Rabu, 31 Juli 2019

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

“PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA”
"Palu Sidang Pengadilan"
A.      Jenis Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata
Alat bukti (bewijsmiddel) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Alat bukti merupakan unsur penting di dalam pembuktian persidangan, karena hakim menggunakannya sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara. Alat bukti adalah alat atau upaya yang diajukan pihak beperkara yang digunakan hakim sebagai dasar dalam memutus perkara. Dipandang dari segi pihak yang beperkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang digunakan untuk meyakinkan hakim di muka sidang pengadilan. Sedangkan dilihat dari segi pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang bisa digunakan hakim untuk memutus perkara. [1]
Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau alat bukti tertentu. [2] Hukum pembuktian yang berlaku di indonesia saat ini adalah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.
Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas. Namun di beberapa Negara seperti Belanda,[3] telah terjadi perpindahan pola pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea rah system terbuka. Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan secara enumerative lagi.
Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-bukti tertentu  saja melainkan dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal dapat diterima secara hukum kebenarannya dan tidak mertentangan denga kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu. Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di Indonesia ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa Negara lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang pada system lama karena sampai sekarang pengadilan belum berani melakukan terobosan menerima alat bukti baru, diluar  yang disebutkan Undang-Undang. [4]
Pada acara perdata, Hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa dalam pengambilan keputusan, Hakim harus tunduk dan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang saja yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR/ 284 RBg dan 1866 KUHPerdata. Di luar Pasal 164 HIR/284 RBg, terdapat alat bukti yang dapat dipergunakan untuk mengungkap kebenaran terjadinya suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan setempat (descente) sebagaimana diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg dan keterangan ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg.
Alat bukti atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai evidence, adalah informasi yang digunakan untuk menetapkan kebenaran fakta-fakta hukum dalam suatu penyelidikan atau persidangan. Paton dalam bukunya yang berjudul A Textbook of Jurisprudence, seperti yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo menyebutkan, bahwa alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material. Alat bukti yang bersifat oral, merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dalam persidangan. Alat bukti yang bersifat documentary, meliputi alat bukti surat atau alat bukti tertulis. Alat bukti yang bersifat material, meliputi alat bukti berupa barang selain dokumen. [5]
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat bukti dalam perkara perdata yang diatur dalam Pasal 164 HIR dan 1866 KUHPerdata, adalah sebagai berikut;
a.    Bukti dengan tulisan;
b.    Bukti dengan saksi;
c.    Bukti dengan persangkaan;
d.   Bukti dengan Pengakuan;
e.    Bukti dengan Sumpah. [6]
Berikut ini akan diulas mengenai alat bukti yang telah dikenal dalam HIR/RBg dan KUHPerdata sebagai berikut:
1)   Alat Bukti Tertulis
Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang sangat krusial dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.[7] Menurut Sudikono Mertokusumo, alat bukti surat atau alat bukti tulisan ialah “Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca, dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”. Segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda baca, atau meskipun memuat tanda-tanda baca, tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti surat atau alat bukti tulisan. [8]
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.
Pertama  adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. [9] Jadi untuk dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.
Akta otentik ialah ‘akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.  Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata: akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan. [10]
Pejabat publik yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat Akta Otentik, antara lain notaris, pegawai catatan sipil, panitera pengadilan, dan juru sita. Di dalam melakukan pekerjaannya, pejabat publik yang bersangkutan terikat pada syarat dan ketentuan undang-undang sehingga merupakan jaminan untuk mempercayai keabsahan hasil pekerjaannya.[11]
Akta Otentik dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu akta ambtelijk dan akta partai. Akta ambtelijk adalah akta otentik yang dibuat oleh pejabat publik yang diberi wewenang untuk itu, dimana dia menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dilakukannya. Contoh: akta catatan sipil, akta protes pada wesel, akta sertifikat kelulusan jenjang pendidikan negeri. Akta partai adalah akta yang dibuat di hadapan pejabat publik, yang menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dilakukannya dan pihak-pihak yang berkepentingan mengakui keterangan dalam akta tersebut dengan membubuhkan tanda tangan mereka. Contohnya: akta jual beli tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), akta pernikahan, dan akta pendirian perseroan terbatas.[12]
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. [13] Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal diatas, akta dibawah tangan ialah:
a)    Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan;
b)   Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang;
c)    Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
Secara ringkas, segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta bawah tangan atau dengan kata lain, segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, termasuk rumpun akta bawah tangan.[14]
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai , tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat.[15] Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat:
a)    Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
b)    Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya. [16]
2)   Alat Bukti Kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan. [17]
Jadi, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataannya bisa terjadi:
a)   Sama sekali penggugat tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan; atau
b)  Karena alat bukti tulisan yang ada, tidak mencukupi batas minimal pembuktian karena alat bukti tulisan yang ada, hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan.
Pembuktian dengan saksi pada umumnya dibolehkan dalam segala hal, kecuali undang-undang menentukan lain, misalnya, tentang persatuan harta kekayaan dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan perjanjian kawin, dan perjanjian asuransi hanya dapat dibuktikan dengan polis. Hukum adat, hukum materiil bagi golongan bumiputera mengenal dua macam saksi, yaitu: [18]
a)    Saksi yang sengaja didatangkan untuk menyaksikan peristiwa tertentu, dan
b)   Saksi yang kebetulan mengetahui peristiwanya.
3)   Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata. Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive. [19]
Di dalam hukum acara perdata persangkaan-persangkaan atau vermoedens adalah alat bukti yang bersifat pelengkap atau accessory evidence. Artinya, persangkaan-persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri. Persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya dengan demikian juga satu persangkaan saja bukanlah merupakan alat bukti. [20]
Pada praktik peradilan, ada dua macam persangkaan yaitu sebagai berikut:
a)      Persangkaan Menurut Hukum (Rechtsvermoeden, legal conjecture, presumtio juris) Yaitu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Misalnya, perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang karena perbuatan tersebut menyalahi ketentuan perundangundangan.
b)      Persangkaan Menurut Kenyataan (Feitelijk vermoeden, factual conjecture, presumtio factie) Yaitu persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta atau presumtiones factie yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai pangkal titik tolak menyusun persangkaan.
Alat bukti persangkaan hanya digunakan apabila didalam perkara perdata sangat sulit untuk ditemukan alat bukti saksi yang melihat, mendengar atau merasakan langsung peristiwa yang terjadi.
4)   Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah member kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa. [21]
Konkritnya, pengakuan merupakan keterangan sepihak dan untuk itu tidaklah diperlukan persetujuan dari pihak lainnya. Hal ini berarti jika tergugat telah mengakui tuntutan penggugat, pengakuan itu membebaskan penggugat untuk membuktikan lebih lanjut dan majelis hakim harus mengabulkan tuntutan penggugat. Dengan demikian, perkara dianggap selesai. Akan tetapi Pasal 1926 KUHPerdata membolehkan menarik kembali pengakuan yang telah diberikan di persidangan karena kekhilafan. Kekhilafan yang menyangkut soal hukum tidak dapat dijadikan alasan untuk menarik kembali pengakuan. Dalam praktik hukum, dapat tidaknya pengakuan itu ditarik kembali, terserah pada penilaian majelis hakim yang menyelesaikan perkara.
Menurut pandangan doktrina, pada asasnya pengakuan (Pasal 1923 dan 1925 KUHPerdata) dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut:
a)    Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis)
Pengakuan yang diucapkan di muka sidang pengadilan mempunyai kekuatan bukti sempurna bagi orang yang memberikan pengakuan, baik diucapkan sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang dikuasakan untuk itu. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 174-176 HIR atau Pasal 311-313 RBg.
b)   Pengakuan di luar sidang
Yang dimaksud dengan pengakuan di luar sidang adalah pengakuan atau pernyataan “pembenaran” tentang dalil gugatan atau bantahan maupun hak atau fakta, namun pernyataan itu disampaikan atau diucapkan di luar sidang pengadilan. Hal ini adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1927 KUHPerdata, kebalikan dari Pasal 174 HIR.
5)   Alat bukti sumpah
Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengikat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. [22] HIR menyebutkan 3 (tiga) sumpah sebagai alat bukti, yaitu:
a)    Sumpah Supletoir/Pelengkap (Pasal 155 HIR)
Sumpah supletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
b)   Sumpah Aestimatoir/Penaksir (Pasal 155 HIR)
Sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.
c)    Sumpah Decisioir/Pemutus (Pasal 156 HIR)
Sumpah decisioir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Berlainan dengan sumpah Supletoir, maka sumpah decisioir, ini dapat dibebankan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga sumpah decisioir, ini dapat di lakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.
A.      Tujuan Pembuktian
Tujuan pembuktian pada hakekatnya adalah untuk menghasilkan suatu putusan, yang menyatakan salah satu pihak menang, pihak yang lain kalah (jika merupakan peradilan yang sebenarnya), atau untuk menghasilkan suatu penetapan (jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Jadi, tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu. Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara formal yuridis menjadi pihak yang merugi atau menjadi pihak yang di kenakan hukuman. Sama halnya jika terdakwa dalam perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi pidana.
Apakah dihukumnya pihak itu merupakan akibat dari perbuatan hukum yang pernah dilakukannya. Dengan perkataan lain apakah perbuatan yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya merupakan suatu hubungan sebab akibat. Mengenai permasalahan ini, hans kelsen mengemukakan salah satu teori yang terkenal sebagai “toerekeningstheoris” (teori pertanggung jawab). Menurut teori Hans Kelsen yang kemudian diikuti oleh paul Scholten itu, tindakan yang dilakukan seseorang sehingga ia dihukum, bukan merupakan hubungan sebab akibat. Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah akibat dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu merupakan pertanggung jawaban atau perbuatannya sendiri.
Pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu, maka disini terbukti lagi betapa besarnya peranan hukum pembuktian didalam menentukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara. Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja sejalan dengan tujuan dari hukum pada umumnya, di sini kita harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya subsistem dari sistem hukum secara keseluruhan. Hukum itu timbul pada hakikatnya disebabkan karena terjadinya konflik diantara berbagai kepentingan manusia (conflict of human interest). Akibat konflik antar-kepentingan itu sehingga menghendaki adanya penyelesaian fungsi hukum.
Khususnya hukum acara perdata, tujuan pembuktian di dalamnya untuk menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara. Kita selalu harus ingat, bahwa proses perdata adalah proses penyelesaian persengketaan antara dua pihak. Berbeda dengan proses pidana, dimana tidak terdapat persengketaan antara jaksa dan terdakwa. Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada hakikatnya, maka dengan pembuktian dalam proses perdata, bertujuan menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara, dengan jalan yang seadil-adilnya, dengan memberi kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara maupun terhadap masyarakat pada umumnya, dengan tidak melupakan kemanfaatan putusan hakim itu terhadap masyarakat pada umumnya. Secara filosofinya dapat dikatakan bahwa tujuan pembuktian adalah: “Quod Bonum Felix Faurtumque”, apa yang baik, bahagia dan karunia (oleh Allah). 




[1] Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Surabaya: Pustaka Pelajar, 2004), h. 25.
[2] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 554.
[3] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 555.
[4] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 556.
[5] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam (Yogyakarta: Liberty, 2012), h. 120.
[6] Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Cetakan 1 (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), h. 133.
[7] Octavianus M. Momuat, Alat Bukti Tulisan Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata Di Pengadilan, Jurnal Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014. h. 138.
[8] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 141.
[9] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), h. 149.
[10] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 566.
[11] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 131.
[12] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 132.
[13] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), h. 159.
[14] Subekti, Hukum Pembuktian, h. 26.
[15] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 607.
[16] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 616-622.
[17] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), h. 166.
[18] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 136.
[19] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 684.
[20] Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h. 81.
[21] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 181.
[22] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 154.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar