"RUANG LINGKUP HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN"
Di Indonesia, harta bersama dalam perkawinan diatur
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentah Hukum Perkawinan, Bab VII pada
pasal 35, 36, dan 37. Pada pasal 35 (1) dijelaskan, harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama pasal 36 mengatur status harta yang
diperoleh masing-masing suami istri, pada pasal 37, dijelaskan apabila
perkawinan putus karena perceraian atau kematian, maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. [1]
Selain beberapa pasal diatas dijelaskan pula dalam
KUHPerdata pasal 119 mengenai pengertian harta bersama yaitu; sejak saat
dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh
antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian perkawinan.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam pengaturan tentang
hukum bersama terdapat pada pasal 1 huruf e pasal ini menjelaskan bahwa harta
kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik
baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung inilah yang disebut dengan harta bersama, dalam pasal ini juga
tidak mempermasalahkan tentang harta yang terdaftar atas nama siapa. [2]
Harta bersama dalam Islam lebih identik diqiyaskan
dengan syirkah abdan mufawwadhah yang berarti pengkongsian tenaga dan
pengkongsian tak terbatas. Yang dimaksud dengan pengkongsian tak terbatas dalam
perkawinan adalah apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan
menjadi harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai harta warisan atau
pemberian secara khusus kepada suami istri tersebut. [3]
Bentuk harta bersama dalam perkawinan dapat berupa
benda bergerak, tidak bergerak dan surat-surat berharga sedangkan bentuk harta
bersama yang tidak berwujud adalah dapat berupa hak atau kewajiban
masing-masing suami istri. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Harta bersam dalam bentuk barang tanpa
persetujuan bersama dari kedua belah pihak tidak dapat atau tidak diperbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama tersebut sedangkan dalam hak dan
kewajiban suami istri dalam hal ini baik suami maupun istri mempunyai tanggung
jawab untuk menjaga harta benda tersebut. [4]
Ruang lingkup harta bersama, mencoba memberi
penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah suatu harta termasuk atau tidak
sebagai obyek harta bersama antara suami istri dalam perkawinan. Memang benar,
baik pasal 35 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi
Hukum Islam telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan
dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Gambaran ruang lingkup
harta bersama dalam suatu perkawinan, diantaranya adalah sebagai berikut: [5]
1) Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan
Patokan pertama untuk
menentukan apakah suatu barang termasuk obyek harta bersama atau tidak,
ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan,
harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan
apakah suami atau istri yang membeli, apakah harta tersebut terdaftar atas nama
suami atau istri dimana harta tersebut terletak. Apa saja yang dibeli selama
perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa
dianatara suami istri yang membeli. Juga tidak menjadi masalah atas nama suami
atau istri harta tersebut terdaftar. Juga tidak peduli apakah harta itu
terletak dimanapun. Yang penting, harta tersebut dibeli dalam masa perkawinan,
dengan sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta bersama. [6]
2) Harta Yang Dibeli Dan Dibangun Sesudah Perceraian Yang Dibiayai Dari
Harta Bersama
Patokan untuk menentukan
sesuatu barang termasuk obyek harta bersama, ditentukan oleh asal usul uang
biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu
dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian. [7] Misalnya suami istri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan
uang simpanan, kemudian terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan
dikuasai suami dan belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami
membeli atau membangun rumah. Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli
atau dibangun oleh suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembelian
atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama, maka barang hasil pembelian
atau pembangunan yang demikian tetap masuk kedalam obyek harta bersama.
3) Harta Yang Dapat Dibuktikan Dan Diperoleh Selama Perkawinan
Patokan ini sejalan dengan
kaidah hukum harta bersama. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan
sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar bahwa dalam sengketa perkara
harta bersama, tidak semulus dan sesederhana itu. Pada umumnya, pada setiap
perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu mengajukan bantahan bahwa
harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi harta pribadi. Hak pemilikan
tergugat bisa dialihkannya berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah.
Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan
apakah suatu barang termasuk harta bersama atau tidak, ditentukan oleh
kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat
benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya
tidak berasal dari uang pribadi.[8]
4) Penghasilan Harta Bersama Dan Harta Bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta bersama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama diantara suami istri, namun juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami istri akan jatuh menjadi obyek harta bersama. [9]
5) Segala Penghasilan Pribadi Suami Istri
Segala penghasilan suami atau istri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami atau istri. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami atau istri tidak terjadi pemisahan, maka dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami atau istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami atau istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
[1]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum
Keluarga”, (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2017), h. 134.
[2]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum
Keluarga”, h. 134.
[3]Tihami, Sohari
Sahrani, Fiqh Munakkahat: Kajian Fikih
Lengkap, (Jakarta: 2009), h. 181.
[4]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum
Keluarga”, h. 134.
[5] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan
Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 275-278.
[6] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan
Agama, h. 275.
[7] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan
Agama, h. 275.
[8] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan
Agama, h. 277.
[9] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan
Agama, h. 277.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar