Selasa, 22 Januari 2019

Politik Hukum Islam Dalam Kewarisan Dan Wakaf


Politik Hukum Islam Dalam Undang-Undang Kewarisan Dan Undang-Undang Perwakafan


A. PENDAHULUAN
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan tahun 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada abad ke-7/ke-8 Masehi. Pendapat lain mengatakan Islam masuk ke nusantara ini pada abad ke-13 Masehi.[1] Sejak saat itu Islam mulai dikembangkan dan diterapkan diseluruh wilayah Indonesia.
Berbagai masalah mengenai hukum Islam mulai dikenal dan diberlakukan sejak masuknya Islam di Indonesia, misalnya masalah perkawinan dan kewarisan. Mengenai masalah hukum kewarisan di Indonesia tentu hal ini tidak pernah luput dari sejarah dan kebiasaan yang telah terbangun dimasing-masing daerah di Indonesia. Setiap daerah, wilayah, dan suku kampung sudah pasti telah memiliki atau menjalankan suatu kebiasaan dalam hal warisan. Ditambah lagi dengan keanekaragaman suku bangsa di Indonesia ini, apabila dicari dan diteliti tentu akan didapatkan berbagai metode ataupun cara dari tiap-tiap daerah yang berbeda-beda dalam hal pembagian waris. Ini bisa didapatkan dari ciri-ciri tentang suku budaya di indonesia ini yang beragam.
Dari berbagai keanekaragaman tersebut maka hiduplah sistem hukum kewarisan adat. Hal ini dilatarbelakangi oleh lingkungan hukum adat seperti matrinial[2] di Minangkabau, patrinial[3] di Batak, Bilateral[4] di Jawa dan masih ada kebisaaan hukum adat lainnya tentang waris[5]. Ketika memasuki zaman penjajahan belanda, istilah waris mulai digambarkan dan diatur di Indonesia. Hal ini sesuai dengan yang tercantum pada Burgelijk Wetboek (BW) tentang penundukan diri terhadap hukum eropa. Maka BW itu hanya berlaku bagi beberapa ketentuan:[6]
1.    Orang-orang eropa dan mereka dipersamakan dengan orang eropa;
2.    Orang timur asing Tionghoa;
3.    Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum eropa.
Tidak hanya itu saja, di Indonesia yang sebagian besar penduduknya bergama Islam juga mengenal tentang sistem hukum kewarisan Iislam. Sistem kewarisan ini diambil dari berbagai mazhab yang berkembang dalam Islam. Dari ajaran mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Ajaran Syiah, dan Ajaran Hazairin. Perumusan hukum waris dewasa ini dimasukan dalam lingkup hukum keluarga[7], karena didalam hukum keluarga selain perkawinan, masalah waris ini merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari masalah yang timbul pada keluarga. Maka bisa dikatakan yang mencerminkan sistem kekeluargaan didalam masyarakat itu tidak hanya hukum yang mengatur tentang perkawinan, tetapi hukum waris termasuk didalamnya[8]. Karena didalam waris membutuhkan bukti seseorang itu keturunan yang sah atas orang lain[9]. Adapun hukum ini hanya diperuntukan bagi orang-orang indonesia yang beragama islam[10].
Adapaun hukum waris yang berlaku di Indonesia sekarang ini telah diperuntukan sesuai dengan kebutuhan dari warga bangsa Indonesia yang terbagi menjadi :
1.    Hukum Waris Islam Khusus untuk orang Islam;
2.    Hukum Waris Adat untuk orang Non-Islam;
3.    Hukum Waris Barat untuk orang Barat dan Timur Asing.
Apabila timbul persengketaan ataupun perselisihan dalam menentukan pengadilan didalam pembagian waris, maka ada dua Pengadilan :
1.    Pengadilan Agama bagi warga negara RI yang beagaman Islam[11];
2.    Pengadilan Negeri bagi warga negara RI mereka yang non Muslim.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya memang telah jelas aturannya dalam al-Quran, namun masih belum maksimal pelaksanaannya saat Islam masuk di daratan Indonesia, hal ini dipengaruhi oleh kekuatan hukum adat yang masih sangat diyakini kebenarannya di Indonesia. Sistem pembagian warisan ataupun proses penyelesaian sengketa warisan mulai mendapatkan kedudukannya dalam hukum Positif di Indonesia sejak berlakunya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang telah menjadi dasar pelaksanaan permasalahan warisan di Peradilan Agama selain Al-Quran dan Sunnah.
