PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
PEMAHAMAN
MASYARAKAT TERHADAP RABA-RABA PURU (MOLONDHALO)
Dalam perkembangan ilmu
keagamaan khususnya agama Islam saat ini memang semakin pesat perkembangannya, terutama dalam hal pemikiran dan keberagaman
nilai-nilai keislaman. Kontrofersi
pemahaman agama yang saat ini banyak bermunculan dimuka bumi ini dapat kita
pahami sebagai bagian dari pada perkembangan ilmu pengetahuan agama, semakin
banyak orang yang memahami agama ini semakin banyak pula pemikiran, pemahaman
dan penafsiran yang berbeda-beda, hal
ini semakin membingungkan
masyarakat Islam pada umumnya terutama bagi yang minim
pemahaman agamanya. Terkadang orang akan tersesat ke dalam pemahaman agama yang
dapat merusak jiwa dan keimanan manusia, namun ada pula orang yang memahaminya
dengan bijak sehingga hal ini justru akan menambah pengetahuannya dan
pemahamannya tentang agama dan akan meningkatkan keimanannya serta tidak akan
merusak imannya.
Keberagaman pemahaman agama Islam di
masa kini juga dipengaruhi oleh kultur dari negara kita yang memiliki beragam
adat istiadat dan budaya yang diyakini dan diterapkan dalam sebuah komunitas
yang menerapkannya. Pembauran antara adat dan agama terkadang dianggap sebagai
sesuatu hal yang aneh dan melanggar norma-norma agama sebab orang akan
berpandangan bahwa antara adat dan agama itu adalah sesuatu hal yang berbeda
dan tidak dapat disatukan, namun tidak sedikit juga orang yang memandang hal
itu adalah sebuah keberagaman budaya bangsa kita, selama itu tidak melewati
batas-batas yang dilarang agama yang dianut, kelompok ini cenderung memandang
bahwa jauh sebelum datangnya agama, adat dan budaya itu memang sudah ada sejak
lama dan diyakini oleh komunitasnya sebagai sesuatu aturan hukum yang harus
ditaati oleh siapapun, bahkan aturan adat itu lebih keras sangsinya
dibandingkan dengan aturan hukum positif saat ini yang cenderung tidak
memberikan efek jera.
Berbagai macam contoh pembauran adat
dengan agama yang mungkin pernah kita saksikan saat ini antara lain adalah, tradisi
prosesi pemakaman dalam komunitas adat suku toraja yang ada pembauran antara
agama Kristen dan adat istiadat yang berlaku dalam komunitas tersebut, kalau
kita lihat secara umum dibandingkan dengan daerah lain seperti Manado yang juga
memiliki masyarakat yang mayoritas Kristen ini berbeda prosesnya, artinya bahwa
hal ini dipengaruhi oleh adat istiadat yang diyakini dalam komunitasnya. Namun
untuk sebuah keberagaman budaya prosesi adat pemakaman di Tanah Toraja ini
sangat diakui oleh negara sebagai sebuah keberagaman, bahkan menjadi ciri khas
daerah tersebut yang bisa dikenal luas sampai ke mancanegara dan menjadi salah
satu pilihan tempat wisata yang dicari.
Dalam agama Islam pun banyak kita
jumpai hal yang sama pembauran antara agama dan adat istiadat dalam sebuah
komunitas adat di daerah kita Gorontalo, yang masih sangat kental dengan adat
istiadat yang berlaku, antara lain prosesi pemakaman dan pernikahan, yang sebagian
besar masyarakat kita menggunakan prosesi adat dalam pelaksanaannya, padahalal
sebenarnya dalam Islam sudah secara jelas dan rinci diatur proses
pelaksanaannya, namun bagi komunitas yang mempercayainya hal ini ditambahkan
dengan suatu prosesi adat sehingga terlihat perbedaannya dengan yang lainnya.
Inilah yang dinamakan keberagaman budaya dan adat istiadat, walaupun dianggap
sebagai sesuatu yang berlebihan namun patut untuk dihargai perbedaannya bagi
yang tidak melaksanakannya, selama itu tidak mengganggu yang lainnya dan tidak
melanggar norma-norma agama Islam.
Selain itu ada
berbagai macam aturan adat yang berlaku di masyarakat termasuk di Gorontalo
yang kalau kita lihat dalam Islam sebenarnya tidak ada anjurannya tetapi
menjadi sesuatu hal yang diyakini dan dilaksanakan antara lain adalah tradisi
raba-raba puru (Molondhalo) yang didalamnya sama sekali tidak ada
pembauaran antara agama dan adat istiadat. Walaupun ini menjadi sesuatu hal
yang sudah turun temurun dilaksanakan dalam tradisi adat masyarakat Gorontalo,
namun tidak semua yang melaksanakannya, ada kelompok-kelompok tertentu yang
sama sekali tidak melaksanakannya.
B. TINGKAT PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG SEJARAH ADAT MOLONDHALO DI GORONTALO
Umat Islam
Indonesia di Jawa maupun di pulau selainnya, saat menyambut putera pertama
ternyata masih melakukan ritual-ritual yang tidak ada perintahnya dari nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Acara itu adalah neloni (selamatan
ketika kehamilan berusia tiga bulan), mitoni (saat berusia tujuh bulan),
dan juga tingkeban. Sebagian melakukannya ketiga-tiganya, ada pula yang
melakukan acara mitoni dan tingkeban, ada pula yang melakukan tingkeban saja
karena mitoni dianggap sama dengan tingkeban. Sebagian orang Jawa, (dan juga
selainnya termasuk Sunda, Minang, Dayak dan lainnya) mempercayai bahwa mitoni
atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap
usia 7 bulan atau lebih. Mitoni dan tingkeban dilaksanakan saat kehamilan
berusia tidak boleh kurang dari 7 bulan. Karena tidak ada neptu atau weton
(hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan, maka hari selasa atau sabtu
yang digunakan. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu
dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika,
rahayu).
Ternyata
telonan, mitoni dan tingkeban yang sering dijumpai di
tengah-tengah masyarakat adalah tradisi yang berasal dari agama Hindu
yaitu dalam Kitab Hindu Upadesa halaman 6 disebutkan bahwa telonan, mitoni,
dan tingkeban dilakukan untuk memohon keselamatan anak yang ada di dalam
rahim (kandungan). Acara ini sering juga dikenal dengan Garba Wedana (garba berarti
perut, wedana berarti sedang mengandung).
Dalam
tradisi masyarakat Gorontalo yang juga melaksanakan hal yang sama dengan nama
yang berbeda yaitu molondhalo, terlepas dari tradisi ini merupakan
tradisi yang dilaksanakan oleh Agama Hindu dan Jawa, namun Gorontalo pun punya
sejarahnya tersendiri tentang awal mula tradisi ini dikenal luas oleh
masyarakat Gorontalo. Dalam sejarahnya tradisi ini mulai dikenal masyarakat
Gorontalo sejak abad ke 15. Tradisi ini mulai dilaksanakan oleh seorang sultan
yang bernama sultan Amai yang menyebarkan agama Islam di Gorontalo. Secara
tidak sengaja hal ini terjadi dan dilaksanakan oleh Sultan Amai yang pada saat
awal mula ia datang ke kerajaan Hulondhalangi. Pada saat itu dalam kisahnya
istrinya yang bernama putri owutango telah empat kali hamil namun kehamilannya
sering hilang saat belum sampai pada usia kandungan 9 bulan. Sang sultan pun
dengan kegelisahannya mulai mempertanyakan hal ini kepada istrinya sebab sudah
3 tahun menikah namun belum juga ada keturunan.
Terjadilah
perbincangan antar sultan dan istrinya, sang istri menyatakan kesiapannya kalau
saja dia tidak mampu memberikan keturunan kepada sultan amai maka dia siap
untuk menerima sultan kawin lagi, namun sang sultan membantahnya bahwa hal ini
bukanlah sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah. Sehingga dengan restu
ayahanda Baginda Raja solusi pun didapatkan
yaitu dengan mempersatukan adat kerajaan Palasa dan kerajaan
Hulonthalangi, memohon restu disaat kandungan yang ke lima dari putri owutango
ini berumur tujuh bulan. Peristiwa ini yang disebut dengan Molondhalo,
yaitu menolak gangguan setan dengan meraba perut yang dilakukan oleh bidan
kampung, dan pembacaan/pengajian doa shalawat oleh imam.
Kemudian
tradisi ini pun dilaksanakan dengan tata cara yang sudah dirancang oleh kedua
adat kerajaan di Gorontalo, dan benar saja apa yang diinginkan oleh sultan
akhirnya terkabul juga, kehamilan putri owutango mampu bertahan hingga bayinya
lahir. Sejak saat itu peristiwa molondhalo yang dilaksanakan oleh sultan Amai
ini mulai dijadikan tradisi adat Gorontalo yang sampai dengan saat ini masih
tetap bertahan. [1]
Tradisi
molondhalo yang sudah membudaya dalam masyarakat adat Gorontalo ini
sebenarnya dalam prakteknya tidak semua masyarakat yang mempercayainya dan
melaksanakannya. Kelompok masyarakat Islam yang sangat mempercayainya dan
melaksanakannya adalah kelompok organisasi masyarakat Islam Nahdalatul Ulama
(NU) Gorontalo, selain kelompok ini tidak melaksanakannya dengan alasan menggap
hal ini, termasuk perkara baru dalam agama. Dan semua perkara baru dalam agama
adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. Termasuk yang
tidak melaksanakan dalam masyarakat Gorontalo adalah kelompok Muhammadiyah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah semua perkara
baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan
semua bid’ah merupakan kesesatan”. (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676;
Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Kemudian, jika selamatan
kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan
kebaikan, dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau
keburukan, maka keyakinan seperti itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya
keselamatan dan bencana itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Allah berfirman:
قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَا لاَ
يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا واللهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَليِمُ
‘Katakanlah:
“Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi
mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa’at?”. Dan Allah-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui’. (QS Al Maidah:76). [2]
Dalam
masyarakat adat Gorontalo yang mempercayainya, sebenarnya hal ini dianggap
sebagai sebuah tradisi yang tidak menyandarkan ini kedalam agama Islam, ini
dianggap sebagai tradisi murni yang bisa dilaksanakan dan bisa juga tidak.
Kalau dilihat dari sejarahnya hal ini dilaksanakan dengan cara-cara yang
tradisional yang jauh dari kemewahan dan buang-buang duit, tetapi saat ini
mulai merubah kedalam hal-hal yang berbau kemewahan dan persaingan. Semakin
tinggi derajat seseorang maka semakin sempurna juga apa yang dilaksanakan
didalamnya sehingga terkesan buang-buang duit kedalam hal yang sama sekali
tidak diatur dalam agama Islam. Kalau dikaitkan dengan agama Islam yang bisa
diambil sebagai sesuatu hal yang baik didalamnya adalah pembacaan ayat-ayat
suci al-Qur’an yang dibaca oleh imam atau lebi sebagai sebuah doa untuk
memohon perlindungan dan sisanya adalah tradisi murni.
Apa yang telah dijelaskan dalam sejarah molondhalo
ini, mulai dari awal munculnya dan kemudian kaitan antara adat dan agama Islam,
dapat kita lihat bahwa sebagian besar masyarakat Gorontalo itu tidak memahami
hal ini, terutama masyarakat yang hidup di zaman modern saat ini. Bagi
masyarakat yang hidup di zaman ini tradisi itu cukup untuk dilaksanakan dan
diyakini, masalah sejarah, prosesi dan nilai-nilai yang dikandungnya itu cukup
orang-orang tua dan orang yang berkepentingan didalamnya saja yang harus
memahami, dalam hal ini pegawai syara, imam dan hulango. Jauh berbeda dengan
masa sebelum zaman berkembang dan Gorontalo masih sangat memperhatikan adat
istiadat yang berlaku, nilai-nilai dan sejarah dalam setiap adat itu masih
tertanam dalam hati dan pikiran orang-orang dulu, kalau sekarang jangankan
anak-anak muda bahkan orang-orang tua kita pun ada yang tidak memahami sama
sekali. Sehingga tradisi ini dilaksanakan hanya karena tuntutan adat bukan
karena tujuan ingin mencapai nilai-nilai sejarahnya dan nilai-nilai yang
dikandungnya.
C. PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP PROSESI ADAT DAN MAKNA ADAT MOLODHALO DI GORONTALO
Berbicara
tentang sebuah tradisi tidak lepas dari segala prosesi dan makna yang
terkandung didalamnya, untuk itu sebelum kita mengatakan bahwa hal ini adalah bid’ah
maka seharusnya kita kenali dulu apa yang ada didalamnya termasuk prosesinya
dan maknanya.
Dalam buku yang
disusun oleh Farha Daulima (dkk.),
disebutkan bahwa molonthalo atau raba puru bagi sang istri yang hamil 7
bulan anak pertama, merupakan pra-acara adat dalam rangka peristiwa adat
kelahiran dan keremajaan, yang telah baku pada masyarakat Gorontalo. Hakekat
dari acara ini antara lain adalah: 1) pernyataan dari keluarga pihak suami
bahwa kehamilan pertama, adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan
dari perkawinan yang sah; 2) merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua
belah pihak bahwa sang istri benar-benar suci, dan merupakan dorongan bagi
gadis-gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatannya; 3) pernyataan syukur
atas nikmat Tuhan yang telah diberikan kepada sepasang suami-istri melalui ngadi salawati (doa shalawat), agar
kelahiran sang bayi memperoleh kemudahan; 4) pemantapan kehidupan sepasang
suami istri menyambut sang bayi, sebagai penerus keturunan mereka dan persiapan
fisik dan mental menjadi ayah dan ibu yang baik dengan memelihara kelangsungan rumah tangga yang
dilambangkan dengan makan saling suap menyuapi. [3]
Tahap –Tahap Prosesi Tradisi Molontalo
- Molone’o
Prosesi ini di lakukan agar Mengetahui
keadaan perut sang ibu yang hamil tentang usia jabang bayinya.yang di hitung
dari berhentinya haid (TILAYONGA), sampai pada satu bulan Dan hulango (bidan
kampuang) mengetahui umur cabang bayi dengan mengurut perut sang ibu, dengan
jari tengah pada kedua tangan terbuka. Peristiwa
Molone’o ini di tandai dengan mongadi
Salawati.
- Modu’oto
Modu’oto dilakukan agar
mengetahui umur jabang bayi, yang di hitung dari saat Molone’o yaitu berusia tiga bulan. Cara yang
dilakukan oleh hulango dalam prosesi ini bidan mengurut perut sang ibu dengan
telapak tanggan, pada sisi perut. Dan di tandai dengan mogadi salawati.
- Molonthalo
Bidan akan menyiapkan segala atribut adat, sebagai
syarat adat, setelah itu bidan akan memberikan tanda dengan alawahu Tilihi di
leher bagian bawah tenggorokan, bahu, lekukan tangan ,bagian atas telapak kaki, lutut.
Yang maknanya menurut para bidan agar sang ibu akan meningglakan
sifat-sifat tercela dalam mendidik membesarkan anak-anaknya nanti.Setelah itu
sang ibu di baringkan di atas permadani, dan kepalanya menghadap ke timur untuk
memulai segala prosesi. [4]
Upacara Adat Molonthalo
Acara
Molonthalo ini merupakan pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa kehamilan
pertama adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan
yang syah. Persiapan dan cara pelaksanaan hingga tahapan dari Acara Adat
Molonthalo ini cukup banyak. Pihak keluarga yang mengadakan upacara adat ini
harus menghadirkan kerabat pihak suami, Hulango atau Bidan Kampung, Imam
Kampung atau Hatibi, dua orang anak perempuan umur 7 sampai dengan 9 tahun,
keduanya masih memiliki orang tuanya (Payu lo Hulonthalo), dua orang Ibu
dari keluarga sakinah.
Hulango atau
Bidan Kampung, yang telah ditunjuk sebagai pelaksana acara Molonthalo, harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Beragama Islam.
- Mengetahui seluk beluk umur kandungan.
- Mengetahui urutan Upacara Adat Molonthalo.
- Mengetahui lafal-lafal yang telah diturunkan oleh leluhur dalam pelaksanaan acara tersebut.
- Diakui oleh kelompok masyarakat sebagai Bidan Kampung.
Atribut Adat
sebagai pelengkap Upacara Adat Molonthalo, antara lain; 1). Hulante yang
berbentuk seperangkat bahan diatas baki, terdiri dari beras cupak atau 3 liter,
diatasnya terletak 7 buah pala, 7 buah cengkih, 7 buah telur, 7 buah limututu
(lemon sowanggi), 7 buah mata uang yang bernilai Rp. 100,- Dahulu mata uang
terdiri dari Ringgit, Rupiah, Suku, Tali, Ketip dan Kelip.
2). Seperangkat bahan pembakaran dupa diatas baki, yang terdiri dari 1 buah polutube (pedupaan), 1 buah baskom tempat tetabu (dupa) dan segelas air masak yang tertutup. Seperangkat batu gosok (botu pongi’ila) yaitu batu gosok untuk mengikis kunyit sepenggal, dicampur sedikit kapur, dan air dingin yang disebut Alawahu Tilihi. Seperangkat Pomama (tempat sirih, pinang), Tambaluda atau Hukede. 3). 7 buah Toyopo, yang berisi seperangkat makanan, tempatnya terbuat dari daun kelapa muda (janur) yang berisi nasi kuning, telur rebus, ayam goreng dan kue – kue seperti wapili, kolombengi, apangi dll ditambah pisang masak terdiri dari pisang raja atau pisang gapi (Lutu Tahulumito atau Lutu Lo Hulonti’o). 4). Seperangkat makanan diatas baki terdiri dari sepiring bilinti, atau sejenis nasi goreng yang dicampur dengan hati ayam, sepiring ayam goreng yang masih utuh dan diperutnya dimasukkan sebuah telur rebus, dua buah baskom tempat cuci tangan dan dua buah gelas berisi air masak, dan dua buah sendok makan.
5). Sebuah daun silar (tiladu) berkeping tiga (tiladu tula-tula pidu), seukuran perut sang ibu yang hamil. 6). Bulewe atau upik pinang (Malo ngo’alo). 7). Sebuah tempurung tidak bermata (buawu huli). Seperangkat tikar putih (amongo peya-peya atau ti’ohu) yang terbungkus (bolu-bolu). Yang terpancang didepan pintu (pode-podehu). Dimana ada seorang ibu dibalik tirai itu meneruskan pertanyaan dari syara’ (hatibi atau syarada’a atau imam) yang bertugas / diundang membacakan doa, kepada Hulango (bidan kampung). Pertanyaan yang disampaikan adalah “MA NGOLO HULA” artinya sudah berapa bulan dan dijawab oleh anak-anak tersebut atas petunjuk Hulango. 8). Pale Yilulo (Tilondawu) yaitu : beras yang diwarnai dengan warna merah, kuning, hijau, hitam dan putih). 9). Sebilah keris memakai sarung.
2). Seperangkat bahan pembakaran dupa diatas baki, yang terdiri dari 1 buah polutube (pedupaan), 1 buah baskom tempat tetabu (dupa) dan segelas air masak yang tertutup. Seperangkat batu gosok (botu pongi’ila) yaitu batu gosok untuk mengikis kunyit sepenggal, dicampur sedikit kapur, dan air dingin yang disebut Alawahu Tilihi. Seperangkat Pomama (tempat sirih, pinang), Tambaluda atau Hukede. 3). 7 buah Toyopo, yang berisi seperangkat makanan, tempatnya terbuat dari daun kelapa muda (janur) yang berisi nasi kuning, telur rebus, ayam goreng dan kue – kue seperti wapili, kolombengi, apangi dll ditambah pisang masak terdiri dari pisang raja atau pisang gapi (Lutu Tahulumito atau Lutu Lo Hulonti’o). 4). Seperangkat makanan diatas baki terdiri dari sepiring bilinti, atau sejenis nasi goreng yang dicampur dengan hati ayam, sepiring ayam goreng yang masih utuh dan diperutnya dimasukkan sebuah telur rebus, dua buah baskom tempat cuci tangan dan dua buah gelas berisi air masak, dan dua buah sendok makan.
5). Sebuah daun silar (tiladu) berkeping tiga (tiladu tula-tula pidu), seukuran perut sang ibu yang hamil. 6). Bulewe atau upik pinang (Malo ngo’alo). 7). Sebuah tempurung tidak bermata (buawu huli). Seperangkat tikar putih (amongo peya-peya atau ti’ohu) yang terbungkus (bolu-bolu). Yang terpancang didepan pintu (pode-podehu). Dimana ada seorang ibu dibalik tirai itu meneruskan pertanyaan dari syara’ (hatibi atau syarada’a atau imam) yang bertugas / diundang membacakan doa, kepada Hulango (bidan kampung). Pertanyaan yang disampaikan adalah “MA NGOLO HULA” artinya sudah berapa bulan dan dijawab oleh anak-anak tersebut atas petunjuk Hulango. 8). Pale Yilulo (Tilondawu) yaitu : beras yang diwarnai dengan warna merah, kuning, hijau, hitam dan putih). 9). Sebilah keris memakai sarung.
Bagi yang
diacarakan (sang ibu hamil) memakai busana walimomo konde pakai sunthi
dengan tingkatan, 1 tangkai untuk umum, 3 tangkai untuk golongan istri wuleya
lo lipu (Camat), 5 tangkai untuk golongan istri Jogugu / wakil
Bupati / Walikota, dan 7 tangkai untuk Mbui, istri Raja / Bupati / Walikota.
Suami (calon ayah) memakai Bo’o takowa kiki dan payungo tilabatayila
memakai salempang, keris terselip di pinggang. Dua orang untuk perempuan
memakai galenggo wolimomo, kepalanya memakai Baya Lo Bo’ute, atau bahan
hiasan kepala. Dua orang ibu yang sakinah memakai kebaya dan batik, serta batik
surang sebagai penutup atau (wulo-wuloto) atau busana lo mango tiilo.
Prosesi
pelaksanaan Upacara Adat Molonthalo dimulai dengan Hulango memberikan tanda (bontho)
dengan alawahu tilihi pada dahi, leher bagian bawah tenggorokan, bahu,
lekukan tangan dan bagian atas telapak kaki, bawah lutut, yang bermakna pernyataan
sang ibu akan meninggalkan sifat – sifat mazmunah (tercela) dalam
mendidik dan membesarkan anak – anaknya nanti. Kemudian Sang ibu dibaringkan
diatas tikar putih diatas permadani, kepalanya menghadap ketimur dan kakinya ke
barat. Seorang ibu memegang bantal dan menjaga dibagian kepalanya. Pada bagian
kaki seorang ibu menjaga sambil memegang lutut dari sang ibu hamil, posisi
lututnya terlipat keatas.
Dua orang anak
(laki – laki dan perempuan) pada payu lo limutu, satu orang anak
perempuan (pada payu lo Hulondhalo), yang sudah dapat berbicara. Mereka duduk
bersebelahan (payu lo limutu), duduk disisi sebelah kanan dari ibu yang
di tonthalo. Kedua tangan mereka tersusun diatas perut yang hamil ( ibu
yang di tonthalo), tepat diatas ikat pinggang janur berkepala tiga.
Syara’ menanyakan kepada ibu
yang dibalik tirai / pemegang lalante bula (tikar terbungkus kain batik),
sebagai berikut : “MA NGOLA HULA?” artinya “SUDAH BERAPA BULAN?”.
Pertanyaan ini diteruskan kepada Hulango lalu dibalas oleh hulango dengan
kalimat : “OYINTA OLUWO dst.”. Jawaban itu diteruskan oleh ibu dibalik
tirai (podebu lo bula), kepada syara’ dengan suara keras, demikian
berlangsung tiga kali. Dilanjutkan dengan Sang suami melangkahi perut sang
istri 3 kali, lalu menghunus keris, memotong ikatan anyaman silar tersebut.
Setelah
anyaman silar itu terputus, maka sang suami mengeluarkan ikatan silar tersebut,
dan sang istri bangun menuju pintu didepan lalante bula dan sang suami
keluar mengelilingi rumah 1 kali, kemudian membuang silar itu jauh – jauh. Hal
ini perlambang, agar bayi itu lahir dengan selamat, dan mencari 3 jalur ikatan
adat, syara’ dan baala, sebagai pedoman hidupnya dalam bermasyarakat nanti.
Selesai acara tersebut, sepasang suami istri kembali kerumah, duduk berhadapan
saling suap menyuapi dengan seperangkat makanan yang ada dibaki yaitu nasi bilinthi,
dan ayam goreng, didahului dengan sang suami mengeluarkan telur dari perut ayam
goreng, sebagai perlambang kemudahan sang istri melahirkan jabang bayi. Suap
menyuap adalah perlambang kasih sayang, dan mengingatkan hak serta kewajiban
baik istri maupun suami.
Suami Isteri
saling menyuapkan makanan yang merupakan salah satu bagian prosesi Molonthalo. Dilanjutkan
dengan Pembacaan doa salawat oleh imam atau hatibi atau aparat keagamaan
lainya, dihadapan hidangan, yang dihadiri oleh undangan yang terdiri dari
kerabat kedua belah pihak. Tahapan terakhir, Suami Istri dimandikan oleh hulango
dengan air yang penuh dengan berbagai macam bunga – bunga dan ramuan.
Suami
melangkahi perut sang istri 3 kali dan dimandikan bersama
merupakan bagian dari Upacara Adat Molonthalo. Acara diakhiri dengan suguhan kopi atau minum teh bersama disajikan dengan kue tradisional gorontalo. Sebelum bubar, sang suami memberikan sedekah kepada para pelaksana acara tersebut sesuai keikhlasan. Pala’u dibagi – bagikan kepada yang berhak menerimanya, yakni Hulango, pembaca doa salawat, dua orang anak, dua orang ibu dan seorang ibu dibalik tirai (yang meneruskan pertanyaan dan jawaban antara hulango dan imam). [5]
merupakan bagian dari Upacara Adat Molonthalo. Acara diakhiri dengan suguhan kopi atau minum teh bersama disajikan dengan kue tradisional gorontalo. Sebelum bubar, sang suami memberikan sedekah kepada para pelaksana acara tersebut sesuai keikhlasan. Pala’u dibagi – bagikan kepada yang berhak menerimanya, yakni Hulango, pembaca doa salawat, dua orang anak, dua orang ibu dan seorang ibu dibalik tirai (yang meneruskan pertanyaan dan jawaban antara hulango dan imam). [5]
Makna Yang Terkandung Dalam Upacara Molonthalo
- Kebersamaan, dalam prosesi pelaksanaan adat molondhalo ini sebenarnya terkandung makna kebersamaan yang sangatlah besar. Dalam prekteknya prosesi adat molondhalo yang sering kita saksikan ini merupakan wujud sebuah persatuan dalam kebersamaan antara pihak perempuan dan pihak laki-laki, dimana dalam proses pernikahan hal ini sudah terjalin namun masih terkesan sendiri-sendiri dalam prosesi adatnya, tetapi dalam adat molondhalo ini kedua keluarga ini akan lebih dipersatukan dengan adanya kerja sama didalamnya, terutama dalam hal prosesinya dan persiapannya.
- Gotong royong, dalam hal ini bukan hanya kedua keluarga saja yang akan dipersatukan dalam prosesinya tetapi juga masyarakat lingkungan sekitar. Hal ini terlihat dalam pelaksanaannya tetangga sekitaran rumah juga ikut andil dalam pelaksanaan ini, bantu membantu dalam persiapannya, ikut bahagia, dan juga ikut mendoakan. Walaupun semakin lama gotong royong ini mulai hilang dalam masyarakat tetapi sebagian besar masih tetap terasa dan terjaga.
- Keselamatan, makna keselamatan dalam pelaksanaan adat ini dikaitakan dengan keselamatan sang jabang bayi dan ibunya yang harus dijaga keselamatannya, sebab pada dasarnya kehamilan pertama dalam rumah tangga itu memang sangatlah rawan dengan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan untuk bayinya terutama dalam gangguan setan. Kemudian untuk ibunya pun hal yang sama diinginkan untuk keselamatannya, kehamilan pertama itu semua belum pernah merasakan, semuanya masih merupakan hal yang baru terjadi dari sejak ngidam, masa-masa kehamilan, hingga pada masa kelahiran, sehingga permohonan keselamatan ini penting untuk dilaksanakan.
Dalam prosesi
adat yang telah dijelaskan diatas terlihat jelas begitu apik dan sakralnya adat
ini, terutama makna yang terkandung dalam pelaksanaan prosesi adat molondhalo,
yang kalau diperhatikan dengan saksama dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari mungkin manfaatnya sangatlah besar. Namun hal ini berbanding
terbalik dengan tujuan dari pada prosesi adat molondhalo, dalam prakteknya
hanya sebagian kecil masyarakat saja yang paham dan mengikuti prosesi ini
dengan baik serta menerapkannya dalam kehidupan. Padahal adat itu merupakan
sesuatu hukum yang tidak tersurat tetapi tersirat dan wajib untuk diterapkan
bagi masyarakat yang mempercayainya.
Terlepas
dari kernyataan bahwa ini merupakan larangan yang tidak ada syariatnya dalam
Al-Qur’an dan Hadits, maka sebaiknya yang kita ambil didalamnya sebagai sesuatu
hal yang baik adalah makna yang tekandung didalmnya, karena segala bentuk makna
dari pada adat itulah yang tidak bertentangan dengan agama, segala prosesi adat
itu menginginkan kebaikan bukan keburukan didalamnya. Berbicara tentang adat
pastilah kita akan melihat ada kelebihan dan kekurangannya. Maka dari itu
makalah ini berusaha untuk mengungkapkan kekurangan dari adat molondhalo selain
dari tidak disyariatkannya dalam agama Islam, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Prosesinya,
Dalam
prosesi adat molondhalo ini dapat kita saksikan sesuatu hal yang sakral
didalamnya, dan ada nilai-nilai kebersamaan yang tercipta, namun apakah
masyarakat yang hadir didalamnya paham dengan prosesi adat itu, terlebih kepada
suami istri yang melaksanakan prosesi ini. Kalau sekiranya masih banyak yang
tidak memahami prosesinnya maka apa gunanya hal ini dilakukan. Kekurangan dari
prosesi adat di Gorontalo dengan adat didaerah lain seperti di Jawa adalah di
Gorontalo segala bentuk prosesi yang dilaksanakan dalam tradisi Gorontalo
termasuk molondhalo ini tidak dilafaskan dan diterjemahkan, sehingga banyak
yang tidak paham dengan apa yang disampaikan didalamnya, padahal kalau hal ini
disampaikan urutan prosesinya maka nilai-nilai yang terkandung didalamnya akan
tersampaikan. Berbeda dengan adat yang ada di Jawa bisa kita saksikan misalnya
dalam prosesi pernikahan adat Jawa semua disampaikan dan diucapkan dengan baik
urutan dari prosesinya termasuk terjemahannya kalau ini disampaikan dalam
bahasa Jawa, sebab tidak semua yang hadir adalah orang Jawa. Maka dari itu
prosesi adat di Gorontalo terkesan ikut-ikutan dan pernyataan yang penting
sudah melaksanakan.
2.
Maknanya,
Prosesi adat
ini mengandung unsur makna dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Makna
umumnya sebagian besar masyarakat itu pasti tau bahwa ini merupakan doa
keselamatan untuk ibu dan calon bayi yang dikandungnya. Tetapi dalam prosesinya
ada makna-makna kecil yang terkandung didalamnya yang tidak tersampaikan dan
sebagian besar tidak memahaminya, padahal kalau dipahami ini akan menjadi
tuntunan hidup, tetapi karena tidak dipahami maka makna itu berlalu begitu
saja.
3.
Kehamilannya,
Melihat
prosesi dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya sebenarnya ini adalah
sesuatu hal sakral dalam tataran adat Gorontalo, tetapi seiring berkembangnya
zaman adat pun mulai luntur dan dirusak. Hal ini bisa kita lihat bahwa cukup
banyak yang melaksanakan ini padahal kehamilannya itu sudah lebih dulu dari
pada pernikahannya, fakta membuktikan banyak yang seperti ini terjadi misalanya
hari ini menikah besoknya pelaksanaan tradisi molondhalo dan seminggu kemudian
melahirkan. Pada dasarnya ini merusak makna dan justru menimbulkan lebih banyak fitnah, sebab pada
dasarnya adat molondhalo ini adalah mempublikasikan kehamilan pertama pada
orang-orang dan memohon doa untuk keselamatan tetapi karena kehamilan terjadi
sebelum pernikahan maka ketika adat ini dilaksanakan yang terjadi adalah
orang-orang akan tau kondisi yang sebenarnya dan malah menjadi bahan gunjingan
masyarakat. Ini akibat dari ketidak pahaman masyarakat terhadap tujuan dari
pada adat itu sendiri.
D. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
- Setelah melihat sejarah adat molondhalo yang ada di Gorontalo dan juga melihat fenomena yang ada, sebahagian besar masyarakat gorontalo itu masih belum memahami tentang apa itu sejarah molondhalo, selama ini kebanyakan yang melakukannya karena kebiasaan bukan karena memahaminya.
- Dalam hal prosesinya kalau dilihat dari tingkat pemahaman masyarakat juga masih banyak yang belum memahaminya, padahal kalau dipelajari dengan baik dan benar maka sungguh besar makna yang terkandung didalamnya, apalagi kalau maknanya bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan rumah tangga maka hal ini jauh lebih besar manfaatnya dan akan terhindar dari prosesi yang dikategorikan bid’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy, Yogyakarta:
The Wahid Institute, 2007.
Abdurrahman Wahid, Islam di Asia Tenggara, dalam Abu Zahra ed. Politik
Demi Tuhan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih,
Jakarta, 2009
Farhah Daulima dan
Lamansu Laruhun, Kisah Putri Owutango dari Palasa (Kisah Asal Mula
Tersebarnya Islam di Daerah Gorontalo),
Poliyama Widyapustaka, Jakarta, Cet. 1, 2004
http://artnculture.ilmci.com/937/upacara-adat-molonthalo.aspx
M. Gazali Rahman, Tradisi Molonhalo Di Gorontalo, Jurnal Al-Ulum, Vol.
12, 2012.
Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press,
Bengkulu, Cet.I, 2013.
Medi Botutihe dan Nani Tuloli, Tata Cara Adat Gorontalo (Dari Upacara
Adat Kelahiran, Perkawinan, Penyambutan Tamu, Penobatan dan Pemberian Gelar
Adat Sampai Upacara Adat Pemakaman), 2003.
Nani Tuloli, dkk., Ragam Upacara Adat Tradisional Daerah Gorontalo
(Cet. I; Gorontalo: Sub Dinas Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Gorontalo, 2006).
Pendy Alimun, Skripsi (Eksistensi Pelaksanaan Adat Molondhalo), UNG, Gorontalo, 2015.
[1] Farhah Daulima dan Lamansu Laruhun, Kisah Putri
Owutango dari Palasa (Kisah Asal Mula Tersebarnya Islam di Daerah Gorontalo), Poliyama Widyapustaka, Jakarta, Cet. 1, 2004
[3] Nani Tuloli, dkk., Ragam
Upacara Adat Tradisional Daerah Gorontalo (Cet. I; Gorontalo: Sub Dinas
Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, 2006), h 2-3.
Lihat juga, Medi Botutihe dan Nani Tuloli, Tata Cara Adat Gorontalo (Dari
Upacara Adat Kelahiran, Perkawinan, Penyambutan Tamu, Penobatan dan Pemberian
Gelar Adat Sampai Upacara Adat Pemakaman), 2003.
Kelebihan Dan Kekurangan Ayam Ekor Pendek, banyak dimiliki oleh berbagai jenis ayam jago seperti ayam bangkok, ayam peru, ayam saigon, ayam pakhoy, ayam filipina, ayam burma ataupun jenis ayam jago lainnya.
BalasHapusDan Ayam Jago pada umumnya memiliki kualitas yang berbeda-beda dari setiap jenisnya. pada kesempatan kali ini, pemainayam ingin mengulas beberapa fakta menarik mengenai Ayam Jago Yang Memiliki Ekor Pendek.
Ayam Aduan Ekor Pendek
https://pemainayam.vip/tag/ayam-aduan-ekor-pendek/
Bonus Spesial Judi Online 100% !
BalasHapus• Sabung Ayam
• Sv388
• S128
• Linkaja
Pendaftaran Hubungi Kontak Resmi Kami Dibawah ini (Online 24 Jam Setiap Hari) :
» Nomor WhatsApp : 0812–2222–995
» ID Telegram : @bolavitacc
» ID Wechat : Bolavita
» ID Line : cs_bolavita