Selasa, 04 April 2017

Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gusdur



1.                  Metode Ushul Fiqh Multikultural K.H Abdurrahman Wahid
Metode ushul fiqh multikultural yang dikembangkan oleh K.H Abdurrahman Wahid pada dasarnya tidak jauh beda dengan apa yang telah disyariatkan dalam agama Islam, tetapi memang ia memiliki nuansa tersendiri untuk meramunya menjadi sedikit berbeda dan bernuansa kebudayaan Indonesia. Beberapa sumber ajaran Islam yang digunakan oleh Gus Dur dalam mengembangkan metode ushul fiqh multikultural yang digagasnya yaitu;
  1. Syari’ah, ia mendefinisikan syari’ah sebagai jalan hidup kaum muslimin berupa hukum dan aturan Islam yang mengatur sendi-sendi kehidupannya, seperti aturan tentang sholat, puasa, dan lain sebagainya. [1]
  2. Fiqih, ia menyatakan bahwa fiqih adalah ketentuan hukum-hukum yang dihasilkan dari proses pemahaman fuqaha’ yang mendalam terhadap ketentuan-ketentuan syari’ah/nas-nas hukum agama Islam. [2]
  3. Ushul Fiqih, ia memaknai ushul fiqih/Islamic Legal Theory adalah ilmu yang membahas tentang teori-teori hukum Islam. Adapun multikultural yang diberikan adalah karena ia selalu melakukan upaya aktualisasi antara konsep-konsep hukum Islam yang sudah dianggap baku dengan realitas faktual yang majemuk, sehingga ada dialektika antara konsep dengan fakta. [3]
Gagasan pribumisasi Islam K.H Abdurrahman Wahid menggagasnya dengan melakukan upaya pembaruan hukum Agama/fiqih dengan memposisikan ajaran fiqih menjadi pendukung gerakan pribumisasi (ajaran fiqih) Islam. Hal ini memiliki pesan yang mendalam, yakni dengan upaya menerjemahkan hukum agama sesuai dengan adat istiadat dan kemajemukan masyarakat Indonesia sekaligus menjauhkan dari model gerakan agama Timur Tengah yang penuh konfrontasi dan konflik yang tiada hentinya. [4] Salah satu wujud nyata upaya pribumisasi Islam dalam konteks kemajemukan hidup beragama yang digagas olehnya adalah dengan menyatakan perbedaan keyakinan agama adalah sesuatu hal yang wajar, tidak perlu dipertentangkan, yang perlu dibangun adalah kebersamaan/kerjasama walaupun dengan bentuk yang berbeda.
Paradigma ijtihad yang dibangun oleh K.H Abdurrahman Wahid tidaklah muda dilaluinya sebab kondisi masyarakat Islam yang pada saat itu masih sangat meyakini bahwa masa sahabat dan tabiin merupakan masa yang paling sempurna dan harus diwujudkan kembali. Padahal secara teoritis-rasional hal ini tidak mungkin bisa diwujudkan kembali dalam kurun waktu  dan kondisi yang berbeda.[5] Apalagi kalau disesuaikan dengan kondisi kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih bersifat fluktuatif. Sehingga hal ini menjadi sebuah permasalahan yang mendasar yang dihadapi oleh K.H Abdurrahman Wahid dalam berijtihad.
Pada tataran metodologi ini K.H Abdurrahman Wahid dalam beristinbath mendasarkan pemikirannya pada beberapa paradigma sebagai berikut:
  1. Paradigma Ijma’ Multikultural
Paradigma Ijma’ Multikultural yaitu, ijma’ yang melibatkan berbagai kalangan atau kelompok, misalnya ijma’ yang dirumuskan oleh suatu bangsa, Negara, organisasi keagamaan profesional, seperti MUI, LBM NU, MTT Muhammadiyah, dsb. Ia menekankan dalam membangun konsep ijma’ mampu memelihara hak dan kewajiban setiap Individu tanpa memandang perbedaan agama, budaya dan etnisnya, semua memiliki hak yang sama den melibatkan diri dalam mempengaruhi formulasi penetapan kebijakan hukum publik, agar menghasilkan ketentuan yang memberikan kebebasan kepada umat manusia seperti kebebasan mengutarakan pendapat yang dijamin UU, kebebasan berorganisasi, kebebsan bepergian keluar negeri tanpa dikaitkan dengana masalah politik, kritik keras terhadap pemerintah tanpa pencekalan dan orang yang tidak melakukan tindakan kriminal tidak boleh dicekal, betapapun keras kritikannya terhadap pemerintah. [6] Konsensus ijma’ tidak hanya mengandalkan suara mayoritas sebagai tolok ukurnya tetapi juga memelihara dan melindungi hak dan kebebasan serta menjamin kesejahteraan seluruh warganya berdasarkan khazanah budaya setempat yang dianggar Baik. [7]
  1. Paradigma Qiyas multikultural
Menurut KH Abdurrahman Wahid qiyas adalah penyamaan suatu kasus hukum baru yang belum ada ketentuan hukumnya kedalam ketentuan hukum nas hukum agama dengan adanya kesamaan illat hukum. [8]  Dalam prakteknya qiyas ini telah mampu menjawab perkembangan sistem perekonomian yang begitu pesat yang tidak ada jawabannya dalam Al-Qur’an dan hadis tetapi mampu diselesaikan dengan qiyas. Ini merupakan qiyas yang inklusif, menerima adanya perbedaan pendapat diantara kalangan dalam suatu kasus.
  1. Paradigma Istihsan multikultural
Paradigma Istihsan multikultural yaitu menggunakan hukum juz’iyah dari pada hukum kulliyah jika ada tuntutan menghendaki diterapkannya hukum tersebut. Dalam pandangannya KH Abdurrahman Wahid mengungkapkan bahwa kerja sama dalam hal maju bersama dan memperbaiki nasib bersama demi mencapai kesejahteraan materi, buatnya tidak masalah untuk bekerja sama antar umat muslim  dan non muslih. Walaupun pada dasarnya hal ini tidak dibenarkan dalam al-Qur’an namun ia menafsirkannya bahwa yang tidak boleh itu dalam hal aqidah, karna sama-sama pasti tidak bisa saling menerima, ini merupakan caranya dalam menerapkan paradigma istihsan.
4.      Paradigma Maslahah Multikultural
Paradigma maslahah multikultural yaitu kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Paradigma mashlah sebagai sebagai metode ijtihad hukum mewujudkan lima jaminan dasar yang harus dipenuhi seperti yang telah dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid yaitu; keselamatan fisik warga masyarakat, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda pribadi, dan keselamatan profesi.[9] Dalam konteks kemaslahatan ini KH Abdurrahman Wahid mengulas pentingnya dialog antar umat beragama yang sebelumnya merupakan hal yang tidak wajib namun demi membangun kerja sama dalam hal muamalah maka hal ini penting untuk dilakukan.
Dalam pengakuan syara’ mashlahah dibagi dalam tiga jenis yang kemudian diilustrasikan oleh KH Abdurrahman Wahid sebagai berikut; mashlahah mu’tabarah, [10] yang diilustrasikan bahwa Islam sebagai agama hukum tidak perlu dibela sebagaimana halnya Allah. Sebab keduanya bisa membela dengan sendirinya, seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 3. Dalam konteks mashlahah mursalah [11] diilustrasikan dalam proses pencalonannya sebagai presiden. Sedangkan mashlahah mulghah [12] dikaitkannya dengan kerjasama dalam bidang akidah antar muslim dan non muslim yang tidak ada aturannya dalam Al-Qur’an. Dalam konteks cakupannya ada dua yaitu mashlahah ‘ammah [13] yang dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid dalam hal kesediannya menjadi calonan presiden, untuk menghindari lahirnya banyak korban dan perang saudara. Dalam mashlahah khasash [14]dijabarkan dalam hal pencabutan TAP MPRS no 25 tahun 1966 yang berguna bagi kemaslahatan golongan tertentu yaitu PKI. [15] Dalam hal pembangunan sistem ekonomi ia sangat memperhatikannya terutama dalam hal kemaslahatan rakyat kecil.
