Kamis, 29 Agustus 2019

TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI

TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI

"Ilutrasi Tentang Poligami"
Apa yang dimaksud dengan Poligami...?
Kata poligami, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada dasarnya disebut poligami. [1]

Poligami dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat saat ini dapat diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita. Menurut tinjauan Antropologi sosial (Sosio antropologi) poligami memang mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita atau sebaliknya. Poligami dibagi menjadi 2 macam yaitu: a) Polyandri yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. b) Poligini yaitu perkawinan antara laki-laki dengan beberapa orang perempuan.

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda dan istri tua menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus pada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi jika ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal dalam membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu, meskipun pada kenyataannya aturan yang mengaturnya juga tidak mampu membendung poligami yang terjadi di masyarakat.

Pada dasarnya memang tidak ada larangan secara mutlak terhadap poligami, bahkan para ulama sepakat untuk membolehkan apabila seseorang ingin melakukan poligami, tetapi dengan syarat apabila dia dapat berlaku adil terhadap para istrinya, baik itu dari segi materi berupa sandang, pangan, tempat tinggal dan qasam (pembagian giliran pulang) dan immateri yang berupa mawaddah wa rahmah, cinta kasih dan sayang. Allah memmberikan peluang kepada para suami untuk melakukan poligami tidak berarti dan bermaksud merendahkan dan menyiksa kaum perempuan (para isteri) ataupun mengesampingkan kepentingan istri sebelumnya dan lebih memperhatikan istri baru. Karena dalam kehidupan sangat dimungkingkan terjadinya suatu kondisi tertentu yang membolehkan para suami melakukan poligami demi harkat, martabat, dan derajat kaum perempuan itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Poligami atau menikah lebih dari seorang istri bukanlah merupakan masalah baru. Poligami sudah ada sejak dulu kala, pada kehidupan manusia di berbagai kelompok masyarakat seluruh penjuru dunia. [2] Bangsa Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia selama masa itu, termasuk pula apa yang terjadi di Indonesia sejak dahulu. Kitab-Kitab Suci agama-agama Samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa dikalangan para pemimpin maupun orang-orang awam disetiap bangsa, bahkan diantara para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang asing ataupun tidak disukai. [3] Dalam kitab suci agama Yahudi dan Nasrani, poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan dalam Talmud, perjanjian lama, dan Al-Quran, beristri lebih dari seorang, kecuali Yesus/Nabi Isa as. Bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan poligami tanpa batas. [4]

Sejak Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai Nabi terakhir, Nabi Muhammad telah melakukan perubahan khususnya apa yang terjadi di Arab yaitu dengan melarang perzinaan dan bentuk-bentuk lain yang menganggap perempuan bagaikan barang dan hewan yang dimiliki. Pada dasarnya Islam tidak mengharamkan poligami secara mutlak, tetapi diberi batasan dan bersyarat. Dengan adanya batasan jumlah perempuan yang akan dijadikan istri agar terjadi kemaslahatan keturunan, pranata sosial dan kesiapan kaum lelaki. Seorang lelaki hanya boleh menikahi maksimal empat orang perempuan. Tentu saja dengan bersyarat mampu memberi nafkah dan bisa berlaku adil.

Bagaimana sejarah terbentuknya aturan Poligami di Indonesia...?
Mengenai Sejarah terbentuknya aturan poligami di Indonesia tidak lepas dari sejarah pembentukan aturan tentang perkawinan, hal ini disebabkan poligami merupakan bagian integral dari perkawinan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.

Di Indonesia aturan poligami termuat dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974, PP No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 tahun 1990 tentang perubahan atas PP No 10 tahun 1983, dan yang selanjutnya adalah Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). 19 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan persyaratan terhadap seseorang suami yang akan beristri lebih dari seorang, untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.   Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
Artinya bahwa jika istri atau para istri sebelumnya tidak menyetujui maka pada prinsipnya poligami tidak boleh untuk dilakukan, sebab hanya berdasar pada keinginan sendiri, apalagi jika poligami yang dilakukan ternyata tidak diketahui istri sebelumnya. Persetujuan yang dimaksud pada pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.
2.  Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
Hal ini semestinya dapat dipastikan sebelum melakukan poligami, jika pada perkawinan sebelumnya hidup pas-pasan bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan istri sebelumnya, ngapain harus poligami...? kecuali jika perkawinan sebelumnya telah berkecukupan bahkan melebihi dan diyakini akan mampu untuk memenuhi kebutuhan semua istri yang dinikahi maka poligami boleh untuk dilakukan.
3.  Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Jaminan berlaku adil ini tidak hanya mampu diucapkan dengan lisan atau dengan sebuah perjanjian semata, tetapi mampu dibuktikan dalam praktik berumah tangga nanti, sebab lebih banyak perkawinan poligami yang justru merasakan dampak dari poligami yang dilakukan akibat dari suami yang tidak mampu berlaku adil.

Dalam Kompilasi Hukum Islam ada beberapa pasal yang menjelaskan tentang syarat Poligami antara lain terdapa pada pasal 55 ayat (1) dan (2) dan pasal 56 ayat (1) dan pasal 57 menyatakan syarat poligami, yaitu:
Pasal 55
1)    Beristri lebih dari satu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.
2)   Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Pasal 56
1)    Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
1)    Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2)   Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3)   Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Ketiga syarat ini pada dasarnya terkesan diskriminatif terhadap perempuan atau istri, dimana seorang istri jika telah mengalami kondisi seperti halnya dalam syarat pada pasal 57 yang tersebut diatas maka dapat di poligami, padahal dengan poligami yang dilakukan bisa jadi justru akan mengabaikan istri yang telah ada dalam kondisi tersebut diatas bahkan tidak memperdulikan lagi kondisinya. Selain itu jika yang terjadi justru kebalikan dari apa yang tersebut dalam pasal 57 dalam kata lain yang mengalami hal tersebut diatas adalah suami maka tidak ada syarat untuk istri melakukan hal yang sama, kecuali dengan jalan bercerai.

Kemudian Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, di samping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu : Pasal 58
1)  Adanya persetujuan istri,
2) Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anakanak mereka.

Sementara untuk syarat bagi PNS yang akan berpoligami terdapat dalam PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat (1) tentang Izin Perkawinan dan Perceraian, yaitu: “Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.”

Selain itu juga dalam PP No. 10 Tahun 1983 pasal 4 ayat (2) tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negri Sipil yang kemudian diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990, perubahan no. 2 ayat (2), yaitu : “Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri yang kedua/ketiga/keempat.”

Kemudian dalam Islam syarat bagi orang-orang yang ingin berpoligami adalah:
1)    Jumlah istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita. Syarat ini telah disebutkan oleh Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4): 3.
2)   Laki-laki itu dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu jika pemberian nafkah, dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahir. Sedangkan masalah batin, tentu saja, selamanya manusia tidak mungkin dapat berbuat adil secara hakiki.





[1] Tihami, Sobari Sahrani, Fiqh Munakahat : Kajian Fiqh Lengkap, (Jakarta, Rajawaali Pers, 2013), h. 351.
[2] Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 259.
[3] Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran, As-Sunah, Dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan Media Utama), h. 90.
[4] Abdurrahman I Doi, Inilah Syariah Islam Terjemahan Buku The Islamic Law, Usman Efendi AS dan Abdul Khaliq Lc, (Jakarta: Pustaka Panji, 1990), h. 207.

DISPENSASI NIKAH DAN KETENTUAN BATASAN USIA PERKAWINAN

“DISPENSASI NIKAH DAN KETENTUAN BATASAN USIA PERKAWINAN”
"Dispensasi Nikah"
Apa yang dimaksud dengan Dispensasi Nikah...?
Dispensasi adalah penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan. [1] Dispensasi usia perkawinan memiliki arti keringanan akan sesuatu batasan (batasan umur) didalam melakukan ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Dispensasi usia perkawinan merupakan dispensasi atau keringanan yang diberikan Pegadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dispensasi usia nikah diatur dalam pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974. Dispensasi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 artinya penyimpangan terhadap batas minimum usia nikah yang telah ditetapkan oleh undang-undang yaitu minimal 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Oleh karena itu, jika laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai usia nikah namun hendak melangsungkan perkawinan, maka pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua belah pihak dapat memberikan penetapan dispensasi usia nikah apabila permohonannya telah memenuhi syarat yang ditentukan dan telah melalui beberapa tahap dalam pemeriksaan, namun sebaliknya apabila pihak yang berperkara tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan maka pihak pejabat dalam hal ini Pengadilan Agama tidak memberikan dispensasi untuk perkawinan kedua belah pihak tersebut.

Apa Saja Dasar Hukum Dispensasi Nikah...?
1.   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (2) tentang perkawinan.
Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) mengenai batas usia minimal untuk menikah, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki-laki maupun perempuan. [2]
2.   Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1)
Diyatakan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni pihak pria sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan pihak wanita sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. [3]

Bagaimana Ketentuan Batasan Usia Perkawinan...?
1.    Menurut fiqih
Kedua belah pihak calon mempelai pria dan wanita telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan. Tentang batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih. Bahkan kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas, seperti ungkapan “boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau “boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil”. [4]

Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa si istri berumur dua tahun kebawah, karena susuan yang menyebabkan hukum haram itu ialah bila berlangsung selagi yang menyusu masih berumur dua tahun atau kurang. Hal ini berarti boleh melangsungkan perkawinan selagi pengantin perempuan masih bayi. Kebolehan tersebut karena tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan tidak pula ada hadits Nabi yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya baru 6 tahun dan menggaulinya setelah berumur 9 tahun.

Dasar pemikiran tidak adanya batas umur pasangan yang akan kawin itu kiranya sesuai dengan pandangan umat ketika itu tentang hakikat perkawinan. Menurut pandangan mereka perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubungan kelamin, tetapi dari segi pengaruhnya dalam menciptakan hubungan mushahara. Nabi mengawini Aisyah anak dari abu bakar dalam usia 6 tahun diantaranya ditujukan untuk kebebasan Abu Bakar memasuki rumah tangga Nabi, karena disitu terdapat anaknya sendiri. Namun pada saat ini perkawinan itu lebih ditekankan kepada tujuan hubungan kelamin. Dengan demikian, tidak adanya batas umur sebagaimana yang berlaku dalam kitab-kitab fiqh tidak relevan lagi.

2.    Menurut Pendapat Para Ulama
Para Ulama sepakat bahwa masa baligh pada anak laki-laki dan perempuan mewajibakan mereka untuk ibadah, hukuman-hukuman dan syariat lainnya. Masa baligh laki-laki adalah dimulai dengan ihtilam yaitu keluar air mani, baik karena persetubuhan maupun yang lainnya, baik disaat terjaga maupun ketika tidur (mimpi). Tapi para ulama sepakat bahwa tidak ada pengaruh bagi persetubuhan yang terjadi saat mimpi kecuali bila keluar air mani.

Abu Hanifah berkata, “batas usia baligh adalah 19 atau 18 tahun untuk anak laki-laki dan 17 tahun untuk anak perempuan”. Sementara mayoritas ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa batas usia baligh pada laki-laki dan perempuan adalah 17 atau 18 tahun. Imam syafi’i, Ahmad, Ibnu Wahab dan Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa batas usia keduanya adalah setelah sempurna 15 tahun. [5]

Tidak dibolehkan bagi orang tua menikahkan anak gadisnya yang masih di bawah umur, kecuali setelah baligh dan mendapatkan izin darinya. Demikian pendapat Ibnu Syibrimah. Hasan dan Ibrahin An-Nakha’i berpendapat: diperbolehkan bagi orang tua menikahkan putrinya yang masih kecil dan juga yang sudah besar, baik gadis maupun janda meskipun keduanya tidak menyukainya. Disisi lain Abu Hanifah mengatakan: orang tua diperbolehkan untuk menikahkan putrinya yang belum baligh baik itu masih gadis ataupun sudah janda karena jika putrinya sudah mencapai usia baligh, maka ia boleh menikahi siapa saja yang dikehendaki tanpa harus meminta izin orang tuannya. Posisi orang tua pada saat itu sama seperti posisi wali, yaitu tidak boleh menikahkannya dengan izinnya baik yang masih gadis maupun janda. [6]

Mengenai kebalighan seseorang yang merupakan syarat suatu perkawinan kecuali yang menikah adalah walinya berarti dalam pandangan ini perkawinan di bawah umur dibolehkan asal yang menikahkan adalah walinya, konsekuensi argumen semacam ini logis karena seorang yang masih di bawah umur belum mampu memilih pasangan hidup oleh karenanya si wali mempunyai tanggung jawab dalam memilihkan pasangan hidupnya. Terkait dengan hal ini, dikenal adanya konsep hak ijbar dalam fiqih madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali, hak ijbar ialah hak wali. (dalam madzhab Syafi’i, ayah atau kakek) untuk mengawinkan anak perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja dia bukan berstatus janda menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, hak ijbar diberlakukan baik kepada perempuan yang sudah dewasa. Namun demikian rupanya hak ijbar ini tidak dengan kehendaknya saja. Hak ijbar dapat dilakukan oleh ayah atau kakeknya dengan syarat memang terdapat kemaslahatan (kepentingan yang baik). Ulama syafiiyah mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan. Sedangkan untuk perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain. [7]
a.  Tidak adanya permusuhan yang nyata antara dia (perempuan) dengan walinya, yaitu ayah atau kakek.
b.  Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon suaminya.
c.  Calon suami harus kufu (sesuai atau setara)
d.  Calon suami mampu memberikan mas kawin yang pantas.

3.    Menurut Undang - Undang No 1 Tahun 1974.
Syarat nikah menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah:
Pasal 6 :
1)  Perkawinan didasarkan atas persetujan kedua calon mempelai.
2)  Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3)  Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Pasal 7
1)  Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
2)  Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

4.    Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang lebih sama. Pada pasal 15 disebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 Undang-undang Perkawinan. Demikian juga soal dispensasi di bawah umur. Bedanya, di dalam memberikan yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.

Dalam KHI mempertegas persyaratan yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan dengan rumusan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 (eman belas) tahun.[8] Masalah penentuan umur dalam Undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memang bersifat ijtihadiyah sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqih.

Sehingga para remajapun yang  belum mencapai usia dewasa dapat melakukan kesiapan-kesiapan yang lebih matang dalam hidupnya yaitu dapat melakukan aktivitas belajar dan bekerja serta berpestasi dengan tetap menjaga  diri  dari  pergaulan  bebas. Dengan  adanya  batas  usia  yang  jelas tersebut masa kecerdasan sebagai anak-anak tidak menjadi terampas dengan beban tanggung jawab yang harus diembannya karena telah berubah statusnya sebagai suami atau istri dalam usia yang masih dini. [9]

5.    Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Dalam undang-undang ini sedikit berbeda dengan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap batasan umur minimal, laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun, [10] hal ini dalam undang-undang hukum acara perdata merupakan syarat materil mutlak dalam pelaksanaan perkawinan, yang dimaksud dengan syarat materil mutlak, yaitu syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. [11]




[1] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Realita, (Malang: UIN-Malang Press, 2009, hlm. 282.
[2] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[3] Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia
[4] Ibnu Al-Humam, kitab Syarh Fath Al-Qadir, terj. Moh. Tolehah Mansor, Menara, kudus hlm. 274
[5] Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Baan, Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhori jilid 15, (Jakarta: pustaka Azzam, 2006), hlm. 105-107.
[6] Syaikh kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 1998), hlm. 381.
[7] Husen Muhandid, Fiqh Perempuan “Refleksi Kyai atas Wacana Agama & Gender”, (Yogyakarta: Kerta.LKIS, 2001), hlm. 70-71
[8] Inpres No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia.
[9] Lukman A. Irfan, Seri Tuntutan Praktis Nikah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 97
[10] Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
[11] Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 147.

Rabu, 21 Agustus 2019

HUKUM PERCERAIAN

“HUKUM PERCERAIAN”


Perceraian merupakan alternatif terakhir atau disebut sebagai pintu darurat setelah tak ada lagi pintu lain yang dapat dilalui. Pintu darurat ini hanya boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhi dimana dalam Islam menganjurkan agar sebelum terjadinya perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh. Dengan memperhatikan kemaslahatan atau kemudaharatannya, hukum perceraian dapat dilihat pada penjelasan berikut ini:

1.   Wajib
Perceraian dapat menjadi wajib apabila telah terjadi perselisihan antar suami isteri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakam atau juru damai yang mengurus perkara keduanya. Jika kedua orang hakam tersebut memandang dan menilai bahwa perceraian merupakan jalan yang lebih baik bagi keduanya, maka saat itulah talak menjadi sesuatu hal yang wajib dilakukan.

2.  Sunnah
Perceraian hukumnya akan menjadi sunnah dapat dilakukan pada saat isteri mengabaikan hak-haknya kepada Allah swt. yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya. Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya. Atau isterinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. 

3.  Mubah
Talak yang dilakukan karena ada kebutuhan, misalnya karena buruknya akhlak isteri dan kurang baiknya pergaulan yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.

4.  Haram (Terlarang)
Talak yang dilakukan ketika isteri sedang haid, para ulama Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut juga dengan talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasull dan mengabaikan perintah Allah dan RasulNya, sesuai dengan firman Allah, dalam Q.S. At-Thalaq ayat 1:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا۟ ٱلْعِدَّةَ ۖ

Terjemahnya:
Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).

5.  Makruh

Talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Sebagian ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini terdapat dua pendapat, yaitu; Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan. Karena dapat menimbulkan mudharat bagi dirinya juga bagi isterinya, serta tidak mendatangkan manfaat apapun. Talak ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna. Kedua, menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan. Bahwa talak adalah suatu perbuatan yang halal akan tetapi di benci Allah. Talak itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya tuntutan dan sebab yang membolehkan, dan karena talak semacam itu dapat membatalkan pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang memang disunnahkan sehingga talak itu menjadi makruh hukumnya.