Selasa, 02 Mei 2017

Kajian Antropologis Tradisi Adat Modutu



PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
“AJARAN PERKAWINAN DENGAN TRADISI MODUTU (ANTAR HARTA)”

Tradisi Tolobalango


A.      PENDAHULUAN

Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan budaya, maka hampir setiap ritual keagamaan pun dilaksanakan dengan memasukkan unsur kebudayaan didalamnya, seperti pelaksanakan ritual kematian, pelaksanaan hari besar Islam, pelaksanaan perkawinan dan lain sebagainya. Salah satu yang paling banyak menarik perhatian umum dalam pelaksanaan ritual keagamaan di Indonesia adalah pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan adat daerah yang dipercayai oleh masyarakat daerah tersebut. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang ingin membina rumah tangga yang bahagia dan kekal abadi sampai maut memisahkan. Dalam masyarakat Indonesia pada umunya memang perkawinan merupakan ritual keagamaan yang sering dilaksanakan dengan menggunakan adat masing-masing daerah.
Perkawinan adalah upaya yang dilakukan oleh sepasang mahluk hidup berlawanan jenis untuk memperoleh keturunan demi melestarikan golongannya diatas muka bumi ini. Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang  sakral, sangat dianjurkan oleh agama, diatur dalam undang-undang perkawinan, dan tentunya agar seorang manusia yang memang diciptakan berpasang-pasangan.
Ditinjau dari sudut agama islam, perkawinan adalah salah satu langkah yang bernilai ibadah. Misalnya dalam ajaran agama islam disebutkan bahwa manusia diciptakan tuhan sebagai mahluk yang berpasang-pasangan dengan  tujuan untuk melanjutkan keturunan dimuka bumi. Untuk itu diatur ketentuanketentuan agar manusia melaksanakan perkawinan. Ayat berbunyi :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Terjemahnya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram dan dijadikan- Nya diantaramu kasih sayang. Sungguh itu merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.” (Ar-Rum :21). [1]
Banyak hal yang menarik dalam pelaksanaan ritual perkawinan di Indonesia, antara lain penggunaan pakaian adat yang berbeda-beda di masing-masing daerah dan tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda masing-masing daerah. Hal ini tak jarang menjadi daya tarik tersendiri dalam ragam budaya di negara ini. Salah satu daerah yang masih sangat menjaga dan melestarikan adat-istiadat dalam pelaksanaan ritual perkawinan adalah Provinsi Gorontalo, yang sangat dikenal dengan pakaian adat khasnya dan prosesinya yang banyak menggunakan bahasa Gorontalo.  Dalam pelaksanaanya, perkawinan selain untuk memebuhi ketentuan agama, juga mengikuti nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Setelah upacara akad nikah yang merupakan ketentuan agama, perkawinan dilanjutkan
Perkawinan Adat Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri dalam pelaksanaannya, sebab penduduk Provinsi Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam. Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo yaitu, “Adati hula hula Sareati–Sareati hula hula to Kitabullah” yang artinya, Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah. Pengaruh Islam menjadi hukum tidak tertulis di Gorontalo sehingga mengatur segala kehidupan masyarakatnya dengan bersendikan Islam. Termasuk adat perkawinan di Gorontalo yang sangat bernuansa Islami.
Prosesi perkawinan dilaksanakan menurut Upacara adat yang sesuai tahapan atau Lenggota Lo Nikah. Tahapan pertama disebut Mopoloduwo Rahasia, yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua sang wanita untuk memperoleh restu perkawinan anak mereka. Apabila keduanya menyetujui, maka ditentukan waktu untuk melangsungkan peminangan atau Tolobalango. Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh pemangku adat Pembesar Negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga pria atau Lundthu Dulango Layio dan juru bicara utusan keluarga wanita atau Lundthu Dulango Walato, Penyampaian maksud peminangan dilantunkan melalui pantun-pantun yang indah. Dalam Peminangan Adat Gorontalo tidak menyebutkan biaya perkawinan (Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin pria, namun yang terpenting mengungkapkan Mahar atau Maharu dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya. Pada waktu yang telah disepakati dalam acara Tolobalango maka prosesi selanjutnya adalah mengantar harta atau depito dutu.
Upacara adat tolobalango atau antar harta yang telah dijelaskan ini menunjukan bahwa pelaksanaannya sungguh sangat sakral dan penuh dengan makna, namun seiring berkembangnya zaman pelaksanaan hal yang sesakral ini semakin memudar di dalam masyarakat adat Gorontalo. Pelaksanaan tolobalango di Gorontalo mulai jauh dari makna-makna yang sesungguhnya bahkan semakin merubah makna sejarah yang ada didalamnya, sehingga apa yang disampaikan di dalamnya kebanyakan orang tidak mampu memahaminya dengan baik. Unsur kebudayaan Gorontalo saat ini mulai dirubah sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin canggih. Nilai-nilai yang terkandung didalmnya seakan lewat begitu saja, seakan tanpa makna, padahal kalau hal ini mampu dipahami dengan baik terutama oleh calon mempelai yang akan menjalani perkawinan maka ini akan mampu membantu berlangsungnya proses kehidupan berumah tangga setelah terjadi perkawinan.

B.                 PEMBAHASAN
a.      Prosesi Adat Modutu Yang Dilaksanakan Dengan Adat Gorontalo
Dutu “Modutu” menghantarkan adat harta perkawinan. Acara ini adalah tahapan ke enam dari aspek adat perkawinan secara adat gorontalo pelaksanaannya merupakan forum-formil yang disamping dihadiri oleh pemangku adat dan keluarga, juga turut dihadiri oleh unsur pemerintah yang ikut manyaksikan hantaraan adat harta perkawinan beserta biayanya. Dutu sebagai keharusaan adat,bagi masyarakat suku gorontalo, untuk mengikuti tahapan-tahapan kegiatan tata cara adat perkawinan berlaku, dan merupakan hak sebagai anggota masyarakat, untuk memberlakukan adat  kebesaran dalam pelaksanaan perkawinan yang suci dan sakral.
Dutu disebut juga adat momu’o ngango, yang merupakan acara tersendiri, hakekatnya adalah pembahasan terakhir yang menyangkut teknis pelaksanaan pada hari perkawinan. Adat Momu’o ngango bisa (Modutu), telah melibatkan unsur pemerintah setempat, dan pegawai syara’ dahulu diwajibkan buwatulo totolu. Adat Momu’o Ngango pada hakekatnya, merupakan pengukuhan keluarga dan disaksikan oleh pemerintah setempat dan pegawai syarah serta seluruh kerabat, tetangga dan handai taulan. Pemberitahuan secara umum dalam adat ini diwujudkan dengan bunyi-bunyian, berupa handalo, oleh petugas adat.[2]
Depito Dutu adalah suatu prosesi adat perkawinan suku Gorontalo, di mana keluarga calon pengantin pria mengantar mahar perkawinan kepada calon pengantin wanita. Keluarga pengantin pria akan membawa mahar yang telah disepakati sebelumnya pada saat prosesi adat tolobalango (peminangan). Bersama mahar itu juga terdapat sejumlah harta lainnya, biasanya segala kebutuhan pengantin wanita berupa busana, perhiasan, kosmetik hingga pakaian dalam. Selain itu juga keluarga calon pengantin pria akan membawa bermacam-macam buah-buahan, bumbu-bumbu, hingga beras.
Arak-arakan harta dari calon pengantin pria itu akan di bawa ke rumah calon pengantin wanita dengan kendaraan yang telah dihiasi dengan janur kuning, diiringi pukulan rebana dan lagu-lagu tradisional Gorontalo berisi pantun, doa dan harapan kebahagian dalam berumah tangga nantinya. Kendaraan yang membawa hantaran ini diikuti oleh iring-iringan kendaraan yang mengangkut keluarga besar calon pengantin pria.
Di rumah calon pengantin wanita, telah bersiap menyambut kedatangan tamu, sejumlah kerabat dan keluarga besar calon pengantin wanita. makanan yang manis-manis telah disiapkan untuk menjamu tamu yang datang. Calon mempelai wanita pun telah didandani untuk dipamerkan kepada keluarga besar calon mempelai pria. Dalam acara ini calon mempelai pria tidak ikut datang ke rumah calon mempelai wanita.
Dengan persembahan pantun dan kata-kata bijak dalam bahasa Gorontalo, keluarga calon pengantin pria mempersembahkan hantaran yang sudah disiapkan. Hantaran harta untuk calon pengantin wanita itu akan memasuki rumah berurutan mulai dari yang utama dahulu yaitu mahar, kemudian disusul pernak pernik kebutuhan calon pengantin wanita, dan yang terakhir buah-buahan. Setelah duduk dan menikmati hidangan dari keluarga calon mempelai wanita, satu persatu keluarga calon mempelai pria mendatangi kamar yang telah disiapkan untuk melihat calon mempelai wanita yang sudah didandani cantik. [3]
Upacara modutu yang dilaksanakan dalam tradisi Gorontalo ini pada dasarnya merupakan sebuah wujud kebudayaan sebuah daerah. Pada umumnya setiap kebudayaan mempunyai tujuh unsur dasar, yaitu kepercayaan, nilai, norma dan saksi, simbol, teknologi, bahasa, dan kesenian. [4]
1.        Kepercayaan
Kepercayaaan berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana dunia ini berpotensi. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau interprestasi- interprestasi tentang masa lampau, bisa berupa penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan commonsense, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu kombinasi antara semua hal tersebut.
2.        Nilai
Jika kepercayaan menjelaskan apa itu sesuatu, nilai menjelaskan apa yang seharusnya terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar kebenaran yang harus dimiliki, yang layak diinginkan dan layak dihormati. Meskipun mendapat pengakuan luas, nilai-nilai punjarang ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Namun nilailah yang menentukan suasana kehidupan kebudayaan dan masyarakat.
3.        Norma dan Sanksi
Jika nilai itu cita-cita abstrak, norma adalah suatu aturan khusus, atau seperangkat aturan tentang apa yang tidak harus dilakukaan oleh manusia. Norma mengungkapkan bagaimana manusia seharusnya berprilaku atau  bertindak.  Norma adalah standar yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi setiap aktivitas manusia lahir dan kematian, bercinta, berperang, apa yang harus dimakan dan apa yang harus dipakai, kapan dan dimana orang bisa bercanda, melucu, dan sebagainya.
4.        Teknologi
Pengetahuan dan teknik-teknik suatu bangsa dipakai untuk membangun kebudayaan materialnya. Dengan pengetahuan dan teknik-teknik yang dimilikinya, suatu bangsa membangun lingkungan fisik sosial, dan psikologi yang khas.
5.        Simbol
Simbol adalah sesuatu yang dapat mengeksperesikan atau memberi makna-sebuah salib atau sesuatu patung Budha, sesuatu konstitusi, suatu bendera. Banyak simbol berupa obyek-obyek fisik yang telah memperoleh makna kultural dan dipergunakan untuk tujuan yang bersifat simbolik ketimbang tujuan-tujuan instrumental.
6.        Bahasa
Menurut Haroof (1962 : 43) Bahasa adalah gudang kebudayaan, berbagai arti yang dibeirkan manusia terhadap obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, dan perilaku merupakan jantung kebudayaan. Dan bahasa merupakan sarana utama untuk menangkap, mengkomunikasikan, mendiskusikan, mendiskualifikasiakan, mengubah, dan mewariskan arti-arti ini kepada generasi baru.
7.        Kesenian
Setiap kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artristik. Itu tidak berarti, bahwa semua bentuk seni dikembangkan dalam setiap kebudayaan.  Bagaimanapun kebutuhan akan ekspresi estetis berkaitan dengan karakteristik- karakteristik dasar masing-masing masyarakat, dan tidak ada masyarakat-bangsa yang memiliki karakteristik dasar yang sama. Karena itu, setiap bangsa memiliki ekspresi-ekspresi estisis yang khas.
Ketujuh unsur dasar kebudayaan ini juga yang ada dalam setiap prosesi adat yang dilkasanakan di Gorontalo. Termasuk pelaksanaan adat modutu, yang didalamnya ditanamkan unsur kepercayaan, bagi sebagian besar masyarakat yang melaksanakan adat unsur kepercayaan ini adalah sesuatu hal yang utama sebab menanamkan nilai-nilai adat didalam diri manusia harus dengan kepercayaan, kalau tanpa rasa percaya semua akan sia-sia untuk dijalani. Kemudian unsur nilai yang juga tidak kalah pentingnya dengan unsur kepercayaan, kalau rasa percaya sudah ditanamkan dalam diri maka unsur nilai-nilai yang dikandungnya pun akan mudah untuk diterapkan dalam diri siapa saja yang menjalaninya. Kemudian unsur norma dan sanksi, oleh sebagian besar masyarakat yang melaksanakannya melihat hal ini adalah sebuah aturan adat yang tidak tertulis maka sudah pasti juga pelaksanaan ritual adat ini juga diyakini ada unsur sanksi didalamnya, walaupun berupa sanksi yang tidak berwujud. Kemudian unsur teknologi yang di dalamnya merupakan unsur pendukung dari pelaksanaan adat, sebab teknologi ini mampu merubah kondisi dari setiap pelaksanaan adat yang juga harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Kemudian unsur simbol yang ada dalam setiap pelaksanaan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan, sebab adat merupakan simbol dari suatu daerah. Kemudian unsur bahasa, merupakan unsur terpenting juga dalam pelaksanaan adat karena ciri khas dari setiap pelaksanaan adat di Gorontalo itu adalah memasukkan unsur bahasa daerah di dalamnya. Dan yang terakhir adalah unsur kesenian, keindahan dari setiap pelaksanaan adat di Gorontalo termasuk pelaksaan upacara modutu tak lepas dari adanya unsur seni didalamnya, yang menambah keindahan pelaksanaan sebuah tradisi.   
b.      Pergeseran Nilai-Nilai Adat Modutu
Perkawinan diberbagai suku bangsa yang ada di indonesia biasanya diukur berdasarkan adanya mas kawin, acara perkenalan, acara meminang, acara akad nikah dan pesta untuk kaum kerabat dan handai taulan. Hal yang sama juga terjadi dalam prosesi adat perkawinan di Gorontalo yang banyak mengandung nilai-nilai kebaikan didalamnya, namun saat ini nilai-nilai yang dulunya sangat sakral dan dijalani dengan penuh hikmat perlahan-lahan mulai terjadi pergeseran nilai-nilai adatnya.
Walaupun kecendurungan dari sebuah tatanan nilai akan terus dipertahankan, tetapi ketika nilai diperhadapkan dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat yang labil dan moderis, maka kemungkinan akan terjadi degrasi nilai dan sosial akan semakin terbuka terkait dengan masalah ini Soerjono mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan  sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang  imaterial. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pergeseran nilai-nilai budaya dalam konteks sosial bukan hanya meluluhlanatakan hal-hal yang bersifat material tetapi juga dapat mengikis aspek non materialnya.
Soerjono menyatakan bahwa pergeseran atau perubahan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu variasi dan cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan, material, komposisi penduduk, ideologi maupun ada karena adanya penemuan- penemuan baru dalam masyarakat berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan dari suatu masyarakat tidak akan bertahan lama atau selamanya. Oleh karena perkembangan dari suatu kebudayaan tidaklah terlepas  dari  kondisi  perkembangan  sosial  disekitarnya, perubahan-perubahan sosial akan terus melanda suatu budaya dalam hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor interen maupun eksteren dari pengaruh budaya tertentu. [5]
Selanjutnya Selo Soermardjan Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya, nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku diantara kelompok dalam masyarakat. [6]
Sejumlah pendapat diatas dapat dikatakan bahwa perubahan nilai-nilai sosial merupakan perubahan-perubahan pada tatanan prilaku sosial serta turut berpengaruh pada sistem nilai kelompok sosial serta turut berpengaruh pada  sistem nilai maupun sikap serta pola tingkah laku kelompok sesuai tertentu, bersifat tidak terulang dan dapat terjadi akibat pengaruh-pengaruh sosial baik dari dalam maupun dari luar sistem sosial tersebut.
Dalam upacara adat modutu di Gorontalo yang terjadi saat ini dapat kita lihat realita dalam masyarakat bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai adat yang dikandungnya, yang sebenarnya merupakan hal pokok dalam pelaksanaan prosesi adat, antara lain adalah:
a.       Nilai kekeluargaan dan solidaritas
Seluruh rangkaian upacara adat modutu yang dilaksanakan di Gorontalo, tak lepas dari keterlibatan keluarga secara utuh yang merupakan bentuk solidaritas yang dibangun. Namun akhir-akhir ini nilai kekeluargaan yang dibangun sudah mulai terkikis oleh perubahan zaman, terutama bagi masyarakat yang semakin modern. Dulunya nilai kekeluargaan yang dibangun dalam penyelenggaraan adat modutu masih sangat terasa, seperti dalam hal persiapan sampai dengan pelaksanaan, berkumpul bersama merencanakan serta turut serta dalam mempersiapkan sajian makanan pada saat pelaksanaan upacara adat modutu. Namun saat ini oleh karena semakin berkembangnya zaman dan kesibukan masing-masing orang dalam pekerjaan maka nilai ini rasanya tidak seperti dulu lagi, semua sudah dipercayakan kepada orang yang bersedia mengurusnya, makanan sudah ada ketring yang menyiapkan bahkan ada yang sudah menyerahkan kepada pihak ketiga untuk semua urusan sampai dengan proses pernikahan. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada nilai kekeluargaan yang sejak dulu ditanamkan dalam prosesi adat yang dilaksanakan di Gorontalo, walaupun tetap masih ada yang mempertahankan nilai kekeluargaan ini dalam pelaksanaan adat di Gorontalo.
b.      Nilai pendidikan
Dalam prosesi adat pada umumnya mengandung unsur nilai pendidikan didalamnya, termasuk adat modutu yang banyak mengandung nilai-nilai pendidikan didalamnya yang biasanya disampaikan lewat tuja’i dan prosesinya yang unik, namun yang terjadi saat ini apa yang menjadi nilai pendidikan didalamnya ternyata tidak mampu diserap dan diterapkan dalam kehidupan setelahnya, baik calon pengantin yang menjalaninya maupun para tamu undangan yang hadir pada saat itu. Hal ini dipengaruhi oleh sebagian besar orang Gorontalo terutama anak-anak muda zaman sekarang yang tidak mau lagi belajar bahasa Gorontalo yang merupakan bahasa daerah yang merupakan bahasa pemersatu warganya, padahal semua prosesi adat di Gorontalo termasuk prosesi adat modutu, semuanya dilaksanakan dengan menggunakan bahasa daerah Gorontalo, kalau saat ini sudah gengsi orang menggunakan bahasa Gorontalo maka siapa lagi yang akan meneruskan upacara-upacara adat Gorontalo di masa yang akan datang. Sehingga dapat dikatakan bahwa upacara adat modutu yang dilaksanakan dengan mewah dan meriah saat ini hanya merupakan simbol adat, yang penting sudah melaksanakan paham atau tidak, diterapkan atau tidak itu urusan belakangan.
c.         Nilai etika
Nilai etika dalam pelaksanaan adat modutu juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan nilai-nilai yang lain, saat ini telah terjadi pergeseran nilai dalam etika pelaksanaan adat modutu yang banyak mengandung makna sosial dan keagamaan. Pergeseran nilai etika yang terjadi saat ini dapat kita lihat dari begitu banyaknya para calon pengantin wanita yang sebenarnya dalam makna adat modutu itu diibaratkan seperti emas atau barang langka yang belum pernah dilihat orang terutama keluarga calon mempelai laki-laki yang pada saat upacara adat modutu ini menjadi obyek yang disembunyikan dan membuat orang penasaran untuk melihatnya, namun saat ini semua itu telah berubah. Calon pengantin wanita dianggap sudah bukan barang langka lagi atau emas murni lagi, karena kemurniannya justru telah hilang pada saat proses pacaran, bahkan ada yang sudah hamil diluar nikah pada saat prosesi adat ini, sehingga hal ini justru merusak nilai makna yang sesungguhnya dalam pelaksanaan adat yang modutu. Selain itu kecanggihan teknologi dan perkembangan zaman yang semakin meningkat mampu merubah makna adat yang sesungguhnya, tidak sedikit para calon pengantin wanita saat ini yang justru memposting kecantikannya di media sosial sesaat sebelum pelaksanaan adat modutu dengan menggunakan balutan pakaian adat pengantin yang banyak memunculakan komentar dari orang-orang yang melihatnya, lalu apa lagi yang harus disembunyikan kalau sudah seperti ini, apa gunanya pelaksanaan adat modutu yang seharusnya dilaksanakan untuk memperkenalkan calon mempelai wanita kepada pihak calon mempelai laki-laki, padahal semua orang sudah pernah melihatnya. Hal ini terjadi akibat dari ketidak pahaman tentang makna adat yang sesungguhnya. 
d.        Nilai kesakralan
Prosesi adat diberbagai daerah di Indonesia pada umumnya sangat menjaga kesakralan pelaksanaan adatnya, sehingga tidak ada satupun yang terlewati dalam proses pelaksanaannya. Namun khusus di Gorontalo dalam prosesi adat modutu yang dilaksanakan saat ini telah terjadi transformasi dalam runtut pelaksanaannya, seharusnya yang dilaksanakan sejak dulu itu adalah antara adat tolobalango dan adat modutu itu dilaksanakan dalam rentan waktu yang berbeda dan terpisah, namun yang terjadi saat ini adalah pelaksanaan yang dilaksanakan secara bersamaan antara tolobalango dan modutu, yang sudah pasti merubah makna modutu yang sebenarnya, sehingga kesakralan dari adat modutu pun tidak lagi seperti sedia kala. Hal ini biasanya dilakukan untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya.
Harsojo menambahkan dalam buku yang berjudul “ Pengantar Anthropologi” berkembang pola teori yang juga mempelajari perubahan kebudayaan dengan menggunakan pendekatan sejarah yaitu :
1.                 Discovery dan invention yakni bahwa discovery adalah setiap penambahan pada pengetahuan dan invention dalam penerapan yang baru dari pengetahuan.
2.                 Difusi penyebaran dapat dikatakan sebagai proses penyebaran unsur kebudayaan dari satu individu keindividu lain, dan dari satu masyarakat kemasyarakat lain.
3.                 Akulturasi yakni meliputi fenomena yang timbul sebagai hasil, jika kelompok- kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dengan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus dan menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau pada kedua-duanya.
Asimilasi yakni suatu fase dari akulturasi dan akulturasi adalah suatu aspek dari perubahan kebudayaan. Asimilasi ialah suatu proses sosial yang telah lanjut yang ditandai oleh makin kurangnya perbedaan antara individu-individu dan antara kelompok-kelompok, dan makin eratnya persatuan aksi sikap dan proses mental yang berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang sama.[7]
Perubahan sosial pada pelaksanaan adat modutu yang terjadi saat ini sebenarnya tidak menjadi masalah kalau nilai-nilai yang dikandungnya masih tetap dipertahankan dengan semestinya sebab tujuan dari pelaksanaan prosesi adat yang sesungguhnya itu adalah makna dan nilai-nilai didalamnya. Namun saat ini perubahan itu justru merubah makna dan nilai-nilai yang dikandungnya disebabkan perubahan zaman dan teknologi yang semakin berkembang. Berbanding terbalik dengan apa yang pernah dilaksanakan oleh nenek moyang kita dulu, walalupun adatnya dibuat dengan cara yang tradisional dan primitif namun nilai dan makna menjadi tujuan utamanya, sehingga prosesi adat yang dilaksanakan tidak berlalu begitu saja tetap akan membekas dalam ingatan dan akan selalu diterapkan dalam kehidupan selanjutnya terutama kehidupan rumah tangga.


C.                Kesimpulan
1.      Depito Dutu adalah suatu prosesi adat perkawinan suku Gorontalo, di mana keluarga calon pengantin pria mengantar mahar perkawinan kepada calon pengantin wanita. Keluarga pengantin pria akan membawa mahar yang telah disepakati sebelumnya pada saat prosesi adat tolobalango (peminangan). Bersama mahar itu juga terdapat sejumlah harta lainnya, biasanya segala kebutuhan pengantin wanita berupa busana, perhiasan, kosmetik hingga pakaian dalam. Selain itu juga keluarga calon pengantin pria akan membawa bermacam-macam buah-buahan, bumbu-bumbu, hingga beras.
2.      Pada dasarnya pelaksanaan adat modutu itu mengharapkan makna dan berkah didalamnya, serta nilai-nilai adat yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, namun kenyataannya justru telah terjadi pergeseran nilai dan makna yang sesungguhnya didalam pelaksanaan adat ini. Antara lain pergeseran nilai kekeluargaan, nilai pendidikan, nilai etika dan nilai kesakralan. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang tidak mampu menyerap dan menerapkan makna dan nilai itu dalam kehidupan sehari-hari terutama calon pengantin yang menjalaninya.





Daftar Putaka

Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
Medi Botutihe. Tata Upacara Adat Gorontalo. (Gorontalo: 2003). Hal 142
Rafael.Manusia Dan Kebudayaan Dalam Prespektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta, Rineka Cipta, 2007. Hal 16
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.1990), hal 303-306
Harsojo.Sejarah Anthropologi. (Bandung: PT Putra A Bardin, 1999). Hal : 154-155


[1] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
[2] Medi Botutihe. Tata Upacara Adat Gorontalo. (Gorontalo: 2003). Hal 142
[3] Medi Botutihe. Tata Upacara Adat Gorontalo. (Gorontalo: 2003). Hal 142
[4] Rafael.Manusia Dan Kebudayaan Dalam Prespektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta, Rineka Cipta, 2007. Hal 16
[5] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.1990), hal 303-306
[6] Dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. ...........................,
[7] Harsojo.Sejarah Anthropologi. (Bandung: PT Putra A Bardin, 1999). Hal : 154-155