Minggu, 26 Juni 2022

"IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB DALAM SOSIOLOGI HUKUM ISLAM"

 "IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB DALAM SOSIOLOGI HUKUM ISLAM"

Gambar: Pemandangan Alam

Kehidupan masyarakat senantiasa mengalami suatu perubahan seperti apa yang disebutkan dalam istilah sosiologi. Perubahan-perubahan pada kehidupan masyarakat tersebut merupakan fenomena sosial yang wajar, oleh karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. Perubahan-perubahan akan nampak setelah tatanan sosial dan kehidupan masyarakat yang lama dibandingkan dengan tatanan dan kehidupan masyarakat yang baru.[1] Oleh karena itu, apa yang disebut dengan perubahan social (social change) dalam istilah sosiologi, kapan dan dimanapun akan selalu terjadi di setiap lingkungan umat manusia. Setiap perubahan sosial, cepat atau lambat, selalu menuntut perubahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya bidang fikih (hukum dan perundang-undangan) yang merupakan salah satu institusi penting bagi kehidupan umat manusia.

Al-Quran sebagai kitab suci bagi umat Islam, pada mulanya juga diwahyukan sebagai respon situasi masyarakat tertentu. Sebagai prinsip dasar, al-Quran hanya memuat sebagian kecil hukum–hukum secara terinci. Sedangkan Sunnah terbatas pada kasus–kasus yang terjadi di masa Rasulullah saw. Karena itu, untuk memecahkan persoalan–persoalan baru, terutama yang berhubungan dengan persoalan kemasyarakatan (muamalah), diperlukan adanya ijtihàd dengan memanfaatkan secara optimal anugerah Allah swt. yang paling berharga, yaitu akal pikiran.

Di masa lalu, banyak penguasa, ilmuan, dan tokoh Islam yang telah mengupas kebenaran ajaran agama Islam dengan mempergunakan akal atau pikiran sesuai yang dianjurkan oleh al–Quran. Kesempatan bagi mereka dibuka selebar–lebarnya selama mereka memiliki kemampuan dan wewenang untuk melakukannya. Salah seorang dari mereka adalah Amìr al–Mukminìn, Umar ibn al–Khattàb, ra. Khalifah ke 2 pada generasi al-Qurankhulafà’ al-ràsyidûn. Ia adalah seorang mujtahid besar yang memanfaatkan akal pikirannya dengan berani dan jujur, demi mempertahankan relevansi ajaran Islam dengan dunia di mana ia hidup dan memerintah. Ia berijtihad tidak hanya kalau tidak ada petunjuk al-Quran dan Sunnah, tetapi berani ber–ijtihad meskipun ada petunjuk wahyu dan hadis. Ia berani menempuh kebijakan yang tidak lagi sesuai dengan pengertian harfiyah dari ayat al-Quran atau tradisi yang dulu dilakukan oleh Rasulullah saw. Alasannya adalah karena situasi sosial dan keadaan telah berubah.

Keistimewaan ijtihad dari Khalifah Umar Bin Khattab, dimana ia adalah seorang yang sangat berani dalam mengambil langkah dan tindakan dalam menentukan sebuah permasalahan yang terjadi, tanpa mengenal perbedaan suku, agama, dan ras, jika ada sesuatu hal yang salah maka akan dikatakan salah dan jika itu benar maka ia akan katakan kebenarannya. Hal inilah yang membedakan hasil ijtihadnya dengan yang yang lain, hasil ijtihad Khalifah Umar memberikan khazanah pengetahuan yang luas dalam agama Islam yang belum diperoleh pada masa-masa sebelum Khalifah Umar, hal ini menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran dan hukum-hukum baru dari hasil penetapan hukum yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. 

1.   Riwayat Singkat Umar Bin Khattab

Umar bin Khattab lahir di kota Mekah pada tahun 513 M. Ia berasal dari bani Adi, salah satu bagian suku Quraisy. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah. Sebelum memeluk Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar mengubur putrinya hidup-hidup.  Kemudian menurut beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka mabuk-mabukan dengan cara meminum anggur. Namun, setelah menjadi muslim, ia tidak menyentuh alkohol sedikit pun, meskipun belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas. Selain itu, ia juga terbiasa membuat patung-patung berhala. Yang kadang-kadang ia buat dari gandum dan manisan. Sehingga, ketika ia lapar, maka ia memakan bagian-bagian dari patung berhala yang ia buat sendiri.

Umar masuk Islam ketika berusia dua puluh tujuh tahun. Adapun penyebab ia masuk Islam adalah akibat dari lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang dibacakan oleh adiknya bernama Fatimah yang menyebabkan hatinya luluh dan ingin segera menemui Rasulullah untuk menyatakan keIslamannya. Pada saat menjadi khalifah, ia mendapat gelar amirul mukminin dan al-faruq yang artinya pembeda. Ia adalah khalifah yang sangat sederhana. Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Khattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar as Siddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.

2.   Hasil Ijtihad Umar Ibn Al–Khattàb Dalam Realitas Sosial

Umar Ibn al-Khattàb dikenal sebagai sosok tokoh pemikir yang cerdas, keras, dan pemberani dalam sejarah penyebarluasan Islam pada masa itu. Ketika menjabat sebagai khalifah ke 2 pada masa al-khulafà’ al-Ràsyidûn, ia telah banyak mengeluarkan pemikiran yang kreatif. Tidak jarang dari pemikiran-pemikirannya tersebut secara tekstual berbeda, bahkan berseberangan dengan ketentuan normatif yang telah mapan dan diterima secara baik di tengah–tengah masyarakat. Oleh karena itu, pemikiran yang kontroversial ini sering menimbulkan pro dan kontra di kalangan para sahabat dan cendekiawan muslim saat itu. Sebagian di antara mereka ada yang dapat memahami dan menerima pemikiran inovatif Umar, tetapi sebagian yang lain sulit menerima dan menolak keras pemikirannya. Dari sebagian mereka yang menolaknya, menganggap Umar keluar dari tuntunan hidup beragama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Selama masa pemerintahan Umar bin Khattab sebagai khalifah, kata-kata musytarak, makna lugas dan kiasan, adanya pertentangan nash juga makna tekstual dan kontekstual sudah mulai ditemukan di dalam Al-Quran. Selain faktor-faktor tersebut, masih ada lagi beberapa faktor yang menyebabkan Umar bin Khattab melakukan ijtihad mengenai hukum-hukum islam, diantaranya adalah faktor militer, yakni dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, faktor sosial yang semakin heterogennya rakyat negara Islam, dan faktor ekonomi.

Dalam melakukan ijtihadnya Umar bin Khattab menggunakan metode bi ra’yi. Ar ra’yu secara bahasa adalah pendapat atau pertimbangan. Sedangkan Ar ra’yu secara istilah, penulis menggunakan pendapat Abdul Wahab Khalaf, yaitu (Pengarahan) akal dan pemikiran dengan satu atau beberapa media yang syariat mengantarkannya pada petunjuk (Allah) dalam menggali hukum (istinbath) terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuannya di dalam nash.

Dengan cara dan metode ijtihadnya yang berbeda ini, maka tidak heran jika perubahan-perubahan penafsiran yang dilakukan Umar akan berakibat pula pada perubahan hukum dan fatwa dari yang telah berjalan sejak masa Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Tidak hanya itu perubahan penafsiran secara kontekstual pada masanya kerap terjadi seakan telah keluar dari teks asalnya. Di antara beberapa perubahan-perubahan dari hasil ijtihadnya tersebut adalah menyangkut persoalan-persoalan sebagai berikut:

a.   Masalah Ghanìmah (Harta Rampasan Perang)

Masalah ghanìmah (harta rampasan perang) telah diatur dengan jelas dalam Q.S. Al-Anfal ayat 41. Secara teks dalam ayat ini disebutkan bahwa pembagian harta rampasan perang itu dibagi berdasarkan ketentuan yang menurut al-Quran dengan menggunakan istilah khumusahu yang berarti seperlima. Seperlima tersebut sesuai dengan makna secara teksnya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan ibadah dan amal sosial.[2] Sementara seluruh sisanya diperuntukkan bagi pasukan perang yang berhasil memperolah harta rampasan yang pernah dilakukan oleh nabi, termasuk pula cara ini juga diikuti hingga pada masa Abu Bakar al–Shiddiq ra.[3]

Ketika khalifah berganti kepada Umar, penafsiran ayat di atas mengalami perubahan yang sangat drastis, apalagi setelah terjadinya penaklukan kota Iraq. Pandangan Umar tentang harta rampasan perang ini dilandasi oleh paradigma pemikiran, bahwa kemaslahatan umat harus lebih diutamakan dibanding dengan kemaslahatan individu.[4] Pandangan ini, dianggap kuat oleh Umar untuk dijadikan hujjah dalam mereformulasi praktik pembagian harta rampasan sebagaimana yang dipelopori oleh Nabi dan Abu Bakar. Sehingga langkah penyelesaian selanjutnya, oleh Umar harta rampasan tersebut dikembalikan kepada masyarakat yang memilikinya, dari sana kemudian diambil pajak tertentu yang disebut dengan istilah kharaj dan dimasukkan ke dalam kas negara demi kepentingan masyarakat umum.

Proses terjadinya perubahan penafsiran teks tersebut yang dilakukan oleh Umar pada prinsipnya bila ditelusuri lebih dalam banyak di latar belakangi oleh situasi dan kondisi perang pada saat itu, baik berupa materi maupun non-materi. Secara materi, Islam pada saat itu telah mengalami kejayaan dan kemenangan, sehingga secara psikis Umar ingin menunjukkan bahwa Islam adalah sebagai agama yang kaya moral dan sosial. Sementara praktik harta rampasan yang terjadi pada masa Rasulullah dan Abu Bakar tidaklah demikian, hal ini karena banyak didasarkan pada pertimbangan kondisi Islam saat itu, yaitu situasi yang masih lemah ditambah lagi dengan jumlah pasukannya yang masih sedikit/minim.

Perubahan yang dilakukan oleh Umar terhadap kasus pembagian ghanìmah ini adalah sebagai wujud respon terhadap perkembangan masyarakat saat itu khususnya dalam menyelesaikan masalah sosial dalam masyarakat. Inilah yang dikatakan sebagai teori ”strukturisasi”, dimana Umar sebagai aktor bertindak untuk menetapkan suatu hukum berdasarkan kepentingan masyarakat (struktur), demi kemaslahatan umat. Maka hubungan saling mempengaruhi dalam konteks ini sangat terlihat, ekspansi masyarakat Islam yang dilakukan oleh Umar menuntut perlunya kebijakan yang dapat memihak pada komunitas yang baru, sehingga kekuatan Islam akan tetap terjaga di kalangan mereka, terlebih Umar terlihat menunjukkan nilai kepekaan sosial yang dibangun oleh Islam, yang sekaligus sebagai nilai moral dalam Islam.

b.   Masalah Talak

Dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa talak itu adalah dua kali yang boleh dirujuk kembali.[5] Setelah itu, apabila jatuh talak ketiga, maka suami tidak boleh rujuk kembali kepada isterinya kecuali dengan akad nikah baru dan itupun sang isteri harus telah menikah dengan orang lain dan telah ditalak pula oleh suaminya yang kedua. Adapun cara menjatuhkan talak itu ada bebeerapa kemungkinan, yaitu: 1). Dengan cara menjatuhkannya satu demi satu. Maksudnya suami mentalak isterinya dengan talak satu, kemudian ia rujuk, kemudian talak talak lagi, kemudian rujuk lagi. 2). Dengan cara menjatuhkannya dua sekaligus pada kali pertama, kemudian rujuk kemudian talak. 3). Dengan cara menjatuhkannya tiga sekaligus, misalnya perkataan suami kepada isterinya, "saya talak engkau dengan talak tiga".[6] Terkait dengan hal ini, pada masa Umar, muncul gejala di masyarakat dimana banyak sekali orang menjatuhkan dan mempermainkan talak tiga.

Dalam keadan sosial masyarakat yang demikian, Umar kemudian berijtihad dan menetapkan bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh tiga pula. Kebiasaan buruk masyarakat tersebut menurut Umar haruslah dicegah dengan menetapkan talak tiga sekaligus maka jatuh pula talak tiga. Poin penting dari ijtihad Umar tersebut adalah bagaimana dia mampu menjiwai aspek esensial hukum dan tidak terjebak dalam formalitas teks. Dalam hal ini, aspek sosial dan realitas yang ada menjadi pondasi Umar untuk mempertimbangkan ketetapan hukum yang ia rumuskan. Walaupun secara tekstual nampak berseberangan, namun secara esensial, ketetapan hukum Umar berpijak pada kemaslahatan teks. Dengan demikian, dalam bahasa kontemporer, Umar nampak mempertimbangkan sosiologi hukum ketika dia memutuskan sebuah perkara.

c.   Masalah Hukum Potong Tangan

Pidana atau hukuman yang diancamkan terhadap pencurian menurut hukum Islam adalah hukuman hàd (potong tangan). Pandangan seperti ini didasarkan pada dalil al-Quran surat al-Maidah: 38, yaitu, “Pencuri laki–laki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangan mereka”.[7]

Disamping al-Quran, juga didasarkan pada dalil Sunnah qauli (ucapan), maupun fi’li (praktik) yang pernah dilakukan oleh nabi. Akan tetapi, Umar Ibn Khattàb pernah membatalkan hukuman tersebut pada suatu tahun terjadinya era kelaparan.[8] Argumentasi lain mengatakan bahwa hukuman tersebut dibatalkan karena pencurian dilakukan oleh orang yang terdesak mencari makan.[9] Ini artinya dalam menentukan sanksi hukum, Umar selalu melihat pada persoalan yang melatarbelakanginya. Hal demikian berarti didasarkan atas alasan darurat, alasan kepentingan dan alasan menghidupi jiwa orang. Dasar pemikiran ini diikuti oleh ijma’nya para ulama fikih.[10]

d.   Masalah Hukuman Pezina bagi Seorang Gadis

Terkait dengan sanksi bagi pezina yang masih gadis atau belum terikat dengan tali perkawinan yang sah, oleh Nabi yang kemudian disepakati oleh jumhur ulama’ adalah hukumannnya didera seratus kali dan dibuang ke luar negeri.[11] Pembuangan ke luar negeri ini menurut beberapa pandangan adalah tambahan dari Nabi yang disesuaikan dengan hukum Tuhan pada surat An–Nûr (24) ayat 2.[12] Ketentuan hukuman menjadi ketetapan berdasarkan sunnah masyhur.[13]

Umar berpendapat bahwa pada masanya dia pernah mengasingkan Ruba’iah binti Umayyah bin Khallaf yang kemudian pergi ke Romawi, namun belajar dari pengalaman ini, menurutnya tidak ada kemaslahatan mengenai alasan pembuangan ke luar negeri tersebut. Bahkan sangat dikhawatirkan jika orang yang dibuang tersebut akan bergabung menjadi musuh Islam. Maka dia berkata: ”Saya tidak akan mengasingkan lagi seseorang setelah dia”.[14] Dari ungkapan terakhir ini, hampir bisa disimpulkan bahwa berubahnya penafsiran hukum Islam di atas, disebabkan oleh kekhawatirannya pada posisi negara pada saat itu. Dengan kata lain situasi politik dan kemanan masyarakat ikut mempengaruhi pada tampilnya penggalian hukum Islam.

e.   Masalah Mu’allaf

Kaitannnya dengan masalah mu’allaf ini, al-Quran juga telah menjelaskannya.[15] Istilah mu’allaf dikaitkan dengan ketentuan sedekah. Maksud dari istilah al-mu’allafatu qulubuhum adalah orang yang oleh Nabi diberi bagian sedekah dengan maksud untuk menarik dan menjinakkan hatinya pada Islam.[16] Selain juga karena imannya yang masih lemah atau untuk tujuan menghilangkan niat jahat mereka yang masih ada. Meskipun keterangan al-Quran demikian jelas menyangkut persoalan mu’allaf ini, namun Umar ketika menjabat sebagai khalifah berupaya menangkap pesan teks yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah. Pandangan Umar mengenai mua’allaf ini adalah mereka yang derajatnya ditinggikan dan dimenangkan oleh Allah karena keislamannya. Dalam waktu yang bersamaan menurutnya mereka tidak perlu berhadapan dengan pedang Umar ibn Khattàb. Dalam logika Umar, siapapun yang hendak masuk Islam, maka berimanlah dan siapa yang mau kufur, maka kufurlah.

Logika Umar di atas nampaknya cukup bisa diterima oleh nalar, sebab ketentuan teks dalam ayat di atas memang didasarkan pada keadaan darurat, dalam rangka dakwah Islamiyah dan berusaha untuk kemenangan Islam, namun ketika keadaan Islam menjadi kuat, maka alasan di atas menjadi kurang relevan lagi. Dengan demikian Umar Ibn Khattàb telah menasakh nàsh tersebut, karena atas dasar alasan realitas dan kondisi umat yang sudah kuat pada saat itu.

Beberapa contoh kasus akan perubahan hukum Islam yang dilakukan oleh Umar di atas, tidak satu pun dari perubahan tersebut yang tidak punya alasan sikon yang kuat. Keberanian Umar untuk melakukan perubahan–perubahan hukum selalu berkompromi dengan situasi dan kondisi, atau dalam bahasa Bernstein adalah terjadi ”hubungan dialektika” dengan tetap berpijak pada kemaslahatan. Masa Umar Bin Khattab pula dapat kita lihat sebagai awal mulainya proses penafsiran yang sedikit berbeda dengan apa yang terjadi dengan apa yang ada pada masa Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar Siddiq. Di masa ini penafsiran disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat yang ada saat itu, namun tetap dengan memperhatikan makna tekstual yang dikandungnya.

3.   3. Struktur Sosial Hukum Islam Pada Masa Pembentukan (Masa Khalifah Umar Bin Khattab)

Perubahan sosial pada dasarnya adalah perubahan-perubahan mendasar dalam pola budaya, struktur, dan prilaku sosial sepanjang tahun.[17] Dengan kata lain, perubahan sosial adalah proses yang dilalui oleh masyarakat sehingga menjadi berbeda dengan sebelumnya.

La Belle mengatakan bahwa struktur dan prilaku sosial selalu dibentuk oleh tiga komponen budaya yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Tiga komponen tersebut adalah ideologi, teknologi, dan organisasi sosial. Ideologi adalah sebagai pijakan dalam menentukan segala tindakan sosial, teknologi merupakan perangkat yang dijadikan sebagai alat untuk pengembangan tindakan, sementara organisasi sosial adalah sebagai kelompok yang memainkan peran kunci dalam menghubungkan antara aktor dengan masyarakat yang lebih luas. [18] Dalam teori sosial, menghubungkan antara aktor dan struktur/masyarakat disebut oleh Giddens[19] sebagai teori ”Strukturisasi”. Menurur Giddens, ”Setiap riset dalam ilmu sosial atau sejarah selalu menyangkut penghubungan tindakan (sering kali disinonimkan dengan agen) dengan stuktur. Namun, dalam hal ini tak berarti bahwa struktur ’menentukan’ tindakan atau sebaliknya”. Teori ini menurut Bernstein, tujuan fundamentalnya adalah menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh mempengaruhi antara agen(tindakan) dan masyarakat (struktur).[20]

Berangkat dari teori Giddens di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam dialektika hubungan masyarakat pasti akan melahirkan tindakan saling mempengaruhi. Tidak terbatas pada aspek sosial saja, melainkan juga aspek yang lainnya, termasuk aspek hukum. Tidak dapat disangkal bahwa fakta empirik menunjukkan demikian. Semua itu dilakukan sesuai dengan proses pencapaian kemaslahatan. Kemaslahatan manusia itu hampir menjadi pilar utama dari setiap ragam tuntutan dalam setiap kehidupan, termasuk di dalamnya adalah muatan hukum. Oleh karenanya sudah menjadi sebuah keniscayaan yang masuk akal, bila perubahan hukum itu terjadi karena berubahnya zaman atau keadaan serta pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan tersebut.[21]

Mengingat kebutuhan masyarakat yang selalu menuntut adanya perubahan-perubahan, dalam arti tuntutan serta kepentingannya yang baru, (karena perubahan waktu dan kondisi) di samping tuntutan untuk memperoleh jawaban hukum yang lebih sesuai dan lebih mendekati antara teori-teori hukum dan kenyataan riil (praktis), maka kondisi sepertinya telah mendorong eksistensi hukum mengalami perkembangan dan perubahan senada dengan perkembangan tuntutan kemasyarakatan.

Kenyataan inilah yang pada akhirnya muncul berbagai pandangan pakar hukum Islam, Ahmad Minhaji menyatakan bahwa mayoritas umat Islam, selalu dihadapkan pada tarik-menarik antara dua kutub ekstrem, yaitu berupa wahyu yang tidak mengalami perubahan dan realitas sosial yang cenderung berubah. Terkesan sekali adanya batas yang sangat kuat di antara keduanya. Padahal dua kubu ini bila ditilik dari kacamata sejarah tidak akan berjalan sendiri-sendiri.[22] Umat Islam akan selalu berusaha untuk memahami inti pesan wahyu Allah dalam rangka untuk merespon persoalan umat yang cenderung berubah. Hanya saja pemahaman tersebut telah melahirkan sejumlah tawaran konsep sekaligus aplikasinya yang tidak selalu sejalan. Tidak terkecuali dalam lapangan hukum Islam, baik pada tataran metodologis (ushûl al-fiqh) maupun aplikasinya (al-fiqh).[23]

Melihat kondisi hukum Islam pada masa khulafà’ al-Ràsyidûn, suatu masa yang memiliki rentan waktu yang cukup pendek dengan kehidupan Rasulullah, sudah terjadi pemikiran para sahabat nabi yang cukup progresif. Hal demikian disebabkan karena perubahan situasi dan kondisi masyarakat yang sangat cepat. Termasuk perkembangan kekuasaan Islam secara drastis, telah menuntut penyesuaian tingkah laku manusia dengan kehendak Tuhan. Selain itu, proses perubahan penafsiran yang terjadi mada masa setelah Rasulullah wafat itu, sebenarnya bukanlah keinginan dari para khalifah semata yang ada pada saat itu namun tuntutan masalah perubahan sosial masyarakatlah yang banyak mempengaruhi proses penafsiran yang ada.

4.4.   Pemikiran Umar bin Khathab Dalam Kajian Sosial Hukum Islam

Secara historis, Islam tidaklah lahir dalam ruang kosong. Faktor sosial budaya memberi pengaruh yang begitu besar dalam konstruksi hukum yang ditetapkan. Dalam hal inilah nampak bagaimana ijtihad Umar merupakan satu gagasan awal yang mempunyai pijakan yang kuat. Bila dilihat dari sisi originalitas, pertimbangan sosiologi hukum yang digunakan oleh Umar merupakan sesuatu yang pertama. Hal ini bila berdasar bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analisis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Dengan demikian, sosiologi hukum berupaya mengkaji sejauh mana hukum itu mempengaruhi tingkah laku sosial dan pengaruh tingkah laku sosial terhadap pembentukan hukum. Umar mempertimbangkan tingkah laku sosial sebagai dasar dalam memutuskan hukuman. Bagaimanapun, keberanian Umar untuk mencoba keluar dari teks merupakan keberanian yang begitu hebat pada masanya. Hal ini terkait dengan realitas hukum pada masa itu yang masih begitu kuatnya nuansa tekstualitas. Hal ini cukup beralasan karena jarak antara kekuasaan Umar dengan Nabi tidaklah terlalu panjang. Dengan demikian, putusan ataupun perintah nabi masih merupakan pijakan yang diaplikasikan secara apa adanya oleh umat Islam.

Pentingnya sosiologi hukum model Umar nampaknya telah member angin segar bagi para mujtahid dalam beristinbat. Dampak dari hal ini dapat dilacak dari munculnya mujtahid-mujtahid yang mencoba keluar dari teks dan mempertimbangkan aspek realitas sosial sebagai variabel penting. As-Syafi'i misalnya dengan munculnya apa yang disebut dengan qaul qadim dan qaul jadid dalam spektrum penikirannya. Qaul qadim dan qaul jaded membuktikan fleksibilitas fiqh dan adanya ruang gerak dinamis bagi perkembangan, perubahan dan sangat mempertimbangkan realitas ruang, waktu dan masyarakat. Pentingnya sosiologi dalam ijtihad hukum juga dapat dilihat dari konsep para mujtahid kontemporer. Sosok Umar dalam masa kontemporer menjadi sosok idola bagi para pemikir liberal dan progresif. Di sisi yang lain, pola ijtihad Umar juga banyak disitir oleh para pemikir Indonesia yang berpikiran "modern". Munawir Syazali, Nurcholish Madjid dan Atho' Mudzhar merupakan pemikir yang seringkali mengungkapkan gagasan-gagasan ijtihad Umar.

Berdasarkan penjelasan hasil ijtihad Umar Bin Khattab yang berkaitan dengan masalah sosial hukum Islam, maka dapat dilihat bahwa banyak hal yang berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah dan Masa Abubakar Siddiq sebagai Khalifah, dimana keduanya masih mempertahankan apa yang tersirat dalam teks ayat al-Quran, sementara penjelasannya masih sebatas apa yang terjadi pada saat itu tanpa merubah sedikit pun apa yang telah disebutkan dalam teks al-Quran. Namun, perubahan itu mulai terjadi di zaman kekhalifaan Umar Bin Khattab, hal ini dapat dipahami sebab tingkat kompleskitas dan keberagaman masyarakat pada masa Rasulullah berbeda dengan apa yang ada pada zaman Umar. Ketika Umar diangkat menjadi khalifah wilayah Islam sudah berkembang dan bertambah luas sampai ke Mesir sehingga masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Islam pada saat itu lebih beragam dan terkadang belum terjadi pada masa Rasulullah. Selain itu, dalam memutuskan masalah hokum Islam, Umar bin Khattab mengedepankan kemaslahatan ummat dan pertimbangan-pertimbangan yang didasari berdasarkan kemanusiaan. Maka tidak heran, jika Umar dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan ilmu fiqh/hukum Islam berbeda dengan apa yang terjadi pada zaman Rasulullah. Meskipun ada perbedaan dalam proses ijtihadnya, namun dapat disadari bahwa keputusannya tersebut tidak melenceng dari ajaran-ajaran Islam, melainkan lebih mengedepankan pada tingkat kebutuhan sosial kemasyarakatan yang ada pada saat itu.


[1] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan, (Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2007),  h. 162.

[2] Roibin, Sosiologi Hukum Islam Tela’ah Sosio Historis Pemikiran Imam Syafi’i, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 38.

[3] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 97.

[4] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, h. 97.

[5] Lihat, Qs. al-Baqarah [2]: 229-230.

[6] M. Atho' Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1998), h. 57.

[7] Qs. al-Maidah [5]: 38.

[8] Subhi Mahmashani, “Falsafat al–Tasyrì’ fì al–Islàm”, terj. Adri Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: al–Ma’àrif, 1981), h. 69.

[9]Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, h. 98.

[10]Subhi Mahmashani, “Falsafat al–Tasyrì’ fì al–Islàm”, terj. Adri Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam, h. 43.

[11]Abdur Rahman al–Jaziri, Fiqh ’ala Mazahib al–Arba’ah, (Beirut: Dar al–Ilmiah, 2003).

[12]”Perempuan yang berzina dan laki–laki yang berzina, maka deralah tiap–tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah. Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang–orang yang beriman.”

[13]Muhammad bin Ali al–Syaukani, Nail al–Authar Syarah Muntaqal Akbar, Juz 7, (Mesir: al–Hulabi, 1347), h. 73.

[14] Subhi Mahmashani, “Falsafat al–Tasyrì’ fì al–Islàm”, terj. Adri Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam.

[15] Lihat Qs. Yunus: 60.

[16] Ibn Qutaibah, al–Ma’àrif, (Mesir: Dar al–Ma’arif al–Islamiyah, 1934), h. 149.

[17] Mudjia Raharjo, ”Perubahan Sosial di Mintakat Panglaju Bandung Malang” (Jurnal STAIN Malang, Edisi No. 5, 1998), h. 75.

[18] Roibin, Sosiologi Hukum Islam (Tela’ah Sosio Historis Pemikiran Imam Syafi’i), (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 18.

[19] Adalah seorang sosiolog Amerika, nama lengkapnya adalah Anthony Giddens. Salah satu teori paling terkenal yang diusungnya adalah mengintegrasikan agen–struktur yang dikenal dengan teori ”Strukturasi”.

[20] Geoge Ritzer–Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 507–508

[21]Subhi Mahmashani, “Falsafat al-Tasyrì’ fì al-Islàm”, terj. Adri Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: al-Ma’àrif, 1981), h. 160.

[22] Ahmad Minhaji, Masa Depan dan Problem Metodologi Studi Islam (Ulul Albab, Vol. III, No. 1, 2001), h. 28

[23]Zafar Ishaq Anshari, “The Contribution of The and The Prophet to The Development of Islamic Fiqh” ( Journal of Islamic Studies 3, 1992), h. 41-71.