Rabu, 05 April 2017

Islam Dan Tradisi Adat Molondhalo Gorontalo



PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP RABA-RABA PURU (MOLONDHALO)
Oleh: Jusuf A. Lakoro

Prosesi Adat Molondhalo



A.      PENDAHULUAN
Dalam perkembangan ilmu keagamaan khususnya agama Islam saat ini memang semakin pesat perkembangannya, terutama dalam hal pemikiran dan keberagaman nilai-nilai keislaman. Kontrofersi pemahaman agama yang saat ini banyak bermunculan dimuka bumi ini dapat kita pahami sebagai bagian dari pada perkembangan ilmu pengetahuan agama, semakin banyak orang yang memahami agama ini semakin banyak pula pemikiran, pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda, hal ini semakin membingungkan masyarakat Islam pada umumnya terutama bagi yang minim pemahaman agamanya. Terkadang orang akan tersesat ke dalam pemahaman agama yang dapat merusak jiwa dan keimanan manusia, namun ada pula orang yang memahaminya dengan bijak sehingga hal ini justru akan menambah pengetahuannya dan pemahamannya tentang agama dan akan meningkatkan keimanannya serta tidak akan merusak imannya.
Keberagaman pemahaman agama Islam di masa kini juga dipengaruhi oleh kultur dari negara kita yang memiliki beragam adat istiadat dan budaya yang diyakini dan diterapkan dalam sebuah komunitas yang menerapkannya. Pembauran antara adat dan agama terkadang dianggap sebagai sesuatu hal yang aneh dan melanggar norma-norma agama sebab orang akan berpandangan bahwa antara adat dan agama itu adalah sesuatu hal yang berbeda dan tidak dapat disatukan, namun tidak sedikit juga orang yang memandang hal itu adalah sebuah keberagaman budaya bangsa kita, selama itu tidak melewati batas-batas yang dilarang agama yang dianut, kelompok ini cenderung memandang bahwa jauh sebelum datangnya agama, adat dan budaya itu memang sudah ada sejak lama dan diyakini oleh komunitasnya sebagai sesuatu aturan hukum yang harus ditaati oleh siapapun, bahkan aturan adat itu lebih keras sangsinya dibandingkan dengan aturan hukum positif saat ini yang cenderung tidak memberikan efek jera.
Berbagai macam contoh pembauran adat dengan agama yang mungkin pernah kita saksikan saat ini antara lain adalah, tradisi prosesi pemakaman dalam komunitas adat suku toraja yang ada pembauran antara agama Kristen dan adat istiadat yang berlaku dalam komunitas tersebut, kalau kita lihat secara umum dibandingkan dengan daerah lain seperti Manado yang juga memiliki masyarakat yang mayoritas Kristen ini berbeda prosesnya, artinya bahwa hal ini dipengaruhi oleh adat istiadat yang diyakini dalam komunitasnya. Namun untuk sebuah keberagaman budaya prosesi adat pemakaman di Tanah Toraja ini sangat diakui oleh negara sebagai sebuah keberagaman, bahkan menjadi ciri khas daerah tersebut yang bisa dikenal luas sampai ke mancanegara dan menjadi salah satu pilihan tempat wisata yang dicari.
Dalam agama Islam pun banyak kita jumpai hal yang sama pembauran antara agama dan adat istiadat dalam sebuah komunitas adat di daerah kita Gorontalo, yang masih sangat kental dengan adat istiadat yang berlaku, antara lain prosesi pemakaman dan pernikahan, yang sebagian besar masyarakat kita menggunakan prosesi adat dalam pelaksanaannya, padahalal sebenarnya dalam Islam sudah secara jelas dan rinci diatur proses pelaksanaannya, namun bagi komunitas yang mempercayainya hal ini ditambahkan dengan suatu prosesi adat sehingga terlihat perbedaannya dengan yang lainnya. Inilah yang dinamakan keberagaman budaya dan adat istiadat, walaupun dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan namun patut untuk dihargai perbedaannya bagi yang tidak melaksanakannya, selama itu tidak mengganggu yang lainnya dan tidak melanggar norma-norma agama Islam.
Selain itu ada berbagai macam aturan adat yang berlaku di masyarakat termasuk di Gorontalo yang kalau kita lihat dalam Islam sebenarnya tidak ada anjurannya tetapi menjadi sesuatu hal yang diyakini dan dilaksanakan antara lain adalah tradisi raba-raba puru (Molondhalo) yang didalamnya sama sekali tidak ada pembauaran antara agama dan adat istiadat. Walaupun ini menjadi sesuatu hal yang sudah turun temurun dilaksanakan dalam tradisi adat masyarakat Gorontalo, namun tidak semua yang melaksanakannya, ada kelompok-kelompok tertentu yang sama sekali tidak melaksanakannya.

 
B.   TINGKAT PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG SEJARAH ADAT MOLONDHALO DI GORONTALO
Umat Islam Indonesia di Jawa maupun di pulau selainnya, saat menyambut putera pertama ternyata masih melakukan ritual-ritual yang tidak ada perintahnya dari nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Acara itu adalah neloni (selamatan ketika kehamilan berusia tiga bulan), mitoni (saat berusia tujuh bulan), dan juga tingkeban. Sebagian melakukannya ketiga-tiganya, ada pula yang melakukan acara mitoni dan tingkeban, ada pula yang melakukan tingkeban saja karena mitoni dianggap sama dengan tingkeban. Sebagian orang Jawa, (dan juga selainnya termasuk Sunda, Minang, Dayak dan lainnya) mempercayai bahwa mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Mitoni dan tingkeban dilaksanakan saat kehamilan berusia tidak boleh kurang dari 7 bulan. Karena tidak ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan, maka hari selasa atau sabtu yang digunakan. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu).
Ternyata telonan, mitoni dan tingkeban yang sering dijumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi yang berasal dari agama Hindu yaitu dalam Kitab Hindu Upadesa halaman 6 disebutkan bahwa telonan, mitoni, dan tingkeban dilakukan untuk memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Acara ini sering juga dikenal dengan Garba Wedana (garba berarti perut, wedana berarti sedang mengandung).
Dalam tradisi masyarakat Gorontalo yang juga melaksanakan hal yang sama dengan nama yang berbeda yaitu molondhalo, terlepas dari tradisi ini merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh Agama Hindu dan Jawa, namun Gorontalo pun punya sejarahnya tersendiri tentang awal mula tradisi ini dikenal luas oleh masyarakat Gorontalo. Dalam sejarahnya tradisi ini mulai dikenal masyarakat Gorontalo sejak abad ke 15. Tradisi ini mulai dilaksanakan oleh seorang sultan yang bernama sultan Amai yang menyebarkan agama Islam di Gorontalo. Secara tidak sengaja hal ini terjadi dan dilaksanakan oleh Sultan Amai yang pada saat awal mula ia datang ke kerajaan Hulondhalangi. Pada saat itu dalam kisahnya istrinya yang bernama putri owutango telah empat kali hamil namun kehamilannya sering hilang saat belum sampai pada usia kandungan 9 bulan. Sang sultan pun dengan kegelisahannya mulai mempertanyakan hal ini kepada istrinya sebab sudah 3 tahun menikah namun belum juga ada keturunan.
Terjadilah perbincangan antar sultan dan istrinya, sang istri menyatakan kesiapannya kalau saja dia tidak mampu memberikan keturunan kepada sultan amai maka dia siap untuk menerima sultan kawin lagi, namun sang sultan membantahnya bahwa hal ini bukanlah sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah. Sehingga dengan restu ayahanda Baginda Raja solusi pun didapatkan  yaitu dengan mempersatukan adat kerajaan Palasa dan kerajaan Hulonthalangi, memohon restu disaat kandungan yang ke lima dari putri owutango ini berumur tujuh bulan. Peristiwa ini yang disebut dengan Molondhalo, yaitu menolak gangguan setan dengan meraba perut yang dilakukan oleh bidan kampung, dan pembacaan/pengajian doa shalawat oleh imam.
Kemudian tradisi ini pun dilaksanakan dengan tata cara yang sudah dirancang oleh kedua adat kerajaan di Gorontalo, dan benar saja apa yang diinginkan oleh sultan akhirnya terkabul juga, kehamilan putri owutango mampu bertahan hingga bayinya lahir. Sejak saat itu peristiwa molondhalo yang dilaksanakan oleh sultan Amai ini mulai dijadikan tradisi adat Gorontalo yang sampai dengan saat ini masih tetap bertahan. [1]
Tradisi molondhalo yang sudah membudaya dalam masyarakat adat Gorontalo ini sebenarnya dalam prakteknya tidak semua masyarakat yang mempercayainya dan melaksanakannya. Kelompok masyarakat Islam yang sangat mempercayainya dan melaksanakannya adalah kelompok organisasi masyarakat Islam Nahdalatul Ulama (NU) Gorontalo, selain kelompok ini tidak melaksanakannya dengan alasan menggap hal ini, termasuk perkara baru dalam agama. Dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. Termasuk yang tidak melaksanakan dalam masyarakat Gorontalo adalah kelompok Muhammadiyah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan”. (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Kemudian, jika selamatan kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan kebaikan, dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau keburukan, maka keyakinan seperti itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan dan bencana itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Allah berfirman:
قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَا لاَ يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا واللهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَليِمُ
‘Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa’at?”. Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’. (QS Al Maidah:76). [2]
Dalam masyarakat adat Gorontalo yang mempercayainya, sebenarnya hal ini dianggap sebagai sebuah tradisi yang tidak menyandarkan ini kedalam agama Islam, ini dianggap sebagai tradisi murni yang bisa dilaksanakan dan bisa juga tidak. Kalau dilihat dari sejarahnya hal ini dilaksanakan dengan cara-cara yang tradisional yang jauh dari kemewahan dan buang-buang duit, tetapi saat ini mulai merubah kedalam hal-hal yang berbau kemewahan dan persaingan. Semakin tinggi derajat seseorang maka semakin sempurna juga apa yang dilaksanakan didalamnya sehingga terkesan buang-buang duit kedalam hal yang sama sekali tidak diatur dalam agama Islam. Kalau dikaitkan dengan agama Islam yang bisa diambil sebagai sesuatu hal yang baik didalamnya adalah pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an yang dibaca oleh imam atau lebi sebagai sebuah doa untuk memohon perlindungan dan sisanya adalah tradisi murni. 
Apa yang telah dijelaskan dalam sejarah molondhalo ini, mulai dari awal munculnya dan kemudian kaitan antara adat dan agama Islam, dapat kita lihat bahwa sebagian besar masyarakat Gorontalo itu tidak memahami hal ini, terutama masyarakat yang hidup di zaman modern saat ini. Bagi masyarakat yang hidup di zaman ini tradisi itu cukup untuk dilaksanakan dan diyakini, masalah sejarah, prosesi dan nilai-nilai yang dikandungnya itu cukup orang-orang tua dan orang yang berkepentingan didalamnya saja yang harus memahami, dalam hal ini pegawai syara, imam dan hulango. Jauh berbeda dengan masa sebelum zaman berkembang dan Gorontalo masih sangat memperhatikan adat istiadat yang berlaku, nilai-nilai dan sejarah dalam setiap adat itu masih tertanam dalam hati dan pikiran orang-orang dulu, kalau sekarang jangankan anak-anak muda bahkan orang-orang tua kita pun ada yang tidak memahami sama sekali. Sehingga tradisi ini dilaksanakan hanya karena tuntutan adat bukan karena tujuan ingin mencapai nilai-nilai sejarahnya dan nilai-nilai yang dikandungnya.
C.  PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP PROSESI ADAT DAN MAKNA ADAT MOLODHALO DI GORONTALO
Berbicara tentang sebuah tradisi tidak lepas dari segala prosesi dan makna yang terkandung didalamnya, untuk itu sebelum kita mengatakan bahwa hal ini adalah bid’ah maka seharusnya kita kenali dulu apa yang ada didalamnya termasuk prosesinya dan maknanya.
Dalam buku yang disusun oleh Farha Daulima (dkk.),  disebutkan bahwa molonthalo atau raba puru bagi sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama, merupakan pra-acara adat dalam rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan, yang telah baku pada masyarakat Gorontalo. Hakekat dari acara ini antara lain adalah: 1) pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa kehamilan pertama, adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan yang sah; 2) merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua belah pihak bahwa sang istri benar-benar suci, dan merupakan dorongan bagi gadis-gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatannya; 3) pernyataan syukur atas nikmat Tuhan yang telah diberikan kepada sepasang suami-istri  melalui ngadi salawati (doa shalawat), agar kelahiran sang bayi memperoleh kemudahan; 4) pemantapan kehidupan sepasang suami istri menyambut sang bayi, sebagai penerus keturunan mereka dan persiapan fisik dan mental menjadi ayah dan ibu yang baik dengan  memelihara kelangsungan rumah tangga yang dilambangkan dengan makan saling suap menyuapi. [3]
Tahap –Tahap Prosesi Tradisi Molontalo
  1. Molone’o
Prosesi ini di lakukan agar Mengetahui keadaan perut sang ibu yang hamil tentang usia jabang bayinya.yang di hitung dari berhentinya haid (TILAYONGA), sampai pada satu bulan Dan hulango (bidan kampuang) mengetahui umur cabang bayi dengan mengurut perut sang ibu, dengan jari tengah pada kedua tangan terbuka. Peristiwa Molone’o ini di tandai  dengan mongadi Salawati.
  1. Modu’oto
Modu’oto dilakukan agar mengetahui umur jabang bayi, yang di hitung dari saat  Molone’o yaitu berusia tiga bulan. Cara yang dilakukan oleh hulango dalam prosesi ini bidan mengurut perut sang ibu dengan telapak tanggan, pada sisi perut. Dan di tandai dengan mogadi salawati.
  1. Molonthalo
Bidan akan menyiapkan segala atribut adat, sebagai syarat adat, setelah itu bidan akan memberikan tanda dengan alawahu Tilihi di leher bagian bawah tenggorokan, bahu, lekukan tangan ,bagian atas telapak kaki, lutut. Yang maknanya menurut para bidan agar sang ibu akan meningglakan sifat-sifat tercela dalam mendidik membesarkan anak-anaknya nanti.Setelah itu sang ibu di baringkan di atas permadani, dan kepalanya menghadap ke timur untuk memulai segala prosesi. [4]
Upacara Adat Molonthalo
Acara Molonthalo ini merupakan pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan yang syah. Persiapan dan cara pelaksanaan hingga tahapan dari Acara Adat Molonthalo ini cukup banyak. Pihak keluarga yang mengadakan upacara adat ini harus menghadirkan kerabat pihak suami, Hulango atau Bidan Kampung, Imam Kampung atau Hatibi, dua orang anak perempuan umur 7 sampai dengan 9 tahun, keduanya masih memiliki orang tuanya (Payu lo Hulonthalo), dua orang Ibu dari keluarga sakinah.
Hulango atau Bidan Kampung, yang telah ditunjuk sebagai pelaksana acara Molonthalo, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
  1.  Beragama Islam.
  2. Mengetahui seluk beluk umur kandungan.
  3. Mengetahui urutan Upacara Adat Molonthalo.
  4. Mengetahui lafal-lafal yang telah diturunkan oleh leluhur dalam pelaksanaan acara tersebut.
  5. Diakui oleh kelompok masyarakat sebagai Bidan Kampung.
Atribut Adat sebagai pelengkap Upacara Adat Molonthalo, antara lain; 1). Hulante yang berbentuk seperangkat bahan diatas baki, terdiri dari beras cupak atau 3 liter, diatasnya terletak 7 buah pala, 7 buah cengkih, 7 buah telur, 7 buah limututu (lemon sowanggi), 7 buah mata uang yang bernilai Rp. 100,- Dahulu mata uang terdiri dari Ringgit, Rupiah, Suku, Tali, Ketip dan Kelip.
2). Seperangkat bahan pembakaran dupa diatas baki, yang terdiri dari 1 buah polutube (pedupaan), 1 buah baskom tempat tetabu (dupa) dan segelas air masak yang tertutup. Seperangkat batu gosok (botu pongi’ila) yaitu batu gosok untuk mengikis kunyit sepenggal, dicampur sedikit kapur, dan air dingin yang disebut Alawahu Tilihi. Seperangkat Pomama (tempat sirih, pinang), Tambaluda atau Hukede. 3). 7 buah Toyopo, yang berisi seperangkat makanan, tempatnya terbuat dari daun kelapa muda (janur) yang berisi nasi kuning, telur rebus, ayam goreng dan kue – kue seperti wapili, kolombengi, apangi dll ditambah pisang masak terdiri dari pisang raja atau pisang gapi (Lutu Tahulumito atau Lutu Lo Hulonti’o). 4). Seperangkat makanan diatas baki terdiri dari sepiring bilinti, atau sejenis nasi goreng yang dicampur dengan hati ayam, sepiring ayam goreng yang masih utuh dan diperutnya dimasukkan sebuah telur rebus, dua buah baskom tempat cuci tangan dan dua buah gelas berisi air masak, dan dua buah sendok makan.
5). Sebuah daun silar (tiladu) berkeping tiga (tiladu tula-tula pidu), seukuran perut sang ibu yang hamil. 6). Bulewe atau upik pinang (Malo ngo’alo). 7). Sebuah tempurung tidak bermata (buawu huli). Seperangkat tikar putih (amongo peya-peya atau ti’ohu) yang terbungkus (bolu-bolu). Yang terpancang didepan pintu (pode-podehu). Dimana ada seorang ibu dibalik tirai itu meneruskan pertanyaan dari syara’ (hatibi atau syarada’a atau imam) yang bertugas / diundang membacakan doa, kepada Hulango (bidan kampung). Pertanyaan yang disampaikan adalah “MA NGOLO HULA” artinya sudah berapa bulan dan dijawab oleh anak-anak tersebut atas petunjuk Hulango. 8). Pale Yilulo (Tilondawu) yaitu : beras yang diwarnai dengan warna merah, kuning, hijau, hitam dan putih). 9). Sebilah keris memakai sarung.
Bagi yang diacarakan (sang ibu hamil) memakai busana walimomo konde pakai sunthi dengan tingkatan, 1 tangkai untuk umum, 3 tangkai untuk golongan istri wuleya lo lipu (Camat), 5 tangkai untuk golongan istri Jogugu / wakil Bupati / Walikota, dan 7 tangkai untuk Mbui, istri Raja / Bupati / Walikota. Suami (calon ayah) memakai Bo’o takowa kiki dan payungo tilabatayila memakai salempang, keris terselip di pinggang. Dua orang untuk perempuan memakai galenggo wolimomo, kepalanya memakai Baya Lo Bo’ute, atau bahan hiasan kepala. Dua orang ibu yang sakinah memakai kebaya dan batik, serta batik surang sebagai penutup atau (wulo-wuloto) atau busana lo mango tiilo.
Prosesi pelaksanaan Upacara Adat Molonthalo dimulai dengan Hulango memberikan tanda (bontho) dengan alawahu tilihi pada dahi, leher bagian bawah tenggorokan, bahu, lekukan tangan dan bagian atas telapak kaki, bawah lutut, yang bermakna pernyataan sang ibu akan meninggalkan sifat – sifat mazmunah (tercela) dalam mendidik dan membesarkan anak – anaknya nanti. Kemudian Sang ibu dibaringkan diatas tikar putih diatas permadani, kepalanya menghadap ketimur dan kakinya ke barat. Seorang ibu memegang bantal dan menjaga dibagian kepalanya. Pada bagian kaki seorang ibu menjaga sambil memegang lutut dari sang ibu hamil, posisi lututnya terlipat keatas.
Dua orang anak (laki – laki dan perempuan) pada payu lo limutu, satu orang anak perempuan (pada payu lo Hulondhalo), yang sudah dapat berbicara. Mereka duduk bersebelahan (payu lo limutu), duduk disisi sebelah kanan dari ibu yang di tonthalo. Kedua tangan mereka tersusun diatas perut yang hamil ( ibu yang di tonthalo), tepat diatas ikat pinggang janur berkepala tiga.
Syara’ menanyakan kepada ibu yang dibalik tirai / pemegang lalante bula (tikar terbungkus kain batik), sebagai berikut : “MA NGOLA HULA?” artinya “SUDAH BERAPA BULAN?”. Pertanyaan ini diteruskan kepada Hulango lalu dibalas oleh hulango dengan kalimat : “OYINTA OLUWO dst.”. Jawaban itu diteruskan oleh ibu dibalik tirai (podebu lo bula), kepada syara’ dengan suara keras, demikian berlangsung tiga kali. Dilanjutkan dengan Sang suami melangkahi perut sang istri 3 kali, lalu menghunus keris, memotong ikatan anyaman silar tersebut.
Setelah anyaman silar itu terputus, maka sang suami mengeluarkan ikatan silar tersebut, dan sang istri bangun menuju pintu didepan lalante bula dan sang suami keluar mengelilingi rumah 1 kali, kemudian membuang silar itu jauh – jauh. Hal ini perlambang, agar bayi itu lahir dengan selamat, dan mencari 3 jalur ikatan adat, syara’ dan baala, sebagai pedoman hidupnya dalam bermasyarakat nanti. Selesai acara tersebut, sepasang suami istri kembali kerumah, duduk berhadapan saling suap menyuapi dengan seperangkat makanan yang ada dibaki yaitu nasi bilinthi, dan ayam goreng, didahului dengan sang suami mengeluarkan telur dari perut ayam goreng, sebagai perlambang kemudahan sang istri melahirkan jabang bayi. Suap menyuap adalah perlambang kasih sayang, dan mengingatkan hak serta kewajiban baik istri maupun suami.
Suami Isteri saling menyuapkan makanan yang merupakan salah satu bagian prosesi Molonthalo. Dilanjutkan dengan Pembacaan doa salawat oleh imam atau hatibi atau aparat keagamaan lainya, dihadapan hidangan, yang dihadiri oleh undangan yang terdiri dari kerabat kedua belah pihak. Tahapan terakhir, Suami Istri dimandikan oleh hulango dengan air yang penuh dengan berbagai macam bunga – bunga dan ramuan.
Suami melangkahi perut sang istri 3 kali dan dimandikan bersama
merupakan bagian dari Upacara Adat Molonthalo. Acara diakhiri dengan suguhan kopi atau minum teh bersama disajikan dengan kue tradisional gorontalo. Sebelum bubar, sang suami memberikan sedekah kepada para pelaksana acara tersebut sesuai keikhlasan. Pala’u dibagi – bagikan kepada yang berhak menerimanya, yakni Hulango, pembaca doa salawat, dua orang anak, dua orang ibu dan seorang ibu dibalik tirai (yang meneruskan pertanyaan dan jawaban antara hulango dan imam).
[5]Bottom of Form
Makna Yang Terkandung Dalam Upacara Molonthalo
  1. Kebersamaan, dalam prosesi pelaksanaan adat molondhalo ini sebenarnya terkandung makna kebersamaan yang sangatlah besar. Dalam prekteknya prosesi adat molondhalo yang sering kita saksikan ini merupakan wujud sebuah persatuan dalam kebersamaan antara pihak perempuan dan pihak laki-laki, dimana dalam proses pernikahan hal ini sudah terjalin namun masih terkesan sendiri-sendiri dalam prosesi adatnya, tetapi dalam adat molondhalo ini kedua keluarga ini akan lebih dipersatukan dengan adanya kerja sama didalamnya, terutama dalam hal prosesinya dan persiapannya.   
  2. Gotong royong, dalam hal ini bukan hanya kedua keluarga saja yang akan dipersatukan dalam prosesinya tetapi juga masyarakat lingkungan sekitar. Hal ini terlihat dalam pelaksanaannya tetangga sekitaran rumah juga ikut andil dalam pelaksanaan ini, bantu membantu dalam persiapannya, ikut bahagia, dan juga ikut mendoakan. Walaupun semakin lama gotong royong ini mulai hilang dalam masyarakat tetapi sebagian besar masih tetap terasa dan terjaga.
  3. Keselamatan, makna keselamatan dalam pelaksanaan adat ini dikaitakan dengan keselamatan sang jabang bayi dan ibunya yang harus dijaga keselamatannya, sebab pada dasarnya kehamilan pertama dalam rumah tangga itu memang sangatlah rawan dengan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan untuk bayinya terutama dalam gangguan setan. Kemudian untuk ibunya pun hal yang sama diinginkan untuk keselamatannya, kehamilan pertama itu semua belum pernah merasakan, semuanya masih merupakan hal yang baru terjadi dari sejak ngidam, masa-masa kehamilan, hingga pada masa kelahiran, sehingga permohonan keselamatan ini penting untuk dilaksanakan.
Dalam prosesi adat yang telah dijelaskan diatas terlihat jelas begitu apik dan sakralnya adat ini, terutama makna yang terkandung dalam pelaksanaan prosesi adat molondhalo, yang kalau diperhatikan dengan saksama dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mungkin manfaatnya sangatlah besar. Namun hal ini berbanding terbalik dengan tujuan dari pada prosesi adat molondhalo, dalam prakteknya hanya sebagian kecil masyarakat saja yang paham dan mengikuti prosesi ini dengan baik serta menerapkannya dalam kehidupan. Padahal adat itu merupakan sesuatu hukum yang tidak tersurat tetapi tersirat dan wajib untuk diterapkan bagi masyarakat yang mempercayainya.
Terlepas dari kernyataan bahwa ini merupakan larangan yang tidak ada syariatnya dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka sebaiknya yang kita ambil didalamnya sebagai sesuatu hal yang baik adalah makna yang tekandung didalmnya, karena segala bentuk makna dari pada adat itulah yang tidak bertentangan dengan agama, segala prosesi adat itu menginginkan kebaikan bukan keburukan didalamnya. Berbicara tentang adat pastilah kita akan melihat ada kelebihan dan kekurangannya. Maka dari itu makalah ini berusaha untuk mengungkapkan kekurangan dari adat molondhalo selain dari tidak disyariatkannya dalam agama Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Prosesinya,
Dalam prosesi adat molondhalo ini dapat kita saksikan sesuatu hal yang sakral didalamnya, dan ada nilai-nilai kebersamaan yang tercipta, namun apakah masyarakat yang hadir didalamnya paham dengan prosesi adat itu, terlebih kepada suami istri yang melaksanakan prosesi ini. Kalau sekiranya masih banyak yang tidak memahami prosesinnya maka apa gunanya hal ini dilakukan. Kekurangan dari prosesi adat di Gorontalo dengan adat didaerah lain seperti di Jawa adalah di Gorontalo segala bentuk prosesi yang dilaksanakan dalam tradisi Gorontalo termasuk molondhalo ini tidak dilafaskan dan diterjemahkan, sehingga banyak yang tidak paham dengan apa yang disampaikan didalamnya, padahal kalau hal ini disampaikan urutan prosesinya maka nilai-nilai yang terkandung didalamnya akan tersampaikan. Berbeda dengan adat yang ada di Jawa bisa kita saksikan misalnya dalam prosesi pernikahan adat Jawa semua disampaikan dan diucapkan dengan baik urutan dari prosesinya termasuk terjemahannya kalau ini disampaikan dalam bahasa Jawa, sebab tidak semua yang hadir adalah orang Jawa. Maka dari itu prosesi adat di Gorontalo terkesan ikut-ikutan dan pernyataan yang penting sudah melaksanakan.  
2.      Maknanya,
Prosesi adat ini mengandung unsur makna dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Makna umumnya sebagian besar masyarakat itu pasti tau bahwa ini merupakan doa keselamatan untuk ibu dan calon bayi yang dikandungnya. Tetapi dalam prosesinya ada makna-makna kecil yang terkandung didalamnya yang tidak tersampaikan dan sebagian besar tidak memahaminya, padahal kalau dipahami ini akan menjadi tuntunan hidup, tetapi karena tidak dipahami maka makna itu berlalu begitu saja.
3.      Kehamilannya,
Melihat prosesi dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya sebenarnya ini adalah sesuatu hal sakral dalam tataran adat Gorontalo, tetapi seiring berkembangnya zaman adat pun mulai luntur dan dirusak. Hal ini bisa kita lihat bahwa cukup banyak yang melaksanakan ini padahal kehamilannya itu sudah lebih dulu dari pada pernikahannya, fakta membuktikan banyak yang seperti ini terjadi misalanya hari ini menikah besoknya pelaksanaan tradisi molondhalo dan seminggu kemudian melahirkan. Pada dasarnya ini merusak makna dan justru  menimbulkan lebih banyak fitnah, sebab pada dasarnya adat molondhalo ini adalah mempublikasikan kehamilan pertama pada orang-orang dan memohon doa untuk keselamatan tetapi karena kehamilan terjadi sebelum pernikahan maka ketika adat ini dilaksanakan yang terjadi adalah orang-orang akan tau kondisi yang sebenarnya dan malah menjadi bahan gunjingan masyarakat. Ini akibat dari ketidak pahaman masyarakat terhadap tujuan dari pada adat itu sendiri.

  
D.      KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
  1. Setelah melihat sejarah adat molondhalo yang ada di Gorontalo dan juga melihat fenomena yang ada, sebahagian besar masyarakat gorontalo itu masih belum memahami tentang apa itu sejarah molondhalo, selama ini kebanyakan yang melakukannya karena kebiasaan bukan karena memahaminya.
  2. Dalam hal prosesinya kalau dilihat dari tingkat pemahaman masyarakat juga masih banyak yang belum memahaminya, padahal kalau dipelajari dengan baik dan benar maka sungguh besar makna yang terkandung didalamnya, apalagi kalau maknanya bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan rumah tangga maka hal ini jauh lebih besar manfaatnya dan akan terhindar dari prosesi yang dikategorikan bid’ah.

                                                                DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy, Yogyakarta: The Wahid Institute, 2007.
Abdurrahman Wahid, Islam di Asia Tenggara, dalam Abu Zahra ed. Politik Demi Tuhan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
Farhah Daulima dan Lamansu Laruhun, Kisah Putri Owutango dari Palasa (Kisah Asal Mula Tersebarnya Islam di Daerah Gorontalo),  Poliyama Widyapustaka, Jakarta, Cet. 1, 2004
http://artnculture.ilmci.com/937/upacara-adat-molonthalo.aspx
M. Gazali Rahman, Tradisi Molonhalo Di Gorontalo, Jurnal Al-Ulum, Vol. 12, 2012.
Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
Medi Botutihe dan Nani Tuloli, Tata Cara Adat Gorontalo (Dari Upacara Adat Kelahiran, Perkawinan, Penyambutan Tamu, Penobatan dan Pemberian Gelar Adat Sampai Upacara Adat Pemakaman), 2003.
Nani Tuloli, dkk., Ragam Upacara Adat Tradisional Daerah Gorontalo (Cet. I; Gorontalo: Sub Dinas Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, 2006).
Pendy Alimun, Skripsi (Eksistensi Pelaksanaan Adat Molondhalo), UNG, Gorontalo, 2015.


[1] Farhah Daulima dan Lamansu Laruhun, Kisah Putri Owutango dari Palasa (Kisah Asal Mula Tersebarnya Islam di Daerah Gorontalo),  Poliyama Widyapustaka, Jakarta, Cet. 1, 2004
[2] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
[3] Nani Tuloli, dkk., Ragam Upacara Adat Tradisional Daerah Gorontalo (Cet. I; Gorontalo: Sub Dinas Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, 2006), h 2-3. Lihat juga, Medi Botutihe dan Nani Tuloli, Tata Cara Adat Gorontalo (Dari Upacara Adat Kelahiran, Perkawinan, Penyambutan Tamu, Penobatan dan Pemberian Gelar Adat Sampai Upacara Adat Pemakaman), 2003.
[4] Pendy Alimun, Skripsi (Eksistensi Pelaksanaan Adat Molondhalo), Gorontalo, 2015.
[5] http://artnculture.ilmci.com/937/upacara-adat-molonthalo.aspx

2 komentar:

  1. Kelebihan Dan Kekurangan Ayam Ekor Pendek, banyak dimiliki oleh berbagai jenis ayam jago seperti ayam bangkok, ayam peru, ayam saigon, ayam pakhoy, ayam filipina, ayam burma ataupun jenis ayam jago lainnya.

    Dan Ayam Jago pada umumnya memiliki kualitas yang berbeda-beda dari setiap jenisnya. pada kesempatan kali ini, pemainayam ingin mengulas beberapa fakta menarik mengenai Ayam Jago Yang Memiliki Ekor Pendek.

    Ayam Aduan Ekor Pendek
    https://pemainayam.vip/tag/ayam-aduan-ekor-pendek/

    BalasHapus
  2. Bonus Spesial Judi Online 100% !

    Sabung Ayam
    Sv388
    S128
    Linkaja

    Pendaftaran Hubungi Kontak Resmi Kami Dibawah ini (Online 24 Jam Setiap Hari) :

    » Nomor WhatsApp : 0812–2222–995
    » ID Telegram : @bolavitacc
    » ID Wechat : Bolavita
    » ID Line : cs_bolavita

    BalasHapus