Selain masalah warisan salah satu masalah yang telah mendapatkan kedudukan dalam hukum positif di Indonesia juga adalah masalah perwakafan. Dimana masalah wakaf menjadi salah satu hal yang penting demi perbaikan kepentingan masyarakat umum, khususnya dalam hal pemisahan harta benda miliknya dengan melembagakan bagian lainnya yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya untuk selamanya.
Wakaf sebagai perbuatan hukum sudah lama melembaga dan dipraktikkan di Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf ini sudah ada sejak Islam masuk ke nusantara ini, kemudian berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia. Perkembangan wakaf dari masa ke masa ini tidak didukung oleh peraturan formal yang mengaturnya, praktik perwakafan selama itu hanya berpedoman kepada kitab-kitab fikih tradisional yang disusun beberapa abad yang lalu, banyak hal sudah tidak memadai lagi. Pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur, dan praktik perwakafan dalam bentuk peraturan masih relatif baru, yakni sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria. [12]
Lahirnya Undang-Undang Agraria sebenarnya sudah memberikan wadah yang memadai untuk pengaturan masalah wakaf di Indonesia, namun pada saat itu dirasa masih belum cukup. Dalam rentan waktu yang cukup lama sejak tahun 1960, barulah pada tahun 1991 lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang salah satu didalamnya membahas tentang masalah perwakafan di Indonesia yaitu pada Buku III. KHI kemudian dikuatkan lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, hingga akhirnya wakaf mendapatkan dasar hukum yang kuat terutama dalam memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Islam di Indonesia yang bermasalah dengan perwakafan. Beberapa aturan inilah yang menjadi dasar hukum pelaksanaan perwakafan di Indonesia.  
Berdasarkan beberapa hal inilah maka dalam makalah ini akan melihat bagaimana politik hukum Islam dalam Undang-Undang kewarisan dan Undang-Undang perwakafan.

B. PEMBAHASAN
1.    Kedudukan Hukum Kewarisan Islam Dalam Hukum Positif di Indonesia
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama pada masa penjajahan, walaupun sejarah mencatatkan bahwa kekejaman penjajahan Belanda di Indonesia cukup di rasakan rakyat terutama oleh kalangan umat Islam yang tidak diberikan ruang gerak yang cukup namun ada salah satu yang berhasil didirikan oleh pemerintahan Belanda untuk melindungi hak-hak masyarakat Muslim yaitu pendirian Peradilan Agama. Pada Tahun 1882, melalui Staatsblad No. 152 Tahun 1882, tentang pendirian Radd Agama (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk Jawa dan Madura. Dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152 ini ditetapkan bahwa yang menjadi kewenangan absolutya adalah: [13]
a.       Perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah dan perwalian.
b.      Warisan.
c.       Wakaf.
Kemudian dengan adanya Staatsblad tahun 1937 No. 116, yang mulai berlaku tanggal 1 April 1937, kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi. Sejak saat itulah kekuasaan Pengadilan Agama hanya sebatas pada:
a.    Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
b.    Perkara-perkara tentang; nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang beragama Islam yang memerlukan hakim Agama Islam.
c.    Memberi keputusan perceraian.
d.   Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya ta’likut thalak sudah ada.
e.    Perkara mahar.
f.      Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan demikian perkara-perkara seperti; Perselisihan soal warisan, Pembagian harta warisan, wakaf, dan hadhanah (pemeliharaan anak) dan lain sebagainya yang sebelum tanggal 1 April 1937 dapat diurus dan diputus oleh Pengadilan Agama menjadi kompeten Pengadilan Negeri. Dalam prakteknya Hakim Pengadilan Negeri meminta fatwa kepada Hakim Pengadilan Agama Islam hal-hal menyangkut dengan cara-cara membagi harta warisan dan lain-lain yang erat hubungannya, bagi umat Islam, dan kemudian hakim Pengadilan Negeri-lah yang mengeluarkan keputusannya.
Setelah Indonesia merdeka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Mahkamah Syariah (Peradilan Agama) dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk seluruh Indonesia, diluar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan-Timur. Dalam Peraturan Pemerintah itu ditetapkan salah satu wewenang peradilan agama adalah Kewarisan. [14] Meskipun masalah kewarisan sudah menjadi salah satu wewenang dari peradilan agama yang ada pada saat itu, namun di pengadilan-pengadilan agama yang ada diluar Jawa dan Madura yang telah jelas berwenang menyelesaikan perkara waris, tidak banyak mengajukan perkara waris di Pengadilan Agama, karena urusannya lebih banyak diselesaikan di luar pengadilan.
Lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada prinsipnya telah mengakhiri keragaman nama dan wewenang peradilan agama sebelum undang-undang ini berlaku. Dalam UU ini ditegaskan wewenang peradilan agama pada pasal 49 yaitu; “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: [15]
a.    Perkawinan;
b.    Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c.    Wakaf dan shadaqah.
Pasal ini menegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang Peradilan Agama. Tentamg hukum dalam menyelesaikan masalah kewarisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut dengan hukum kewarisan Islam  atau faraid, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam menjadi hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam.
Hukum kewarisan yang dinyatakan sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia pada saat itu belum berbentuk perundang-undangan tetapi baru dalam bentuk kitab fikih bab Faraid. Hal ini berarti bahwa para hakim dalam memberikan pertimbangan waktu menetapkan keputusan dalam peradilan, merujuk kepada kitab fikih faraid tersebut. [16] Kitab fikih yang dimaksud dalam masalah ini adalah kitab fikih yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Dalam perkembangannya fikih di Indonesia pada umumnya adalah mengikuti mazhab Imam Syafi’i, tanpa menutup adanya aliran fikih atau mazhab lain, meskipun kecil.
Meskipun kitab fikih khusunya tentang faraid telah berkembang di Indonesia sebagai acuan ataupun dasar hukum dalam peradilan agama, namun dirasa masih belum cukup jika belum ada aturan yang resmi dalam negara yang mengatur tentang masalah warisan secara sah dan diakui di Indonesia sebagai salah satu landasan hukum dalam peradilan Agama.
Hal inilah yang mendorong lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yang menjadi salah satu sumber hukum kewarisan Islam dalam peradilan di Indonesia selain al-Quran dan Hadis. Dalam perancangannya sebagai sebuah aturan yang menjadi rujukan peradilan agama ini, setelah melalui proses yang cukup panjang yang pembentukan dan penyusunannya telah dimulai tahun 1983 yakni setelah penandatanganan SKB oleh ketua Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia dan Menteri Agama RI, guna keseragaman dan rujukan hakim-hakim pada pengadilan agama. Panitia bekerja selama kurang lebih lima tahun dan pada tahun 1988 rumusan KHI siap untuk diajukan kepada pemerintah dalam rangka proses menuju legalitas sebuah aturan hukum perundang-undangan. Selama 3 tahun lebih dalam masa penantian menunggu tindak lanjut rancangan aturan KHI tersebut, belum juga ada titik terangnya. [17] Dalam proses yang begitu panjang ini antara Mahkamah Agung bersama dengan Menteri Agama RI proses penyusun rancangannya juga melibatkan ulama, pakar fikih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam yang mengatur urusan perkawinan, kewarisan dan perwakafan ini disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991. Instruksi Presiden ini diiringi pula oleh Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 yang meminta untuk sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam di peradilan agama yang ada di seluruh wilayah Indonesia. [18]
Kompilasi Hukum Islam meskipun telah berlaku sebagai rujukan dan pedoman di pengadilan Agama dalam berperkara di pengadilan yang berkaitan dengan hukum Islam khusunya masalah kewarisan Islam, namun oleh banyak pihak KHI tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan. Setidaknya dalam proses peradilan di Indonesia khusunya tentang masalah kewarisan Islam yang belum memiliki dasar hukum berupa aturan baku yang berlaku, telah mendudukan masalah kewarisan Islam menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia. Kalau dulu hukum kewarisan Islam masih ada dalam kitab-kitab fikih yang tersusun dalam bentuk ajaran, maka saat ini kompilasi tersebut telah tertuang dalam format perundang-undangan. Hal ini dlakukan untuk mempermudah hakim di Pengadilan Agama dalam merujuknya. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia khusus aturan yang mengatur tentang Kewarisan terdapat dalam Buku II Hukum Kewarisan, terdiri dari 23 pasal, dari pasal 171 sampai dengan pasal 193.
Hukum Kewarisan dalam sistem politik hukum Islam di Indonesia telah diperjuangkan untuk menjadi bagian yang terpenting dalam aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, hingga menjadi bagian dari hukum positif, meskipun sebenarnya telah jelas aturannya di al-Quran dan hadis, namun hal itu dirasa perlu untuk membentuk suatu aturan sebagai penjabaran dari apa yang ada dalam al-Quran dan hadis maupun yang ada dalam kitab-kitab fikih faraid. Banyak hal yang berbeda tentang masalah kewarisan yang ada dalam kitab-kitab fikih dengan apa yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, hal inilah yang memposisikan bahwa KHI merupakan bentuk baru Hukum Kewarisan Islam, namun ada poin-poin krusial yang masih merupakan bentuk yang utuh dan sama dengan apa yang ada dalam aturan hukum Islam dalam kitab fikih.
Sesungguhnya di dalam KHI ini masih ada kekurangan yang harus disempurnakan dalam eksistensinya sebagai hukum positif di Indonesia. Selain itu hal lain yang perlu dikaji adalah mengenai produk hukum yang memayungi KHI itu sendiri. Secara yuridis formal sebuah hukum tidak terlalu mengikat bila KHI itu hanya dipayungi oleh Instruksi Presiden, oleh karena itu bila ingin menjadi hukum positif kiranya KHI harus dijadikan yuridis formal undang-undangnya.

  1. Kedudukan Wakaf Dalam Hukum Positif di Indonesia
Pengaturan wakaf sebelum datangnya kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kitab fikih bermazhab Syafi’i. Oleh sebab itu masalah wakaf ini telah sangat erat kaitannya dengan masalah sosial dan adat di Indonesia, maka pelaksanaan wakaf itu disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia, dengan tidak mengurangi nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam wakaf itu sendiri. Pelaksanaan wakaf pada saat itu terfokus pada hal-hal yang berhubungan dengan ibadah dan sangat sedikit yang berhubungan dengan masalah sosial lainnya, belum dikelola dengan manajemen yang baik.
Pada masa penjajahan belanda dan jepang masalah perwakafan meskipun belum secara spseifik disebutkan dalam peraturan yang dikeluarkan saat itu namun setidaknya masalah perwakafan di Indonesia tida dilarang untuk dilaksanakan demi kepentingan ibadah khusus bagi yang beragama Islam. Salah satu aturan yang lahir di masa penjajahan yang secara spesifik mengatur tentang masalah perwakafan di Indonesia adalah Surat Edaran dari Sekretaris Governemen tanggal 4 Januari 1931 Nomor 1361/A yang dimuat dalam Bijblad 1931 Nomor 125/A tentang Toezich van Regeering op Muhammadaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini dimuat yang pada garis besarnya agar Bijblad tahun 1905 Nomor 6169 supaya diperhatikan dengan baik dan dengan sungguh-sungguh. Supaya tertib dalam pelaksanaan wakaf, maka izin dari Bupati tetap diperlukan dan Bupatilah yang menilai apakah wakaf yang akan dilaksanakan itu sesuai dengan maksud dari pemberian wakaf dan bermanfaat untuk umum. [19]
 Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, pengaturan wakaf sebagaimana yang pernah ada aturannya di masa penjajahan masih tetap berlaku. Sejak terbentuknya Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946, urusan tanah wakaf menjadi urusan Kementerian Agama bagian D (Ibadah Sosial). Selanjutnmya Kementerian Agama pada tanggal 8 Oktober 1956 mengeluarkan surat edaran Nomor 5/D/1956 tentang Prosedur Perwakafan Tanah. Peraturan ini pada dasarnya mempertegas aturan-aturan yang telah ada pada masa kolonial belanda yang dirasakan masih belum memberikan kepastian hukum tentang tanah-tanah wakaf di Indonesia. [20]
Lahirnya Undang-Undang No, 5 Tahun 1960 tentang Agraria telah memperkokoh eksistensi wakaf di Indonesia, misalnya dalam pasal 49 yang menjelaskan tentang  pelaksanaan perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Sehingga dengan mewujudkan kepastian hukum dari undang-undang ini maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dalam PP ini dikemukakan bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat digunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam. Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka semua peraturan  yang berhubungan dengan aturan perwakafan yang pernah ada apabila bertentangan maka dianggap tidak berlaku lagi. [21]
Eksistensi perwakafan di Indonesia diperkuat lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang telah menegaskan salah satu wewenang peradilan agama adalah tentang masalah perwakafan. Kemudian diperkuat lagi dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang disahkan pada Juni 1991, yang salah satu pokok pembahasan aturan didalamnya adalah masalah perwakafan di Indonesia. Kemudian pada diperkuat lagi dengan lahirnya undang-undang tentang wakaf yang secara khusus membahas tentang masalah wakaf didalamnya, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dalam undang-undang ini aturan tentang wakaf lebih terinci dalam pembahasannya ada berbagai hal penting yang dibahas didalamnya yaitu tentang pengembangan wakaf, terutama tentang masalah nadir, harta benda yang di wakafkan (mauquf bih), peruntukan harta wakaf (mauquf alaih), serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia dan juga tentang wakaf tunai dan produktif.

Praktik wakaf yang dilaksanakan di Indonesia pada dasarnya masih dilaksanakan secara konvensional yang memungkinkan rentan terhadap berbagai masalah dan tidak sedikit yang berakhir di pengadilan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya penyimpangan terhadap benda-benda wakaf yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, dan juga sudah menjadi rahasia umum ada benda-benda wakaf yang diperjualbelikan. Keadaan ini tidak hanya berdampak buruk kepada perkembangan wakaf di Indonesia, tetapi merusak nilai-nilai luhur ajaran Islam yang semestinya harus dijaga kelestariannya sebab ia merupakan bagian dari ibadah kepada Allah swt. Menyadari tentang keadaan ini, para pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah telah memberlakukan beberapa peraturan tentang wakaf untuk dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Namun peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan itu dianggap masih belum memadai dalam menghadapi arus globalisasi saat ini, maka diperlukan peraturan baru tentang wakaf yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini. [22]

Berdasarkan alasan perkembangan zaman dan perbedaan situasi dan kondisi inilah maka lahirlah Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang diperuntukkan untuk mengatur masalah perwakafan di Indonesia khusunya bagi yang beragama Islam. Sehingga dengan adanya undang-undang ini kedudukan sistem perwakafan di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum kepada wakif baik bagi kelompok perorangan, organisasi maupun badan hukum yang mengelola benda-benda wakaf.
Pelaksanaan wakaf di Indonesia jika dibandingkan dengan pelaksanaan di negara-negara Islam masih jauh ketinggalan. Selama ini pelaksanaan wakaf di Indonesia masih berorientasi pada sarana peribadatan seperti masjid, sekolah, kuburan dan sarana keagamaan lainnya. Pengelolaan wakaf di beberapa negara Islam seperti Mesir, Arab Saudi, Qatar, Turki sudah dilaksanakan dengan manajemen yang baik, wakaf tidak lagi terfokus pada sarana peribadatan, tetapi ruang lingkupnya telah diperluas yakni seluruh harta kekayaan baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang  berwujud dan tidak berwujud, juga sudah dikenal dengan wakaf uang, logam mulia, surat berharga, kenderaan transportasi, hak kekayaan intelektual, hak sewa, hak pakai dan sejenisnya. Negara-negara Islam telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk melindungi dan memberi rasa aman kepada para pengelola wakaf dengan pengawasan yang cukup ketat. [23]
Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf di Indonesia ini pada prinsipnya diharapkan kepada semua pihak dapat mengembangkan wakaf dalam berbagai aspek, tidak hanya dalam aspek pemikiran, tetapi juga berusaha membuat inovasi dan langkah terobosan dalam mengelola harta wakaf agar wakaf dapat dirasakan manfaatnya secara luas bagi masyarakat. Lahirnya Undang-Undang ini tidak lepas dari peranan dan keterlibatan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama RI, pemerintah telah memberikan legalitas terhadap sistem perwakafan di Indonesia yang menjadi dasar rujukan dan landasan hukum dalam menyelesaikan masalah wakaf di Indonesia.
Meskipun perwakafan di Indonesia telah memiliki legalitas dalam aturan perundang-undangan dan menjadi salah satu hukum positif di Indonesia, namun dalam pelaksanaannya masih belum maksimal dalam menyelesaikan persoalan  wakaf di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya harta benda yang telah diwakafkan oleh wakif seperti tanah masjid, sekolah, panti asuhan dan pekuburan masal masih belum didaftarkan secara sah sesuai dengan aturan  perwakafan di Indonesia.  Hal ini dipengaruhi oleh faktor pemahaman wakaf bangsa Indonesia Masyarakat muslim Indonesia berwakaf dalam bentuk yang berbeda-beda dan dengan nama yang berbeda pula. Ada yang berwakaf tanah, kebun, rumah, bangunan dan benda mati lainnya seperti mushaf Al-Qur’an, sajadah, dan lain sebagainya. Motivasi mereka untuk berwakaf pun ternyata berbeda-beda. Paling tidak, ada dua motivator masyarakat Indonesia untuk berwakaf yaitu sebagai berikut:
a. Aspek ideologis normative bahwa masyarakat muslim Indonesia memahami Wakaf adalah suatu ibadah yang dianjurkan oleh agama dan merupakan perwujudan dari keimanan seseorang. Untuk itu dalam ajaran Islam, harta merupakan asset yang diatur oleh agama tergantung bagaimana mereka mampu mentasarufkan harta tersebut atau tidak.
b. Aspek sosial-ekonomis wakaf itu digunakan dalam hal-hal yang bersifat darurat dan kebutuhan yang sangat mendasar. Akan tetapi untuk pengembangan selanjutnya dibutuhkan  peran wakaf. Dimana Ia menjadi modal untuk pengembangan dan mengatasi masalah sosial dan ekonomi kemasyarakatan secara umum khususnya masyarakat Indonesia. Pemahaman mayoritas mayarakat muslim Indonesia terhadap wakaf banyak dipengaruhi oleh mazhab Syafiiyyah.






C. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Kedudukan Kewarisan Islam Dalam Hukum Positif di Indonesia pada prinsipnya telah ada sejak zaman Islam masuk ke nusantara ini, namun belum ada aturan yang mengaturnya secara jelas dan tegas, sehingga dengan lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ini menunjukan adanya suatu kepastian hukum bagi masyarakat Islam terutama dalam hal penyelesaian masalah kewarisan Islam, yang sebelumnya masih menggunakan kitab-kitab fikih yang berlandaskan al-Quran dan hadis.
2.    Kedudukan Wakaf dalam Hukum positif di Indonesia, memang telah diatur sejak masa penjajahan belanda di Indonesia, namun memang diakui masih belum memberikan kepastian hukum secara jelas terhadap sistem perwakafan di Indonesia, barulah sejak adanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, KHI dan Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, kedudukan wakaf di Indonesia menjadi sangat kuat dalam sistem hukum di Indonesia. Meskipun saat ini dapat diakui memang aturannya tidak berjalan secara maksimal dalam masyarakat, sebab masih banyak benda-benda yang telah diwakafkan namun masih belum tercatat secara jelas dan sah sesuai dengan aturan yang berlaku, bahkan banyak benda-benda wakaf yang pada akhirnya menjadi sengketa para ahli waris yang ditinggalkan.








DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur Ansari, Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Cet. I; (Yogyakarta: UII Press, 2007).
Abdul Hali, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, Cet. 2; (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 4; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014).
Ali Afandi, Hukum Keluarga, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada).
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 3; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008).
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004).
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet. 2; (Bandung: PT Al Ma’arif, 1981).
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2011).
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadis, (Jakarta: Tintamas, 1981).
Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Cet. 1; (Jakarta: Rajawali Press, 2014).
Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: BP IBLAM, 2004).
M.Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).
M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgelijk Wetboek, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983).



[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004), h. 2.
[2] Matrinial disini adalah setiap orang selalu menghubungkan dirinya kepada ibunya dan seterusnya keatas kepada ibunya ibu dan karenanyaa semua mereka menganggap termasuk dari clan ibunya.
[3] Pada prinsipnya dimana seseorang menghubungkan dirinya kepada ayah dan seterusnya kepada ayahnya ayah sampai suatu titik nenek moyangnya yang laki-laki.
[4] Setiap orang merasa mempunyai hubungan baik melalui garis bapak maupun garis ibu, disini tidak terbentuk clan ataupun suku.
[5] M.Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 1-2.
[6] Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgelijk Wetboek, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 10.
[7] M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 93.
[8] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadis, Jakarta: Tintamas, 1981, h.1
[9] Ali Afandi, Hukum Keluarga, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Jakarta: yayasan badan penerbit gadjah mada, h. 52
[10] Hal ini berdasarkan pada pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dijelaskan dan dijabarkan pada Ketetapan MPRS nomor II/1961 Lampiran A Nomor 34 junto GBHN 1983.
[11] Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang mengatakan bahwa tidak adanya lagi pilihan hukum bagi warga yang bersengketa itu beragama Islam atau dengan bisa dikatakan penghapusan tentang pilihan hukum bagi pembagian warisan seperti terdapat pada Undang-Undang No. 7 tahun 1989.
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 4; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 235-236.
[13] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet. 2; (Bandung: PT Al Ma’arif, 1981), h. 28-29.
[14] Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 3; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), h. 325-326.
[15] Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
[16] Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, , h. 326.
[17] Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2011), h. 53.
[18] Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, , h. 326-327.
[19] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 4; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 250.
[20] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 251.
[21] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 251.
[22] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 4; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 235-236.
[23] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h.236.