Rabu, 05 April 2017

CORAK KARYA TAFSIR DAN METODOLOGI PENAFSIRAN DI INDONESIA ( Tinjauan Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka )


CORAK KARYA TAFSIR DAN METODOLOGI PENAFSIRAN DI INDONESIA 
( Tinjauan Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka )

Jusuf A. Lakoro, S.H.I., M.H. (Advokat/Pengacara)

A.              LATAR BELAKANG
Dalam sejarahnya Al-qur’an turun dalam bentuk yang utuh dan murni dengan menggunakan bahasa Arab dan penjelasan yang masih bersifat umum. Sehingga ketika al-Qur’an ini menyebar luas dan nabi Muhammad wafat maka para penafsir al-Qur’an pun bermunculan untuk memberikan penjelasan secara ilmiah, logis dan runtut bersama sejarahnya, termasuk penafsiran al-Qur’an di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam masa penafsirannya sejak masuknya Islam hingga saat ini.
Metode yang digunakan dalam penafsiran al-Qur’an di Indonesia ini secara umum sama dengan yang digunakan oleh para mufassir lainnya yaitu: Metode Ijmali ( Global ), Metode Tahlily ( Analisis ), Metode Muqarin ( Komparatif ) dan Metode Mawdhu’i ( Tematik ), namun dengan ciri khas dan corak yang berbeda-beda. Banyak karya tafsir di Indonesia ini yang pernah di bukukan dan sudah dikenal luas di masyarakat antara lain, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Tafsir Qur’an, Tafsir Sinar, Tafsir Al-Bayan, Tafsir An-Nur, Tafsir Al-Azhar dan Al-Qur’an Bacaan Mulia. [1]
Semua karya tafsir yang pernah dihasilkan ini merupakan karya tafsir yang menjadi bahan rujukan ummat Islam khusunya di Indonesia yang mampu memberikan titik terang tentang isi kandungan al-Qur’an. Sehingga rasa ingin tahu masyarakat tentang karya tafsir ini pun semakin berkembang sebagai upaya untuk menambah keilmuan khususnya tentang al-Qur’an. Salah satu karya tafsir yang akan dijelaskan dalam makalah ini adalah tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Karya tafsir ini banyak dirujuk oleh para pengkaji al-Qur’an sebab karya tafsir ini bahasanya mudah dipahami, menyejukkan, penjelasannya mendetail dan mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena  Makalah ini akan membahas bagaimana Metode dan corak karya tafsir yang digunakan oleh Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar ?.  

B.                 PEMBAHASAN
1.                  Biografi Singkat Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar
Prof. Dr. Buya Malik Haji Abdul Karim Bin Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka lahir pada tanggal 16 Februari 1908 M bertepatan dengan tanggal 13 Muharram 1326 H, di sebuah desa yang bernama Tanah Sirah, dalam negeri Sungai Batang, terletak di tepi Sungai Maninjau. Sejak kecil beliau senang menyingkat namanya dengan AMKA (Abdul Karim Malik Abdullah) dan sejak tahun 1927 namanya disingkat menjadi Hamka dan nama inilah yang terkenal sampai dengan saat ini. [2]
Dalam perjalanan hidupnya Buya Hamka pernah dipenjarakan selama 2 tahun pada masa pemerintahan Soekarno sebagai Presiden dalam tuduhan pembrontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), semasa dipenjarakan Buya Hamka orang yang tidak tinggal diam dalam berkarya. Salah satu karya tebesarnya yang sampai dengan saat ini masih dikenal luas dalam masyarakat muslim adalah Tafsir Al-Azhar dibuat dalam 30 Jilid masing-masing berisi 1 Juz, dan karya tafsir ini merupakan hasil karyanya selama berada di dalam penjara. Setelah peralihan pemerintahan dari orde lama ke orde baru, akhirnya beliau bisa bernafas lega dengan dibebaskan dari dalam penjara. Setelah keluar dari penjara beliau kembali menyempurnakan karya tafsir Al-Azhar yang dibuatnya selama dalam masa tahanan. Dengan bebasnya beliau karya-karyanya semakin diterima dalam masyarakat dan pemikirannya pun semakin berkembang dengan hasil karya yang semakin gemilang.
Tafsir Al-Azhar yang merupakan hasil karya terbesar Buya Hamka namanya diambil dari salah satu Masjid Agung Kebayoran Baru yaitu ”Masjid Al-Azhar”. Beberapa hal penting yang memotivasi Hamka dalam menulis Tafsir Al-Azhar adalah (1) Adanya mufassir klasik yang sangat gigih atau ta’assub (fanatik), yang sering memaksakan kehendaknya kedalam mazhab yang dianutnya, walaupun sebenarnya penjelasan sebenarnya mengarah kepada mazhab lain; (2) Rasa ingin tahu umat muslim saat itu sangat tinggi untuk belajar agama; (3) Ingin meninggalkan sebuah pusaka berupa hasil karya pemikiran yang bermanfaat; (4) Membalas hutang budi atas penghargaan yang telah diberikan kepadanya (Gelar Doktor Honoris Causa).
Dalam proses penerbitan karya tafsir Al-Azhar ini dilakukan dalam 3 tahapan penerbitan pada masa pimpinan H. Mahmud sebagai penerbit pembimbing. Tahapan pertama diterbitkan dari juz 1 sampai dengan juz 4, tahapan kedua dari juz 15 sampai dengan juz 30 dan tahapan ketiga dari juz 5 sampai dengan juz 14, dengan penerbit yang berbeda-beda. [3]

2.                  Corak Karya Tafsir Al-Azhar
Adapun di Indonesia berdasarkan hasil pemetaan Islah Gusminan, bahwa corak atau nuansa karya-karya tafsir yang ada di Indonesia dari periode ke periode ada lima yaitu; Pertama, Corak Sastra Bahasa, Kedua, Corak Sosial kemasyarakatan, Ketiga, Corak Teologis, Keempat, Corak Sufistik dan Kelima, Corak Psikologis. [4] Kelima corak inilah yang digunakan secara umum oleh para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an di Indnesia, walaupun masing-masing mufassir memiliki ciri khas tertentu dalam penafsirannya.
 Buya Hamka yang merupakan salah satu mufassir Indonesia yang sangat terkenal ini setelah diamati melalui penafsiran yang dilakukannya terhadap tafsir Al-Azhar, ditinjau dari corak penafsirannya, lebih banyak mengutamakan tentang kehidupan sosial masyarakat dan mengatasi masalah yang timbul didalamnya. Sehingga sangat jelas terlihat bahwa beliau menggunakan corak penafsiran adab ijtima’i (sosial kemasyarakatan) [5].
Salah satu contoh penafsirannya yang berhubungan dengan masalah sosial kemasyarakatan terdapat dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 159 berikut ini:
ان الذ ين يكتمون ما انز لنا من البينت والهدى من بعد مابينه للناس فى اكتب.الئك يلعنهم الله ويلعنهم اللعنون.
Terjemahannya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah kami jelaskan kepada manusia dalam kitab, mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat [6].
Penafsiran yang dilakukan oleh Buya Hamka dalam ayat ini adalah sebagai berikut:
-                     Yang dimaksud dengan keterangan-keterangan dalam ayat ini adalah tentang sifat-sifat rasul akhir zaman yang akan diutus yaitu nabi Muhammad s.a.w. yang begitu jelas sifat-sifatnya diterangkan, sehingga mereka kenal sebagaimana anak mereka sendiri.
-                     Dengan menyebut keterangan-keterangan maka jelas terlihat bahwa penjelasan ini bukan dalam satu tempat saja dan bukan satu kali saja, melainkan diberbagai kesempatan.
-                     Dan yang dimaksud dengan petunjuk atau hudan adalah intisari ajaran Nabi Musa a.s. yang sama dengan intisari ajaran nabi Muhammad s.a.w. yaitu tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain dan tiada membuatnya patung dan berhala.
-                     Setelah kami jelaskan kepada manusia dalam kitab, maksudnya bahwa segala keterangan dan petunjuk itu jelas tertulis dalam dikitab taurat itu sendiri, dan sudah disampaikan kepada manusia, sehingga tidak dapat disembunyikan lagi.
-                     Mereka itu akan dilaknat Allah dan mereka pun akan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat, maksudnya adalah orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan itu, mereka yang tidak jujur, orang-orang yang curang, yang telah melakukan korupsi atas kebenaran, karena mempertahankan golongan sendiri. Orang yang semacam ini pantas dilaknat Allah dan manusia. Kecurangan terhadap ayat suci dalam kitab-kitab Tuhan , hanya semata-mata mempertahankan kedudukan, adalah satu kejahatan yang patut dilaknat. [7]
Penafsiran Buya Hamka dalam ayat ini menjelaskan tentang kondisi masyaraat yahudi yang hidup di zaman nabi Musa a.s. yang telah sengaja menyembunyikan berita tentang akan diutusnya nabi Muhammad sebagai nabi terakhir yang telah disebutkan dalam kitab mereka di zaman itu. Hal ini terjadi akbibat dari ketidakpercayaan mereka tentang berita ini. Sehingga sangat pantas bagi mereka untuk dalaknat oleh Allah dan manusia. Ayat yang ditafsirkan ini merupakaan celaan keras atas perbuatan curang terhadap sebuah kebenaran. Oleh sebab itu dalam menafsirkan suatu ayat jangan hanya sekedar menjuruskan perhatian pada sebab turunnya ayat saja.
Celaan ini bukan hanya bertujuan pada perbuatan pendeta yahudi dan nasrani yang sengaja menyembunyikan kebenaran, tetapi juga peringatan kepada kita semua umat Islam terutama kepada orang yang orang-orang yang ahli dalam penafsiran, agar jangan sekali-sekali menyembunyikan kebenaran tentang ayat Al-Qur’an dan Hadis, dalam hal ini kebenaran tentang amar ma’ruf, nahi munkar, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran yang merupakan kewajiban bagi setiap manusia.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Tafsir Al-Azhar menggunakan corak Adabi Ijtima’i. Sekalipun corak ini melakukan penafsiran mengenai aneka macam persoalan yang berhubungan dengan kandungan ayat yang ditafsirkan seperti; filsafat, teologi, hukum, tasawuf, dan sebagainya. Namun penafsirannya tidak keluar dari coraknya yang berusaha untuk menagatasi problem yang ada dalam kehidupan masyarakat dan memotifasinya untuk memperoleh kemajuan duniawi dan ukhrawi menurut petunjuk al-Qu’an.
Berdasarkan penafsiran diatas dapat dikemukakan bahwa sistematika penafsiran yang dilakukan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar adalah sebagai berikut:
1.      Ayat
Dalam menulis ayat dan terjemahannya, langkah pertama yang dilakukannya adalah mencantumkan terlebih dahulu nama surat dan terjemahannya, urutan surat, jumlah ayat dan terjemahannya.
2.      Terjemahan
Dalam menjelaskan terjemahannya biasanya beliau mengelompokkan beberapa ayat dan masing-masing terjemahannya, kemudian memberi pendahuluan yang isinya menjelaskan tentang alasan penamaan surat, menyebutkan jumlah ayat, sedikit menjelaskan sejarah yang mencakup tentang ayat tersebut dan penjelasan tentang inti sarinya.
3.      Munasabah
Sebelum menjelaskan tentang munasabah biasanya beliau memberi judul tentang pemabahasan ayat yang akan ditafsirkan, namun ada juga yang tidak. Setelah itu ia mengungkapkan munasabah [8] ayat. 
4.      Tafsir Ayat/Kosa Kata
Dalam sistematika yang keempat ini beliau mencantumkan ayat yang akan ditafsirkan diikuti dengan penjelasan, yang kemudian menjelaskan kosa kata yang penting dalam ayat tersebut, sebab terkadang kosa kata inilah yang banyak yang menjadi multi tafsir sehingga hal ini menjadi bagian penting.
5.      Asbab Al Nuzul
Asbab Al-Nuzul ini termasuk hal yang penting dalam penafsiran sebuah ayat walaupun sebenarnya dalam model penafsiran yang dilakukan Buya Hamka hal itu tidak terlalu berpengaruh, tetapi penting untuk dikemukakan sebagai bukti kuat dalam penafsiran ayat. Asbab Al Nuzul akan dikemukakan dalam bagian penafsiran ayat apabila ada Asbab Al Nuzul yang kemudian akan diperkuat lagi dengan hadis bila ada.
6.      Kandungan Ayat/Kesimpulan  
Kandungan ayat/kesimpulan ini merupakan bagian akhir dari sistematika penafsiran Buya Hamka, dengan menjelaskan kandungan ayat atau kesimpulan ayat tersebut, jika ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan lagi dalam sebuah kesimpulan. Dalam hal ini tidak selamanya beliau lakukan sebab tidak semua ayat yang beliau tafsirkan mencantumkan sebuah kesimpulan akhir.
3.                  Metodologi Penafsiran dalam Tafsir Al-Azhar
Jika diperhatikan penafsiran Buya Hamka dalam kitabnya Tafsir Al-Azhar, ditinjau dari segi sumber atau bentuk/manhaj tafsir, maka ia merupakan perpaduan antara tafsir bi al-Ma’tsur [9] dan bi al-Ra’yi [10]. Hal ini terlihat ketika beliau menafsirkan Q.S Al-Baqarah [2]:158:
ان الصفا و المروة من شعا ئر الله
Terjemahannya:
Sesungguhnya Safa dan Marwah itu merupakan sebagian syiar (Agama) Allah. [11]
Menurut Syaikh Muhammad Abduh ayat ini masih urutan dari masalah peralihan arah kiblat, meskipun pada penafsiran lain seakan-akan telah terpisah. Menyebutkan dari hal sa’i diantara safa dan marwah setelah memperingatkan menyuruh sabar dan shalat, guna menerima segala penyempurnaan nikmat tuhan kelak, dan supaya tahan menderita atas segala cobaan. Maka dengan ayat ini dibayangkan pengharapan, bahwa akan dating masanya mereka akan berkeliling diantara bukit safa dan marwah. Betapapun kesulitan yang dihadapi tetapi pengharapan itu harus selalu dibayangkan.
Selanjutnya beliau menjelaskan tentang syi’ar bentuk jamak dari sya’air, maka sya’airallah artinya tanda-tanda peribadatan kepada Allah yang mencakup seluruh aspek peribadatan misalnya ibadah haji yang banyak terdapat syiar didalamnya. Lebih lanjut ia menjelaskan tentang syiar sa’i yang menurut hadis Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas, bahwa sa’i  merupakan kenangan terhadap Hajar istri nabi Ibrahim yang ketika itu Ismail yang dikandungnya telah lahir, sementara ia ditinggal seorang diri oleh Ibrahim yang sedang melanjutkan perjalanannya ke syam, yang kemudian air persediaannya telah habis sehingga menyebabkan air susunya nyaris kering sedang taka da sumur ditempat itu untuk mengambil air. Anaknya Ismail pun menangis kehausan hingga hampir parau suaranya. Maka dengan harapan yang cemas Hajar setengah berlari diantar dua bukit safa dan marwah sebanyak 7 kali pergi dan balik dan tiba-tiba kedengaran olehnya suara sementara burung beterbangan yang pada saat itu juga terdengar suara Ismail yang menangis, setelah 7 kali itu diapun kembali ketempat Ismail. Maka dilihatnya malaikat yang sedang menggali-gali tanah diujung kaki anaknya maka keluarlah air dengan cemas dipelukah air dan dia berkata zam! zam! yang artinya berkumpullah-berkumpullah. (Al-Bukhari, 1993, II: 206, Hadis ke 1643) [12]
Penafsiran Buya Hamka diatas ini jelas mengindikasikan perpaduan antara tafsir bi al-ra’yi dan bi al-ma’tsur, diaman ia menjelaskannya dengan munasabah ayat dengan mengutip Muhammad Abduh. Kemudian menjelaskan kosa kata syi’ar secara rasional, setelah itu menjelaskan dengan hadis nabi. Akan tetapi penafsirannya lebih dominan dengan menggunakan tafsir bi al-ra’yi sehingga Tafsir Al-Azhar Baidan mengkasifikasikannya sebagai tafsir yang menggunakan bentuk ra’yi “pemikiran”. (Baidan, 2003:106)
Mencermati penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, yang menjelaskan ayat al-Qur’an secara analitis dengan mengikuti urutan ayat dalam al-Qur’an, sehingga dapat disimpulkan bahwa metode yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat adalah dengan menggunakan metode Tahlili [13]. Hal ini nampak terlihat dalam salah satu penafsirannya dalam Q.S Al-Thariq [86]:11 sebagai berikut:
والسماء ذاتالرجع
Terjemahannya:
Demi langit yang menurunkan hujan[14]
Dalam ayat ini Buya Hamka menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan langit ini tentulah yang diatas kita. Sedangkan yang didalam mulut bagian atas kita namai langit-langit dan tabir sutera warna-warni yang dipasang diatas singgasana raja atau diatas pelaminan dinamai langit-langit juga, sehingga yang dimaksud dengan langit disini dipakai untuk yang diatas. Terkadang juga dilambangkan sebagai ketinggian dan kemuliaan dan kemuliaan tuhan, lalu kita tadahkan tangan ke langit ketika berdoa. Maka dari langit itulah turunnya hujan. Langitlah yang menyimpan air, menyediakannya lalu menurunkannya menurut jangka waktu. Sedangkan raj’i disini diartikan sebagai hujan oleh sebab hujan itu memang air dari bumi juga [15].
Melihat penafsiran ayat ini Baidan berkomentar bahwa Buya Hamka menggunakan metode analitis sehingga peluang untuk memaparkan tafsir yang rinci dan memadai menjadi lebih besar. Dengan demikian jelas bahwa Tafsir Al-Azhar  yang merupakan hasil karya dari Buya Hamka menggunakan metode Tahlili dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.

C.                KESIMPULAN
1.        Tafsir Al-Azhar merupakan karya tafsir Indonesia, yang disusun oleh seorang yang bernama Prof. Dr. Buya Malik Haji Abdul Karim Bin Abdul Karim Amrullah (Buya Hamka). Yang ditulis kurang lebih 6 Tahun, 2 Tahun ditulisnya dalam penjara dan sisanya diselesaikan ketika sudah bebas dari penjara, yang berjumlah 30 jilid masing-masing jilid 1 juz.
2.        Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka merupakan karya tafsir yang memiliki corak Adab Al-Ijtima’i.
3.        Tafsir Al-Azhar ini selanjutnya merupakan karya tafsir yang menggunakan metode tahlili dan munggunakan manhaj al-ra’yi.













DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Hafiz, Ulumul Qur’an Praktis. Idea Pustaka Utama, Bogor, Cet.I, 2003
Az-zahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Maktabah Wahbah, Jilid I, Cet. 7
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir. Pustaka Progresif, Yogyakarta, Cet. 16. 1997
Baidan, Nasrudin. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, Cet. I. Solo, P.T Tiga Serangkai. 2003
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 2 dan Juz 30, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005
Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan 1996
Jurnal Hunafa,Vol. 6, No.3, 2009
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009
Muhammad Bin Mukram Bin Manzhur Al-Fariqy, Lisan Al-Arab, Dar Shadir, Jilid V, 1412
Shihab, M. Quraish.dkk.  Sejarah Dan Ulumul Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus, Cet. 4, 2008.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta, Penerbit Djambatan, 1992
Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan 1996


[1] Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan, 1996
[2] Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan, 1996
[3] Jurnal Hunafa,Vol. 6, No.3, STAIN Datokrama, Palu, 2009
[4] Muhammad Bin Mukram Bin Manzhur Al-Fariqy, Lisan Al-Arab, Dar Shadir, Jilid V, 1412
[5] Adab Ijtima’i adalah corak tafsir yang menerangkan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur;an yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat dan berupaya untuk menanggulangi masalah-masalah mereka dengan petunjuk-petunjuknya.
[6] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009.
[7] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 2, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005
[8] Secara terminologis Munasabah menurut Imam Zarkasyi memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum, dengan lafal-lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat, dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).
[9] Tafsir bi al-Ma’tsur secara terminologi adalah tafsir yang berpegang pada riwayat yang shahih, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan sunnah sebagai penjelas terhadap kitabullah, atau dengan perkataan para sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan tokoh-tokoh besar tabi’iyn karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat. (Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis, Bogor, CV. Idea Pustaka Utama, Cet. I. 2003)
[10] Tafsir bi al-Ra’yi menurut istilah adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Yang disebut juga dengan al-tafsir bi al-ijtihadi, yaitu penafsiran dengan menggunakan ijtihad karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. (Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis, Bogor, CV. Idea Pustaka Utama, Cet. I. 2003)
[11] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009.
[12] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 2, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005
[13] Tahlili berasal dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti mengurai, menganalisis. Jadi Metode Tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat didalam al-Qur’an Mushaf Utsmani.  (Shihab, M. Quraish.dkk.  Sejarah Dan Ulumul Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus, Cet. 4, 2008)
[14] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009.
[15] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 30, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005

ISLAM GORONTALO: TRADISI MAULID NABI DI GORONTALO



"TRADISI MAULID NABI DI GORONTALO"

Tradisi Maulid Nabi Di Gorontalo
A.  PENDAHULUAN
Sejak tersebarnya Islam di seluruh penjuru dunia, berbagai negara yang sebagian besar masyarakatnya menganut agama Islam masing-masing menunjukkan sisi keislamannya dengan budaya masing-masing negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia pun menunjukan hal yang sama, dimana Islam sangat berkembang pesat dengan penyesuaian tradisi dan budaya setempat yang sangat melekat. Inilah hal yang membedakan antara Islam di Indonesia dengan Islam yang ada di negara-negara lainnya, berbagai macam aliran ajaran Islam berkembang disini termasuk aliran sesat pun semakin berkembang, Masing-masing menunjukan bahwa ajarannya yang paling benar, bahkan tidak sedikit ajaran Islam yang memasukkan unsur budaya dan adat yang berkembang di masing-masing daerah. Walaupun ini terlihat berbeda dari ajaran Islam yang ada di Arab sebagai tempat turunnya wahyu dan ajaran Islam, namun hal inilah yang justru menambah keberagaman ajaran Islam di Indonesia bahkan menjadi tempat wisata yang di incar oleh para wisatawan.
Memasukkan unsur budaya dalam ajaran Islam memang bukanlah sesuatu hal yang baru di dunia Islam, berbagai negara Islam lainnya pun melakukan hal yang sama, tidak hanya di Indonesia. Dalam perkembangannya budaya dan agama memang merupakan dua sisi yang berbeda, agama merupakan sesuatu keyakinan setiap insan manusia dan sebagai identitas diri penganutnya yang diyakini dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan ketentuan mutlak yang sudah di atur oleh yang maha kuasa. Sementara kalau budaya adalah sesuatu keyakinan sekelompok masyarakat yang berkembang diterapkan dan dilaksanakan oleh kelompok masyarakat yang mempercayainya tanpa ada aturan tertulis yang sudah menjadi kebiasaan. Sehingga antara agama dan budaya merupakan dua sisi yang berbeda.
Hal yang sama juga digambarkan oleh KH Abdurrahman Wahid dalam paradigma kultural yang digagasnya, bahwa Islam pada dasarnya merupakan ajaran yang bermuatan hukum (religion of law) yang diturunkan oleh Allah SWT saw untuk dilaksanakan tanpa terkecuali dan tanpa direduksi sedikitpun. Karakter dasar ajaran agama Islam ini menandakan serba normatif dan orientasinya juga serba legal formalistik. Dalam artian bahwa hukum-hukum Islam harus dilaksanakan secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa pada semua level tanpa adanya perbaikan atau penafsiran ulang.[1] Islam sebagai agama yang bersumberkan wahyu sehingga ia memiliki norma-norma hukum tersendiri. Ia bersifat normatif, sehingga cenderung bersifat permanen. Sementara itu budaya adalah buatan manusia yang memiliki kecenderungan relatif dan berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi umat. [2]
Dalam kelompok masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam kebudayaan yang masing-masing berbeda dalam suatu daerah, menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan bagian terpenting dalam perkembangan Islam di negara ini. Islam ditempatkan sebagai agama yang paling mulia sementara budaya memberikan warna tersendiri dalam perkembangan Islam. Pembauran antara agama dan budaya di masing-masing daerah di Indonesia menjadi salah satu corak agama Islam di negara ini yang mudah untuk dikenali dan dijumpai dalam masyarakatnya.
Salah satu daerah yang juga merupakan daerah yang masih sangat menjaga nilai-nilai kebudayaan dan adat istiadat di negara ini adalah Gorontalo, yang banyak mempadupadankan antara budaya dan agama. Banyak hal yang bisa kita saksikan dalam pembauran antara Islam dan budaya di Gorontalo ini misalnya pelaksanaan adat pernikahan, pemakaman, penyelenggaraan adat tamu kehormatan, penyelenggaraan adat kepala daerah atau pejabat yang baru, tradisi tujuh bulanan, aqikah, Isra mi’raj, maulid nabi dan masih banyak lagi, yang semua dilaksanakan dengan adat yang sudah membudaya di masyarakat kita.
Hal ini sesuai dengan falsafah adat dan sumber hukum adat masyarakat Gorontalo: “Adati hulahulaa to syaraa, syaraa hulahulaa to Quruani”. Menurut S.R Nur (dalam Amin, 2012:18) prinsip ini ditetapkan pada masa Sultan Eato (1673-1679). Ditegaskan lebih lanjut oleh Amin (2012:15) Gorontalo sebagai “daerah contoh” yang berhasil menjadikan agama Islam sebagai identitas utama dari bangunan budaya dan perkembangan masyarakatnya.
Salah satu yang paling dikenal dan sudah menjadi budaya di masyarakat Gorontalo bahkan sudah dikenal luas sampai ke manca negara adalah pelaksanaan tradisi maulid nabi, yang terlihat mewah, berlebihan dan bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak diajarkan oleh nabi Muhammad saw, Oleh sekelompok masyarakat yang tidak melaksanakannya. Hal inilah yang sebenarnya harus menjadi perhatian kita bersama, jangan sampai sebuah tradisi justru akan merusak norma-norma agama yang kita anut. Maka sangat penting untuk kita membahas masalah ini dengan melihat berbagai aspek kehidupan masyarakat Gorontalo dari sisi kebudayaannya.

B.        Tradisi Maulid Nabi Dalam Ritual Adat Islam Gorontalo
Pelaksanaan tradisi maulid nabi yang dilaksanakan secara adat dan budaya Gorontalo menjadi daya tarik tersendiri dalam perkembangannya. Proses pelaksanaannya ini merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan mempunyai nilai tinggi, antara suku dan daerah-daerah lainnya yang melaksanakan menurut adat masing-masing daerah dengan ciri khas tersendiri yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang yang juga dijadikan sebagai landasan hidup. Pelaksanaan maulid nabi secara tradisional seperti yang dilaksanakan di Gorontalo pada dasarnya memang tidak ada anjurannya dalam Islam tetapi untuk memperingati maulid nabi itu secara umum memang sudah dilaksanakan sejak dulu.
Al Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah-Al Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi-mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Ism’iliyyah Rafidhiyyah. Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaizh Wal I‘tibar 1/490. Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang  menilai, bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu maulid Nabi , maulid Imam Ali, maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra, maulid Al-Hasan dan Al-Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa. Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang.
Tradisi walima adalah tradisi tua semasa kerajaan-kerajaan Islam ada, yang dilaksanakan turun temurun antar generasi. Diperkirakan mulai ada sejak Gorontalo mengenal Islam pada abad ke 18. Walimah adalah tradisi lama yang hingga kini masih dijaga dan dipelihara dengan baik. Tanpa diperintah, setiap masjid diseluruh Gorontalo melaksanakan tradisi ini, dan masyarakatnya menyiapkan kue-kue tradisional seperti kolombengi, curuti, buludeli, wapili, tutulu, pisangi dan lain-lain. Sejak tahun 1673 Gorontalo menetapkan semboyan adat bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, sejak itu tradisi walimah mulai ramai dilaksanakan. [3]Bottom of Form
Dalam pelaksanaannya maulid nabi Muhammad s.a.w., bertujuan untuk mengingat hari kelahiran nabi Muhammad s.a.w., mengingat jasa-jasa beliau yang telah menyebarkan agama Islam ke seluruh dunia  termasuk kepada kita, dan juga mengingat pada sifat-sifatnya yang luhur budi, penyabar, rendah hati dan lain-lain. Sikapnya yang tegas menyebarkan dakwah Islam patut kita teladani. Dalam memperingati maulid nabi ini harapannya bukan hanya sekedar mengingat saja kemudian kembali dilupakan setelah ritualnya selesai, namun harus mampu di terapkan dalam kehidupan sehari-hari dan ditanamkan dalam diri setiap manusia.
Perayaan maulid nabi yang dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, hampir seluruh masyarakat muslim di dunia melaksanakannya dengan tradisi dan perayaan yang berbeda-beda. Tak terkecuali masyarakat Gorontalo yang setiap tahunnya melaksanakan peringatan maulid nabi di masjid-masjid yang dilaksanakan secara adat dan tradisi masyarakat setempat. Walaupun begitu tidak semua masjid yang melaksanakannya dengan cara adat dan tradisi Gorontalo, ada juga sebagian masjid yang melaksanakannya tetapi tidak menggunakan unsur perayaan tradisional. Perayaan hari-hari besar Islam di Gorontalo lainnya juga dengan menggunakan unsur tradisional didalamnya seperti pelaksanaan Isra’ Mi’raj dan 10 Muharam, namun yang paling meriah dan yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya adalah perayaan maulid nabi Muhammad s.a.w. bahkan perayaannya ini sudah menjadi salah satu tempat wisata religi yang ada di Gorontalo dan sudah banyak dikenal luas seperti di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai yang sangat khas dengan unsur tradisional pelaksanaan maulid nabi dengan pelaksanaan yang sangat meriah, mewah dan terkesan berlebihan.
Pada dasarnya setiap pelaksanaan ritual yang berlebihan itu dianggap sebagai bid’ah, bagi yang tidak melaksanakan maulid nabi di Gorontalo sebagian menganggap bahwa ini adalah ritual yang berlebihan, walaupun sebenarnya ini adalah bagian dari mengagungkan nabi sebagai makhluk istimewa ciptaan Allah, namun hal ini juga tidak dibenarkan dilaksanakan dengan cara yang berlebihan. Ada orang yang melakukan bid’ah dalam agama Allah yang berkenaan dengan pribadi Rasulullah s.a.w. yang dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah yang paling mencintai Rasulullah, dan yang mengagungkan beliau, barang siapa yang tidak berbuat sama seperti mereka, maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah s.a.w. atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya, yang biasa mereka pergunakan orang yang menolak bid’ah mereka. [4]
Tuduhan bahwa setiap pelaksanaan yang berlebihan itu adalah bid’ah karena tidak ada dasar pelaksanaannya dan tidak pernah diajarkan oleh nabi, sebenarnya bisa dibantah dengan argumen yang juga masuk akal dan dengan menunjukan pelaksanaan yang baik dan terarah sehingga terhindar dari perkara bid’ah. Hal ini memungkinkan orang untuk beranggapan semacam itu karena bisa jadi belum mengenal apa yang ada didalamnya, sehingga penting bagi kita untuk mengenal lebih jauh pelaksanaan maulid nabi ini agar terhindar dari perkara bid’ah. Yang paling penting dalam setiap pelaksanaan ritual tradisi daerah itu harus memahaminya dan ikhlas dalam pelaksanaanya tanpa paksaan juga tanpa membebani masyarakat.
Perayaan maulid nabi di masjid-masjid yang ada di Gorontalo tidak lepas dari berbagai macam persiapan yang dilakukan oleh masyarakat yang melaksanakannya, diantara persiapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Penentuan Hari Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan maulid nabi, sebenarnya sudah ditentukan hari dan tanggal untuk pelaksanaannya di kalender masehi yaitu pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal karena pada tanggal tersebut merupakan hari kelahiran nabi. Namun oleh masyarakat Gorontalo tanggal 12 Rabi’ul Awwal ini merupakan awal atau tanda dimulainya pelaksanaan maulid nabi di masjid-masjid, biasanya pada tanggal ini selalu dilaksanakan oleh masjid-masjid besar yang ada di pusat Kabupaten/Kota sebagai masjid daerah atau masjid yang ada di pusat kecamatan sebagai masjid kecamatan, yang kemudian di hari-hari berikutnya dilaksanakan oleh semua masjid-masjid yang sudah menentukan hari pelaksanaannya. Penentuan hari pelaksanaan maulid nabi di masjid-masjid di Gorontalo biasanya itu melalui hasil rapat takmirul masjid dengan jama’ah masjid dan diputuskan secara bersama, dengan pertimbangan kesiapan masyarakat terutama dalam hal biaya dan kesiapan masjid sebagai pelaksana.
2.      Biaya
Dalam hal biaya pelaksanaan maulid nabi, segala bentuk biaya yang terjadi saat pelaksanaannya semua dibebankan kepada masyarakat, tanpa menggunakan dana pembangunan masjid. Maka dari itu kesiapan pelaksanaan dari masyarakat memang sangat diharapkan. Biaya yang sangat membebani sebenarnya ada pada biaya sadakah/sedekah kepada orang yang berzikir/dikili, apalagi jumlah para pezikir itu kalau banyak maka biayanya pun semakin banyak, biasanya di masjid-masjid kecil saja bisa mencapai Rp. 5.000.000 dengan prediksi sekitar 50 orang peserta, apalagi di masjid-masjid besar yang jumlahnya lebih dari itu maka biayanya pun akan semakin besar. Kemudian yang membutuhkan biaya besar juga di proses pembuatan walimah/toyopo yang saat ini rata-rata paling rendahnya membutuhkan dana sebesar Rp. 300.000/Walimah dan Rp. 150.000/Toyopo, sehingga dalam kenyataannya tidak semua masyarakat mampu untuk mengadakannya, hanya orang-orang yang mampu dan mempunyai keinginan saja yang bisa mengadakannya.
3.      Walimah/Toyopo
Walima dalam bahasa Arab, berasal dari kata “aulim” yang diartikan oleh bahasa Persia “Kanduri” dalam bahasa Indonesia “Kenduri” yang artinya adalah pesta makan setelah berdoa kepada Allah SWT (Hinta, 2011:230). Lebih lanjut Hinta (2011) memaparkan kata Al-walimah memiliki kata dasar ‘al-walmu–al-walam’, artinya tali pengikat atau pelana kuda’. Sehingga walima bisa diartikan sebagai perjamuan atau hidangan yang dihidangkan kepada para tamu atau undangan (pezikir dan pejabat) oleh tuan rumah (masyarakat Desa Bongo). Dengan tujuan untuk memperkuat tali persaudaraan antar sesama.[5]Bottom of Form Dalam masyarakat Gorontalo lebih dikenal sebagai “tolangga” wadah atau tempat yang berisi kue basah atau kue kering yang diarak ke masjid untuk di doakan dengan harapan mendapatkan keberkahannya, walimah ini dibuat dan dikreasikan oleh masyarakat dengan bentuk yang unik dan hiasan yang meriah. Sementara kalau toyopo merupakan bahasa Gorontalo yang awalnya disepakati dengan nama lilingo yang artinya bulat terbuat dari daun kelapa yang masih muda atau janur, kemudian lebih dikenal dengan sebutan toyopo yang saat ini mulai berubah menjadi loyang plastik karena semakin sulit mendapatkan janur atau daun kelapa muda. Toyopo ini digunakan untuk mengisi makanan berupa nasi kuning, pisang, dodol, telur, ayam goreng, kue cucur dan kue basah lainnya khas Gorontalo. Bottom of
4.      Tunuhio
Dalam bahasa Indonesia Tunuhio adalah yang diikutkan atau bersamaan, ini adalah sejumlah uang yang diantarkan bersamaan dengan walimah atau toyopo sesuai kemampuan dan keikhlasan dari pemilik walimah atau toyopo, uang ini diberikan kepada panitia penyelenggara di masjid dan semua yang terkumpul akan dibagikan kepada para pezikir yang hadir pada saat itu.  
5.      Dikili/Zikir
Dikili kalau diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah zikir yang biasanya dilaksanakan pada setiap maulid nabi dan pada saat perayaan 10 Muharram. Bedanya kalau dalam perayaan 10 Muharram waktunya lebih singkat atau setengah dari zikir yang dilaksanakan di maulid nabi, sementara kalau zikir di maulid nabi lebih panjang dan dilaksanakan semalam suntuk dan dilanjutkan sampai pagi hari menjelang siang. Isi dari zikir pada umumnya merupakan puji-pujian kepada baginda nabi Muhammad s.a.w., sholawat dan cerita perjalan nabi. Zikir ini dilaksanakan oleh para pezikir yang datang dari berbagai tempat di Gorontalo yang biasanya datang dengan suka rela tanpa di undang.  
Dari lima hal yang merupakan proses persiapan dari pelaksanaan maulid nabi di Gorontalo ini, semuanya sudah biasa dilakukan oleh sebagain besar masyarakat Gorontalo yang melaksanakannya. Fenomena pelaksanaan maulid nabi ini kalau dilihat sebenarnya sangat membebani masyarakat tetapi karena antusias dari masyarakat dan keihkalasannya maka beban itu tidak terlalu dirasakan, karena tujuannya untuk mendapatkan keberkahan. Namun, ada beban terendiri terhadap panitia atau pengurus masjid sebagai pelaksana di dalam pelaksanannya terutama ketersediaan biaya yang tidak bisa diprediksi berapa banyaknya, begitu juga dengan jumlah para pezikir yang belum bisa diprediksi banyaknya, sementara para pezikir yang datang itu pada kenyataannya itu bukanlah orang-orang yang di undang tetapi datang dengan suka rela. Sehingga banyak masjid yang sepakat dan kompak untuk melaksanakannya pada hari yang sama untuk menghindari membludaknya para pezikir.
Dalam pelaksanaanya banyak hal yang perlu dicermati dengan baik oleh masyarakat yang bisa jadi akan merusak kesakralan suasana keislaman pelaksanaan maulid nabi ini, tujuannya baik tapi pelaksanaannya melupakan ibadah yang ada di dalamnya. Seperti para pezikir sebagian besar yang tidak sholat subuh padahal kegiatannya melewati sholat shubuh, ada juga para pezikir laki-laki yang sudah minum minuman yang terlarang padahal berada di dalam masjid dengan kondisi sedang berzikir alasannya untuk mempertahankan stamina, kemudian dari masyarakatnya banyak yang tidak mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan lewat zikir tersebut karena dalam kondisi yang sedang tidur sehingga zikir berlalu begitu saja, dan yang terakhir adalah isi dari walimah dan toyopo yang kebanyakan menjadi mubadzir. Sehingga apa yang dilaksanakan di Gorontalo ini awalnya mengharapkan keberkahan tetapi pada akhirnya keberkahannya hilang kalau semua itu terjadi.
C.  Makna dan Berkah Pelaksanaan Tradisi Maulid Nabi Di Gorontalo
Kondisi masyarakat gorontalo yang masih mempercayai tradisi sebagai salah satu bentuk kemajemukan masyarakat, semakin menunjukan bahwa masyarakat kita masih cukup terbuka dalam menerima setiap perbedaan yang ada terutama dalam hal kebudayaan. Bagi yang mempercayai tradisi pelaksanaan maulid nabi sebagian besar karena alasan melanjutkan tradisi yang sudah ada sejak dulu, sedangkan yang tidak melaksanakan menganggap pelaksanaan ini tidak diajarkan dalam Islam. Itulah realita yang terjadi dalam masyarakat kita, sehingga masyarakat Gorontalo semakin mantap untuk mewujudkan masyarakat Madani, yaitu masyarakat yang berbudaya, maju dan modern, Setiap warga mengetahui hak-hak dan kewajibannya terhadap negara, bangsa dan agama serta terhadap sesama, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.[6]Bottom of Form Termasuk dalam pelaksanaan prosesi tradisi maulid nabi sebagai wujud pelestarisan budaya daerah dengan melibatkan masyarakat banyak didalamnya, semakin berkembang dan bertransformasi menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Setiap pelaksanaan prosesi adat di semua daerah itu baik adat yang murni maupun adat yang ada unsur keagamaan didalamnya, termasuk pelaksanaan maulid nabi di Gorontalo sebenarnya mempunyai tujuan yang baik dan mengharapkan keberkahan didalamnya, terutama keberkahan umur, keberkahan rezeki dan keberkahan kesehatan keluarga. Namun harapan keberkahan dan tujuan yang baik didalamnya harus dibarengi dengan pelaksanaan yang baik pula agar tujuannya dapat tercapai.
Makna peringatan mauled nabi di Gorontalo kalau dilihat fenomena yang ada saat ini adalah:
1.      Menyegarkan kembali ingatan kita akan ajaran Nabi dan kita harus siap untuk melaksanakannya. Memperingati hari lahir tidak boleh hanya sebagai kegiatan ritual semata. Tapi harus diaplikasikan atau diwujudkan dalam aktivitas nyata kita di kehidupan sehari-hari.
2.      Kebersamaan dan gotong royong, semangat gotong royong dan kebersamaan di dalam masyarakat kita saat ini memang sudah mulai pudar oleh berkembangnya zaman, sehingga yang mampu mempersatukan masyarakat di zaman saat ini hanyalah kegiatan yang melibatkan banyak masyarakat, seperti pelaksanaan maulid nabi yang melibatkan banyak orang didalamnya sehingga suasana kebersamaan dan gotong royong akan tetap selalu terjaga.
3.      Keberkahan dan doa, pelaksanaan maulid nabi yang begitu meriah di Gotontalo ini, juga mengharapkan makna keberkahan lewat doa atau zikir yang disampaikan pada saat pelaksanannya. 
Ketiga makna besar yang diungkapkan ini memeng merupakan makna yang cukup dirasakan oleh masyarakat yang melaksnakannya. Tetapi pertnyaannya apakah makna yang terkandung didalam pelaksanaannya ini mampu merubah kondisi masyarakat kita. Pada kenyataannya sesuai dengan pengalaman dan hasil pengamatan dilingkungan masyarakat masih belum mampu merubah, hal ini dapat dilihat dari pelaksanaannya yang bermakna untuk mengingat kembali jasa-jasa nabi dalam menyebarkan agama Islam dan mengingat hari kelahiran nabi ini belum mampu diterapkan dalam kehidupan nyata. Pada saat pelaksanannya masyarakat justru lebih terbayang dan teringat pada tradisinya bukan pada maknanya, sehingga orang lebih mengenal walimah, toyopo, dikili, kolombengi dan desa Bongo sebagai desa yang melaksanakannya dengan meriah, bukan mengingat jasa-jasa nabi atau kelahiran nabi, bahkan kalau diamati pada saat pelaksanaannya orang-orang lebih memperhatiakan walimah yang disediakan dibandingkan zikir yang sementara disampaikan.
Sementara dalam hal gotong-royong dan kebersamaan yang merupakan makna yang bisa kita aplikasikan kedalam kehidupan setelahnya, hanya mampu bertahan pada saat persiapan dan pelaksanaannya saja, setelah itu kehidupan kembali normal seperti sebelumnya, Masjid yang ramai pada saat persiapan dan pelaksanaan kembali sepi bahkan ada masjid yang ditinggalkan dalam keadaan kotor dan semua kembali pada aktifitasnya sehari-hari. Kemudian dalam hal keberkahan dan doa yang merupakan tujuan dan harapan dari masyarakat yang melaksanakannya agar setelah pelaksanaan ini ada limpahan berkah dan rezeki, namun semua itu harus diikuti dengan keihlasan dan keteraturan dalam pelaksanannya, yang paling penting adalah tidak melewati batasan-batasan norma agama Islam agar segala doa yang disampaikan dan segala bentuk persiapan yang dilakukan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit ini akan mendapatkan keberkahan.
Makna dari tradisi maulid nabi ini harus kita sikapi dengan bijak, baik yang melaksanakannya maupun yang tidak melaksanakannya, walaupun ini sudah menjadi tradisi di masyarakat kita tetapi tidak semua melaksanakannya, sehingga kita wajib saling menghormati. Yang terpenting dalam pelaksanaan tradisi semacam ini adalah jangan sampai melupakan ibadah wajib yang sudah menjadi kewajiban mutlak bagi setiap pemeluk Islam dan jangan melanggar norma-norma agama. Islam sudah memberikan keleluasaan dalam hal ibadah tetapi jangan sampai memasukkan unsur yang menjadi larangan dalam beribadah ataupun ritual yang menjadi tradisi. Sementara untuk berkah dalam pelaksanaan maulid nabi sebenarnya ada yang langsung merasakannya ada juga yang tidak merasakannya sama sekali, semua tergantung niatnya dan tergantung keikhlasannya.




















C.      KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
  1. Dari lima hal yang merupakan proses persiapan dari pelaksanaan maulid nabi di Gorontalo ini, semuanya sudah biasa dilakukan oleh sebagain besar masyarakat Gorontalo yang melaksanakannya. Fenomena pelaksanaan maulid nabi ini kalau dilihat sebenarnya sangat membebani masyarakat tetapi karena antusias dari masyarakat dan keihkalasannya maka beban itu tidak terlalu dirasakan, karena tujuannya untuk mendapatkan keberkahan. Namun, ada beban tersendiri terhadap panitia atau pengurus masjid sebagai pelaksana di dalam pelaksanannya terutama ketersediaan biaya yang tidak bisa diprediksi berapa banyaknya, begitu juga dengan jumlah para pezikir yang belum bisa diprediksi banyaknya, sementara para pezikir yang datang itu pada kenyataannya itu bukanlah orang-orang yang di undang tetapi datang dengan suka rela. Sehingga banyak masjid yang sepakat dan kompak untuk melaksanakannya pada hari yang sama untuk menghindari membludaknya para pezikir.
  2. Pelaksanaan tradisi maulid nabi di Gorontalo ini pada dasarnya memiliki tujuan yang baik, Sementara untuk maknanya ada tiga yang diharapkan dalam pelaksanaannya yaitu, mengingat hari kelahiran nabi dan menyegarkan kembali ingatan kita atas perjuangan dan ajaran beliau dalam penyebaran ajaran Islam, makna gotong royong dan kebersamaan dan makna keberkahan atau doa. Yang semua ini dapat diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. 
                                                                                                                                  By, Jusuf A. Lakoro


[1] Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta: Desantara, 2001), hlm. 93.
[2] Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara...., hlm. 109.
[3] http://yenzay90.blogspot.com/2013/01/tradisi-walimah-maulidnabi-di-gorontalo.html
[4] Syekh Muhammad Bin Shaleh Al-Utsman, Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah, Departemen Agama, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan. Kerajaan Saudi Arabia, 2009.  
[5] Muhrizal H. Rahman, Jurnal: Tradisi Walimah (Suatu Studi Etnografi di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo), Universitas Gorontalo (UNG), Gorontalo, 2013.
[6] Masykur Hakim dan Tanu Wijaya, Model Masyarakat Madani, Intimedia Cipta Nusantara, Jakarta, Cet. I, 2003.