Selasa, 04 September 2018

Keluarga Sakinah Dalam Perkawinan


“Keluarga Sakinah Dalam Perkawinan”
Keluarga Sakinah


1.    Pengertian Keluarga
Menurut M. Munandar Soelaeman dalam bukunya yang berjudul :”Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial”, mengartikan : “Keluarga diartikan sebagai suatu kesatuan social terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk social, yang ditandai adanya kerja sama ekonomi”. Selanjutnya menurutnya lagi “fungsi keluarga berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, menolong, melindungi atau merawat orang-orangtua (jompo)”. [1]
Sementara itu para ahli antropologi melihat: “Keluarga sebagai suatu kesatuan social terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk social”. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa; Sebuah keluarga adalah suatu satuan kekerabatan yang juga merupakan satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi, dan mempunyai fungsi untuk berkembangbiak, mensosialisasikan atau mendidik anak dan menolong serta melindungi yang lemah khususnya merawat orang-orangtua mereka yang telah jompo. [2]
Dari dua definisi diatas, terdapat persamaan yakni keluarga terdiri dari suatu kesatuan terkecil dari manusia sebagai makhluk social dan bekerja sama di dalamnya, mendidik anak-anaknya atau merawat orang-orangtuanya.
Selanjutnya Wahyu mengatakan: “dalam bentuk yang paling dasar, sebuah keluarga terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang biasanya tinggal dalam satu rumah yang sama”. [3] Keluarga adalah terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Selanjutnya menurut Arifin, keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. [4]
Sakinah, kata sakinah secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedamaian. Sakinah atau kedamaian itu didatangkan Allah kedalam hati para Nabi dan orang-orang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi rintangan apapun. Jadi berdasarkan arti kata sakinah pada ayat-ayat al-Quran yang banyak disebutkan, maka sakinah dalam keluarga dapat dipahami sebagai keadaan yang tetap tenang meskipun menghadapi banyak rintangan dan ujian kehidupan. [5]
Beberapa definisi di atas tampak bahwa keluarga sakinah adalah  sebuah proses penciptaan atau pendirian sebuah kelompok kecil atau rumah tangga dalam sebuah ikatan perkawinan yang tinggal secara bersama dengan harapan mampu hidup bersama dalam kedamaian dan berani menghadapi rintangan apapun yang terjadi dalam rumah tangga.
2.    Fungsi keluarga
Secara singkat fungsi keluarga menurut Prof. Wahyu ada 9 yaitu; Biologis, Sosialisasi Anak, Afeksi, Edukatif, Religus, Protektif, Rekreatif, Ekonomis, dan Penentuan Status. Selain itu Keluarga mempunyai empat fungsi, yaitu: [6]
a.    Fungsi seksual yang membuat terjadinya ikatan di antara anggota keluarga, antara laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini secara alami berada pada posisi yang saling membutuhkan.
b.    Fungsi kooperatif untuk menjamin kontinuitas sebuah keluarga.
c.    Fungsi regeneratif dalam menciptakan sebuah generasi penerus secara estafet.
d.   Fungsi genetik untuk melahirkan seorang anak dalam rangka menjaga keberlangsungan sebuah keturunan.
3.    Istilah Keluarga Dalam Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an istilah keluarga disebut dengan Ahlun, sebagaimana terdapat dam surah At-Tahrim ayat 6 yang berbunyi: [7]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam butiran ayat di atas adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Selain itu keluarga dapat diartikan dzawil qurba sebagaimana terdapat dalam surah Al-Isra ayat 26 yang berbunyi : [8]
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Terjemahnya:
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah  kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Islam merupakan agama yang pertama kali memberikan perhatikan  terhadap keluarga sebagai elemen social yang pertama. Sementara orangtua memberikan pendidikan, pemeliharaan dan pengawasan yang terus menerus  kepada anak-anaknya, yang akan mewarnai corak kepribadian sang anak.
Pendidikan agama Islam merupakan pendidikan yang memberikan pengajaran, bimbingan terhadap anak dalam ajaran agama Islam, sebagaimana yang dikemukakan; “Pendidikan agama Islam adalah segala usaha yang berupa pengajaran, bimbingan dan asuhan terhadap anak agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, serta menjadikannya sebagai way of life ( jalan kehidupan) sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun social masyarakat”.[9]
Menurut pengertian lain, pendidikan agama Islam adalah usaha sadar generasi tua mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia musli yang bertaqwa kepada allah s.w.t, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian utuh yang memahami, mengahayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupannya.[10]
4.    Fondasi Dan Bangunan Keluarga
Fondasi ideal dan cita perkawinan dalam Islam sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. Ar-Rum ayat 21. [11]
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون

Terjemahnya:
Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Kandungan ayat ini menggambarkan bahwa perkawinan dalam Islam idealnya melahirkan jalinan ketenteraman (sakinah), rasa kasih dan sayang sebagai suatu ketenangan yang dibutuhkan oleh masing-masing pasangan. Oleh karena itu perkawinan dalam Islam diharapkan dapat terciptanya keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah (keluarga samara).
Pertama, terciptanya sakinah, yang berarti ketenangan dan ketenteraman. Setiap pasangan suami istri yang menikah, tentu sangat kebahagiaan hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka, ada ketenangan, ketenteraman, dan kenyamanan. Harapan ini dapat menjadikan rumah tangga sebagai surga bagi para penghuninya, baik secara lahir maupun batin. Kebahagiaan dalam kehidupan keluarga bukanlah sesuatu yang tidak mungkin diraih, sebab kebahagiaan merupakan hasil usaha para anggota keluarga, terutama suami istri dan para anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu, hanya dengan pasangan suami istri dan seluruh anggota keluarga dapat meraih dan menikmati manisnya cinta dan indahnya ketenteraman. [12]
Kata sakinah itu sendiri berasal dari kata sakanah yang berarti diam atau tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak yang sebelumnya ia merontak. Kata sakinah terdapat lebih 45 kali dalam al-Quran dalam berbagai bentuk derivasinya. Beberapa turunan kata ini antara lain seperti litaskunu, tuskanu, askantu, yuskinu dan lainnya. Secara umum, kata ini bermakna tenang, tenteram, tidak bergerak, diam, kedamaian, mereda, hening, dan tinggal. Dalam al-Quran kata ini menandakan ketenangan dan kedamaian secara khusus, yaitu kedamaian dari Allah swt., yang ditanamkan dalam qalbu. [13]
Sakinah dalam perkawinan adalah ketenangan yang kreatif dan aktif. Lebih menarik lagi, jika memaknai sakinah ini berdasarkan surat Ar-Rum ayat 21 dan Al-A’rof ayat 189. Adapula ahli tafsir yang menafsirkan bahwa litaskunu ilaiha pada ayat pertama dengan lita’nasu ilaiha agar kalian menjadi jinak/ramah/senang. Secara implisit, dinyatakan pula bahwa tujuan diciptakannya manusia dengan berpasang-pasangan adalah agar menjadi senang dan ramah. [14]
Agar tercipta sakinah itu, keluarga sebaiknya menjadi tempat tinggal yang dapat dijadikan tumpuan menjaga diri dan masyarakat, serta mengembangkannya untuk menciptakan ketenteraman dan keselamatan. Karenanya, keluarga harus dijadikan tempat tinggal yang penuh dengan kebahagiaan agar seluruh anggota keluarga betah di rumah dan selalu merindui.  Sesuai dengan firman Alla swt., dalam surat an-Nahl ayat 80 artinya: “Dan allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal”. [15]
Kedua, mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Ulama tafsir terkemuka indonesia, Quraisy Shihab mengatakan: Mawaddah adalah cinta plus. Orang yang di dalam hatinya ada mawaddah tidak akan memutuskan hubungan, seperti apa yang terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintiu-pintunya pun tertutup untuk dimasuki keburukan. [16]
Jika melihat surat Ar-Rum, ada mufassir yang berpendapat bahwa mawaddah adalah jima’ (persetubuhan), sedangkan rahmah adalah anak. Menurut Al-Mawardi terdapat 3 pengertian mawaddah, yaitu: 1) mawaddah adalah mahabbah; 2) mawaddah adalah cinta besar (membara); 3) sikap suami dan istri yang saling menyayangi. Sedangkan raghib al-Ishfani mendefinisikan mawaddah dengan perasaan cintaakan sesuatu yang disertai dengan perasaan ingin memiliki obyek yang dicintainya.
Ketiga, adanya rahmah. Quraish Shihab mengatakan: “rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul didalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan. Rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu buta, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak menjadi pemarah apalagi pendedam”. Kualitas mawaddah wa rahamah didalam rumah tangga tersebut, apakah bahagia atau tidak. [17]
Oleh karena itu, pasangan suami istri masing-masing harus berusaha sunguh-sungguh untuk mendatangkan kebaikan bagi pasangannya, keluarganya serta mencegah segala yang menganggunya, meskipun dilakukan dengan susah payah. Untuk memperoleh rahmah itu, seseorang harus berusaha dengan keras. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqaraha ayat 218 yang terjemahnya adalah “sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
Keluarga dalam Islam juga memiliki prinsip etis dan kesetaraan. Prinsip tersebut dalam keluarga sakinah terwujud dalam pengembangan nilai-nilai perlakuan baik sebagai dasar kehidupan keluarga. Perlakuan baik ini mendapat pengakuan al-Quran yang menegaskan nilai kebersamaan dan berorientasi pada upaya menumbuhkan semangat kerja sama, menciptakan solidaritas, dan meningkatkan saling pengertian. Prinsip ini juga terscermin dalam pola interaksi keluarga sakinah yang dijalin oleh hak dan kewajiban yang disyaratkan Allah swt. pada ayah, ibu, dan anak. kesadaran akan hak dan kewajiban antaranggota keluarga merupakan pilar utama keluarga sakinah, sedang pengikatnya adalah rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). [18]
Dalam pembentukan rumah tangga yang sakinah (bahagia, sejahtera, damai dan kekal) perlu dipahami dan didasarkan pada dua unsur pokok yaitu moril dan materil. [19]
Unsur moril menggambarkan sikap pergaulan antara suami istri yang meliputi:
a.    Tahabub, yakni sikap saling mencintai, saling mengasihi dan saling menghargai satu sama lain. Kalau sikap ini ada dalam suatu kehidupan rumah tangga, maka segala beban yang harus diemban ringan dirasakannya.  
b.    Taawun, yakni sikap saling tolong menolong, isi mengisi dan saling melengkapi. Tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu suami istri harus benar-benar menyadari hal ini serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
c.    Tasyawur, yakni apabila suami istri akan berbuat sesuatu, mereka hendaknya saling terbuka dan musyawarah dengan akal yang sehat untuk mencari mufakat dan bukan memaksakan kehendak sendiri. Hasil kesepakatan itulah yang hendaknya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan bertawakal kepada Alla. Jangan bertindak sendiri tanpa sepengetahuan yang lain.
d.    Taaffi, yakni saling memaafkan, dimana suami istri asalanya sama-sama orang lain yang berbeda keinginan yang kadang kala satu sama lain sering bertentangan. Agar bahtera rumah tangga berjalan dengan baik, maka suami istri hendaknya buka mencari dan mengumpulkan perbedaan, akan tetapi memilih persamaan-persamaan. Karena itu, antara suami dan istri harus terjalin sikap saling maaf-memaafkan.
Adapun unsur materil yang banyak menggambarkan kebendaan yang dibutuhkan dalam hidup berumah tangga demi terbinanya keluarga yang harmonis, kekal, bahagia dan sejahtera. Unsur materil ini meliputi:
a.    Kecukupan pangan. Sebab cinta tanpa beras akan menciptakan malam yang tidak berkesan dan pagi hari perut keroncongan. Oleh sebab itu, sebelum menikah hendaklah sudah mempunyai lapangan kerja yang dapat menghasilkan uang dan setelah menikah pun suami istri harus bekerja keras.
b.    Kecukupan sandang. Manusia sebagai hamba Allah dan sebagai makhluk sosial yang beradab memerlukan sandang sebagai penutup aurat untuk beribadah kepada Allah SWT. Suami istri juga memerlukan hidup yang layak dalam pergaulan masyarakat sesuai dengan tingkat sosialnya. Hal ini juga menuntut suami istri untuk bekerja keras dan memohon pertolongan kepada Allah SWT.
c.    Berkeluarga juga memerlukan papan sebagai tempat tinggal dan tempat usaha mencari nafkah hidupnya. Jangan sampai setelah menikah suami istri numpang terus menerus pada orang tua, sebab hal ini akan menimbulkan berbagai masalah dalam kehisupan berumah tangga. Karena itu, usaha dan kerja keraslah demi rumah tangga yang mandiri dan bebas dari campur tangan pihak ketiga.
d.    Pendidikan. Dalam hidup berumah tangga juga perlu tercipta suasana pendidikan Islam, baik itu diperoleh sebelum menikah atau setelahnya. Pendidikan disini tidak berarti pendidikan formal semata, akan tetapi lebih mengarah kepada pemahaman falsafah hidup berumah tangga yang didasarkan kepada iman yang kokoh, ketakwaan serta akhlak yang terpuji.
e.    Kesehatan. Dalam hidup berumah tangga, kesehatan sangat penting sekali artinya. Bahkan tidak hanya dalam hidup berumah tangga, tetapi bagi manusia seluruhnya, kesehatan sangat penting adanya. Oleh sebab itu, suami istri harus memelihara jasmani dan rohani agar dapat melaksanakan tugas masing-masing.
Hiburan. Agar suami istri dapat menjalankan tugasnya masing-masing tidak diliputi oleh ketegangan, dan stres, maka sekali-kali perlu menikmati hiburan segar yang sehat.
5.    Ciri-ciri Keluarga Sakinah
Masyarakat Indonesia mempunyai istilah yang beragam terkait dengan keluarga yang ideal. Ada yang menggunakan istilah keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah (Keluarga Samara), keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah dan berkah, keluarga maslahah, keluarga sejahtera dan lain-lain. Semua konsep keluarga yang ideal dengan nama yang berbeda ini sama-sama mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan bathiniyah dan lahiriyah dengan baik.
Adapun ciri keluarga sakinah yang dimaksud mencakup hal-hal sebagai berikut: [20]
a.    Berdiri diatas fondasi keimanan yang kokoh,
b.    Menunaikan misi ibadah dalam kehidupan,
c.    Mentaati ajaran agama,
d.   Saling mencintai dan menyayangi,
e.    Saling menjaga dan menguatkan dalam kebaikan,
f.     Saling memberikan yang terbaik untuk pasangan,
g.    Musyawarah menyelesaikan permasalahan,
h.    Membagi peran secara berkeadilan,
i.      Kompak mendidik anak-anak,
j.      Berkontribusi untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan negara.
6.    Tujuan Terbentuknya Keluarga Sakinah
Tujuan terbentuknya sebuah keluarga adalah menciptakan keluarga yang sakinah (tentram), mawaddah (cinta dan gairah) dan rahmah (kasih sayang).[21] Hal ini sebagaimana dalam surah Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi: [22]
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Terjemahnya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Sementara menurut undang-undang perkawinan Bab 1 pasal 1, menyatakan bahwa, “perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [23]
Sementara itu menurut Nadhirah Mudjab, yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Wahyu, menyatakan bahwa tujuan terbentuknya suatu keluarga muslim adalah:
a.    Mengatur potensi kelamin/kebutuhan seks yang sehat dan bersih
b.    Melahirkan keturunan yang mulia
c.    Merasakan kasih sayang dan penderitaan hidup
d.   Mendidik generasi baru
e.    Menjaga nasab
f.     Menjaga harta pusaka.[24]
Sebuah keluarga Muslim merupakan landasan utama bagi terbentuknya masyarakat Islami. Di dalam keluarga Muslim terkandung sebuah konsep religius (al-mafhum al-dini), yaitu bahwa para anggota keluarga diikat oleh sebuah ikatan agama untuk mewujudkan kepribadian yang luhur. Konsep ini menekankan bahwa sebuah keluarga Muslim harus dapat  membentuk para anggotanya agar memiliki kepribadian yang luhur ini. Memiliki sifat kasih dan sayang, cinta sesama, menghormati orang lain, jujur, sabar, qana’ah dan pemaaf merupakan di antara indikator bagi sebuah kepribadian yang luhur. Orangtua mempunyai andil yang cukup besar dalam membentuk kepribadian seorang anak, karena memang dilingkungan keluargalah anak akan dibentuk, dalam arti pertumbuhan dan perkembangan oleh orangtua.
Menurut Nasy’at Al-Masri dalam bukunya yang berjudul “Menyambut Kedatangan Bayi”, mengatakan :Adapun pembinaan dan pendidikan  bagi seorang anak muslim dan muslimah yang baik, dapat direalisasikan dalam tiga masalah: pertama; menumbuhkan dan mengembangkan segi-segi positif, membangkitkan bakat-bakatnya yang luhur dan kreativitasnya yang  membangun dengan mewarnai ketiganya dengan warna dan corak  Islam. Kedua; meluruskan kecenderungan dan wataknya yang tidak baik, dengan mengarahkannya menuju perangai dan watak yang terpuji. Ketiga; menguatkan keyakinan, bahwa tujuan utama dari penciptaan manusia, ialah untuk mengabdikan kepada Allah S.W.T. [25]
Dalam membina kebahagiaan dan ketentraman keluarga ada syarat yang perlu diketahui, sebagaimana yang dinyatakan oleh Zakiah Darajat yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Wahyu, sebagai berikut; Beberapa persyaratan yang perlu diketahui dan dilakukan oleh setiap pasangan suami isteri, agar dapat tercapai kebahagiaan dan ketentraman dalam keluarga. Syarat-syarat itu antara lain, hendaknya suami isteri itu:
                  1.          Saling mengerti antara suami isteri
                  2.          Mengerti latar belakang pribadinya
                  3.          Mengerti diri sendiri
                  4.          Saling menerima
                  5.          Terimalah dia sebagaimana adanya
                  6.          Terimalah hobbynya dan kesenangannya
                  7.          Terimalah keluarganya
                  8.          Saling menghargai
                  9.          Menghargai perkataan dan perasaan
              10.          Menghargai bakat dan keinginannya
              11.          Saling mempercayai
              12.          Percaya akan pribadinya
              13.          Percaya akan kemampuannya
              14.          Saling mencintai
              15.          Lemah lembut dalam berbicara
              16.          Tunjukkan perhatian kepadanya
              17.          Bijaksana dalam pergaulan
              18.          Jauhi sikap egoistis
              19.          Jangan mudah tersinggung tentramkan batin sendiri tunjukkan rasa cinta.[26]
Sementara itu orang tua sebagai Pembina keluarga yang pertama dan utama dalam sebuah rumah tangga wajib bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, hal ini sebagai amanah dari Allah Swt. Yang dititipkan kepada orangtua. Islam membebani kedua orangtua untuk bertanggungjawab memelihara kehidupan, pendidikan, pertumbuhan fisik, dan perkembangan mental anak, dengan pertimbangan bahwa anak merupakan amanat yang dibebankan kepada mereka, dan Allah akan menghisab mereka atas amanat tersebut. Hal itu untuk menghindarkan si anak  dari beban melindungi dan mendidik dirinya sendiri yang tidak mungkin dilakukannya karena ketidakmampuannya untuk melakukan itu. Untuk itu Islam melimpahkan tanggungjawab mendidik anak kepada kedua orangtua.[27]


[1] Munandar Soelaeman,  Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung : PT. Eresco, 1992), h.55.
[2] Wahyu, Ilmu Sosial Dasar, ( Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 57.
[3] Wahyu, Ilmu Sosial Dasar, h. 57.
[4] Wahyu, Pokok-pokok Materi Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam, (Banjarmasin: 2010) Bagian 9, h. 1.
[5] Kementerian Agama RI, Fondasi Keluarga Sakina “Bacaan Mandiri Calon Pengantin”, (Jakarta, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2017), h. 11.
[6]Wahyu, Pokok-pokok Materi Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam,
[7] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009)
[8] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”.
[9] Tim Dosen PIF-Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 4.
[10] Departemen Agam RI, Pedoman Pelaksanaan PendidikanA gama Islam, (Jakarta : 1985/1986), h. 9
[11]  Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta: 2010).    
[12] Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1990), h. 82.
[13] Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, h. 82.
[14] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, (Cet. II, Yogyakarta: Kaukaba, 2015), h. 179.     
[15] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, (Cet. II, Yogyakarta: Kaukaba, 2015), h. 179.     
[16] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, h. 179.     
[17] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, h. 180.     
[18] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, h. 182.     
[19] Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan, Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Quran Dan As-Sunah, (Cet. I, Jakarta: Akademika Presindo 2000), h. 228-230.    
[20] Kementerian Agama RI, Fondasi Keluarga Sakina “Bacaan Mandiri Calon Pengantin”, (Jakarta, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2017), h. 12-13.
[21] Wahyu, Pokok-pokok Materi Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam, (Banjarmasin: 2010) Bagian 9, h. 4.
[22] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).
[23] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[24] Wahyu, Pokok-pokok Materi Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam, (Banjarmasin: 2010) Bagian 9, h. 5.
[25] Nasy’at Al-Masri, Uklhti Al Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludiki Al-Jadid, diterjemahkan H. Salim Basyarahil , dengan judul: Menyambut Kedatangan Bayi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994). Cet.14, h.60.
[26] Wahyu, Pokok-pokok Materi Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam, (Bagian 9, Banjarmasin: 2010), h. 6.
[27] Dr. Al-Husaini Abdul Majid Hasyim, dkk, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 35.