (194 – 266 H) Beliau telah menyusun buku Aljabar, dan yang menemukan angka nol (0). Angka 1-9 berasal dari Hindu, yang telah dikembangkan oleh umat Islam (Arab). Umar Khayam, Buku karyanya adalah Treatise On Algebra dan buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Perancis.
e)    Sejarah
Sejarah ialah ilmu yang mempelajari tentang berbagai peristiwa masa lampau yang meliputi waktu dan tempat peristiwa itu terjadi, pelakunya, peristiwanya dan disusun secara sistimatis. Dengan mempelajari sejarah seseorang dapat mengambil pelajaran dan manfaatnya dan hikmahnya dari peristiwa tersebut. Tokoh sejarah antara lain; Ibnu Qutaibah (828 M – 889 M0 dengan hasil karyanya Uyun Al Akhbar yang berisi sejarah politik negeri-negeri islam. At Thabari (839 M – 923 M) menulis tentang sejarah para rasul dan raja-raja. Ibnu Khaldun 1332 M – 1406 M hasil karyanya Al-Ihbar banyaknya 7 jilid dan setiap jilidnya berisi 500 halaman.
d.   Perkembangan Kebudayaan
Kemajuan yang dicapai Daulah Bani Abbasiyyah, disamping ilmu pengetahuan, berkembang pula bidang kebudayaan yang ditandai dengan munculnya berbagai karya seni. Dalam bidang seni rupa telah mengalami kemajuan yang pesat antara lain pahat, ukir, sulam, seni lukis, kaligrafi dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat di dinding-dinding istana khalifah, masjid, gedung yang indah dan megah. Seni ukir, kaligrafi, hasil karyanya bisa diliha di Masjid-masjid, istana khalifah dan gedung-gedung yang megah. Seni sulam menghiasi permadani, pakaian, hiasan dinding dan sebagainya. Demikian juga dengan seni lainnya diantaranya:
1)   Seni Lukis mengalami kemajuan dan lahirlan pelukis terkenal yang bernama Abdul Karim mansur yang nama aslinya Firdaussi. Beliau yang pertama kali membuat buku bergambar di dunia ini dengan judulnya Syah Nama. Buku ini telah disalin kedalam bahasa Perancis, Inggris dan Jerman.
2)   Seni Bangunan, berdiri gedung-gedung yang kokoh dengan arsiteknya yang indah dan megah, antara lain : istana Raja, Masjid, dan lain-lain.
3)   Seni Suara, Seni Musik dan Seni Tari juga mengalamii kemajuan sebagai bukti muncullah penyanyi-penyanyi terkenal, sekolah, sekolah musik dan pabrik-pabrik alat musik. Demikian juga dengan seni bahasa, bermuncullah sastrawan-sastrawan terkenal.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1)   Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2)    Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.[13] Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu: [14]
1)   Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
2)   Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
4.    Faktor-Faktor Kemunduran Masa Bani Abbasyiah
Sebagai mana terlihat dalam periodesasi khilafah Abbasyiah, masa kemunduran dimuilai sejak periode kedua, namun demikian faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada periode itu sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil. Tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasyiah hancur. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: [15]
a.    Luasnya wilayah yang harus di kendalikan
Ini sama sekali bukanya tidak dapat diatasi, tetapi salah satu persyaratan untuk mempersatukan wilayah yang sangat luas harus ada suatu tingkat saling percaya yang tinggi di kalangan penguasa-penguasa utama dan pelakasana pemerintah,. Penghukuman mati, sering setelah disiksa, adalah perlakuan biasa terhadap para wazir yang di berhentikan, pemenjaraan dan penyitaan harta adalah praktek normal. Dalam keadaan seperti itu hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang pasti akan mencari keuntungan bagi dirinya dengan merugikan orang lain, dan akibatnya adalah makin sulit bagi khalifah untuk memperoleh orang-orang yang akan di tunjuk sebagai gubernur propinsi yang bisa dipercaya.
b.    Meningkatnya ketergantungan pada tentara bayaran.
Hal ini berhubungan dengan perkembangan-perkembangan dalam tekhnologi militer. Pemakaian tentara bayaran juga berarti bahwa makin banyak uang di keluarkan makin kuat tentara yang dimiliki. Demikianlah untuk mempertahankan posisinya khalifah memerlukan kekuatan militer yang cukup untuk menanggunlangi beberapa gubernur pembangkang pada saat yang sama, tetapi beban keuangan ini makin lama makin sulit diatasi.
c.    Keuangan
Begitu kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup mengirimkan pajak ke Baghdad dan penghasilan menurun dan ini bisa berarti ada pemberontakan oleh tentara atau kekuatan militernya berkurang sehgingga berkurang pula kemampuan nya mengumpulkan pajak. Karena tidak ada bank yang dimintai pinjaman uang oleh khalifah, maka jalan satu-satunya dalam kedaruratan keuangan ini ialah menerapkan denda yang besar, atau penyitaan begitu saja, dari orang-orang kaya yang bagaimanapun sebagaian besar kekayaanya mungkin di dapat secara tidak sah.
Berbagai hal lain juga disebutkan yang memperparah kesuliatan keuangan. Tentara di beri tanah bukanya uang, dan ini mengurangi jumlah yang harus dibayar keperbendaharaan Negara. Untuk menghindari penyitaan orang-orang memberikan harta berdasar waqaf dan ini bisa di berikan kepada keluarganya sendiri.
d.   Persaingan antar bangsa.
Khilafah Abbasyiah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib yaitu sama-sama ditindas pada masa bani Umayyah. Ada sebab-sebab dinasti Abbas memilih orang- orang Persia dari pada orang Arab. Pertama, sulit, bagi orang-orang arab untuk melupakan bani Umayyah. Kedua, orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ushabiyah kesukuan. Meskipun demikian, orang-orang Persia itu merasa puas. Mereka menginginkan dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah (ras )istimewa dan mereaka menganggap rendah bangsa non Arab di dunia Islam.
Setelah Al Mutawakkil, seoratng khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi sejak saat itu kekuasaan bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian di rebut oleh bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selnjutnya beralih pada dinasti Saljuk.
e.    Kemerosotan ekonomi
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran. Pendapatan Negara menurun. Sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunya pendapatan karena makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, di peringanya pajak, sedangkan banyak dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak mau membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.
f.     Konflik keagamaan[16]
Konflik yang dilatar belakangi agama tak terbatas pada konflik anatara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja. Tetapi juga antara aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Perselisihan antar dua golongan ini di pertajam oleh Al Ma’mun, dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara dan melakukan mihnah. Pada masa Al Mutawakkil (847-861) aliran Mu’tazilah di batalkan sebagai aliran Negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak toleranya pengikut Hambali (salaf) terhadap Mu’tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
g.    Ancaman dari luar
Adapun faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasyiah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode yang menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Pengaruh salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol, Hulago Khar, panglima tentara Mongol sangat membenci Islam karena ia banyak di pengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian.
h.    Pertentangan internal keluarga
Didalam pemerintahan terjadi konflik keluarga yang berkepanjangan. Ribuan orang terbunuh akibat peristiwa Al Mansur melawan Abdullah bin Ali pamanya sendiri dan Al Masum Al Mu’tasim melawan Abbas bin Al Ma’mun. Konflik ini meyebabkan keretakan psikologis yang dalam dan menghilangkan solidaritas keluarga, sehingga mengundang campur tangan dari luar.
i.      Kehilangan kendali dan munculnya daulah-daulah kecil
Faktor kepribadian sangat menentukan pula keberhasilan seorang pemimpin. Kelemahan pribadi diantara khalifah Abbasyiah mengakibatkan kehancuran system khilafah. Terutama karena terbuai kehidupan mewah, perdana menteri seenaknya menentukan kebijakan para khalifah . mereka menggunakan kekuatan dari luar untuk mempertahankan pemerintahanya seperti orang Turki, Seljuk, dan Buwaihi-khawarizmi, kekuatan dari luar lebih mengakibatkan kehancuran.

C.      KESIMPULAN
Dinasti Abbasyiah merupakan dinasti yang melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan  Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw.. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M), serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga sampai masa Al Mutawakkil.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Pada masa pemerintahan  Dinasti Abbasiyah, Umat Islam banyak mengalami kemajuan yang sangat pesat, di antaranya dalam bidang Politik, Sosiografi, aktivitas ilmiah, ilmu pengetahuan (agama maupun umum), dan pemerintahan. Walaupun banyak kemajuan dalam perkembangan Islam di masa ini, namun Dinasti Abbasiyah pada akhirnya mengalami kemunduran yang disebabkan oleh banyak faktor, baik yang sifatnya internal maupun yang sifatnya eksternal.



Daftar Pustaka

A.  Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1975).

A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003).

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2012).

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)

Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009).

H. Syamsuddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, (Riau: Badan Penelitian Dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau, 2007).

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beragai Aspeknya(Jakarta: UI Press, 1978).


Kumaidi dkk, Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta: Akik Pusaka, 2009)

Muntoha, Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Cet. V, Yogyakarta: UII Press, 2016)

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Cet. 2, Jakarta: Prenada Media, 2004)

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010).

Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013).  


[2] Muntoha, Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Cet. V, Yogyakarta: UII Press, 2016), h. 35.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 49-50.
[4] A. Syalabi, Sejarah Peradaban Islam 3, (Jakarta: P.T Al Husna Zikra, 1997), h. 107.
[5] Muntoha, Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Cet. V, Yogyakarta: UII Press, 2016), h. 35-36.
[6] E. Abdul Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam, (Tangerang,: Pon-pest DaaEl-Qolam), h. 46.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006), h. 52-53.
[8] A. Syalabi, Sejarah Peradaban Islam 3, (Jakarta: P.T Al Husna Zikra, 1997), h. 107.
[9] Muntoha, Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Cet. V, Yogyakarta: UII Press, 2016), h. 42-52.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 56-57.
[11] H. Syamsuddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, (Riau: Badan Penelitian Dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau, 2007), h. 95.
[12] H. Syamsuddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, h. 90.
[13] H. Syamsuddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, (Riau: Badan Penelitian Dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau, 2007), h. 83.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 55-56.
[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 55-56.
[16] Muntoha, Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Cet. V, Yogyakarta: UII Press, 2016), h. 52-58.