Rabu, 31 Juli 2019

K.H ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR): “PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTURAL”

K.H ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR):
“PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTURAL”
(Kajian Buku: “Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur” karya Dr. Moh. Dahlan M.Ag,)

Gus Dur (Presiden RI Ke-4)


         A.              PENDAHULUAN
Perkembangan dunia Islam saat ini semakin memberikan warna tersendiri dalam setiap pemikiran para ulama, mufassir dan para pemikir muslim kontemporer. Perbedaan pandangan dan paradigma dari berbagai kalangan pemuka agama dan pemikir Islam sebenarnya akan memberikan nuansa berfikir yang komprehensif bukan menjadi sebuah perbedaan yang berujung pada saling menghujat dan menunjukkan siapa yang paling benar. Hal inilah yang seharusnya dibangun oleh masyarakat Indonesia dalam memahami sebuah perbedaan, sebab tanpa perbedaan, negara itu akan terfokus pada satu pemikiran dan ajaran yang sama yang tidak akan berkembang sampai kapan pun.
Salah satu pemikir Islam yang sangat keras dalam mendukung sebuah perbedaan adalah K.H Abrurrahman Wahid (Gus Dur), yang merupakan ulama besar bertaraf internasional yang tidak hanya besar di kalangan masyarakat Indonesia tetapi juga sangat di akui oleh dunia, beliau merupakan cucu dan anak dari pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu PBNU yang berhasil melanjutkan misi pembaruan Islam Nusantara di negeri ini yang juga pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU, selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai Presiden ke 4 RI Indonesia. Sejak kecil beliau memang besar dan tumbuh ditengah keluarga muslim yang taat, sehingga dasar-dasar agama Islam sudah tertanam sejak dini dalam dirinya, Sepeninggal ayahnya dia terus mengembangkan keilmuannya dalam pemikiran Islam dan mengembangkan pesantren-pesantren berbasis NU yang sudah di rintis oleh ayahnya dan keluarga besarnya, beliau tidak hanya mengembangkan ilmunya didalam negeri, tetapi sampai keluar negeri anatara lain di timur tengah dan eropa, hal inilah yang mampu mengantarkan dirinya menjadi ulama besar.
Paradigma dan cara berfikirnya sangat dikenal pada masa kejayaannya dan semasa dia masih hidup, namun sejak meninggal dunia perlahan mulai terlupakan dan bahkan mulai hilang dibenak masyarakat. Buah pemikirannya saat ini banyak termuat dalam berbagai buku, walaupun begitu hal ini tidak sampai ditelinga masyarakat yang belum pernah mendengarnya atau membacanya, terutama kalangan muda dan masyarakat awwam yang masih anak-anak bahkan yang belum hidup dimasanya. Pemikirannya saat ini masih mampu didapatkan atau didengar hanya dikalangan masyarakat NU yang mempelajari dan di ajarkan dipesantren-pesantren yang berbasis NU.
Pemikirannya tentang wawasan keislaman terutama dalam hal ushul fiqh/Hukum Islam memang banyak menuai kontroversi dan tak jarang disalah pahami, namun sebenarnya kalau dikaji dan dipahami lebih dalam lagi makna yang terkandung didalamnya itu sangatlah besar dan bermanfaat tidak hanya dikalangan warga NU saja tapi seluruh masyarakat Indonesia. Kerangka berfikirnya yang komprehensif dan kritis dalam memandang realitas agama, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan kenegaraan tak lepas dari argumen-argumen dan kaidah ushul fiqh yang normatif merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam ayat Al-Qur’an antara lain:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Terjemahnya: Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Q.S Al-Fushilat, 41: 33) [1]
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Terjemahnya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran, 3: 104). [2]
Dalam ayat ini K.H Abdurrahman Wahid meramu antara teori istimbath hukum dengan kenyataan rill yang dihadapi umat manusia. Misalnya dijelaskan bahwa dalam surat Al-Fushilat ayat 33 itu menjelaskan bahwa amal saleh (amalan shalihan) hanya berada ditengah kaum Muslimin, sedangkan surat Ali Imran ayat 104 tersebut terlihat amal kebaikan (fi’lu al-khair)dapat diberikan kepada siapa saja termasuk orang non muslim. [3] Sehingga dalam menuangkan isi dari berbagai pemikiran tentang ushul fiqh K.H Abdurrahman Wahid maka diterbitkanlah buku “Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur” karya Dr. Moh. Dahlan M.Ag, untuk memberikan pemahaman dan informasi tentang paradigma berfikir Gus Dur dalam ushul fiqh.
B.                 PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTURAL (KH. Abdurrahman Wahid)
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.
Sementara multikultural adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Jadi, paradigma ushul fiqh multikultural KH. Abdurrahman Wahid adalah sekumpulan pemikiran yang berasal dari pola pikirnya sebagai titik tolak pandangannya tentang ushul Fiqh dalam menjelaskan ragam kehidupan di dunia dan kebudayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan politik yang mereka anut. 
K.H Abdurrahman Wahid merupakan ulama besar yang dengan gaya dan cara berfikir multikulturalnya ini telah banyak memberikan pemikirannya untuk bangsa, dalam rangka menjaga kestabilan negara dengan tujuan utamanya yaitu merangkul seluruh elemen masyarakat untuk ikut terlibat dalam kemajuan bangsa tanpa perbedaan agama, suku, ras, antar golongan dan melindungi kaum minoritas, sebab di Indonesia ini sejak tersebarnya Islam berbagai macam spekulasi pemikiran Islam perlahan-lahan semakin berkembang namun sifatnya fluktuatif, kadang stabil kadang tidak.
Banyak hal yang telah digagas oleh K.H Abdurrahman Wahid untuk mencapai tujuannya itu antara lain: Pertama, Mencoba untuk merubah pemikiran lama tentang fiqh yang bercorak budaya Arab yang sudah pasti tidak sesuai dengan budaya kita di Indonesia, bahkan ia sempat mewacanakan pribumisasi Islam, Maka dari itu perlu adanya pembaruan ajaran fiqh untuk merubah norma-norma fiqh dengan mengakomodir pluralitas budaya bangsa ini. Kedua, penyelesaian konflik keagamaan yang pernah terjadi di negara ini, melalui kerja sama antar agama sebagai usaha untuk membangun keharmonisan dan kebersamaan antarumat beragama. Ketiga, pentingnya paham pluralitas dan kebebasan beragama. Keempat, menggagas penegakan hukum  di negri ini dengan berlandaskan prinsip kemanusiaan, menumpas segala bentuk ketidakadilan dan penindasan termasuk hak-hak kaum minoritas. Kelima, pentingnya pembaruan hukum Islam dalam rangka menjamin kehidupan umat manusia secara universal. Keenam, menawarkan pengembangan pesantren dengan masa depan yang optimistik, ia menempatkan pesantren bukan untuk kajian agama saja tetapi harus mampu menyumbangkan suatu sistem nilai moral pada masyarakat.
Apa yang telah di sampaikan oleh K.H Abdurrahman Wahid ini penting untuk kita melihat lebih dalam lagi bagaimana paradigma yang dibangun oleh beliau dalam memberikan sumbangsi pemikirannya terhadap dunia Islam serta bagaimana metode dan prinsip berfikirnya.
  1. Metode Ushul Fiqh Multikultural K.H Abdurrahman Wahid
Metode ushul fiqh multikultural yang dikembangkan oleh K.H Abdurrahman Wahid pada dasarnya tidak jauh beda dengan apa yang telah disyariatkan dalam agama Islam, tetapi memang ia memiliki nuansa tersendiri untuk meramunya menjadi sedikit berbeda dan bernuansa kebudayaan Indonesia. Beberapa sumber ajaran Islam yang digunakan oleh Gus Dur dalam mengembangkan metode ushul fiqh multikultural yang digagasnya yaitu;
  1. Syari’ah, ia mendefinisikan syari’ah sebagai jalan hidup kaum muslimin berupa hukum dan aturan Islam yang mengatur sendi-sendi kehidupannya, seperti aturan tentang sholat, puasa, dan lain sebagainya. [4]
  2. Fiqih, ia menyatakan bahwa fiqih adalah ketentuan hukum-hukum yang dihasilkan dari proses pemahaman fuqaha’ yang mendalam terhadap ketentuan-ketentuan syari’ah/nas-nas hukum agama Islam. [5]
  3. Ushul Fiqih, ia memaknai ushul fiqih/Islamic Legal Theory adalah ilmu yang membahas tentang teori-teori hukum Islam. Adapun multikultural yang diberikan adalah karena ia selalu melakukan upaya aktualisasi antara konsep-konsep hukum Islam yang sudah dianggap baku dengan realitas faktual yang majemuk, sehingga ada dialektika antara konsep dengan fakta. [6]
Gagasan pribumisasi Islam K.H Abdurrahman Wahid menggagasnya dengan melakukan upaya pembaruan hukum Agama/fiqih dengan memposisikan ajaran fiqih menjadi pendukung gerakan pribumisasi (ajaran fiqih) Islam. Hal ini memiliki pesan yang mendalam, yakni dengan upaya menerjemahkan hukum agama sesuai dengan adat istiadat dan kemajemukan masyarakat Indonesia sekaligus menjauhkan dari model gerakan agama Timur Tengah yang penuh konfrontasi dan konflik yang tiada hentinya. [7] Salah satu wujud nyata upaya pribumisasi Islam dalam konteks kemajemukan hidup beragama yang digagas olehnya adalah dengan menyatakan perbedaan keyakinan agama adalah sesuatu hal yang wajar, tidak perlu dipertentangkan, yang perlu dibangun adalah kebersamaan/kerjasama walaupun dengan bentuk yang berbeda.
Paradigma ijtihad yang dibangun oleh K.H Abdurrahman Wahid tidaklah muda dilaluinya sebab kondisi masyarakat Islam yang pada saat itu masih sangat meyakini bahwa masa sahabat dan tabiin merupakan masa yang paling sempurna dan harus diwujudkan kembali. Padahal secara teoritis-rasional hal ini tidak mungkin bisa diwujudkan kembali dalam kurun waktu  dan kondisi yang berbeda.[8] Apalagi kalau disesuaikan dengan kondisi kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih bersifat fluktuatif. Sehingga hal ini menjadi sebuah permasalahan yang mendasar yang dihadapi oleh K.H Abdurrahman Wahid dalam berijtihad.
Pada tataran metodologi ini K.H Abdurrahman Wahid dalam beristinbath mendasarkan pemikirannya pada beberapa paradigma sebagai berikut:
  1. Paradigma Ijma’ Multikultural
Paradigma Ijma’ Multikultural yaitu, ijma’ yang melibatkan berbagai kalangan atau kelompok, misalnya ijma’ yang dirumuskan oleh suatu bangsa, Negara, organisasi keagamaan profesional, seperti MUI, LBM NU, MTT Muhammadiyah, dsb. Ia menekankan dalam membangun konsep ijma’ mampu memelihara hak dan kewajiban setiap Individu tanpa memandang perbedaan agama, budaya dan etnisnya, semua memiliki hak yang sama den melibatkan diri dalam mempengaruhi formulasi penetapan kebijakan hukum publik, agar menghasilkan ketentuan yang memberikan kebebasan kepada umat manusia seperti kebebasan mengutarakan pendapat yang dijamin UU, kebebasan berorganisasi, kebebsan bepergian keluar negeri tanpa dikaitkan dengana masalah politik, kritik keras terhadap pemerintah tanpa pencekalan dan orang yang tidak melakukan tindakan kriminal tidak boleh dicekal, betapapun keras kritikannya terhadap pemerintah. [9] Konsensus ijma’ tidak hanya mengandalkan suara mayoritas sebagai tolok ukurnya tetapi juga memelihara dan melindungi hak dan kebebasan serta menjamin kesejahteraan seluruh warganya berdasarkan khazanah budaya setempat yang dianggar Baik. [10]
  1. Paradigma Qiyas multikultural
Menurut KH Abdurrahman Wahid qiyas adalah penyamaan suatu kasus hukum baru yang belum ada ketentuan hukumnya kedalam ketentuan hukum nas hukum agama dengan adanya kesamaan illat hukum. [11]  Dalam prakteknya qiyas ini telah mampu menjawab perkembangan sistem perekonomian yang begitu pesat yang tidak ada jawabannya dalam Al-Qur’an dan hadis tetapi mampu diselesaikan dengan qiyas. Ini merupakan qiyas yang inklusif, menerima adanya perbedaan pendapat diantara kalangan dalam suatu kasus.
  1. Paradigma Istihsan multikultural
Paradigma Istihsan multikultural yaitu menggunakan hukum juz’iyah dari pada hukum kulliyah jika ada tuntutan menghendaki diterapkannya hukum tersebut. Dalam pandangannya KH Abdurrahman Wahid mengungkapkan bahwa kerja sama dalam hal maju bersama dan memperbaiki nasib bersama demi mencapai kesejahteraan materi, buatnya tidak masalah untuk bekerja sama antar umat muslim  dan non muslih. Walaupun pada dasarnya hal ini tidak dibenarkan dalam al-Qur’an namun ia menafsirkannya bahwa yang tidak boleh itu dalam hal aqidah, karna sama-sama pasti tidak bisa saling menerima, ini merupakan caranya dalam menerapkan paradigma istihsan.
4.      Paradigma Maslahah Multikultural
Paradigma maslahah multikultural yaitu kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Paradigma mashlah sebagai sebagai metode ijtihad hukum mewujudkan lima jaminan dasar yang harus dipenuhi seperti yang telah dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid yaitu; keselamatan fisik warga masyarakat, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda pribadi, dan keselamatan profesi.[12] Dalam konteks kemaslahatan ini KH Abdurrahman Wahid mengulas pentingnya dialog antar umat beragama yang sebelumnya merupakan hal yang tidak wajib namun demi membangun kerja sama dalam hal muamalah maka hal ini penting untuk dilakukan.
Dalam pengakuan syara’ mashlahah dibagi dalam tiga jenis yang kemudian diilustrasikan oleh KH Abdurrahman Wahid sebagai berikut; mashlahah mu’tabarah, [13] yang diilustrasikan bahwa Islam sebagai agama hukum tidak perlu dibela sebagaimana halnya Allah. Sebab keduanya bisa membela dengan sendirinya, seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 3. Dalam konteks mashlahah mursalah [14] diilustrasikan dalam proses pencalonannya sebagai presiden. Sedangkan mashlahah mulghah [15] dikaitkannya dengan kerjasama dalam bidang akidah antar muslim dan non muslim yang tidak ada aturannya dalam Al-Qur’an. Dalam konteks cakupannya ada dua yaitu mashlahah ‘ammah [16] yang dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid dalam hal kesediannya menjadi calonan presiden, untuk menghindari lahirnya banyak korban dan perang saudara. Dalam mashlahah khasash [17]dijabarkan dalam hal pencabutan TAP MPRS no 25 tahun 1966 yang berguna bagi kemaslahatan golongan tertentu yaitu PKI. [18] Dalam hal pembangunan sistem ekonomi ia sangat memperhatikannya terutama dalam hal kemaslahatan rakyat kecil.
  1. Paradigma ‘Urf Multikultural
Paradigma ‘urf multikultural yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam menentukan suatu hukum. Dalam hal ini ‘urf dibagi dalam dua macam yaitu ‘urf shahihah [19] dan ‘urf fasidah [20], namun yang dipandang oleh KH Abdurrahman Wahid merupakan ‘urf yang harus dilestarikan adalah ‘urf shahihah, hal ini penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan hukum Islam dan proses peradilan, sehingga ‘urf dapat dikukuhkan menjadi hukum syara’. Salah satu contoh yang dijabarkan olehnya adalah tentang pembagian harta warisan sangat memungkinkan untuk mengikuti kebudayaan dan kearifan lokal suatu daerah, walaupun ketentuannya dalam Al-Qur’an sudah diatur dua banding satu antara laki-laki dan perempuan, namun hal ini bisa disesuaikan dengan kebiasaan tergantung situasi dan kondisi yang memungkinkan. 
  1. Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural,
Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural yaitu mempertimbang sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum. Dalam konteks ini KH Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai tindakan preventif agar tidak muncul tindakan kemafsadatan. [21] Ia mencontohkan dalam hal lahirnya terorisme yang sangat dipengaruhi oleh pemahan agama/fiqih yang dangkal sehingga kewajiban bagi kaum muslimin adalah untuk melakukan reinterpretasi. [22] Dalam konteks fath al-dzari’ah, ia menyebutkan bahwa ekonomi negara akan tegak dan kokoh jika sistem ekonomi dibangun berorientasi pada penguatan dan keberpihakan pada kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM).
C. PRINSIP USHUL FIQH MULTIKULTURAL (K.H Abdurrahman Wahid)
Dalam prakteknya ushul fiqih multikultural yang digagas oleh KH Abdurrahman Wahid memiliki empat prinsip yang diterapkan dalam proses istinbath hukum.
1.      Prinsip Keadilan
Dalam prinsip keadilan ini, ia mempertegas apa yang sudah di amanatkan lewat Al-Qur’an agar setiap manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang diembannya, melindungi kaum lemah dan kekurangan, memiliki kepekaan sosial dengan sesama warga masyarakat dan jujur dalam bersikap. Hal yang sama juga dipertegas dalam pesan UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran.
2.      Prinsip Kemanusiaan
Dalam prinsip ini ia menjabarkan bahwa dalam hal mewujudkan dan mencapainya harus ditopang oleh beberapa hal, yaitu kebebasan nurani, menjamin kebebasan manusia, keselamatan akal dan jiwa manusia dan yang terakhir adalah memberdayakan manusia baik dalam tataran intelektual maupun perilaku. Menurutnya pelembagaan lembaga pengawasan yang kuat juga dapat mendukung terwujudnya pemeliharaan nilai-nilai manusia terutama dalam hal penegakan hukun yang tidak hanya sekedar membentuk pengadilan terbuka dan adil. Sehingga pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan yang adil tidak hanya sekedar berbentuk formalitas, tetapi juga dengan adanya pemeliharaan nilai-nilai substansial dari prosedur pelaksanaan pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan.
3.      Prinsip Negara Hukum
Dalam prinsip ini ia menjabarkan bahwa dalam hal pembentukan negara hukum, maka negara harus mendasarkan pada kesejahteraan dan kemaslahatan sosial dalam merumuskan suatu hukum/konstitusi. Menurutnya prinsip ini bisa terwujud dengan adanya prinsip supremasi hukum, prinsip persamaan didepan hukum dan prinsip independensi peradilan yang ditegakkan. 
4.      Prinsip Universalitas
Dalam prinsip ini ia menjabarkan bahwa dalam membuat aturan hukum atau undang-undang harus memperhatikan dan disesuaikan dengan lima prinsip pokok hukum Islam (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) yang menjamin keselamatan manusia dan senafas dengan nilai keadlian, kemanusiaan, keseimbangan, keserasian, keselarasan, kesamaan di depan hukum dan ketertiban.
Dengan paradigma dan keempat prinsip yang telah dijabarkan diatas ini KH Abdurrahman Wahid menggagas ushul fiqih multikultural yang telah mampu membangun sistem hukum Islam yang kontekstual dan melahirkan beragam macam rumusan konsep fiqih, yaitu fiqih kenegaraan, fiqih kemanusiaan, fiqih kebudayaan, fiqih politik, fiqih ekonomi, fiqih kebangsaan dan fiqih lintas mazhab. Yang didalamnya menerapkan prinsip-prinsip ushul fiqih multikultural yang digagasnya, sehingga segala bentuk aturan yang lahir dari negara ini mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang suku, agama dan ras. Sehingga negara ini mampu hadir dengan konsep aturan main sendiri yang tidak lagi ada pengaruh dengan negara lain, dengan tidak membuang konsep lama tetapi bisa untuk menjadi pembanding aturan yang dibuat negara. Paradigma inilah yang dibangun oleh KH Abdurrahman Wahid untuk mewujudkan tujuannya dalam hal “pribumisasi fiqih” yang sholihun li kulli zaman wa al-makan.  

C.                KESIMPULAN
1.        Ushul Fiqih Multikutural yang digagas oleh KH Abdurrahman Wahid dalam hal metodologi beristinbath mendasarkan pemikirannya pada beberapa paradigma yaitu; Pertama, paradigma ijma’ multikultural, yakni ijma’ yang dalam prosesnya melibatkan berbagai kalangan atau kelompok. Kedua, paradigma Qiyas multikultural, yaitu qiyas yang inklusif, menerima adanya perbedaan pendapat di antara kalangan dalam suatu kasus hukum. Ketiga, paradigma istihsan multikultural, yakni menggunakan hukum juz’iyah dari pada hukum kulliyah jika ada tuntutan yang menghendaki diterapkannya hukum tersebut. Keempat, maslahah multikultural, yakni kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima, paradigma urf mulitikultural, yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam menentukan suatu hukum. Keenam, syadz al-Dzara’ah multikulturalyaitu mempertimbangkan sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum.
2.        Dalam prakteknya, ushul fikih multikultural yang digagas Gus Dus memiliki empat prinsip yang harus diterapkan dalam proses istinbath hukum.  Pertama, prinsip keadilan. Menurutnya setiap manusia wajib untuk berlaku adil, memenuhi janjinya, tugas dan amanat, melindungi kaum lemah dan kekurangan, memiliki kepekaan sosial, dan bersikap jujur. Kedua, prinsip kemanusiaan. Gus Dur menjelaskan bahwa Islam sangat melindungi dan menghargai kemanusiaan. Ketiga, prinsip negara hukum. Menurut Gus Dur, suatu Negara harus memiliki hukum/konstitusi yang didasarkan pada kesejahteraan dan kemaslahatan sosial (Tasharrufu al-Imam ‘ala al-Ra’iyah manutun bi al-Maslahah). Keempat, prinsip universalitas. Dalam hal ini, Gus Dur berpendapat bahwa semua hukum atau undang-undang yang dibuat harus sesuai dengan lima prinsip pokok hukum Islam (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta ) yang menjamin keselamatan manusia dan senafas dengan nilai keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, keserasian, keselarasan, kesamaan di depan hukum, dan ketertiban.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Islam di Asia Tenggara, dalam Abu Zahra ed. Politik Demi Tuhan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.   
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy, Yogyakarta: The Wahid Institute, 2007. 
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institut, 2006 
Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan:Nasionalisme Religius di Indonesia, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dan Budhy Munawar-Rahman (ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina. 
Andree Feillard, NU Vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, Yogyakarta: LkiS, 1995.
Hasil Wawancara dengan KH Abdurrahman Wahid, dikutip dari Rifa’i, Gus Dur...,hlm. 90-91, dikutip lagi dalam Buku Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009.
KH Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000. 
Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
www.pcnupati.or.id/2015/02/mengenal-ushul-fiqih-multikultural-gus.html
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiayi, Jakarta: LP3ES, 1982. 









[1] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
[2] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”.
[3] Moh. Dahlan, “Kata Pengantar” Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
[4] Abdurrahman Wahid, Syari’atisasi dan Bank Syariah, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 192. 
[5] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslim dan Cita-cita”, dan Abdurrahman Wahid, “Islam: Ideologis atau kultural?(01)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 43 dan 71-73. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal..., hlm. 366. 
[6] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslimin dan Cita-cita”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 71-73. 
[7] Andree Feillard, NU Vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogyakarta:LkiS, 1995), hlm. 272. Bandingkan dengan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiayi, (Jakarta: LP3ES, 1982). 
[8] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy, (Yogyakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 197. 
[9] Hasil Wawancara dengan KH Abdurrahman Wahid, dikutip dari Rifa’i, Gus Dur...,hlm. 90-91, dikutip lagi dalam Buku Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 100.
[10] Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 101.
[11] Abdurrahman Wahid, Tata Krama dan “Ummatan Wa Hidan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm 235. 
[12] Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dan Budhy Munawar-Rahman (ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta:Paramadina). 
[13] Mashlahah Mu’tabarah adalah jenis mashlahah yang yang keberadaanya diakui oleh syara’  atau terdapat dalam nas tanpa perlu adanya ijtihad untuk menentukan ada tidaknya hukum tersebut.
[14] Mashlahah Mursalah adalah mashlahah yang keberadaanya tidak ditemukan dalam nash dan mujtahid harus melakukan ijtihad untuk menentukan ada tidaknya mashlahah dalam hal tersebut
[15] Mashlahah Mulghah adalah jenis mashlahah yang keberadaanya tidak diakui oleh nash karena dianggap bertentangan dengan ketentuan eksplisit nash
[16] Mashlahah ‘Ammah adalah jenis mashlahah yang dibutuhkan untuk menjamin terpeliharanya kepentingan kesejahteraan umum  
[17] Mashlahah Khasash adalah jenis mashlahah yang jangkauannya untuk perorangan atau kelompok tertentu. 
[18] Abdurrahman Wahid, “Islam: Ideologi atukah kultural? (3)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita....,hlm.51. 
[19] Urf Sahihah adalah segala bentuk kebiasaan yang sudah dikenal dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.  
[20] Urf Fasidah adalah segala bentuk kebiasaan yang sudah dikenal oleh masyarakat tetapi berlawanan dengan dalil-dalil syara’
[21] Abdurrahman Wahid, “Terorisme Harus Dilawan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 292-293.  
[22] Abdurrahman Wahid, “Bersumber Dari Pendangkalan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 302. 

Sistem Kewarisan Islam

“SISTEM KEWARISAN ISLAM”
(Kajian Terhadap Penundaan Pembagian Harta Warisan)


"Harta Warisan"


           A.                PENDAHULUAN
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya. Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh. Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
Hukum waris Islam pada dasarnya mengatur peralihan harta dari seorang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup, dalam hal ini adalah ahli warisnya. Diantara aturan yang mengatur tentang hubungan sesama manusia yang telah ditetapkan Allah adalah aturan tentang pembagian warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang telah meninggal memang memerlukan aturan khusus tentang siapa saja yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Munculnya masalah dalam pembagian warisan di kehidupan masyarakat, tidak lain karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap warisan dan pembagiannya dalam aturan agama dan aturan hukum positif di Indonesia, sehingga pada umumnya sering menimbulkan masalah yang tak kunjung selesai walau sudah di adili lewat sidang pengadilan agama.
Sementara ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. [1]
Selain Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sebagai sandaran didalam menentukan bagian warisan kepada ahli waris di Indonesia, ada juga kitab-kitab fikih yang menjadi dasar pembagian harta warisan, dan yang paling utama yang menjadi dasar pembagian harta waris dalam Islam menggunakan dasar hukum yang terdapat dalam al-Quran antara lain dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 7 yang berbunyi: 
للرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

Terjemahnya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S An-Nisa Ayat 7) [2]

Islam telah jelas mengatur porsi antara laki-laki dan perempuan  dalam hal warisan yaitu 2 banding 1, namun di masa kini hal ini banyak tidak digunakan oleh para ahli waris, kebanyakan menggunakan sistem pembagian secara musyawarah dan kekeluargaan. Pembagian dengan cara seperti ini pun ternyata juga tidak efektif, terkadang malah menimbulkan masalah dikemudian hari seperti yang banyak terjadi di masyarakat, hal ini banyak menimbulkan problem dalam masyarakat yang akhirnya perang antar saudara pun tak terhindarkan, yang tadinya keluarganya baik-baik saja tapi karena ada persolana warisan maka keutuhan keluarga menjadi renggang.

B.                PEMBAHASAN
1.      Hukum Kewarisan Dalam Islam
a.       Pengertian Hukum Kewarisan Dalam Islam
Secara bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an dan di rinci dalam Sunnah Rasulullah s.a.w., hukum kewarisan Islam di tetapkan. Secara Bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti; Pertama, mengganti (QS An-Naml [27]: 16), artinya Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan daud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Kedua, memberi (QS Maryam [19]: 6). [3]
Dalam terminologis Ulama fikih, irts atau mirats (warisan) didefinisikan dengan harta ataupun hak yang ditinggalkan si mayat (muwarist) yang dengan sebab kematiannya menjadi hak penerima waris yang telah ditetapkan syara. [4]
Secara terminologis, hukum kewarisan dalam Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) [5] pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.[6] Menurut Prof. Mohammad Amin Suma, hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris dan mengatur kapan pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan.[7] Menurut M. Idris Mulyo, wirasah atau hukum waris adalah hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut hukum faraidh. [8]
Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Aturan dalam peralihan harta ini disebut dengan berbagai nama. Dalam literatur Islam ditemukan beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti: Faraid, Fiqih Mawaris dan Hukm al-Waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Kata yang lazim dipakai adalah Faraid. [9]
Jadi, hukum kewarisan adalah aturan tentang proses peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris yang ditinggalkan sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang berlaku. Sementara ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima baik berdasarkan hubungan darah maupun hubungan perkawinan yang memiliki akibat hukum untuk saling mewarisi.
b.      Rukun Waris
Rukun waris ialah rukun yang harus terpenuhi secara keseluruhan, bila tidak terpenuhi salah satunya, waktu waris mewarisi tidak dapat dilaksanakan. Adapun rukun waris yang harus dipenuhi ada 3 yaitu:
1)      Harta Warisan (Mauruts atau Tirkah)
Harta warisan (mauruts) yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang akan diterima oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang, dan melaksanakan wasiat si pewaris. Dan yang dimaksud dengan tirkah yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para ahli waris. Apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia harus diartikan sedemikian luas agar dapat mencakup kepada; [10] 1) Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, 2) Hak-hak kebendaan, 3) Benda-benda yang berada ditangan orang lain, 4) Hak-hak yang bukan kebendaan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), harta warisan adalah harta bawaan ditambah harta bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat. [11] Sedangkan yang dimaksud dengan harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
2)      Pewaris (Muwarrits)
Yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun mati hukmy. Mati hukmy ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati.[12] Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan Agama, meninggalkan harta ahli waris dan harta peninggalan.[13]
3)      Ahli Waris (Warits)
Yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hokum untuk menjadi ahli waris.[14] Adapun syarat ahli waris adalah;[15] 1) Mempunyai hubungandarah dengan pewaris, misalnya anak kandung, orang tua pewaris dan seterusnya, 2) Mempunyai hubungan perkawinan (suami/istri pewaris), 3) Mempunyai hubungan satu agam dengan pewaris, 4) Tidak terhalang untuk mendapatkan warisan, misalnya ia pembunuh pewaris.
c.       Sebab-Sebab Mewarisi
Sebab-sebab menerima warisan yang disepakati ada tiga yaitu kekerabatan (hubungan nasab), pernikahan dan wala’ (pemerdekaan).[16]
1)      Hubungan Al-Qarabah (kekerabatan).
Hubungan al-qarabah atau disebut juga hubungan nasab (darah) yaitu setiap hubungan persaudaraan yang diakibatkan oleh kelahiran (keturunan), baik yang dekat maupun yang jauh. Sehingga dengan demikian hubungan nasab ini mencakup pada ayah dan ibu, anak-anak, saudara, paman (saudara laki-laki ayah) dan siapa saja yang ada hubungan nasab dengan mereka, seperti yang disebutkan dalam Q.S Al-Anfal [8]: 75.
2)      Hubungan Pernikahan.
Hubungan pernikahan disini adalah hubungan kewarisan yang disebabkan akad nikah yang sah. Dengan sebab akad tersebut, suami mewarisi harta si istri dan si istri mewarisi harta si suami, walalupun belum pernah melakukan hubungan badan dan berkhalwat (tinggal berdua). Adapun nikah fasid yang telah disepakati seperti nikah tanpa saksi, nikah batal seperti nikah mut’ah tidak termasuk nikah syar’i maka pernikahan tersebut tidak menjadi sebab saling mewarisi; sedangkan nikah fasid yang mukhtalaf (tidak disepakati) seperti nikah tanpa wali, maka menurut sebagian ulama boleh saling mewarisi antara suami istri karena subhat al-khilaf dan menurut ulama lainnya tidak saling mewarisi karena pernikahan tersebut fasad (cacat hukum). 
3)      Hubungan Wala’
Hubungan wala’ yang juga disebut wala’ al-‘itqi atau wala’ an-ni’mah yaitu hubungan kekerabatan (kerabat hukmi) yang disebabkan karena memerdekakan hambanya, maka ia mempunyai hubungan kekerabatan dengan hamba tersebut. Dengan sebab itu si tuan berhak mewarisi hartanya karena karena ia telah berjasa memerdekakannya dan mengembalikan nilai kemanusiaannya.
d.      Syarat-Syarat Mendapat Warisan
Dalam warisan disyariatkan empat hal berikut ini; [17] 1) Kematian pewaris secara hakiki, secara hukum, atau secara asumtif, 2) Kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris, meskipun secara hokum, seperti kandungan. Kandungan dianggap hidup secara hokum karena bias jadi ruh belum ditiupkan ke dalamnya, 3) Tidak ada salah satu hal-hal yang menhalangi pewarisan, 4) Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat. [18]
e.       Sebab-Sebab Terhalang Mendapat Warisan
Orang yang dihalangi dari warisan adalah orang yang padanya terpenuhi sebab-sebab pewarisan, tetapi dia memiliki satu sifat yang mencabut haknya untuk mendapat warisan. Orang ini dinamakan dengan mahrum. Dan hal-hal yang menghalangi pewarisan ada tiga yaitu; [19]
1)      Perbudakan, baik sempurna maupun tidak sempurna.
2)      Pembunuhan secara sengaja yang diharamkan. Jika ahli waris membunuh pewarisnya secara zholim, maka disepakati bahwa dia tidak mewarisnya. Nabi s.a.w. bersabda:
ليس للقا تل شيء
“pembunuh tidak berhak mendapat apa-apa”
3)      Perbedaan agama. Orang muslim tidak mewarisi orang kafir. Dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w., ”orang Islam tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang muslim” (HR. Jama’ah).
Dan hadis: “tidak saling mewarisi antar dua orang pemeluk agama yang berbeda”. (HR. Ashab Sunan).
f.       Hak-Hak Yang Harus Di Dahulukan Sebelum Pembagian Warisan
Hak-hak yang berkaitan dengan tirkah terbagi dua (1) hak-hak yang berkaitan dengan hak orang lain semasa hidup si mayit, (2) hak-hak yang tidak ada kaitan dengan hak orang lain. [20]
1)      Hak-hak yang berkaitan dengan orang lain, yaitu hak semasa hidup si mayit yang disebut juga dengan al-huquq al-ainiyah, yaitu hak-hak yang ada keterkaitannya dengan harta benda yang ditinggalkan mayit (hak kebendaan) seperti seorang penjual untuk menyerahkan barang yang dijual, hak penerima gadai terhadap barang gadaian. Menurut Abu Hanifah termasuk hak orang lain adalah hak sewaan apabila uang sewaannya sudah dibayarkan kepada orang yang menyewakan maka barang misalnya rumah yang disewakan adalah hak bagi penyewa sampai habis masa sewanya.
2)      Hak yang tidak ada kaitannya dengan hak orang lain (hak mayit) ada empat, yaitu pengurusan mayit (al-tajhiz), membayar utang, melaksanakan wasiat, kemudian hak waris atau pembagian warisan.
2.      Ketentuan Umum Dalam Kewarisan Islam[21]
Kompilasi Hukum Islam (KHI) teridiri dari tiga buku yaitu Buku I tentang Perkawinan yang terdiri dari 19 Bab 170 pasal dan 323 ayat. Buku II tentang Hukum Kewarisan terdiri dari 6 Bab, 44 pasal dan 66 ayat. Buku III tentang Wakaf terdiri dari 5 Bab, 15 pasal dan 36 ayat.
Kewarisan yang dijelaskan dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam ini diawali dengan ketentuan umum yang memuat pengertian dasar waris, antara lain sebagai berikut.
a.    Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian ahli waris masing-masing.
b.    Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalannya.
c.    Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d.   Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e.    Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazahnya (tajhiz), pembayaran hutang, dan pembagian untuk kerabat.
f.     Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. (Pasal 171 KHI) [22]
g.    Disamping pengertian-pengertian diatas, dalam pewarisan harus dipahami juga pengertian harta pribadi dan harta bersama.
3.      Pengelompokkan Ahli Waris[23]
Berdasarkan asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti, secara tekstual ahli waris langsung diatur dengan pasal 174 yang berbunyi:
a.    Kelompok-kelompok terdiri dari:
1)   Menurut hubungan darah:
Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.
2)   Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
b.    Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Dengan demikian, ahli waris langsung yang disebutkan dalam pasal 174 adalah: (1) anak laki-laki, (2) anak perempuan, (3) ayah, (4) ibu, (5) paman, (6) kakek, (7) nenek, (8) saudara laki-laki, (9) saudara perempuan, (10) janda, dan (11) duda.
Dari segi pembagiannya, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengelompokan ahli waris kedalam tiga kategori (1) Dzawil Furudh, (2) Ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya, dan (3) Ahli waris pengganti.
a.    Ahli Waris Dzawil Furudh
Kelompok ahli waris yang mendapat bagian pasti (dzawil furudh al-Muqaddarah) dalam Kompilasi Hukum Islam terdiri dari: anak perempuan, ayah, ibu, janda (istri), duda (suami), saudara laki-laki seibu atau saudari perempuan seibu dan saudara perempuan kandung atau seayah.
b.    Ahli Waris yang Tidak Ditentukan Bagiannya (‘Ashabah)
Kelompok ashabah baik ashabah binafs, ashabah bighair ataupun ma’al ghair dalam KHI adalah sevagai berikut.
1)   Anak laki-laki dan keturunannya.
2)   Anak perempuan dan keturunannya bila bersama anak laki-laki.
3)   Saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah.
4)   Kakek dan nenek.
5)   Paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dan keturunannya. [24]
Ayah dalam KHI hanya termasuk kelompok dzawil furudh dengan bagian 1/3 (jika tidak ada anak tetapi ada suami dan ibu) atau 1/6 (jika ada anak). Anak dimaksud tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Ayah tidak termasuk salah satu ahli waris yang akan mendapatkan ashabah. Demikian juga kakek, nenek, paman dan bibi diperlakukan sama baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. 
c.    Ahli Waris Pengganti
Istilah ahli waris pengganti dikenal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana tercantum pada Pasal 185 yang berbunyi:
1)   Ahli waris yang meninggal lebih dulu dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2)   Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Kompilasi Hukum Islam pasal 173 menyebutkan:
“Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena:
1)   Dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewaris;
2)   Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Atas dasar pasal 173 tersebut ahli waris pengganti terhalang untuk mendapatkan warisan karena dinyatakan telah membunuh, mencoba membunuh, menganiaya berat pada pewaris, memfitnah pewaris yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Adapun ahli waris pengganti (pasal 185) berdasarkan penjelasan dari Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Agama Buku II adalah sebagai berikut:
1)   Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikannya.
2)   Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah, dan seibu) mewarisi bagian yang digantikannya.
3)   Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi sama.
4)   Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masing-masing berbagia sama.
5)   Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ayah.
Paman dan ibu dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ibu. Selain yang tersebut diatas tidak termasuk ahli waris pengganti. [25]
4.    Prinsip Hijab dan Mahjub dalam KHI
Ahli waris dapat terhalang (mahjub) untuk dapat warisan apabila ada ahli waris yang kekerabatannya lebih kuat pada pewaris. Dalam Kompilasi Hukum Islam ada 4 (empat) prinsip hijab mahjub yang harus selalu dipahami, yaitu sebagai berikut:
a.    Anak laki-laki maupun anak perempuan beserta keturunannya (cucu laki-laki/perempuan dan seterusnya kebawah) menghijab:
1)   Saudara (kandung, ayah, seibu) dan keturunannya (keponakan pewaris dan seterusnya);
2)   Paman dan bibi dari pihak ayah dan ibu serta keturunannya sepupu pewaris dan seterusnya).
b.    Ayah menghijab:
1)   Saudara dan keturunannya (keponakan pewaris dan seterusnya);
2)   Kakek dan nenek yang melahirkannya serta;
3)   Paman/bibi pihak ayah dan keturunannya (sepupu pewaris dan seterusnya).
c.    Ibu menghijab:
1)   Kakek dan nenek yang melahirkannya serta;
2)   Paman/bibi dari pihak ibu dan keturunannya (sepupu pewaris dan seterusnya).
Saudara (kandung, seayah atau seibu) dan keturunannya (keponakan pewaris dan seterusnya) menghijab paman dan bibi pihak ayah dan ibu serta keturunannya.
5.    Penundaan Pembagian Warisan
a.       Faktor Penundaan Pembagian Harta Warisan
Berdasarkan aturan yang berlaku dalam ajaran Islam, waktu pembagian harta warisan berawal sejak wafatnya si pewaris. Petunjuk ini dapat dipahami dari maksud surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Namun, menurut adat kebiasaan di Indonesia sebagian masyarakat Islam menyelesaikan pembagian harta warisan setelah peringatan hari-hari kematian yang ketujuh, empat puluh dan seratus hari. Dengan pertimbangan pada waktu-waktu tersebut diharapkan para ahli waris dapat berkumpul di tempat pewaris. Sementara itu menurut Seminar Hukum Nasional tahun 1963 di Jakarta menyimpulkam bahwa waktu pembagian harta warisan selekas-lekasnya setelah 40 hari kematian. Keputusan ini juga menyakatakan adanya perluasan tugas Balai Peninggalan Harta. 
Dalam ajaran Islam, adat kebiasaan dikenal dengan istilah ‘urf. Kedudukan ‘urf shahih dapat dijadikan sebagai hukum dan oleh seorang hakim dapat dipergunakan dalam menetapkan suatu perkara. Atas dasar itulah ahli ushul fiqh membuat kaedah: adat kebiasaan itu merupakan syari’at yang ditetapkan sebagai hukum. Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa untuk pembagian harta warisan biasa berawal dari wafat pewaris sampai dengan dilaksanakan peringatan hari kematian yang keempat puluh. Sementara itu, mengenai lamanya waktu atau daluarsa dalam fiqh dikenal dengan istilah taqaddum, murur al-zaman, dan ba’da mada al muddah.
Menurut Al-Syeikh Abdullah al-Syarkawiy: “Apabila telah lampau batas waktu lima belas tahun hakim tidak boleh lagi menerima gugatan. Sedangkan menurut A’la al-Din Afandy, seseorang yang tidak menggugat selama 33 tahun, padahal tidak ada halangan untuk menggugat, kemudian ia menggugat kembali, maka gugatannya tidak diterima, maka ia tidak dapat menggugat padahal ada kemungkinan untuk itu. Hal ini telah dijelaskan pula bahwa ada diantara putusan yang batal karena ada gugatan diajukan setelah lampau waktu.
Dari beberapa uraian ini dapat dipahami bahwa daluarsa dalam fiqh berkisar 15 (lima belas) tahun sampai 33 (tiga puluh tiga) tahun. Untuk menetapkan waktu penundaan, maka dapat digunakan jarak antara waktu terlama pembagian harta warisan biasa 100 (seratus) hari dengan jarak waktu daluarsa 33 tahun. Dengan menggunakan ukuran di atas dapat dirumuskan tenggang waktu pembagian harta warisan kepada tiga kategori:
1)      Pembagian biasa, yaitu sejak dari wafatnya si pewaris sampai peringatan hari kematian yang ke 100 hari upacara selamatan.
2)      Penundaan, yaitu sehabis hari kematian 100 hari sampai sebelum waktu daluarsa 33 tahun.
3)      Daluarsa, yaitu dari 33 tahun sampai ke atas.
Semua harta si pewaris akan beralih kepada ahli waris secara ijbari, dari salah satu kewajiban ahli waris adalah membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak. Menurut Imam Sudiyat, kemungkinan tidak terbaginya harta peninggalan sesudah meninggalnya pewaris karena dijadikan sebagai harta keluarga yang dapat dipertahankan itu berupa tanah pertanian, pekarangan-pekarangan dan rumah.
Hilman menyatakan bahwa penundaan pembagian harta warisan, diantara harta warisan yang tertunda dapat berupa bangunan rumah beserta pekarangannya, tanah sawah, tanah kebun dan benda-benda magis. Sementara menurut Bushar, harta peninggalan yang dapat di tunda diantaranya sawah, rumah dengan pekarangannya, dan barang yang mengandung banyak khasiat.
Selanjutnya dalam beberapa Yurisprudensi Pengadilan Agama menunjukan bahwa harta warisan yang tertunda diantaranya: tanah sawah, tanah kebun, tanah pekarangan, rumah dan pekarangannya, barang perhiasan (emas dan permata), perabot rumah tangga dan toko. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua harta warisan dapat tertunda pembagiannya. Namun, harta warisan yang sering tertunda adalah tanah kebun, tanah sawah, rumah dan pekarangannya.
 Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya penundaan pembagian harta warisan adalah sebagai berikut:
1)      Penundaan atas dasar kesepakatan setiap ahli waris
Penundaan pembagian harta warisan semacam ini pada dasarnya tidak ada larangan dalam Islam, yang penting itu adalah hasil kesepakatan bersama antar ahli waris yang ada. Selain itu bilamana setiap ahli waris rela membaginya secara kekeluargaan maka dapat di bagi secara kekeluargaan, atau dibagi secara damaisesuai dengan kesepakatan setia pihak yang terkait. Bahkan, berdasarkan hal tersebut, adalah sah bilamana ada diantara ahli waris yang merelakan atau menggugurkannya dalam pembagian harta warisan itu untuk diserahkan kepada ahli waris yang lain. Dapat dipahami bahwa hak seseorang untuk menerima harta warisan dalam kategori hak hamba (hak perorangan) secara murni. Dengan demikian penundaan yang dilakukan atas dasar kesepakatan setiap ahli waris, hukumnya adalah mubah.   
2)      Penundaan atas dasar menegakkan rumah tangga yang terkecil
Untuk mengkaji status hukum penundaan atas dasar menegakkan rumah tangga yang terkecil, terlebih dahulu perlu dirumuskan pertanyaan sebagai berikut, apakah penundaan ini memiliki alasan dan tujuan yang sesuai dengan amalan syariat. Dari pertanyaan ini akan diperoleh jawaban yang selanjutnya akan dapat diketahui status hukumnya. Dalam kajian Ushul Fiqh, manakala adat kebiasaan itu telah dilakukan oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, maka ia akan masuk dalam kategori ‘urf syahih. Begitu pula jika dilihat dari alasan penundaan yang menegakkan hidup keluarga terkecil, yang terdiri dari janda dan anak-anak yang masih kecil, maka dapat dikatakan niat yang terkandung dari menegakkan keluarga yang terkecil ini adalah sebagai amal syariat dan hal ini bersesuaian dengan kaidah ushul fiqh dalam hal ini segala urusan tergantung kepada niatnya.
3)      Penundaan atas dasar sudut waktu berselangnya anak-anak mencapai usia dewasa
Kemudian jika penundaan itu dilihat dari sudut waktu berselangnya yaitu sampai anak-anak mencapai usia dewasa, maka ada petunjuk dalam ajaran Islam untuk tidak menyerahkan harta kepada orang yang tidak cakap bertindak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam membolehkan penundaan yang dilakukan atas dasar kesepakatan setiap ahli waris, kemaslahatan, dan menghindari kemudharatan.
b.      Upaya Hukum Dalam Mengatasi Dampak Negatif Dalam Penundaan Pembagian Warisan
1)      Dampak negatif dari penundaan pembagian harta warisan
Berbagai kasus posisi kewarisan menunjukan bahwa terangkatnya kasus kewarisan di Pengadilan Agama disebabkan oleh banyaknya harta peninggalan yang tidak jelas atau hilangnya data peninggalan harta tersebut. Ketidakjelasan harta peninggalan atau hilangnya data itu disebabkan oleh tidak tercatatnya jumlah dan ukuran luas harta peninggalan dan juga tidak jelasnya mana harta bawaan suami istri, dan tidak jelasnya harta bersama.
Dengan demikian akan menimbulkan masalah dalam penyelesaian pembagian warisan dari harta produktif yang akan dibagi. Bahkan dari ketidakjelasan harta peninggalan itu dapat memberi peluang kepada ahli waris yang lemah imannya untuk memanipulasi data harta peninggalan tersebut. Perkara warisan adalah persoalan yang meilbatkan anggota-anggota keluarga; karena itu ia termasuk perselisihan keluarga. Jika sampai terangkatanya kasus ke Pengadilan, maka dampaknya akan putusnya hubungan silaturrahmi diantara ahli waris dan keluarganya. Padahal hukum kewarisan Islam berperan untuk menghindari putusnya hubungan silaturrahmi.
Untuk menghindari dampak negatif dari tertundanya pembagian harta warisan, maka perlu satu upaya, guna terwujudnya kemaslahatan sesama ahli waris. Dalam kajian hukum Islam kemudharatan harus dihilangkan sesuai dengan kaedah ushul fiqh.
2)      Upaya hukum Islam dalam mengatasi dampak negatif dari hilangnya data harta peninggalan
Adapun upaya yang akan dilakukan dalam Hukum Islam untuk mengatasi dari dampak negatif hilangnya data atau tidak jelasnya harta peninggalan ditempuh dengan dua cara:
Pertama, perlu adanya pencatatan semua harta peninggalan, baikberupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak kemudian diketahui oleh para ahli waris.
Kedua, perlu ditetapkan pembatasan waktu daluarsa, guna menghindari hilangnya atau tidak jelas data harta peninggalan.
c.       Kedudukan Harta Warisan Yang Tertunda Dan Pengurusannya
Apabila seorang meninggal dunia, ia meninggalkan harta warisan yang tertunda pembagiannya, maka harta tersebut akan menimbulkan persoalan dalam pengurusan peralihannya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang mengurus harta warisan yang tertunda pembagiannya di urus oleh janda pewaris, anak-anak pewaris, dan keluarga terdekat para ahli waris.
1)      Penguasaan janda
Pada umumnya masyarakat di Indonesia, apabila pewaris meninggalkan istri, sedangkan anak-anaknya masih kecil, maka harta warisannya berada di bawah pe ngawasan janda pewaris. Dalam masyarakat yang parental, janda dapat menguasai harta warisan selama hidupnya, atau dapat mengalihkannya kepada akan-anak setelah mereka dapat berdiri sendiri.
Dalam penguasaan harta warisan si janda dapat juga berperan sebagai pembagi harta warisan kepada ahli waris, tanpa turut campur tangan pihak saudara-saudara laki-laki pewaris. Tetapi tidak demikian halnya, jika si janda tidak mempunyai anak.
2)      Penguasaan anak
Apabila janda pewaris sudah berusia lanjut sedangkan anak-anaknya beranjak dewasa, dan mereka sudah berumah tangga, maka pengurusan harta warisan yang belum dibagi diurus secara bergiliran di antara ahli waris yang berhak, atau masing-masing ahli waris mengurusnya sebagain atau oleh salah satu dari ahli waris.
3)      Penguasaan keluarga
Bila pewaris meninggalkan anak-anak yang masih kecil, sedangkan ia tidak ada jandanya lagi yang dapat bertanggung jawab untuk mengurus harta warisan, maka pengurusan harta warisan yang belum dibagikan berada di bawah pengawasan orang tua pewaris menurut susuanan garis keturunan kekerabatan. Dan jika orang tua pewaris juga sudah tidak ada lagi, maka penguasaannya dapat dipegang oleh saudara-saudara pewaris atau keturunannya, menurut susunan garis keturunan kekerabatan pewaris. Pada prinsipnya, penguasaan harta warisan yang belum dibagi diputuskan berdasarkan atas kemauan bersama ahli waris.
Dengan demikian pembagian harta warisan dalam Islam pada dasarnya memang sudah diatur sedemikian rupa untuk memberikan perlindungan terhadap harta yang ditinggalkan dan memberikan kemaslahatan kepada keluarga yang ditinggalkan. Sehingga diupayakan dapat membagi harta warisan dengan ketentuan yang telah ada, namun jika harus ditunda kiranya dapat memberikan alasan yang benar-benar masuk akal dan dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga yang ada. Yang paling penting adalah komunikasi dalam keluarga yang ditinggalkan itu harus ada. 

C.                KESIMPULAN
Warisan merupakan harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya untuk dapat digunakan sebagai kebutuhan ahli waris yang ditinggalkan. Dalam Islam harta warisan sudah semestinya segera untuk dibagi ketika salah satu pewaris meninggal dunia, untuk menghindari terjadi masalah dikemudian hari, sebab penundaan pembagian harta warisan bukanlah sebuah solusi dalam menjaga harta warisan yang ditinggalkan.
Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang telah meninggal memang memerlukan aturan khusus tentang siapa saja yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Munculnya masalah dalam pembagian warisan di kehidupan masyarakat, tidak lain karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap warisan dan pembagiannya dalam aturan agama dan aturan hukum positif di Indonesia, sehingga pada umumnya sering menimbulkan masalah yang tak kunjung selesai walau sudah di adili lewat sidang pengadilan agama. Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi salah satu landasan atau dasar hukum pembagian warisan dalam Islam mampu memberikan kontribusi terhadap persoalan warisan yang sering menimbulkan sengketa dilingkungan keluarga. Dengan demikian segala ketentuan yang ada dalam hukum Islam semua telah dituangkan kedalam KHI untuk menjadi solusi penyelesaian sengketa warisan yang banyak terjadi di masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), Cet. I, Edisi Revisi.

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), Cet. III.

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 2013).

M. Athoillah, Fikih Mawaris ”Metode Pembagian Waris Praktis”, (Bandung: Yrama Widya, 2013), Cet. I.

M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: In Hill Co, 1991).  

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: 2014).

Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014), Cet. I.

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).

Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 5, (Matraman: Tinta Abadi Gemilang, 2013), Cet. I.





[1] M. Athoillah, Fikih Mawaris ”Metode Pembagian Waris Praktis”, (Bandung: Yrama Widya, 2013), Cet. I.  
[2] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 2013).
[3] Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), Cet. I, Edisi Revisi, h. 281.
[4] M. Athoillah, Fikih Waris Metode Pembagian Waris Praktis, (Bandung: Yrama Widya, 2013), Cet. I, Edisi Revisi, h. 2.
[5] Tirkah (harta peninggalan pewaris) yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. (Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf d)
[6] Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Pasal 171 huruf a.
[7] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 108.  
[8] M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: In Hill Co, 1991), h. 42.  
[9] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), Cet. III, h. 5.
[10] Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014), Cet. I, h. 25.
[11] Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Pasal 171 huruf e.
[12] Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014), Cet. I, h. 26.
[13] Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Pasal 171 huruf b.
[14] Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Pasal 171 huruf c.
[15] Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014), Cet. I, h. 27.
[16] M. Athoillah, Fikih Waris Metode Pembagian Waris Praktis, (Bandung: Yrama Widya, 2013), Cet. I, Edisi Revisi, h. 22.
[17] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 5, (Matraman: Tinta Abadi Gemilang, 2013), Cet. I, h. 513.
[18] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), Cet. III,  h. 211.
[19] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 5, (Matraman: Tinta Abadi Gemilang, 2013), Cet. I,  h. 514.
[20] M. Athoillah, Fikih Waris Metode Pembagian Waris Praktis, (Bandung: Yrama Widya, 2013), Cet. I, Edisi Revisi, h. 32.
[21] M. Athoillah, Fikih Waris Metode Pembagian Waris Praktis, (Cet. I, Bandung: Yrama Widya, 2013), h. 147-148.
[22] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
[23] M. Athoillah, Fikih Waris Metode Pembagian Waris Praktis, (Cet. I, Bandung: Yrama Widya, 2013), h. 150-156.
[24] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: 2014), h. 165.
[25] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: 2014), h. 162-163