  1. Paradigma ‘Urf Multikultural
Paradigma ‘urf multikultural yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam menentukan suatu hukum. Dalam hal ini ‘urf dibagi dalam dua macam yaitu ‘urf shahihah [16] dan ‘urf fasidah [17], namun yang dipandang oleh KH Abdurrahman Wahid merupakan ‘urf yang harus dilestarikan adalah ‘urf shahihah, hal ini penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan hukum Islam dan proses peradilan, sehingga ‘urf dapat dikukuhkan menjadi hukum syara’. Salah satu contoh yang dijabarkan olehnya adalah tentang pembagian harta warisan sangat memungkinkan untuk mengikuti kebudayaan dan kearifan lokal suatu daerah, walaupun ketentuannya dalam Al-Qur’an sudah diatur dua banding satu antara laki-laki dan perempuan, namun hal ini bisa disesuaikan dengan kebiasaan tergantung situasi dan kondisi yang memungkinkan. 
  1. Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural,
Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural yaitu mempertimbang sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum. Dalam konteks ini KH Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai tindakan preventif agar tidak muncul tindakan kemafsadatan. [18] Ia mencontohkan dalam hal lahirnya terorisme yang sangat dipengaruhi oleh pemahan agama/fiqih yang dangkal sehingga kewajiban bagi kaum muslimin adalah untuk melakukan reinterpretasi. [19] Dalam konteks fath al-dzari’ah, ia menyebutkan bahwa ekonomi negara akan tegak dan kokoh jika sistem ekonomi dibangun berorientasi pada penguatan dan keberpihakan pada kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM).
2.                  Prinsip Ushul Fiqh Multikultural K.H Abdurrahman Wahid
Dalam prakteknya ushul fiqih multikultural yang digagas oleh KH Abdurrahman Wahid memiliki empat prinsip yang diterapkan dalam proses istinbath hukum.
1.      Prinsip Keadilan
Dalam prinsip keadilan ini, ia mempertegas apa yang sudah di amanatkan lewat Al-Qur’an agar setiap manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang diembannya, melindungi kaum lemah dan kekurangan, memiliki kepekaan sosial dengan sesama warga masyarakat dan jujur dalam bersikap. Hal yang sama juga dipertegas dalam pesan UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran.
2.      Prinsip Kemanusiaan
Dalam prinsip ini ia menjabarkan bahwa dalam hal mewujudkan dan mencapainya harus ditopang oleh beberapa hal, yaitu kebebasan nurani, menjamin kebebasan manusia, keselamatan akal dan jiwa manusia dan yang terakhir adalah memberdayakan manusia baik dalam tataran intelektual maupun perilaku. Menurutnya pelembagaan lembaga pengawasan yang kuat juga dapat mendukung terwujudnya pemeliharaan nilai-nilai manusia terutama dalam hal penegakan hukun yang tidak hanya sekedar membentuk pengadilan terbuka dan adil. Sehingga pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan yang adil tidak hanya sekedar berbentuk formalitas, tetapi juga dengan adanya pemeliharaan nilai-nilai substansial dari prosedur pelaksanaan pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan.
3.      Prinsip Negara Hukum
Dalam prinsip ini ia menjabarkan bahwa dalam hal pembentukan negara hukum, maka negara harus mendasarkan pada kesejahteraan dan kemaslahatan sosial dalam merumuskan suatu hukum/konstitusi. Menurutnya prinsip ini bisa terwujud dengan adanya prinsip supremasi hukum, prinsip persamaan didepan hukum dan prinsip independensi peradilan yang ditegakkan. 
4.      Prinsip Universalitas
Dalam prinsip ini ia menjabarkan bahwa dalam membuat aturan hukum atau undang-undang harus memperhatikan dan disesuaikan dengan lima prinsip pokok hukum Islam (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) yang menjamin keselamatan manusia dan senafas dengan nilai keadlian, kemanusiaan, keseimbangan, keserasian, keselarasan, kesamaan di depan hukum dan ketertiban.
Dengan paradigma dan keempat prinsip yang telah dijabarkan diatas ini KH Abdurrahman Wahid menggagas ushul fiqih multikultural yang telah mampu membangun sistem hukum Islam yang kontekstual dan melahirkan beragam macam rumusan konsep fiqih, yaitu fiqih kenegaraan, fiqih kemanusiaan, fiqih kebudayaan, fiqih politik, fiqih ekonomi, fiqih kebangsaan dan fiqih lintas mazhab. Yang didalamnya menerapkan prinsip-prinsip ushul fiqih multikultural yang digagasnya, sehingga segala bentuk aturan yang lahir dari negara ini mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang suku, agama dan ras. Sehingga negara ini mampu hadir dengan konsep aturan main sendiri yang tidak lagi ada pengaruh dengan negara lain, dengan tidak membuang konsep lama tetapi bisa untuk menjadi pembanding aturan yang dibuat negara. Paradigma inilah yang dibangun oleh KH Abdurrahman Wahid untuk mewujudkan tujuannya dalam hal “pribumisasi fiqih” yang sholihun li kulli zaman wa al-makan.  


[1] Abdurrahman Wahid, Syari’atisasi dan Bank Syariah, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 192. 
[2] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslim dan Cita-cita”, dan Abdurrahman Wahid, “Islam: Ideologis atau kultural?(01)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 43 dan 71-73. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal..., hlm. 366. 
[3] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslimin dan Cita-cita”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 71-73. 
[4] Andree Feillard, NU Vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogyakarta:LkiS, 1995), hlm. 272. Bandingkan dengan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiayi, (Jakarta: LP3ES, 1982). 
[5] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy, (Yogyakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 197. 
[6] Hasil Wawancara dengan KH Abdurrahman Wahid, dikutip dari Rifa’i, Gus Dur...,hlm. 90-91, dikutip lagi dalam Buku Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 100.
[7] Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 101.
[8] Abdurrahman Wahid, Tata Krama dan “Ummatan Wa Hidan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm 235. 
[9] Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dan Budhy Munawar-Rahman (ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta:Paramadina). 
[10] Mashlahah Mu’tabarah adalah jenis mashlahah yang yang keberadaanya diakui oleh syara’  atau terdapat dalam nas tanpa perlu adanya ijtihad untuk menentukan ada tidaknya hukum tersebut.
[11] Mashlahah Mursalah adalah mashlahah yang keberadaanya tidak ditemukan dalam nash dan mujtahid harus melakukan ijtihad untuk menentukan ada tidaknya mashlahah dalam hal tersebut. 
[12] Mashlahah Mulghah adalah jenis mashlahah yang keberadaanya tidak diakui oleh nash karena dianggap bertentangan dengan ketentuan eksplisit nash. 
[13] Mashlahah ‘Ammah adalah jenis mashlahah yang dibutuhkan untuk menjamin terpeliharanya kepentingan kesejahteraan umum  . 
[14] Mashlahah Khasash adalah jenis mashlahah yang jangkauannya untuk perorangan atau kelompok tertentu. 
[15] Abdurrahman Wahid, “Islam: Ideologi atukah kultural? (3)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita....,hlm.51. 
[16] Urf Sahihah adalah segala bentuk kebiasaan yang sudah dikenal dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.  
[17] Urf Fasidah adalah segala bentuk kebiasaan yang sudah dikenal oleh masyarakat tetapi berlawanan dengan dalil-dalil syara’. 
[18] Abdurrahman Wahid, “Terorisme Harus Dilawan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 292-293.   
[19] Abdurrahman Wahid, “Bersumber Dari Pendangkalan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 302.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar