Sabtu, 29 Juni 2024

HAKIKAT PERKAWINAN ADAT GORONTALO

 

“HAKIKAT PERKAWINAN ADAT GORONTALO”

Perkawinan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status seseorang dalam masyarakat, selain itu perkawinan juga merupakan hal yang sakral, sebuah perkawinan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. Perkawinan juga memiliki fungsi sosial, seperti ketika mempersiapkan pelaksanaan prosesi pernikahan pasti membutuhkan bantuan orang lain sehingga dapat mempererat hubungan masyarakat melalui gotong-royong. Sebuah perkawinan juga dapat mempersatukan dua kebudayaan atau lebih, karena tidak ada larangan dalam pelaksanaan perkawinan beda suku, lain halnya dengan perkawinan beda agama yang dilarang oleh negara.

Oleh sebab itu perkawinan memiliki hakikat yang begitu sakral, hakikat perkawinan dalam adat Gorontalo dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu:[1]

1)  Keluarga

Perkawinan bukan semata-mata urusan pribadi atau dengan kata lain bukan saja urusan kedua calon mempelai, tetapi juga merupakan urusan keluarga, kerabat/handai tolan. Jika ada sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan selalu dimusyawarakan dengan keluarga. Karena dengan perkawinan maka anggota keluarga pun akan bertambah atau kekompakan keluarga dapat dipertahankan. Perkawinan akan berakibat kepada bertambah luasnya ikatan kekeluargaan, dari masing-masing kedua mempelai.

2)  Kedua Mempelai

Perkawinan adalah awal dari perjuangan untuk menempuh hidup berumah tangga sekaligus mengandung ujian, apakah perkawinan itu akan kokoh sepanjang hayat kedua mempelai, atau kandas diten ga samudera kehidupan. Perkawinan adalah merupakan titik kulminasi janji setia yang akan diikuti dengan rasa tanggung jawab, saling menghormati demi keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga harus dihadapi secara bersama-sama oleh kedua mempelai berdasarkan rasa tanggungjwab dan saling menghormati antar keduanya termasuk dalam melanjutkan keturunan dan pembentukan generasi baru.

3)  Turunan Yang Akan Diperoleh Dari Kedua Mempelai

Anak yang lahir dari perkawinan yang sah adalah anak yang sah, dan anak-anak tersebut akan bergembira bahwa mereka adalah hasil dari perkawinan yang sah (dila wala’o zina/bukan anak zina), yang akan menimbulkan kepercayaan diri pada anak itu sendiri. Pepatah orang Gorontalo: dungo langge dila modehu to tibawa lo batango oyile (daun pohon nangka tidak akan jatuh dibawah pohon mangga), atau wanu moolango ta’uliyo, moolango huliyaliyo (kalau jernih di hulu pasti akan jernih di hilir). Hakikat perkawinan yang dimaksudkan adalah mengupayakan keturunan yang suci, membentuk akhlak yang mulia terhadap anak yang dicontohkan oleh orang tuanya. Tanggung jawab mendidik anak adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, khususnya dalam pendidikan moral dan etika, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ajaran agama.

4)  Agama

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban, serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Tercermin harapan bahwa turunan yang akan dihasilkan oleh pasangan suami istri tersebut tetap menjalankan syariat Islam serta mempertahankan agama Islam dalam perjalanan hidup mereka, hal ini sebagaimana tertuang dalam prinsip adat Gorontalo yang sangat populer dikalangan masyarakat Gorontalo, yang dijadikan dasar dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan khususnya dalam melaksanakan upacara tertentu termasuk upacara akad nikah. falsafah adat Gorontalo memiliki nilai yang luar biasa jika dimaknai dengan sesungguhnya oleh setiap kalangan masyarakat di Gorontalo, karena adat tersebut berlandaskan agama atau syariat Islam, sehingga sebagian besar masyarakat Gorontalo melaksanakan adat perkawinan senantiasa merujuk pada prosesi adat yang telah turun temurun dipegang teguh oleh masyarakat Gorontalo. Adat bersendikan syara’ dan kitabullah, tercermin dalam hakikat perkawinan di Gorontalo, yang memiliki landasan agama untuk menghalalkan pergaulan.

5)  Pandangan Masyarakat

Perkawinan adalah alat untuk menghindari timbulnya fitnah, sehingga pesta perkawinan merupakan maklumat atau pengumuman kepada semua orang, bahwa mereka sudah melangsungkan perkawinan. Tujuan perkawinan adalah ketenangan, maka dengan perkawinan yang telah dilaksanakan akan mengakibatkan kenyamanan bagi kedua mempelai dan masyarakat.

6)  Adat

Perkawinan bermakna memuliakan, menghormati kedua mempelai dan kedua keluarga mempelai. Perkawinan dianggap suci, agung dan karena itu harus dimuliakan dan dihormati. Untuk memuliakannya perlu dilaksnakan secara teratur menurut adatdan berdasarkan agama Islam. keagungan suatu masyarakat bisa dinilai dari hukum adat perkawinannya.

a.   Perubahan Sosial Pada Adat Perkawinan Di Gorontalo

Perubahan sosial dalam masyarakat Gorontalo terjadi karena pengaruh dari luar yang sangat kuat sehingga setiap masyarakat rela menerimanya dan pada dasarnya masyarakat Gorontalo mudah menyesuaikan diri dengan pengaruh yang datang dari luar jika bertentangan dengan agama. perubahan sosial terhadap adat perkawinan di Gorontalo dapat dilihat pada hal-hal berikut ini:[2]

1)  Status sosial

Dahulu yang mendapat pohutu di dalam acara adat perkawinan hanyalah terbatas pada putra-putri raja (olongiya) dan bangsawan (ta bangusa), sekarang pohutu sudah merakyat termasuk dalam hal nilai mahar (yang dibedakan antara bangsawan dan budak), tetapi sekarang semua dinilai dengan bentuk uang.

2)  Tujuan

Dahulu orang melakukan perkawinan karena memiliki tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk memperbanyak keturunan dengan berpegang kepada prinsip makin banyak anak makin banyak rezeki. Sekarang orang melangsungkan perkawinan dengan didasari oleh motivasi kebahagian sehingga lebih suka berkeluarga kecil.

3)  Ekonomi

Dahulu biaya nikah dan mahar dihubungkan dengan benda-benda tetap seperti tanah, pohon kelapa, dan sawah, sekarang lebih banyak dihubungkan dengan uang.

4)  Adat

Dahulu adat dupito atau wo’opo (seorang nenek tidur bersama dengan pengantin baru pada malam pertama perkawinan), kini adat seprti itu telah hilang.

5)  Kesenian pengiring

Dahulu untuk meramaikan acara perkawinan diadakan hiburan atau kesenian berupa turunani dan buruda, kini orang lebih suka meramaikannya dengan iringan musik modern.

6)  Perlengkapan

Dahulu untuk mengantarkan mahar digunakan kola-kola yang diusung di pedati yang ditarik oleh manusia, tetapi sekarang sudah menggunakan kenderaan roda empat (truk/open cup). Demikian pula perlengkapan lain berupa huwali lo wada’a (kamar bersolek) atau huwali lo humbio (kamar tidur pengantin) yang diberi wangi-wangian tradisional seperti: langgio, bada’a, mato lo’u moonu, yilonta, dan totabu. Kini disedikan kamar yang sesuai dengan kehidupan modern.

Daerah Gorontalo yang merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, memiliki norma pernikahan sendiri yang disebut “pohutu moponika”. Pohutu merupakan bagian dari adat Gorontalo secara keseluruhan, jelas memiliki berbagai aspek baik yang berhubungan dengan falsafah dasar pernikahan itu sendiri, urutan prosesinya, makna falsafah benda yang mengiringnya, busana para pelaksananya, dekorasi tempat pernikahan dan penggunaan bahasa dalam rangkaian proses pernikahan. Hal ini semua berhubungan dengan sistem norma yang masih tetap dipertahankan  meskipun telah terjadi penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan perkembangan pemikiran masyarakat Gorontalo.

Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari terdapat kenyataan tentang pelaksanaan pernikahan itu yakni pernikahan yang didasarkan pada “Syariat Islam secara penuh” dan prosesi pernikahan yang didasarkan pada “adat yang bersendikan agama Islam” inilah yang disebut “pohutu moponika” sehingga pohutu moponika akan dilaksanakan bagi pasangan pria dan wanita yang akan melangsungkan pernikahan yang tidak / belum melanggar hukum agama.[3]

Karena adat Gorontalo bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, maka menurut agama, hukum nikah itu terdiri atas :

a)   Jais (diperbolehkan) ini asal hukumnya

b)  Sunnah, bagi orang yang berkehendak serta cukup belanjanya (nafkah dan lainnya)

c)   Wajib, atas orang cukup mempunyai belanja dan dia takut akan tergoda kepada kejahatan (zinah)

d)  Haram, kepada orang yang berniat akan menyakiti atas perempuan yang akan dikawininya.[4]

Yang berhak memperoleh pelaksanaan adat pernikahan dalam bentuk upacara kebesaran “pohutu” adalah :

a)   Olongia, kini dapat disejajarkan dengan jabatan gubernur, bupati dan walikota

b)  Huhuhu, kini dapat disejajarkan dengan wakil gubernur, wakil bupati/wakil walikota

c)   Wuleya lo lipu’camat’

d)  Mufti

e)   Kadli

f)   Apitalau

g)  Mbuu’i biluato[5]

            Untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan sosial, pohutu moponika dapat dilaksanakan untuk semua masyarakat, syaratnya yakni mampu dan berkeinginan melaksanakannya. Pohutu moponika tidak boleh dipaksakan dan bukan simbol kekuasaan dan keberadaan seseorang. Pohutu moponika diserahkan pada musyawarah keluarga yang mampu dan ingin melaksanakannya karena memahami betul makna, dan terutama manfaat pohutu moponika.


[1] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Dan Praktek Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo , h. 84-86.

[2] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Dan Praktek Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2014). Cet. I, h. 86-87.

[3]Hasil Seminar Adat Gorontalo 2007, Pohutu Aadati Lo Hulondalo Tata Upacara Adat Gorontalo, (Tim Perumus Kerjasama Pemda Kabupaten Gorontalo, Forum Pengkajian Isam Al-Kautsar Gorontalo, Tokoh Adat U Duluwo Limo Lo Pohalaa Gorontalo dan Tim Akademisi Gorontalo 2008, h. 126

[4] Hasil Seminar Adat Gorontalo 2007, Pohutu Aadati Lo Hulondalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 134.

[5] Hasil Seminar Adat Gorontalo 2007, Pohutu Aadati Lo Hulondalo Tata Upacara Adat Gorontalo,h. 135.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar