Rabu, 22 Juni 2022

"HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN DAN RUANG LINGKUPNYA"

"RUANG LINGKUP HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN"


Di Indonesia, harta bersama dalam perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentah Hukum Perkawinan, Bab VII pada pasal 35, 36, dan 37. Pada pasal 35 (1) dijelaskan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama pasal 36 mengatur status harta yang diperoleh masing-masing suami istri, pada pasal 37, dijelaskan apabila perkawinan putus karena perceraian atau kematian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. [1]

Selain beberapa pasal diatas dijelaskan pula dalam KUHPerdata pasal 119 mengenai pengertian harta bersama yaitu; sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan.

Sedangkan Kompilasi Hukum Islam pengaturan tentang hukum bersama terdapat pada pasal 1 huruf e pasal ini menjelaskan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung inilah yang disebut dengan harta bersama, dalam pasal ini juga tidak mempermasalahkan tentang harta yang terdaftar atas nama siapa. [2]

Harta bersama dalam Islam lebih identik diqiyaskan dengan syirkah abdan mufawwadhah yang berarti pengkongsian tenaga dan pengkongsian tak terbatas. Yang dimaksud dengan pengkongsian tak terbatas dalam perkawinan adalah apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai harta warisan atau pemberian secara khusus kepada suami istri tersebut.  [3]

Bentuk harta bersama dalam perkawinan dapat berupa benda bergerak, tidak bergerak dan surat-surat berharga sedangkan bentuk harta bersama yang tidak berwujud adalah dapat berupa hak atau kewajiban masing-masing suami istri. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Harta bersam dalam bentuk barang tanpa persetujuan bersama dari kedua belah pihak tidak dapat atau tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut sedangkan dalam hak dan kewajiban suami istri dalam hal ini baik suami maupun istri mempunyai tanggung jawab untuk menjaga harta benda tersebut. [4]

Ruang lingkup harta bersama, mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah suatu harta termasuk atau tidak sebagai obyek harta bersama antara suami istri dalam perkawinan. Memang benar, baik pasal 35 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.  Gambaran ruang lingkup harta bersama dalam suatu perkawinan, diantaranya adalah sebagai berikut: [5]

1)    Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan

        Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk obyek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan apakah suami atau istri yang membeli, apakah harta tersebut terdaftar atas nama suami atau istri dimana harta tersebut terletak. Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa dianatara suami istri yang membeli. Juga tidak menjadi masalah atas nama suami atau istri harta tersebut terdaftar. Juga tidak peduli apakah harta itu terletak dimanapun. Yang penting, harta tersebut dibeli dalam masa perkawinan, dengan sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta bersama. [6]

2)    Harta Yang Dibeli Dan Dibangun Sesudah Perceraian Yang Dibiayai Dari Harta Bersama

        Patokan untuk menentukan sesuatu barang termasuk obyek harta bersama, ditentukan oleh asal usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian. [7] Misalnya suami istri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan, kemudian terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan dikuasai suami dan belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah. Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun oleh suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembelian atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama, maka barang hasil pembelian atau pembangunan yang demikian tetap masuk kedalam obyek harta bersama.

3)    Harta Yang Dapat Dibuktikan Dan Diperoleh Selama Perkawinan

        Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar bahwa dalam sengketa perkara harta bersama, tidak semulus dan sesederhana itu. Pada umumnya, pada setiap perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi harta pribadi. Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah. Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk harta bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.[8]

4)    Penghasilan Harta Bersama Dan Harta Bawaan

        Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta bersama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama diantara suami istri, namun juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami istri akan jatuh menjadi obyek harta bersama. [9]

            5) Segala Penghasilan Pribadi Suami Istri

        Segala penghasilan suami atau istri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing  pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami atau istri. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami atau istri tidak terjadi pemisahan, maka dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami atau istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami atau istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.


[1]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2017), h. 134.

[2]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 134.

[3]Tihami, Sohari Sahrani, Fiqh Munakkahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: 2009), h. 181.

[4]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 134.

[5] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 275-278.

[6] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, h. 275.

[7] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, h. 275.

[8] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, h. 277.

[9] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, h. 277.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar