Senin, 03 September 2018

TRADISI ADAT MODUTU DI GORONTALO


“TRADISI ADAT MODUTU  DI GORONTALO”
Gambar: Prosesi Adat Modutu di Gorontalo 

1.    Pengertian Adat Modutu
Dutu atau “Modutu” adalah prosesi menghantarkan adat harta perkawinan yang dilaksanakan menurut tradisi adat Gorontalo. Acara ini adalah tahapan ke enam dari aspek adat perkawinan secara adat gorontalo pelaksanaannya merupakan forum-formil yang disamping dihadiri oleh pemangku adat dan keluarga, juga turut dihadiri oleh unsur pemerintah yang ikut manyaksikan hantaraan adat harta perkawinan beserta biayanya.
Pada tahap ini semua persoalan akan di buka, baik yang berhubungan dengan hari perkawinan maupun hal-hal yang bersifat teknis, maka harus dihadiri oleh pemerintah setempat dan pegawai syara’, dan tahap ini biasa disebut dengan modutu. Yang disiapkan pada tahap ini adalah; a) kola-kola (berbentuk usungan yang dibuat dari buluh kuning berbentuk empat persegi panjang dan dihiasi dengan janur). b) sirih-pinang, c) tonggu, dan d) ayuwa [1] yang dilambangkan dengan 5 macam benda: 1) jeruk (limau) yang besar-besar sebanyak tiga buah, 3) nangka, sebanyak dua baki setiap baki satu buah, 4) tebu sebanyak 6 baki dan terdiri dari 20 potong serta terdiri dari tiga warna; tebu biasa, kuning dan darah babi, 5) bibit kelapa (tumula). [2]
2.    Dasar Pelaksanaan Adat Modutu
Dutu sebagai keharusaan adat, bagi masyarakat suku Gorontalo, untuk mengikuti tahapan-tahapan kegiatan tata cara adat perkawinan berlaku, merupakan kelanjutan tata cara adat molinelo dan merupakan hak sebagai anggota masyarakat, untuk memberlakukan adat  kebesaran dalam pelaksanaan perkawinan yang suci dan sakral. [3]
3.    Hakekat Adat Modutu
Dutu disebut juga adat momu’o ngango, yang merupakan acara tersendiri, hakekatnya adalah pembahasan terakhir yang menyangkut teknis pelaksanaan pada hari perkawinan. Adat Momu’o ngango bisa (Modutu), telah melibatkan unsur pemerintah setempat, dan pegawai syara’ dahulu diwajibkan buwatulo totolu. Adat Momu’o Ngango pada hakekatnya, merupakan pengukuhan keluarga dan disaksikan oleh pemerintah setempat dan pegawai syarah serta seluruh kerabat, tetangga dan handai taulan. Pemberitahuan secara umum dalam adat ini diwujudkan dengan bunyi-bunyian, berupa handalo, oleh petugas adat.[4]
4.    Unsur Pelaksana Upacara Adat Modutu
Unsur pelaksana dalam adat modutu adalah: [5]
                       1.     Utoliya lunthu dulungo layi’o; utusan dari pihak laki-laki.
                       2.     Utoliya lunthu dulungo wolato; utusan dari pihak perempuan.
               3.    Rombongan dari pihak laki-laki; terdiri dari keluarga kaum ibu, dan kaum bapak, yang telah ditunjuk oleh pihak laki-laki atau yang diundang secara resmi.
                 4. Penerima dari pihak perempuan; yang terdiri dari keluarga/kerabat terdekat dan tamu undangan lainnya.
5.    Hak Untuk Melaksanakan Pohutu Moponika
Yang berhak memperoleh pelaksanaan adat perkawinan dalam bentuk upacara kebesaran atau pohutu adalah: [6]
a.    Olongia, kini dapat disejajarkan dengan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota.
b.    Huhuhu, kini dapat disejajarkan dengan wakil Gubernur, wakil Bupati dan wakil Walikota.
c.    Wuleya Lo Lipu, “Camat”
d.    Mufti.
e.    Kadli.
f.     Apitalau.
g.    Mbuu’i Diluato.
Untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan sosial, puhutu moponika dapat dilaksanakan untuk semua masyarakat, syaratnya yakni mampu dan berkeinginan melaksanakannya. Pohutu moponika  tidak boleh dipaksanakan dan bukan simbol kekuasaan dan keberadaan seseorang. Pohutu moponika diserahkan pada musyawarah keluarga yang mampu dan ingin melaksanakannya karena memahami betul makna, dan terutama manfaat pohutu moponika. Sudah barang tentu pohutu moponika hanya dapat dilaksanakan bagi keluarga yang anak-anak mereka beragama Islam dan belum melanggar ketentuan agama. [7]
Menurut penuturan yang lain hak memperoleh pelaksanaan adat pernikahan dalam bentuk upacara kebesaran hanyalah golongan olongia “ raja”. Karena jabatan olongia untuk daerah Gorontalo sudah tidak ada, maka kedudukan itu dapat disejajarkan dengan Gubernur, Bupati atau Walikota “wala’o lipu” dengan tata upacara adat lengkap “pongo-pongoabu”. Rakyat biasa (tuango lipu) dapat melaksanakan adat pernikahan dalam bentuk upacara kebesaran sepanjang berkaitan dan berkemampuan atau (2M) Mau dan Mampu yang pelaksanaannya ditentukan dengan ketentuan adat. [8]
Namun, seperti telah di uraikan sebelumnya kaidah ini telah berubah, diubah oleh masyarakat adat Gorontalo. Seperti kita ketahui adat timbul dari masyarakat sendiri. Dengan demikian adat pernikahan yang khusus golongan raja, kini boleh dikatakan telah membudaya dikalangan masyarakat. Hal seperti ini tak dapat dilarang, kalau kita ingin membudayakan adat Gorontalo. Itulah sebabnya urutan proses pernikahan yang akan diuraikan di bawah sebenarnya urutan pernikahan pada golongan olongia dahulu, yang akan diberlakukan bagi masyarakat Gorontalo yang mampu melaksanakannya. Juga, untuk kepentingan adat itu sendiri agaknya lebih cocok kalau pembahasannya didasarkan pada adat pernikahan untuk olongia, yang disana-sini telah mengalami perubahan karena kita sendiri tidak memiliki dokumen yang layak di perpercaya untuk zaman olongia tersebut. lebih jauh, kalau kita hubungkan dengan usaha memasyarakatkan adat, mempertahankan kelestarian adat dan stratifikasi sosial yang berorientasi pada kekaryaan/keahlian, maka pembahasan adat perkawinan yang berpangkal dari adat pernikahan untuk olongia, dapatlah kita terima, dalam batas-batas yang tertentu. [9]


[1] Ayuwa bukanlah hungo lo ayu, yang sekarang ini dipahami seperti itu sehingga semua buah-buahan di ikutsertakan, padahal hanya lima macam yang disebutkan diatas. K. Abdussamad (dkk), Empat Aspek Adat Daerah Gorontalo: Penyambutan Tamu, Penobatan, Perkawinan Dan Pemakaman, h. 98.
[2] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia  Dan Praktek Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo, h. 91.
[3]  Farha Daulima, Tata Upacara Adat Perkawinan, (Gorontalo: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale, 2006),  h. 73.
[4] Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, (Gorontalo: 2003), h. 142.
[5] Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 142.
[6] Tim Perumus Kerja Sama Pemda Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo. (Limboto: 2008), h. 152.
[7] Tim Perumus Kerja Sama Pemda Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 153.
[8] Tim Perumus Kerja Sama Pemda Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 153.
[9] Tim Perumus Kerja Sama Pemda Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 154.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar