“PEMBERIAN HIBAH BOLEH DIBATALKAN
JIKA ADA UNSUR PEMBATALAN YANG TERPENUHI”
"Ilustrasi Pemberian Hibah" |
Apa Yang Dimaksud Dengan Hibah…?
Kata
Hibah berasal dari bahasa Arab yang telah diadopsi menjadi bahasa Indonesia.
Kata ini merupakan mashdar dari kata pemberian.
Secara bahasa, dapat dijelaskan bahwa hibah berasal dari akar kata (wahaba-yahabu-hibatan) yang berarti
memberi atau pemberian, yang dapat berbentuk sedekah maupun hadiah. Secara umum
dalam pengertian hibah mengandung hal-hal yang meliputi: 1) Ibraa, yaitu menghibahkan utang kepada
yang berhutang; 2) Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan
pahala di akhirat; 3) Hadiah, yakni pemberian yang menurut orang yang diberi
itu untuk memberi imbalan.
Dalam
pengertian umumnya di masyarakat hibah atau pemberian merupakan suatu pemberian
yang dilakukan oleh sang pemberi hibah kepada seseorang baik kepada anaknya,
saudaranya, ataupun keluarganya untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan yang
mereka inginkan (seperti rumah, tempat usaha ataupun yang lainnya), hibah juga
dapat diberikan kepada sekelompok orang tertentu untuk dibangunkan sesuatu hal
yang bermanfaat untuk orang banyak. Hibah diberikan oleh pemberi hibah kepada
penerima hibah secara sukarela tanpa ada penggantian suatu apapun dan dilakukan
pada saat pemberi hibah masih hidup, berbeda dengan wasiat yang diberikan oleh
pemberi wasiat setelah pemberi wasiat meninggal dunia.
Didalam
ajaran Islam seluruh tindakan manusia harus didasarkan pada Al-Quran dan Hadis,
termasuk juga dalam hal pemberian hibah, ada aturan-aturan yang semestinya
dipahami sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis,
antara lain dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 262 yang artinya “orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian mereka
tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut pemberiannya dan
dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperolah pahala disisi
Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati”. Kemudian dalam hadis juga disyariatkan antara lain dalam
salah satu hadis Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda “Perumpamaan orang-orang yang menyedekakkan suatu sadaqah, kemudian
menariknya kembali pemberiannya adalah seperti seekor anjing yang muntah
kemudia memakan muntahnya kembali”. (HR. Muslim).
Selain
itu Hibah juga telah diatur dalam hukum positif di Indonesia antara lain
menurut Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata): “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana
si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu”.
Apa
Saja Unsur-Unsur Hibah…?
Untuk
mengetahui bagaimana prosedur pemberian hibah maka ada baiknya kita pahami dulu
apa saja unsure-unsur dalam pemberian hibah, antara lain adalah sebagai
berikut:
1.
Hibah merupakan perjanjian sepihak yang
dilakukan dengan cuma-Cuma, dimana didalamnya tidak ada kontra prestasi dari
pihak penerima hibah.
2.
Dalam pemberian hibah selalu
disyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk menguntungkan pihak yang
diberi hibah.
3.
Adapun Objek perjanjian hibah adalah
segala macam harta benda milik penghibah, baik berwujud maupun tidak berwujud,
benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala macam piutang
penghibah, jadi tidak hanya pemberian sebidang tanah saja yang dapat dikatakan
sebagai hibah.
4.
Hibah tidak dapat ditarik kembali,
kecuali ada perjanjian tertentu antara kedua belah pihak sebelum pemberian
hibah yang kemudian dilanggar oleh penerima hibah.
5.
Penghibahan harus dilakukan pada waktu
penghibah masih hidup bukan pada saat pemberi hibah telah meninggal dunia.
6.
Hibah harus dilakukan dengan akta notaris
tidak bisa hanya dilakukan secara lisan, sebab hibah yang dilakukan tidak dalam
bentuk tertulis akan sangat mudah untuk digugat oleh pihak ahli waris lainnya sebagai
warisan yang belum dibagi karena tidak ada dasar pegangan yang kuat oleh sang
penerima hibah.
Bagaimana Rukun Dan Syarat Hibah…?
Dalam
Islam sesuatu akad hibah tidak akan terbentuk melainkan setelah memenuhi rukun
dan syarat sebagai berikut: [1]
1.
Pemberi hibah (wahib) hendaklah seorang yang berkeahlian seperti sempurna akal,
baligh, dan rushd. Pemberi hibah
punya barang yang dihibahkan, oleh karena itu pemilik harta mempunyai kekuasaan
penuh atas hartanya. Hibah boleh dibuat tanpa had kadar serta kepada siapa yang disukainya termasuk kepada orang
bukan Islam, selama tidak melanggar syara’.
2.
Penerima hibah (Al-mawhub lahu) boleh terdiri dari siapapun asalkan dia mempunyai
keupayaan memiliki harta mukallaf dan bukan mukallaf. Sekiranya penerima hibah
bukan mukallaf seperti masih belum cakap hukum, hibah boleh diberikan kepada
walinya atau pemegang amanah bagi pihaknya. Penerima hibah harus menerima harta
yang dihibahkan dan berkuasa memegangnya.
3.
Barang atau harta yang dihibahkan
(Al-mawhub) perlu memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Barang atau harta yang halal.
b.
Sejenis barang atau harta yang mempunyai
nilai di sisi syara’.
c.
Barang atau harta itu milik pemberi
hibah.
d.
Harta benar-benar wujud pada saat itu
tidak boleh barang yang akan ada.
e.
Harta itu tidak boleh bersambung
dengan harta pemberi hibah yang tidak boleh dipisahkan seperti pokok-pokok,
tanaman dan bangunan-bangunan seperti tanah. Menurut mazhab Maliki Shafi’i,
Hanbali, hibah terhadap harta yang berkongsi yang tidak boleh dibagikan adalah
sah hukumnya. Berdasarkan ajaran agama Islam barang yang masih bercagar (rumah)
boleh dihibahkan jika mendapat keizinan dari penggadai atau peminjam.
4.
Sighah
yaitu ijab dan qabul atau perbuatan yang membawa makna pemberian dan penerimaan
hibah. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
a.
Ada persambungan dan persamaan antara
ijab dan qabul.
b.
Tidak dikenakan syarat-syarat
tertentu.
c.
Tidak disyaratkan dengan jangka waktu
tetentu. Hibah disyaratkan dengan waktu tertentu seperti yang berlaku dalam al-‘umra dan al-ruqubaadalah sah hukumnya tetapi syarat tersebut batal.
Berdasarkan KHI dapat
disimpulkan, suatu hibah itu sudah sah dengan adanya ijab dan qabul dengan
perkataan atau dengan memberi hartanya tanpa meminta imbalan ('iwad). Menurut mazhab Maliki dan
Shafi’i penerimaan (Qabul) itu
semestinya menentukan sah atau tidaknya hibah tersebut. Sebaliknya menurut
mazhab Hanafi menganggap bahwa ijab saja sudah memadai untuk menentukan sahnya
sesuatu hibah tersebut. [2]
5.
Penerimaan barang (Al-Qabd) dalam hibah istilah tersebut
yang artinya adalah penerimaan barang bermaksud untuk mendapat, menguasai dan
boleh melakukan tasarruf terhadap
barang atau harta tersebut. Menurut mazhab Hanbali dan Maliki penerimaan barang
tidak disyaratkan dalam suatu hibah, karena dengan akad sudah terpenuhi.
Apabila salah satu pihak pemberi hibah atau penerima hibah meninggal sebelum
penyerahan barang dan penerimaan barang yang merupakan salah satu syarat hibah
maka tersebut batal. [3]
Apakah Hibah Boleh Dilakukan Pembatalan…?
Berdasarkan
penjelasan tentang pengertian dan prosedur pemberian hibah diatas dapat dilihat
beberapa hal yang dapat menjadikan suatu hibah itu dapat dibatalkan, yaitu jika
hibah itu meliputi benda-benda yang akan ada di kemudian hari, jika penghibah
memperjanjikan bahwa ia tetap berusaha untuk menjual atau memberikan kepada
orang lain suatu benda yang termasuk dalam hibah, jika dibuat dengan syarat
bahwa penerima hibah akan melunasi utang-utang atau beban-beban lain dan jika
penerima hibah belum dewasa atau belum cakap hukum.
Berdasarkan
Pasal 1688 KUHPerdata pada asasnya hibah tidak dapat ditarik kembali maupun
dibatalkan, kecuali:
1.
Karena tidak dipenuhi syarat-syarat
dengan mana penghibaan telah dilakukan;
2.
Jika si penerima hibah telah bersalah
melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si
penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah;
3.
Jika ia menolak memberikan tunjangan
nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.
Berdasarkan
Hukum Islam jumhur ulama berpendapat haram hukumnya menarik kembali hibah yang
telah diberikan, kecuali hibah orang tua kepada anknya. Berdasarkan hadist
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yaitu “orang yang menarik kembali haknya adalah seperti
seekor anjing yang muntah kemudiania makan muntah itu kembali”. Selain itu
ada juga hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yaitu “tidak halal bagi seorang muslim memberi
sesuatu pemberian kemudian ia menarik kembali pemberiannya itu, kecuali ayah
yang meminta kembali pemberian yang diberikan kepada anaknya”. [4]
Pada
Prinsipnya proses pemberian hibah dapat diartikan sebagai umry dan ruquby dimana si
penghibah memberikan hartanya dengan syarat, sehingga hukumnya akan batal
karena memberikan jangka waktu akan sesuatu yang tidak jelas, namun jika suatu
saat terjadi hal seperti ini maka harta menjadi haknya penerima hibah. Apabila
penerima hibah meninggal terlebih dahulu maka harta tersebut menjadi hak ahli
waris yang menerima pemberian hibah tersebut. Atau sebaliknya jika si pemberi
hibah meninggal terlebih dahulu maka tetap harta milik hak ahli waris yang
menerima.
Jadi
pemberian hibah ini sesungguhnya telah mutlak menjadi milik penerima hibah, namun
apabila penerima hibah meninggal dunia maka harta telah menjadi hak ahli
warisnya. Salah satu bentuk pembatalan hibah dalam adat jahiliyah sebelum agama
Islam ada, karena dulu kebiasaan adat jahiliyah adalah memberikan penjagaan,
pemanfaatan hartanya kepada seseorang teman atau saudara dengan seumur hidup
dan memakai syarat, siapapun yang meninggal terlebih dahulu maka harta akan
kembali kepada pemberi hibah, meskipun saat ini hal tersebut tidak lagi berlaku
di dalam ajaran Islam.
Setelah
berlakunya KHI, sebetulnya ada beberapa Pasal yang menyangkut hibah itu
menguntungkan bagi orang yang membatalkan hibah tersebut antara lain dalam Pasal
212 “Hibah
tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya”, mengenai pasal ini memang masih menjadi polemik di
masyarakat sebab sering terjadi perselisihan antara ahli waris dalam persoalan
pembatalan hibah orang tua kepada anaknya yang tidak bisa menerima pembatalan seperti
yang ada dalam pasal tersebut. Diantara para ahli
waris sebetulnya dapat mengajukan pembatalan hibah ke Pengadilan Agama apabila
hibah tersebut telah merugikan bagian ahli waris (legitime portie). Hal ini berdasarkan putusan Mahkamah Agung
No.990.K/Sip/1974 Tanggal 6 April 1976 karena ahli waris merasa hak mutlaknya
(yang harus dimiliki) tidak terpenuhi. Namun, semua ini haruslah benar-benar
dapat dibuktikan secara hukum dan sesuai dengan prosedur yang ada di hadapan
Pengadilan, pembatalan tidak dapat dilakukan dengan semena-mena terhadap
penerima hibah meskipun menurut pemberi hibah atau menurut ahli waris lainnya
penerima hibah telah melakukan pelanggaran perjanjian yang dibuat sebelum
pemberian hibah ataupun pemberian hibah tersebut telah merugikan hak para ahli
waris lainnya, sebab jangan sampai ketika pemberian hibah mudah saja dibatalkan
maka akan sangat banyak proses pemberian hibah yang dapat bermasalah saat ini
di masyarakat yang dapat diajukan ke Pengadilan untuk dilakukan pembatalan
hibah.
Oleh
sebab itu proses pemberian hibah haruslah dilakukan secara tertulis dan
dilakukan dihadapan notaris agar legalitasnya jelas. Pada prinsipnya pemberian
hibah janganlah dilakukan hanya secara lisan. Pemberian secara lisan memang akan
sangat mudah dibuktikan ketika penerima hibah, pemberi hibah dan saksi-saksi
saat pemberian itu berlangsung sama-sama masih hidup, tetapi jika kemudian ketiga
unsur tersebut semuanya telah meninggal dunia, maka proses pemberian hibah akan
sulit untuk dibuktikan yang pada akhirnya dapat menimbulkan permasalahan di
dalam masyarakat.
[4] Ibrahim
Hoessein,Problematika Wasiat Menurut
Pandangan Islam, (Jakarta, Makalah Yang Belum Dibicarakan Pada Seminar FH
UI 15 April 1985), h.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar