“TRADISI
ADAT MODUTU DI GORONTALO”
1.
Pengertian Adat Modutu
Dutu atau “Modutu” adalah prosesi menghantarkan
adat harta perkawinan yang dilaksanakan menurut tradisi adat Gorontalo. Acara
ini adalah tahapan ke enam dari aspek adat perkawinan secara adat gorontalo
pelaksanaannya merupakan forum-formil yang disamping dihadiri oleh pemangku adat
dan keluarga, juga turut dihadiri oleh unsur pemerintah yang ikut manyaksikan
hantaraan adat harta perkawinan beserta biayanya.
Pada tahap ini semua persoalan akan di buka,
baik yang berhubungan dengan hari perkawinan maupun hal-hal yang bersifat
teknis, maka harus dihadiri oleh pemerintah setempat dan pegawai syara’, dan
tahap ini biasa disebut dengan modutu. Yang disiapkan pada tahap ini
adalah; a) kola-kola (berbentuk usungan yang dibuat dari buluh kuning
berbentuk empat persegi panjang dan dihiasi dengan janur). b) sirih-pinang, c) tonggu,
dan d) ayuwa [1] yang dilambangkan dengan
5 macam benda: 1) jeruk (limau) yang besar-besar sebanyak tiga buah, 3) nangka,
sebanyak dua baki setiap baki satu buah, 4) tebu sebanyak 6 baki dan terdiri
dari 20 potong serta terdiri dari tiga warna; tebu biasa, kuning dan darah
babi, 5) bibit kelapa (tumula). [2]
2.
Dasar Pelaksanaan Adat Modutu
Dutu sebagai keharusaan
adat, bagi masyarakat suku Gorontalo, untuk mengikuti tahapan-tahapan kegiatan
tata cara adat perkawinan berlaku, merupakan kelanjutan tata cara adat molinelo
dan merupakan hak sebagai anggota masyarakat, untuk memberlakukan adat kebesaran dalam pelaksanaan perkawinan yang
suci dan sakral. [3]
3.
Hakekat Adat Modutu
Dutu disebut juga adat momu’o
ngango, yang merupakan acara tersendiri, hakekatnya adalah pembahasan
terakhir yang menyangkut teknis pelaksanaan pada hari perkawinan. Adat Momu’o
ngango bisa (Modutu), telah melibatkan unsur pemerintah setempat, dan pegawai
syara’ dahulu diwajibkan buwatulo totolu. Adat Momu’o Ngango pada
hakekatnya, merupakan pengukuhan keluarga dan disaksikan oleh pemerintah
setempat dan pegawai syarah serta seluruh kerabat, tetangga dan handai
taulan. Pemberitahuan secara
umum dalam adat ini diwujudkan dengan
bunyi-bunyian, berupa handalo, oleh petugas adat.[4]
4.
Unsur Pelaksana Upacara Adat Modutu
Unsur pelaksana dalam adat
modutu adalah: [5]
1. Utoliya lunthu dulungo layi’o; utusan dari pihak
laki-laki.
2. Utoliya lunthu dulungo wolato; utusan dari pihak
perempuan.
3. Rombongan
dari pihak laki-laki; terdiri dari keluarga kaum ibu, dan kaum bapak, yang
telah ditunjuk oleh pihak laki-laki atau yang diundang secara resmi.
4. Penerima
dari pihak perempuan; yang terdiri dari keluarga/kerabat terdekat dan tamu
undangan lainnya.
5.
Hak Untuk Melaksanakan Pohutu Moponika
Yang berhak memperoleh
pelaksanaan adat perkawinan dalam bentuk upacara kebesaran atau pohutu
adalah: [6]
a.
Olongia, kini dapat disejajarkan dengan jabatan
Gubernur, Bupati dan Walikota.
b.
Huhuhu, kini dapat disejajarkan dengan wakil
Gubernur, wakil Bupati dan wakil Walikota.
c.
Wuleya Lo Lipu, “Camat”
d.
Mufti.
e.
Kadli.
f.
Apitalau.
g.
Mbuu’i Diluato.
Untuk menyesuaikan dengan
perkembangan dan perubahan sosial, puhutu moponika dapat dilaksanakan
untuk semua masyarakat, syaratnya yakni mampu dan berkeinginan melaksanakannya.
Pohutu moponika tidak boleh
dipaksanakan dan bukan simbol kekuasaan dan keberadaan seseorang. Pohutu
moponika diserahkan pada musyawarah keluarga yang mampu dan ingin
melaksanakannya karena memahami betul makna, dan terutama manfaat pohutu
moponika. Sudah barang tentu pohutu moponika hanya dapat
dilaksanakan bagi keluarga yang anak-anak mereka beragama Islam dan belum
melanggar ketentuan agama. [7]
Menurut penuturan yang
lain hak memperoleh pelaksanaan adat pernikahan dalam bentuk upacara kebesaran
hanyalah golongan olongia “ raja”. Karena jabatan olongia untuk
daerah Gorontalo sudah tidak ada, maka kedudukan itu dapat disejajarkan dengan Gubernur,
Bupati atau Walikota “wala’o lipu” dengan tata upacara adat lengkap “pongo-pongoabu”.
Rakyat biasa (tuango lipu) dapat melaksanakan adat pernikahan dalam
bentuk upacara kebesaran sepanjang berkaitan dan berkemampuan atau (2M) Mau dan
Mampu yang pelaksanaannya ditentukan dengan ketentuan adat. [8]
Namun, seperti telah di
uraikan sebelumnya kaidah ini telah berubah, diubah oleh masyarakat adat
Gorontalo. Seperti kita ketahui adat timbul dari masyarakat sendiri. Dengan
demikian adat pernikahan yang khusus golongan raja, kini boleh dikatakan telah
membudaya dikalangan masyarakat. Hal seperti ini tak dapat dilarang, kalau kita
ingin membudayakan adat Gorontalo. Itulah sebabnya urutan proses pernikahan yang
akan diuraikan di bawah sebenarnya urutan pernikahan pada golongan olongia
dahulu, yang akan diberlakukan bagi masyarakat Gorontalo yang mampu
melaksanakannya. Juga, untuk kepentingan adat itu sendiri agaknya lebih cocok
kalau pembahasannya didasarkan pada adat pernikahan untuk olongia, yang
disana-sini telah mengalami perubahan karena kita sendiri tidak memiliki
dokumen yang layak di perpercaya untuk zaman olongia tersebut. lebih
jauh, kalau kita hubungkan dengan usaha memasyarakatkan adat, mempertahankan
kelestarian adat dan stratifikasi sosial yang berorientasi pada kekaryaan/keahlian,
maka pembahasan adat perkawinan yang berpangkal dari adat pernikahan untuk olongia,
dapatlah kita terima, dalam batas-batas yang tertentu. [9]
[1] Ayuwa bukanlah hungo
lo ayu, yang sekarang ini dipahami seperti itu sehingga semua buah-buahan
di ikutsertakan, padahal hanya lima macam yang disebutkan diatas. K. Abdussamad
(dkk), Empat Aspek Adat Daerah Gorontalo: Penyambutan Tamu, Penobatan,
Perkawinan Dan Pemakaman, h. 98.
[2] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia Dan Praktek Perkawinan Dalam
Bingkai Adat Gorontalo, h. 91.
[3] Farha Daulima, Tata Upacara Adat Perkawinan, (Gorontalo: Forum Suara Perempuan LSM
Mbu’i Bungale, 2006), h. 73.
[4] Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, (Gorontalo:
2003), h. 142.
[5] Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 142.
[6] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo. (Limboto:
2008), h. 152.
[7] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 153.
[8] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 153.
[9] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar