Kamis, 01 Agustus 2019

HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

“HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN”


1.        Pengertian Harta Bersama
Perkawinan mempunyai tujuan untuk memperoleh keturunan dan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu masyarakat dalam satu perikatan kekeluargaan. Guna keperluan hidup bersama-sama inilah dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut “harta perkawinan”. [1]
Harta bersama merupakan salah satu dari sekian banyak macam harta yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari harta mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya dalam segi kegunaan (aspek ekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya, tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang didapat oleh suami istri dalam perkawinan.
Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata harta dan bersama. Menurut kamus besar bahasa Indonesia “harta dapat berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan “harta keluarga” ataupun “harta bersama” dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama”. [2]
Harta bersama menurut fiqh munakkahat adalah harta yang diperoleh suami dan istri karena usahanya, adalah harta bersama, baik mereka bersama-sama atau hanya sang suami saja yang bekerja sedangkan istri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di rumah. Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak. [3]
Yurisprudensi Peradilan Agama juga dijelaskan bahwa harta bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantara istri maupun lewat perntara suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya-karya dari suami istri dalam kaitannya dengan perkawinan.
Menurut hukum adat bahwa harta benda perkawinan itu adalah harta benda yang dimiliki suami istri dalam ikatan perkawinan, baik yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung (harta gawan/ harta bawaan) maupun harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang hasil kerja masing-masing suami istri ataupun harta benda yang didapat dari pemberian/hibah atau hadiah serta warisan. Jadi suatu asas yang sangat umum berlakunya hukum adat di Indonesia adalah bahwa mengenai harta kerabatnya sendiri yang berasal dari hibah atau warisan, maka harta itu tetap menjadi miliknya salah satu suami atau istri yang kerabatnya menghibahkan atau mewariskan harta itu kepadanya. 
Beberapa pendapat dan analisis di atas ini dapat dipahami bahwa harta bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan diluar dari hadiah, pemberian/hibah, warisan dan harta bawaan. Harta tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan perkawinan, kecuali harta yang didapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan, atau bawaan dari masing-masing suami istri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas seperti yang tercantum pada pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
2.        Klasifikasi Harta Dalam Perkawinan
Ikatan perkawinan menjadikan adanya harta bersama antara suami istri, sebagaimana tertuang dalam undang-undang perkawinan pasal 35 ayat 1. Namun, bukan berarti dalam perkawinan yang diakui hanya harta bersama sebab berdasarkan KHI pasal 85, yang juga ditegaskan oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam Di Indonesia, dinyatakan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. [4]
Harta benda dalam perkawinan terbagi dalam tiga klasifikasi, sebagai berikut:
1)      Harta Bersama, merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan”. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang HAM pasal 51; 1) Seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya. 2) Setelah putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama baik mengenai harta bersama ataupun mengenai anak-anaknya.
Harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama masa perkawinan dikuasai bersama suami istri. Sesuai namanya yakni harta bersama suami istri, maka selama mereka masih terikat dalam perkawinan harta itu tidak dapat dibagi. Harta itu sama-sama mereka manfaatkan hasilnya dan dibagi apabila mereka bercerai, baik cerai hidup atau cerai mati. [5] 
2)      Harta Bawaan, merupakan harta benda milik masing-masing suami istri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan atau hadiah. Dalam KHI pasal 87 ayat (1) mengatur, “harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawianan”.
Harta bawaan bukan termasuk dalam klasifikasi harta bersama. Suami atau istri berhak mempergunakan harta bawaannya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Sebagai Dasar hukumnya adalah undang-undang perkawinan pasal 36 ayat (2), yang mengatakan bahwa, “megenai harta bawaan masing-masing suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. [6]
Harta bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika sepasang pengantin menentukan hal demikian dalam perjanjian perkawinan yang mereka buat. Atau dengan kata lain, perjajian perkawinan yang mereka sepakati menentukan adanya peleburan (persatuan) antar harta bawaan dengan harta bersama. [7]
3)      Harta Perolehan, adalah “harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan”.[8]  Harta ini umumnya berbentuk hibah, hadiah, dan sedekah. Harta ini tidak diperoleh melalui usaha bersama mereka berdua selama terjadinya perkawinan. Bedanya dengan harta bawaan yang diperoleh sebelum masa perkawinan, tetapi harta macam ini diperoleh setelah masa perkawinan.
Sebagaimana halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam pertjajian perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat (2), “suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya”. [9] Harta perolehan sama dengn harta bawaan, keduanya bukan merupakan obyek dari harta bersama, yang hanya disebut dengan harta perolehan adalah harta milik masing-masing suami istri setelah menikah, tetapi bukan diperoleh dari usaha bersama atau usaha masing-masing. 
Harta perkawinan dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga suami, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu: [10]
a)      Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.
b)      Harta yang diperoleh atau dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawianan yaitu harta pencaharian.
c)      Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
d)     Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.
3.      Ruang Lingkup Harta Bersama
Harta bersama dalam Islam lebih identik diqiyaskan dengan syirkah abdan mufawwadhah yang berarti pengkongsian tenaga dan pengkongsian tak terbatas. Yang dimaksud dengan pengkongsian tak terbatas dalam perkawinan adalah apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai harta warisan atau pemberian secara khusus kepada suami istri tersebut.  [11]
Bentuk harta bersama dalam perkawinan dapat berupa benda bergerak, tidak bergerak dan surat-surat berharga sedangkan bentuk harta bersama yang tidak berwujud adalah dapat berupa hak atau kewajiban masing-masing suami istri. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Harta bersam dalam bentuk barang tanpa persetujuan bersama dari kedua belah pihak tidak dapat atau tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut sedangkan dalam hak dan kewajiban suami istri dalam hal ini baik suami maupun istri mempunyai tanggung jawab untuk menjaga harta benda tersebut. [12]
Ruang lingkup harta bersama, mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah suatu harta termasuk atau tidak sebagai obyek harta bersama antara suami istri dalam perkawinan. Memang benar, baik pasal 35 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.  Gambaran ruang lingkup harta bersama dalam suatu perkawinan, diantaranya adalah sebagai berikut: [13]
1)      Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan
Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk obyek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan apakah suami atau istri yang membeli, apakah harta tersebut terdaftar atas nama suami atau istri dimana harta tersebut terletak. Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa dianatara suami istri yang membeli. Juga tidak menjadi masalah atas nama suami atau istri harta tersebut terdaftar. Juga tidak peduli apakah harta itu terletak dimanapun. Yang penting, harta tersebut dibeli dalam masa perkawinan, dengan sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta bersama. [14]
2)      Harta Yang Dibeli Dan Dibangun Sesudah Perceraian Yang Dibiayai Dari Harta Bersama
Patokan untuk menentukan sesuatu barang termasuk obyek harta bersama, ditentukan oleh asal usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian. [15] Misalnya suami istri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan, kemudian terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan dikuasai suami dan belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah. Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun oleh suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembelian atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama, maka barang hasil pembelian atau pembangunan yang demikian tetap masuk kedalam obyek harta bersama.
3)      Harta Yang Dapat Dibuktikan Dan Diperoleh Selama Perkawinan
Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar bahwa dalam sengketa perkara harta bersama, tidak semulus dan sesederhana itu. Pada umumnya, pada setiap perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi harta pribadi. Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah. Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk harta bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.[16]
4)      Penghasilan Harta Bersama Dan Harta Bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta bersama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama diantara suami istri, namun juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami istri akan jatuh menjadi obyek harta bersama. [17]
5)      Segala Penghasilan Pribadi Suami Istri
Segala penghasilan suami atau istri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing  pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami atau istri. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami atau istri tidak terjadi pemisahan, maka dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami atau istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami atau istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.





[1] Soerodjo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1995), h. 149.
[2] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 342.
[3]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2017), h. 135.
[4]   Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 201.
[5] Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 127.
[6]   Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 202-203.
[7] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, h. 15.
[8] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, h. 15.
[9] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
[10] Imam Sudiyat, Hukum Adat, (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 143-144.
[11]Tihami, Sohari Sahrani, Fiqh Munakkahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: 2009), h. 181.
[12]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 134.
[13] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 275-278.
[14] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, h. 275.
[15] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, h. 275.
[16] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, h. 277.
[17] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, h. 277.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar