1.
Metode Ushul Fiqh
Multikultural K.H Abdurrahman Wahid
Metode ushul fiqh
multikultural yang dikembangkan oleh K.H Abdurrahman Wahid pada dasarnya tidak
jauh beda dengan apa yang telah disyariatkan dalam agama Islam, tetapi memang
ia memiliki nuansa tersendiri untuk meramunya menjadi sedikit berbeda dan
bernuansa kebudayaan Indonesia. Beberapa sumber ajaran Islam yang digunakan
oleh Gus Dur dalam mengembangkan metode ushul fiqh multikultural yang digagasnya
yaitu;
- Syari’ah, ia mendefinisikan syari’ah sebagai jalan hidup kaum muslimin berupa hukum dan aturan Islam yang mengatur sendi-sendi kehidupannya, seperti aturan tentang sholat, puasa, dan lain sebagainya. [1]
- Fiqih, ia menyatakan bahwa fiqih adalah ketentuan hukum-hukum yang dihasilkan dari proses pemahaman fuqaha’ yang mendalam terhadap ketentuan-ketentuan syari’ah/nas-nas hukum agama Islam. [2]
- Ushul Fiqih, ia memaknai ushul fiqih/Islamic Legal Theory adalah ilmu yang membahas tentang teori-teori hukum Islam. Adapun multikultural yang diberikan adalah karena ia selalu melakukan upaya aktualisasi antara konsep-konsep hukum Islam yang sudah dianggap baku dengan realitas faktual yang majemuk, sehingga ada dialektika antara konsep dengan fakta. [3]
Gagasan pribumisasi
Islam K.H Abdurrahman Wahid menggagasnya dengan melakukan upaya pembaruan hukum
Agama/fiqih dengan memposisikan ajaran fiqih menjadi pendukung gerakan
pribumisasi (ajaran fiqih) Islam. Hal ini memiliki pesan yang mendalam, yakni
dengan upaya menerjemahkan hukum agama sesuai dengan adat istiadat dan
kemajemukan masyarakat Indonesia sekaligus menjauhkan dari model gerakan agama
Timur Tengah yang penuh konfrontasi dan konflik yang tiada hentinya. [4] Salah satu wujud nyata
upaya pribumisasi Islam dalam konteks kemajemukan hidup beragama yang digagas
olehnya adalah dengan menyatakan perbedaan keyakinan agama adalah sesuatu hal
yang wajar, tidak perlu dipertentangkan, yang perlu dibangun adalah
kebersamaan/kerjasama walaupun dengan bentuk yang berbeda.
Paradigma ijtihad yang
dibangun oleh K.H Abdurrahman Wahid tidaklah muda dilaluinya sebab kondisi
masyarakat Islam yang pada saat itu masih sangat meyakini bahwa masa sahabat
dan tabiin merupakan masa yang paling sempurna dan harus diwujudkan kembali.
Padahal secara teoritis-rasional hal ini tidak mungkin bisa diwujudkan kembali
dalam kurun waktu dan kondisi yang
berbeda.[5] Apalagi kalau
disesuaikan dengan kondisi kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih bersifat
fluktuatif. Sehingga hal ini menjadi sebuah permasalahan yang mendasar yang
dihadapi oleh K.H Abdurrahman Wahid dalam berijtihad.
Pada tataran metodologi
ini K.H Abdurrahman Wahid dalam beristinbath mendasarkan pemikirannya pada
beberapa paradigma sebagai berikut:
- Paradigma Ijma’ Multikultural
Paradigma Ijma’
Multikultural yaitu, ijma’ yang melibatkan berbagai kalangan atau kelompok,
misalnya ijma’ yang dirumuskan oleh suatu bangsa, Negara, organisasi keagamaan
profesional, seperti MUI, LBM NU, MTT Muhammadiyah, dsb. Ia menekankan dalam
membangun konsep ijma’ mampu memelihara hak dan kewajiban setiap Individu tanpa
memandang perbedaan agama, budaya dan etnisnya, semua memiliki hak yang sama
den melibatkan diri dalam mempengaruhi formulasi penetapan kebijakan hukum
publik, agar menghasilkan ketentuan yang memberikan kebebasan kepada umat
manusia seperti kebebasan mengutarakan pendapat yang dijamin UU, kebebasan
berorganisasi, kebebsan bepergian keluar negeri tanpa dikaitkan dengana masalah
politik, kritik keras terhadap pemerintah tanpa pencekalan dan orang yang tidak
melakukan tindakan kriminal tidak boleh dicekal, betapapun keras kritikannya
terhadap pemerintah. [6] Konsensus ijma’ tidak
hanya mengandalkan suara mayoritas sebagai tolok ukurnya tetapi juga memelihara
dan melindungi hak dan kebebasan serta menjamin kesejahteraan seluruh warganya
berdasarkan khazanah budaya setempat yang dianggar Baik. [7]
- Paradigma Qiyas multikultural
Menurut KH Abdurrahman
Wahid qiyas adalah penyamaan suatu kasus hukum baru yang belum ada ketentuan
hukumnya kedalam ketentuan hukum nas hukum agama dengan adanya kesamaan illat
hukum. [8] Dalam prakteknya qiyas ini telah mampu
menjawab perkembangan sistem perekonomian yang begitu pesat yang tidak ada
jawabannya dalam Al-Qur’an dan hadis tetapi mampu diselesaikan dengan qiyas. Ini
merupakan qiyas yang inklusif, menerima adanya perbedaan pendapat diantara
kalangan dalam suatu kasus.
- Paradigma Istihsan multikultural
Paradigma Istihsan
multikultural yaitu menggunakan hukum juz’iyah dari pada hukum kulliyah
jika ada tuntutan menghendaki diterapkannya hukum tersebut. Dalam pandangannya
KH Abdurrahman Wahid mengungkapkan bahwa kerja sama dalam hal maju bersama dan
memperbaiki nasib bersama demi mencapai kesejahteraan materi, buatnya tidak
masalah untuk bekerja sama antar umat muslim
dan non muslih. Walaupun pada dasarnya hal ini tidak dibenarkan dalam
al-Qur’an namun ia menafsirkannya bahwa yang tidak boleh itu dalam hal aqidah,
karna sama-sama pasti tidak bisa saling menerima, ini merupakan caranya dalam
menerapkan paradigma istihsan.
4. Paradigma
Maslahah Multikultural
Paradigma maslahah
multikultural yaitu kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga
keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Paradigma mashlah sebagai
sebagai metode ijtihad hukum mewujudkan lima jaminan dasar yang harus dipenuhi
seperti yang telah dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid yaitu; keselamatan
fisik warga masyarakat, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan
keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda pribadi, dan keselamatan
profesi.[9] Dalam konteks
kemaslahatan ini KH Abdurrahman Wahid mengulas pentingnya dialog antar umat
beragama yang sebelumnya merupakan hal yang tidak wajib namun demi membangun
kerja sama dalam hal muamalah maka hal ini penting untuk dilakukan.
Dalam pengakuan syara’ mashlahah
dibagi dalam tiga jenis yang kemudian diilustrasikan oleh KH Abdurrahman Wahid
sebagai berikut; mashlahah mu’tabarah, [10] yang diilustrasikan bahwa Islam sebagai agama
hukum tidak perlu dibela sebagaimana halnya Allah. Sebab keduanya bisa membela
dengan sendirinya, seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 3. Dalam
konteks mashlahah mursalah [11] diilustrasikan dalam
proses pencalonannya sebagai presiden. Sedangkan mashlahah mulghah [12] dikaitkannya dengan
kerjasama dalam bidang akidah antar muslim dan non muslim yang tidak ada
aturannya dalam Al-Qur’an. Dalam konteks cakupannya ada dua yaitu mashlahah
‘ammah [13] yang dijabarkan oleh KH
Abdurrahman Wahid dalam hal kesediannya menjadi calonan presiden, untuk
menghindari lahirnya banyak korban dan perang saudara. Dalam mashlahah
khasash [14]dijabarkan dalam hal
pencabutan TAP MPRS no 25 tahun 1966 yang berguna bagi kemaslahatan golongan
tertentu yaitu PKI. [15] Dalam hal pembangunan
sistem ekonomi ia sangat memperhatikannya terutama dalam hal kemaslahatan
rakyat kecil.
- Paradigma ‘Urf Multikultural
Paradigma ‘urf
multikultural yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal
dalam menentukan suatu hukum. Dalam hal ini ‘urf dibagi dalam dua macam
yaitu ‘urf shahihah [16] dan ‘urf fasidah [17], namun yang dipandang
oleh KH Abdurrahman Wahid merupakan ‘urf yang harus dilestarikan adalah ‘urf
shahihah, hal ini penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan hukum
Islam dan proses peradilan, sehingga ‘urf dapat dikukuhkan menjadi hukum
syara’. Salah satu contoh yang dijabarkan olehnya adalah tentang
pembagian harta warisan sangat memungkinkan untuk mengikuti kebudayaan dan
kearifan lokal suatu daerah, walaupun ketentuannya dalam Al-Qur’an sudah diatur
dua banding satu antara laki-laki dan perempuan, namun hal ini bisa disesuaikan
dengan kebiasaan tergantung situasi dan kondisi yang memungkinkan.
- Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural,
Paradigma Syadz
Al-Dzara’ah Multikultural yaitu mempertimbang sesuatu yang menjadi perantara
kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum. Dalam
konteks ini KH Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai tindakan preventif agar
tidak muncul tindakan kemafsadatan. [18] Ia mencontohkan dalam
hal lahirnya terorisme yang sangat dipengaruhi oleh pemahan agama/fiqih yang
dangkal sehingga kewajiban bagi kaum muslimin adalah untuk melakukan
reinterpretasi. [19] Dalam konteks fath
al-dzari’ah, ia menyebutkan bahwa ekonomi negara akan tegak dan kokoh jika
sistem ekonomi dibangun berorientasi pada penguatan dan keberpihakan pada
kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM).
2.
Prinsip Ushul Fiqh Multikultural
K.H Abdurrahman Wahid
Dalam prakteknya ushul
fiqih multikultural yang digagas oleh KH Abdurrahman Wahid memiliki empat
prinsip yang diterapkan dalam proses istinbath hukum.
1. Prinsip
Keadilan
Dalam prinsip keadilan
ini, ia mempertegas apa yang sudah di amanatkan lewat Al-Qur’an agar setiap
manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang diembannya, melindungi kaum lemah
dan kekurangan, memiliki kepekaan sosial dengan sesama warga masyarakat dan
jujur dalam bersikap. Hal yang sama juga dipertegas dalam pesan UUD Tahun 1945
yang menyebutkan bahwa tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
untuk mencapai keadilan dan kemakmuran.
2. Prinsip
Kemanusiaan
Dalam prinsip ini ia
menjabarkan bahwa dalam hal mewujudkan dan mencapainya harus ditopang oleh
beberapa hal, yaitu kebebasan nurani, menjamin kebebasan manusia, keselamatan
akal dan jiwa manusia dan yang terakhir adalah memberdayakan manusia baik dalam
tataran intelektual maupun perilaku. Menurutnya pelembagaan lembaga pengawasan
yang kuat juga dapat mendukung terwujudnya pemeliharaan nilai-nilai manusia
terutama dalam hal penegakan hukun yang tidak hanya sekedar membentuk
pengadilan terbuka dan adil. Sehingga pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan yang
adil tidak hanya sekedar berbentuk formalitas, tetapi juga dengan adanya
pemeliharaan nilai-nilai substansial dari prosedur pelaksanaan pemeliharaan
nilai-nilai kemanusiaan.
3. Prinsip
Negara Hukum
Dalam prinsip ini ia
menjabarkan bahwa dalam hal pembentukan negara hukum, maka negara harus
mendasarkan pada kesejahteraan dan kemaslahatan sosial dalam merumuskan suatu
hukum/konstitusi. Menurutnya prinsip ini bisa terwujud dengan adanya prinsip
supremasi hukum, prinsip persamaan didepan hukum dan prinsip independensi peradilan
yang ditegakkan.
4. Prinsip
Universalitas
Dalam prinsip ini ia
menjabarkan bahwa dalam membuat aturan hukum atau undang-undang harus
memperhatikan dan disesuaikan dengan lima prinsip pokok hukum Islam (agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta) yang menjamin keselamatan manusia dan senafas
dengan nilai keadlian, kemanusiaan, keseimbangan, keserasian, keselarasan,
kesamaan di depan hukum dan ketertiban.
Dengan paradigma dan
keempat prinsip yang telah dijabarkan diatas ini KH Abdurrahman Wahid menggagas
ushul fiqih multikultural yang telah mampu membangun sistem hukum Islam yang
kontekstual dan melahirkan beragam macam rumusan konsep fiqih, yaitu fiqih
kenegaraan, fiqih kemanusiaan, fiqih kebudayaan, fiqih politik, fiqih ekonomi,
fiqih kebangsaan dan fiqih lintas mazhab. Yang didalamnya menerapkan
prinsip-prinsip ushul fiqih multikultural yang digagasnya, sehingga segala
bentuk aturan yang lahir dari negara ini mampu memberikan rasa aman dan nyaman
kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang suku, agama dan ras.
Sehingga negara ini mampu hadir dengan konsep aturan main sendiri yang tidak
lagi ada pengaruh dengan negara lain, dengan tidak membuang konsep lama tetapi
bisa untuk menjadi pembanding aturan yang dibuat negara. Paradigma inilah yang
dibangun oleh KH Abdurrahman Wahid untuk mewujudkan tujuannya dalam hal
“pribumisasi fiqih” yang sholihun li kulli zaman wa al-makan.
[1] Abdurrahman Wahid, Syari’atisasi dan Bank
Syariah, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 192.
[2] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslim dan Cita-cita”,
dan Abdurrahman Wahid, “Islam: Ideologis atau kultural?(01)”, dalam Abdurrahman
Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 43 dan 71-73. Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal..., hlm. 366.
[3] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslimin dan
Cita-cita”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 71-73.
[4] Andree Feillard, NU Vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk
dan Makna, terj. Lesmana,
(Yogyakarta:LkiS, 1995), hlm. 272. Bandingkan dengan
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiayi, (Jakarta: LP3ES, 1982).
[5] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai
Indonesia dan Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy,
(Yogyakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 197.
[6] Hasil Wawancara dengan KH Abdurrahman
Wahid, dikutip dari Rifa’i, Gus
Dur...,hlm. 90-91, dikutip lagi
dalam Buku Moh. Dahlan, Paradigma
Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 100.
[7] Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh
Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 101.
[8] Abdurrahman Wahid, Tata Krama dan “Ummatan Wa
Hidan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm 235.
[9] Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan
Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dan Budhy Munawar-Rahman (ed.) Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta:Paramadina).
[10] Mashlahah Mu’tabarah adalah jenis mashlahah yang yang keberadaanya
diakui oleh syara’ atau
terdapat dalam nas tanpa perlu adanya ijtihad untuk menentukan ada tidaknya
hukum tersebut.
[11] Mashlahah Mursalah adalah mashlahah
yang keberadaanya tidak ditemukan dalam nash dan mujtahid harus melakukan
ijtihad untuk menentukan ada tidaknya mashlahah dalam hal tersebut.
[12] Mashlahah Mulghah adalah jenis mashlahah
yang keberadaanya tidak diakui oleh nash karena dianggap bertentangan dengan
ketentuan eksplisit nash.
[13] Mashlahah ‘Ammah adalah jenis
mashlahah yang dibutuhkan untuk menjamin terpeliharanya kepentingan
kesejahteraan umum .
[14] Mashlahah Khasash adalah jenis mashlahah yang jangkauannya
untuk perorangan atau kelompok tertentu.
[15] Abdurrahman Wahid, “Islam: Ideologi atukah
kultural? (3)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita....,hlm.51.
[16] ‘Urf Sahihah adalah segala bentuk kebiasaan yang sudah
dikenal dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.
[17] ‘Urf Fasidah adalah segala bentuk kebiasaan yang sudah
dikenal oleh masyarakat tetapi berlawanan dengan dalil-dalil syara’.
[18] Abdurrahman Wahid, “Terorisme Harus Dilawan” dalam
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 292-293.
[19] Abdurrahman Wahid, “Bersumber Dari Pendangkalan”
dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 302.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar