1.
Pengertian
Harta Bersama
Perkawinan mempunyai tujuan untuk
memperoleh keturunan dan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah, juga untuk dapat bersama-sama hidup pada
suatu masyarakat dalam satu perikatan kekeluargaan. Guna keperluan hidup
bersama-sama inilah dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang dapat dipergunakan
oleh suami istri untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya. Kekayaan
duniawi inilah yang disebut “harta perkawinan”. [1]
Harta bersama merupakan
salah satu dari sekian banyak macam harta yang dimiliki seseorang. Dalam
kehidupan sehari-hari harta mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan
memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh
status sosial yang baik dalam masyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya
dalam segi kegunaan (aspek ekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya,
tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum yang
mengatur tentang harta, apalagi harta yang didapat oleh suami istri dalam
perkawinan.
Secara bahasa, harta
bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata harta dan bersama. Menurut kamus
besar bahasa Indonesia “harta dapat berarti barang-barang (uang dan sebagainya)
yang menjadi kekayaan dan “harta keluarga” ataupun “harta bersama” dapat
berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta bersama
berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama”. [2]
Harta bersama
menurut fiqh munakkahat adalah harta
yang diperoleh suami dan istri karena usahanya, adalah harta bersama, baik
mereka bersama-sama atau hanya sang suami saja yang bekerja sedangkan istri
hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di rumah. Sekali mereka itu
terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi
bersatu, baik harta maupun anak-anak. [3]
Yurisprudensi Peradilan Agama juga dijelaskan bahwa harta bersama yaitu
harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan dengan hukum
perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantara istri maupun lewat perntara
suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya-karya dari suami istri dalam
kaitannya dengan perkawinan.
Menurut hukum adat bahwa harta benda perkawinan itu adalah harta benda yang
dimiliki suami istri dalam ikatan perkawinan, baik yang diperoleh sebelum
perkawinan berlangsung (harta gawan/ harta bawaan) maupun harta benda yang
diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang hasil kerja masing-masing suami
istri ataupun harta benda yang didapat dari pemberian/hibah atau hadiah serta
warisan. Jadi suatu asas yang sangat umum berlakunya hukum adat di Indonesia
adalah bahwa mengenai harta kerabatnya sendiri yang berasal dari hibah atau
warisan, maka harta itu tetap menjadi miliknya salah satu suami atau istri yang
kerabatnya menghibahkan atau mewariskan harta itu kepadanya.
Beberapa pendapat dan analisis di atas ini dapat dipahami bahwa harta
bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan diluar dari
hadiah, pemberian/hibah, warisan dan harta bawaan. Harta tersebut akan menjadi
harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum
ada pada saat dilangsungkan perkawinan, kecuali harta yang didapat itu diperoleh
dari hadiah atau warisan, atau bawaan dari masing-masing suami istri yang
dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas
seperti yang tercantum pada pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
2.
Klasifikasi
Harta Dalam Perkawinan
Ikatan perkawinan
menjadikan adanya harta bersama antara suami istri, sebagaimana tertuang dalam
undang-undang perkawinan pasal 35 ayat 1. Namun, bukan berarti dalam perkawinan
yang diakui hanya harta bersama sebab berdasarkan KHI pasal 85, yang juga
ditegaskan oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam Di
Indonesia, dinyatakan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. [4]
Harta benda dalam perkawinan terbagi dalam tiga klasifikasi, sebagai
berikut:
1)
Harta Bersama, merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan”.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang HAM pasal 51; 1) Seseorang istri selama
dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan
suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya. 2)
Setelah putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama baik mengenai harta bersama ataupun mengenai anak-anaknya.
Harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama masa perkawinan
dikuasai bersama suami istri. Sesuai namanya yakni harta bersama suami istri,
maka selama mereka masih terikat dalam perkawinan harta itu tidak dapat dibagi.
Harta itu sama-sama mereka manfaatkan hasilnya dan dibagi apabila mereka
bercerai, baik cerai hidup atau cerai mati. [5]
2)
Harta Bawaan, merupakan harta benda milik masing-masing suami istri
yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai
warisan atau hadiah. Dalam
KHI pasal 87 ayat (1) mengatur, “harta bawaan dari masing-masing suami
dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam perjanjian perkawianan”.
Harta bawaan bukan termasuk dalam klasifikasi harta bersama. Suami atau
istri berhak mempergunakan harta bawaannya masing-masing dan juga dapat
melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Sebagai Dasar hukumnya adalah
undang-undang perkawinan pasal 36 ayat (2), yang mengatakan bahwa, “megenai
harta bawaan masing-masing suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. [6]
Harta bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika sepasang pengantin
menentukan hal demikian dalam perjanjian perkawinan yang mereka buat. Atau
dengan kata lain, perjajian perkawinan yang mereka sepakati menentukan adanya
peleburan (persatuan) antar harta bawaan dengan harta bersama. [7]
3)
Harta Perolehan, adalah “harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi
oleh masing-masing pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan
perkawinan”.[8] Harta ini umumnya berbentuk hibah, hadiah,
dan sedekah. Harta ini tidak diperoleh melalui usaha bersama mereka berdua
selama terjadinya perkawinan. Bedanya dengan harta bawaan yang diperoleh
sebelum masa perkawinan, tetapi harta macam ini diperoleh setelah masa
perkawinan.
Sebagaimana halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi
masing-masing pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan
lain dalam pertjajian perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat (2), “suami
dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya”. [9] Harta
perolehan sama dengn harta bawaan, keduanya bukan merupakan obyek dari harta
bersama, yang hanya disebut dengan harta perolehan adalah harta milik
masing-masing suami istri setelah menikah, tetapi bukan diperoleh dari usaha
bersama atau usaha masing-masing.
Harta perkawinan dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga suami, maka harta perkawinan itu dapat
digolongkan menjadi empat macam, yaitu: [10]
a) Harta
yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta
bawaan.
b) Harta
yang diperoleh atau dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawianan yaitu
harta pencaharian.
c) Harta
yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau
sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
d) Harta
yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah
yang kita sebut hadiah perkawinan.
3.
Ruang
Lingkup Harta Bersama
Harta bersama dalam Islam lebih
identik diqiyaskan dengan syirkah abdan mufawwadhah yang berarti
pengkongsian tenaga dan pengkongsian tak terbatas. Yang dimaksud dengan
pengkongsian tak terbatas dalam perkawinan adalah apa saja yang mereka hasilkan
selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, kecuali yang mereka terima
sebagai harta warisan atau pemberian secara khusus kepada suami istri
tersebut. [11]
Bentuk harta bersama dalam
perkawinan dapat berupa benda bergerak, tidak bergerak dan surat-surat berharga
sedangkan bentuk harta bersama yang tidak berwujud adalah dapat berupa hak atau
kewajiban masing-masing suami istri. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh
salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Harta bersam dalam bentuk
barang tanpa persetujuan bersama dari kedua belah pihak tidak dapat atau tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut sedangkan dalam
hak dan kewajiban suami istri dalam hal ini baik suami maupun istri mempunyai
tanggung jawab untuk menjaga harta benda tersebut. [12]
Ruang lingkup harta
bersama, mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah suatu
harta termasuk atau tidak sebagai obyek harta bersama antara suami istri dalam
perkawinan. Memang benar, baik pasal 35 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam telah menentukan segala harta yang diperoleh
selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Gambaran ruang lingkup harta bersama dalam
suatu perkawinan, diantaranya adalah sebagai berikut: [13]
1) Harta
Yang Dibeli Selama Perkawinan
Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk obyek
harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang
dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami
istri tanpa mempersoalkan apakah suami atau istri yang membeli, apakah harta
tersebut terdaftar atas nama suami atau istri dimana harta tersebut terletak.
Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta
bersama. Tidak menjadi soal siapa dianatara suami istri yang membeli. Juga
tidak menjadi masalah atas nama suami atau istri harta tersebut terdaftar. Juga
tidak peduli apakah harta itu terletak dimanapun. Yang penting, harta tersebut
dibeli dalam masa perkawinan, dengan sendirinya menurut hukum menjadi obyek
harta bersama. [14]
2) Harta
Yang Dibeli Dan Dibangun Sesudah Perceraian Yang Dibiayai Dari Harta Bersama
Patokan untuk menentukan sesuatu barang termasuk obyek harta bersama,
ditentukan oleh asal usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang
bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi
perceraian. [15] Misalnya
suami istri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan,
kemudian terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan dikuasai suami dan
belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau
membangun rumah. Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun
oleh suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembelian atau biaya
pembangunan berasal dari harta bersama, maka barang hasil pembelian atau
pembangunan yang demikian tetap masuk kedalam obyek harta bersama.
3) Harta
Yang Dapat Dibuktikan Dan Diperoleh Selama Perkawinan
Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta yang
diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita
sadar bahwa dalam sengketa perkara harta bersama, tidak semulus dan sesederhana
itu. Pada umumnya, pada setiap perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu
mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi harta
pribadi. Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya berdasarkan atas hak
pembelian, warisan atau hibah. Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti
itu, patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk harta bersama atau
tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa
harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung,
dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.[16]
4) Penghasilan
Harta Bersama Dan Harta Bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta
bersama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari
harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama diantara suami istri,
namun juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami istri akan
jatuh menjadi obyek harta bersama. [17]
5) Segala
Penghasilan Pribadi Suami Istri
Segala penghasilan suami atau istri, baik yang diperoleh dari
keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan
masing-masing pribadi sebagai pegawai
menjadi yurisdiksi harta bersama suami atau istri. Jadi sepanjang mengenai
penghasilan pribadi suami atau istri tidak terjadi pemisahan, maka dengan
sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan
penghasilan pribadi suami atau istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami
atau istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
[1] Soerodjo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Toko Gunung
Agung, 1995), h. 149.
[2] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka,
1995), h. 342.
[3]Aulia
Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar
Hukum Keluarga”, (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2017), h. 135.
[5] Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema
Insani, 2003), h. 127.
[9] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No 1
Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
[13] Yahya
Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara
Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 275-278.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar