Rabu, 31 Juli 2019

K.H ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR): “PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTURAL”

K.H ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR):
“PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTURAL”
(Kajian Buku: “Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur” karya Dr. Moh. Dahlan M.Ag,)

Gus Dur (Presiden RI Ke-4)


         A.              PENDAHULUAN
Perkembangan dunia Islam saat ini semakin memberikan warna tersendiri dalam setiap pemikiran para ulama, mufassir dan para pemikir muslim kontemporer. Perbedaan pandangan dan paradigma dari berbagai kalangan pemuka agama dan pemikir Islam sebenarnya akan memberikan nuansa berfikir yang komprehensif bukan menjadi sebuah perbedaan yang berujung pada saling menghujat dan menunjukkan siapa yang paling benar. Hal inilah yang seharusnya dibangun oleh masyarakat Indonesia dalam memahami sebuah perbedaan, sebab tanpa perbedaan, negara itu akan terfokus pada satu pemikiran dan ajaran yang sama yang tidak akan berkembang sampai kapan pun.
Salah satu pemikir Islam yang sangat keras dalam mendukung sebuah perbedaan adalah K.H Abrurrahman Wahid (Gus Dur), yang merupakan ulama besar bertaraf internasional yang tidak hanya besar di kalangan masyarakat Indonesia tetapi juga sangat di akui oleh dunia, beliau merupakan cucu dan anak dari pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu PBNU yang berhasil melanjutkan misi pembaruan Islam Nusantara di negeri ini yang juga pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU, selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai Presiden ke 4 RI Indonesia. Sejak kecil beliau memang besar dan tumbuh ditengah keluarga muslim yang taat, sehingga dasar-dasar agama Islam sudah tertanam sejak dini dalam dirinya, Sepeninggal ayahnya dia terus mengembangkan keilmuannya dalam pemikiran Islam dan mengembangkan pesantren-pesantren berbasis NU yang sudah di rintis oleh ayahnya dan keluarga besarnya, beliau tidak hanya mengembangkan ilmunya didalam negeri, tetapi sampai keluar negeri anatara lain di timur tengah dan eropa, hal inilah yang mampu mengantarkan dirinya menjadi ulama besar.
Paradigma dan cara berfikirnya sangat dikenal pada masa kejayaannya dan semasa dia masih hidup, namun sejak meninggal dunia perlahan mulai terlupakan dan bahkan mulai hilang dibenak masyarakat. Buah pemikirannya saat ini banyak termuat dalam berbagai buku, walaupun begitu hal ini tidak sampai ditelinga masyarakat yang belum pernah mendengarnya atau membacanya, terutama kalangan muda dan masyarakat awwam yang masih anak-anak bahkan yang belum hidup dimasanya. Pemikirannya saat ini masih mampu didapatkan atau didengar hanya dikalangan masyarakat NU yang mempelajari dan di ajarkan dipesantren-pesantren yang berbasis NU.
Pemikirannya tentang wawasan keislaman terutama dalam hal ushul fiqh/Hukum Islam memang banyak menuai kontroversi dan tak jarang disalah pahami, namun sebenarnya kalau dikaji dan dipahami lebih dalam lagi makna yang terkandung didalamnya itu sangatlah besar dan bermanfaat tidak hanya dikalangan warga NU saja tapi seluruh masyarakat Indonesia. Kerangka berfikirnya yang komprehensif dan kritis dalam memandang realitas agama, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan kenegaraan tak lepas dari argumen-argumen dan kaidah ushul fiqh yang normatif merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam ayat Al-Qur’an antara lain:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Terjemahnya: Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Q.S Al-Fushilat, 41: 33) [1]
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Terjemahnya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran, 3: 104). [2]
Dalam ayat ini K.H Abdurrahman Wahid meramu antara teori istimbath hukum dengan kenyataan rill yang dihadapi umat manusia. Misalnya dijelaskan bahwa dalam surat Al-Fushilat ayat 33 itu menjelaskan bahwa amal saleh (amalan shalihan) hanya berada ditengah kaum Muslimin, sedangkan surat Ali Imran ayat 104 tersebut terlihat amal kebaikan (fi’lu al-khair)dapat diberikan kepada siapa saja termasuk orang non muslim. [3] Sehingga dalam menuangkan isi dari berbagai pemikiran tentang ushul fiqh K.H Abdurrahman Wahid maka diterbitkanlah buku “Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur” karya Dr. Moh. Dahlan M.Ag, untuk memberikan pemahaman dan informasi tentang paradigma berfikir Gus Dur dalam ushul fiqh.
B.                 PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTURAL (KH. Abdurrahman Wahid)
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.
Sementara multikultural adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Jadi, paradigma ushul fiqh multikultural KH. Abdurrahman Wahid adalah sekumpulan pemikiran yang berasal dari pola pikirnya sebagai titik tolak pandangannya tentang ushul Fiqh dalam menjelaskan ragam kehidupan di dunia dan kebudayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan politik yang mereka anut. 
K.H Abdurrahman Wahid merupakan ulama besar yang dengan gaya dan cara berfikir multikulturalnya ini telah banyak memberikan pemikirannya untuk bangsa, dalam rangka menjaga kestabilan negara dengan tujuan utamanya yaitu merangkul seluruh elemen masyarakat untuk ikut terlibat dalam kemajuan bangsa tanpa perbedaan agama, suku, ras, antar golongan dan melindungi kaum minoritas, sebab di Indonesia ini sejak tersebarnya Islam berbagai macam spekulasi pemikiran Islam perlahan-lahan semakin berkembang namun sifatnya fluktuatif, kadang stabil kadang tidak.
Banyak hal yang telah digagas oleh K.H Abdurrahman Wahid untuk mencapai tujuannya itu antara lain: Pertama, Mencoba untuk merubah pemikiran lama tentang fiqh yang bercorak budaya Arab yang sudah pasti tidak sesuai dengan budaya kita di Indonesia, bahkan ia sempat mewacanakan pribumisasi Islam, Maka dari itu perlu adanya pembaruan ajaran fiqh untuk merubah norma-norma fiqh dengan mengakomodir pluralitas budaya bangsa ini. Kedua, penyelesaian konflik keagamaan yang pernah terjadi di negara ini, melalui kerja sama antar agama sebagai usaha untuk membangun keharmonisan dan kebersamaan antarumat beragama. Ketiga, pentingnya paham pluralitas dan kebebasan beragama. Keempat, menggagas penegakan hukum  di negri ini dengan berlandaskan prinsip kemanusiaan, menumpas segala bentuk ketidakadilan dan penindasan termasuk hak-hak kaum minoritas. Kelima, pentingnya pembaruan hukum Islam dalam rangka menjamin kehidupan umat manusia secara universal. Keenam, menawarkan pengembangan pesantren dengan masa depan yang optimistik, ia menempatkan pesantren bukan untuk kajian agama saja tetapi harus mampu menyumbangkan suatu sistem nilai moral pada masyarakat.
Apa yang telah di sampaikan oleh K.H Abdurrahman Wahid ini penting untuk kita melihat lebih dalam lagi bagaimana paradigma yang dibangun oleh beliau dalam memberikan sumbangsi pemikirannya terhadap dunia Islam serta bagaimana metode dan prinsip berfikirnya.
  1. Metode Ushul Fiqh Multikultural K.H Abdurrahman Wahid
Metode ushul fiqh multikultural yang dikembangkan oleh K.H Abdurrahman Wahid pada dasarnya tidak jauh beda dengan apa yang telah disyariatkan dalam agama Islam, tetapi memang ia memiliki nuansa tersendiri untuk meramunya menjadi sedikit berbeda dan bernuansa kebudayaan Indonesia. Beberapa sumber ajaran Islam yang digunakan oleh Gus Dur dalam mengembangkan metode ushul fiqh multikultural yang digagasnya yaitu;
  1. Syari’ah, ia mendefinisikan syari’ah sebagai jalan hidup kaum muslimin berupa hukum dan aturan Islam yang mengatur sendi-sendi kehidupannya, seperti aturan tentang sholat, puasa, dan lain sebagainya. [4]
  2. Fiqih, ia menyatakan bahwa fiqih adalah ketentuan hukum-hukum yang dihasilkan dari proses pemahaman fuqaha’ yang mendalam terhadap ketentuan-ketentuan syari’ah/nas-nas hukum agama Islam. [5]
  3. Ushul Fiqih, ia memaknai ushul fiqih/Islamic Legal Theory adalah ilmu yang membahas tentang teori-teori hukum Islam. Adapun multikultural yang diberikan adalah karena ia selalu melakukan upaya aktualisasi antara konsep-konsep hukum Islam yang sudah dianggap baku dengan realitas faktual yang majemuk, sehingga ada dialektika antara konsep dengan fakta. [6]
Gagasan pribumisasi Islam K.H Abdurrahman Wahid menggagasnya dengan melakukan upaya pembaruan hukum Agama/fiqih dengan memposisikan ajaran fiqih menjadi pendukung gerakan pribumisasi (ajaran fiqih) Islam. Hal ini memiliki pesan yang mendalam, yakni dengan upaya menerjemahkan hukum agama sesuai dengan adat istiadat dan kemajemukan masyarakat Indonesia sekaligus menjauhkan dari model gerakan agama Timur Tengah yang penuh konfrontasi dan konflik yang tiada hentinya. [7] Salah satu wujud nyata upaya pribumisasi Islam dalam konteks kemajemukan hidup beragama yang digagas olehnya adalah dengan menyatakan perbedaan keyakinan agama adalah sesuatu hal yang wajar, tidak perlu dipertentangkan, yang perlu dibangun adalah kebersamaan/kerjasama walaupun dengan bentuk yang berbeda.
Paradigma ijtihad yang dibangun oleh K.H Abdurrahman Wahid tidaklah muda dilaluinya sebab kondisi masyarakat Islam yang pada saat itu masih sangat meyakini bahwa masa sahabat dan tabiin merupakan masa yang paling sempurna dan harus diwujudkan kembali. Padahal secara teoritis-rasional hal ini tidak mungkin bisa diwujudkan kembali dalam kurun waktu  dan kondisi yang berbeda.[8] Apalagi kalau disesuaikan dengan kondisi kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih bersifat fluktuatif. Sehingga hal ini menjadi sebuah permasalahan yang mendasar yang dihadapi oleh K.H Abdurrahman Wahid dalam berijtihad.
Pada tataran metodologi ini K.H Abdurrahman Wahid dalam beristinbath mendasarkan pemikirannya pada beberapa paradigma sebagai berikut:
  1. Paradigma Ijma’ Multikultural
Paradigma Ijma’ Multikultural yaitu, ijma’ yang melibatkan berbagai kalangan atau kelompok, misalnya ijma’ yang dirumuskan oleh suatu bangsa, Negara, organisasi keagamaan profesional, seperti MUI, LBM NU, MTT Muhammadiyah, dsb. Ia menekankan dalam membangun konsep ijma’ mampu memelihara hak dan kewajiban setiap Individu tanpa memandang perbedaan agama, budaya dan etnisnya, semua memiliki hak yang sama den melibatkan diri dalam mempengaruhi formulasi penetapan kebijakan hukum publik, agar menghasilkan ketentuan yang memberikan kebebasan kepada umat manusia seperti kebebasan mengutarakan pendapat yang dijamin UU, kebebasan berorganisasi, kebebsan bepergian keluar negeri tanpa dikaitkan dengana masalah politik, kritik keras terhadap pemerintah tanpa pencekalan dan orang yang tidak melakukan tindakan kriminal tidak boleh dicekal, betapapun keras kritikannya terhadap pemerintah. [9] Konsensus ijma’ tidak hanya mengandalkan suara mayoritas sebagai tolok ukurnya tetapi juga memelihara dan melindungi hak dan kebebasan serta menjamin kesejahteraan seluruh warganya berdasarkan khazanah budaya setempat yang dianggar Baik. [10]
  1. Paradigma Qiyas multikultural
Menurut KH Abdurrahman Wahid qiyas adalah penyamaan suatu kasus hukum baru yang belum ada ketentuan hukumnya kedalam ketentuan hukum nas hukum agama dengan adanya kesamaan illat hukum. [11]  Dalam prakteknya qiyas ini telah mampu menjawab perkembangan sistem perekonomian yang begitu pesat yang tidak ada jawabannya dalam Al-Qur’an dan hadis tetapi mampu diselesaikan dengan qiyas. Ini merupakan qiyas yang inklusif, menerima adanya perbedaan pendapat diantara kalangan dalam suatu kasus.
  1. Paradigma Istihsan multikultural
Paradigma Istihsan multikultural yaitu menggunakan hukum juz’iyah dari pada hukum kulliyah jika ada tuntutan menghendaki diterapkannya hukum tersebut. Dalam pandangannya KH Abdurrahman Wahid mengungkapkan bahwa kerja sama dalam hal maju bersama dan memperbaiki nasib bersama demi mencapai kesejahteraan materi, buatnya tidak masalah untuk bekerja sama antar umat muslim  dan non muslih. Walaupun pada dasarnya hal ini tidak dibenarkan dalam al-Qur’an namun ia menafsirkannya bahwa yang tidak boleh itu dalam hal aqidah, karna sama-sama pasti tidak bisa saling menerima, ini merupakan caranya dalam menerapkan paradigma istihsan.
4.      Paradigma Maslahah Multikultural
Paradigma maslahah multikultural yaitu kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Paradigma mashlah sebagai sebagai metode ijtihad hukum mewujudkan lima jaminan dasar yang harus dipenuhi seperti yang telah dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid yaitu; keselamatan fisik warga masyarakat, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda pribadi, dan keselamatan profesi.[12] Dalam konteks kemaslahatan ini KH Abdurrahman Wahid mengulas pentingnya dialog antar umat beragama yang sebelumnya merupakan hal yang tidak wajib namun demi membangun kerja sama dalam hal muamalah maka hal ini penting untuk dilakukan.
Dalam pengakuan syara’ mashlahah dibagi dalam tiga jenis yang kemudian diilustrasikan oleh KH Abdurrahman Wahid sebagai berikut; mashlahah mu’tabarah, [13] yang diilustrasikan bahwa Islam sebagai agama hukum tidak perlu dibela sebagaimana halnya Allah. Sebab keduanya bisa membela dengan sendirinya, seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 3. Dalam konteks mashlahah mursalah [14] diilustrasikan dalam proses pencalonannya sebagai presiden. Sedangkan mashlahah mulghah [15] dikaitkannya dengan kerjasama dalam bidang akidah antar muslim dan non muslim yang tidak ada aturannya dalam Al-Qur’an. Dalam konteks cakupannya ada dua yaitu mashlahah ‘ammah [16] yang dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid dalam hal kesediannya menjadi calonan presiden, untuk menghindari lahirnya banyak korban dan perang saudara. Dalam mashlahah khasash [17]dijabarkan dalam hal pencabutan TAP MPRS no 25 tahun 1966 yang berguna bagi kemaslahatan golongan tertentu yaitu PKI. [18] Dalam hal pembangunan sistem ekonomi ia sangat memperhatikannya terutama dalam hal kemaslahatan rakyat kecil.
  1. Paradigma ‘Urf Multikultural
Paradigma ‘urf multikultural yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam menentukan suatu hukum. Dalam hal ini ‘urf dibagi dalam dua macam yaitu ‘urf shahihah [19] dan ‘urf fasidah [20], namun yang dipandang oleh KH Abdurrahman Wahid merupakan ‘urf yang harus dilestarikan adalah ‘urf shahihah, hal ini penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan hukum Islam dan proses peradilan, sehingga ‘urf dapat dikukuhkan menjadi hukum syara’. Salah satu contoh yang dijabarkan olehnya adalah tentang pembagian harta warisan sangat memungkinkan untuk mengikuti kebudayaan dan kearifan lokal suatu daerah, walaupun ketentuannya dalam Al-Qur’an sudah diatur dua banding satu antara laki-laki dan perempuan, namun hal ini bisa disesuaikan dengan kebiasaan tergantung situasi dan kondisi yang memungkinkan. 
  1. Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural,
Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural yaitu mempertimbang sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum. Dalam konteks ini KH Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai tindakan preventif agar tidak muncul tindakan kemafsadatan. [21] Ia mencontohkan dalam hal lahirnya terorisme yang sangat dipengaruhi oleh pemahan agama/fiqih yang dangkal sehingga kewajiban bagi kaum muslimin adalah untuk melakukan reinterpretasi. [22] Dalam konteks fath al-dzari’ah, ia menyebutkan bahwa ekonomi negara akan tegak dan kokoh jika sistem ekonomi dibangun berorientasi pada penguatan dan keberpihakan pada kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM).
C. PRINSIP USHUL FIQH MULTIKULTURAL (K.H Abdurrahman Wahid)
Dalam prakteknya ushul fiqih multikultural yang digagas oleh KH Abdurrahman Wahid memiliki empat prinsip yang diterapkan dalam proses istinbath hukum.
1.      Prinsip Keadilan
Dalam prinsip keadilan ini, ia mempertegas apa yang sudah di amanatkan lewat Al-Qur’an agar setiap manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang diembannya, melindungi kaum lemah dan kekurangan, memiliki kepekaan sosial dengan sesama warga masyarakat dan jujur dalam bersikap. Hal yang sama juga dipertegas dalam pesan UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran.
2.      Prinsip Kemanusiaan
Dalam prinsip ini ia menjabarkan bahwa dalam hal mewujudkan dan mencapainya harus ditopang oleh beberapa hal, yaitu kebebasan nurani, menjamin kebebasan manusia, keselamatan akal dan jiwa manusia dan yang terakhir adalah memberdayakan manusia baik dalam tataran intelektual maupun perilaku. Menurutnya pelembagaan lembaga pengawasan yang kuat juga dapat mendukung terwujudnya pemeliharaan nilai-nilai manusia terutama dalam hal penegakan hukun yang tidak hanya sekedar membentuk pengadilan terbuka dan adil. Sehingga pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan yang adil tidak hanya sekedar berbentuk formalitas, tetapi juga dengan adanya pemeliharaan nilai-nilai substansial dari prosedur pelaksanaan pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan.
3.      Prinsip Negara Hukum
Dalam prinsip ini ia menjabarkan bahwa dalam hal pembentukan negara hukum, maka negara harus mendasarkan pada kesejahteraan dan kemaslahatan sosial dalam merumuskan suatu hukum/konstitusi. Menurutnya prinsip ini bisa terwujud dengan adanya prinsip supremasi hukum, prinsip persamaan didepan hukum dan prinsip independensi peradilan yang ditegakkan. 
4.      Prinsip Universalitas
Dalam prinsip ini ia menjabarkan bahwa dalam membuat aturan hukum atau undang-undang harus memperhatikan dan disesuaikan dengan lima prinsip pokok hukum Islam (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) yang menjamin keselamatan manusia dan senafas dengan nilai keadlian, kemanusiaan, keseimbangan, keserasian, keselarasan, kesamaan di depan hukum dan ketertiban.
Dengan paradigma dan keempat prinsip yang telah dijabarkan diatas ini KH Abdurrahman Wahid menggagas ushul fiqih multikultural yang telah mampu membangun sistem hukum Islam yang kontekstual dan melahirkan beragam macam rumusan konsep fiqih, yaitu fiqih kenegaraan, fiqih kemanusiaan, fiqih kebudayaan, fiqih politik, fiqih ekonomi, fiqih kebangsaan dan fiqih lintas mazhab. Yang didalamnya menerapkan prinsip-prinsip ushul fiqih multikultural yang digagasnya, sehingga segala bentuk aturan yang lahir dari negara ini mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang suku, agama dan ras. Sehingga negara ini mampu hadir dengan konsep aturan main sendiri yang tidak lagi ada pengaruh dengan negara lain, dengan tidak membuang konsep lama tetapi bisa untuk menjadi pembanding aturan yang dibuat negara. Paradigma inilah yang dibangun oleh KH Abdurrahman Wahid untuk mewujudkan tujuannya dalam hal “pribumisasi fiqih” yang sholihun li kulli zaman wa al-makan.  

C.                KESIMPULAN
1.        Ushul Fiqih Multikutural yang digagas oleh KH Abdurrahman Wahid dalam hal metodologi beristinbath mendasarkan pemikirannya pada beberapa paradigma yaitu; Pertama, paradigma ijma’ multikultural, yakni ijma’ yang dalam prosesnya melibatkan berbagai kalangan atau kelompok. Kedua, paradigma Qiyas multikultural, yaitu qiyas yang inklusif, menerima adanya perbedaan pendapat di antara kalangan dalam suatu kasus hukum. Ketiga, paradigma istihsan multikultural, yakni menggunakan hukum juz’iyah dari pada hukum kulliyah jika ada tuntutan yang menghendaki diterapkannya hukum tersebut. Keempat, maslahah multikultural, yakni kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima, paradigma urf mulitikultural, yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam menentukan suatu hukum. Keenam, syadz al-Dzara’ah multikulturalyaitu mempertimbangkan sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum.
2.        Dalam prakteknya, ushul fikih multikultural yang digagas Gus Dus memiliki empat prinsip yang harus diterapkan dalam proses istinbath hukum.  Pertama, prinsip keadilan. Menurutnya setiap manusia wajib untuk berlaku adil, memenuhi janjinya, tugas dan amanat, melindungi kaum lemah dan kekurangan, memiliki kepekaan sosial, dan bersikap jujur. Kedua, prinsip kemanusiaan. Gus Dur menjelaskan bahwa Islam sangat melindungi dan menghargai kemanusiaan. Ketiga, prinsip negara hukum. Menurut Gus Dur, suatu Negara harus memiliki hukum/konstitusi yang didasarkan pada kesejahteraan dan kemaslahatan sosial (Tasharrufu al-Imam ‘ala al-Ra’iyah manutun bi al-Maslahah). Keempat, prinsip universalitas. Dalam hal ini, Gus Dur berpendapat bahwa semua hukum atau undang-undang yang dibuat harus sesuai dengan lima prinsip pokok hukum Islam (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta ) yang menjamin keselamatan manusia dan senafas dengan nilai keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, keserasian, keselarasan, kesamaan di depan hukum, dan ketertiban.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Islam di Asia Tenggara, dalam Abu Zahra ed. Politik Demi Tuhan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.   
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy, Yogyakarta: The Wahid Institute, 2007. 
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institut, 2006 
Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan:Nasionalisme Religius di Indonesia, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dan Budhy Munawar-Rahman (ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina. 
Andree Feillard, NU Vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, Yogyakarta: LkiS, 1995.
Hasil Wawancara dengan KH Abdurrahman Wahid, dikutip dari Rifa’i, Gus Dur...,hlm. 90-91, dikutip lagi dalam Buku Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009.
KH Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000. 
Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
www.pcnupati.or.id/2015/02/mengenal-ushul-fiqih-multikultural-gus.html
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiayi, Jakarta: LP3ES, 1982. 









[1] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
[2] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”.
[3] Moh. Dahlan, “Kata Pengantar” Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
[4] Abdurrahman Wahid, Syari’atisasi dan Bank Syariah, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 192. 
[5] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslim dan Cita-cita”, dan Abdurrahman Wahid, “Islam: Ideologis atau kultural?(01)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 43 dan 71-73. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal..., hlm. 366. 
[6] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslimin dan Cita-cita”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 71-73. 
[7] Andree Feillard, NU Vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogyakarta:LkiS, 1995), hlm. 272. Bandingkan dengan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiayi, (Jakarta: LP3ES, 1982). 
[8] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy, (Yogyakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 197. 
[9] Hasil Wawancara dengan KH Abdurrahman Wahid, dikutip dari Rifa’i, Gus Dur...,hlm. 90-91, dikutip lagi dalam Buku Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 100.
[10] Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 101.
[11] Abdurrahman Wahid, Tata Krama dan “Ummatan Wa Hidan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm 235. 
[12] Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dan Budhy Munawar-Rahman (ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta:Paramadina). 
[13] Mashlahah Mu’tabarah adalah jenis mashlahah yang yang keberadaanya diakui oleh syara’  atau terdapat dalam nas tanpa perlu adanya ijtihad untuk menentukan ada tidaknya hukum tersebut.
[14] Mashlahah Mursalah adalah mashlahah yang keberadaanya tidak ditemukan dalam nash dan mujtahid harus melakukan ijtihad untuk menentukan ada tidaknya mashlahah dalam hal tersebut
[15] Mashlahah Mulghah adalah jenis mashlahah yang keberadaanya tidak diakui oleh nash karena dianggap bertentangan dengan ketentuan eksplisit nash
[16] Mashlahah ‘Ammah adalah jenis mashlahah yang dibutuhkan untuk menjamin terpeliharanya kepentingan kesejahteraan umum  
[17] Mashlahah Khasash adalah jenis mashlahah yang jangkauannya untuk perorangan atau kelompok tertentu. 
[18] Abdurrahman Wahid, “Islam: Ideologi atukah kultural? (3)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita....,hlm.51. 
[19] Urf Sahihah adalah segala bentuk kebiasaan yang sudah dikenal dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.  
[20] Urf Fasidah adalah segala bentuk kebiasaan yang sudah dikenal oleh masyarakat tetapi berlawanan dengan dalil-dalil syara’
[21] Abdurrahman Wahid, “Terorisme Harus Dilawan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 292-293.  
[22] Abdurrahman Wahid, “Bersumber Dari Pendangkalan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 302. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar