Beracara di dalam Peradilan Agama cukup berbeda dengan beracara di
Peradilan lainnya, selain peradilannya hanya untuk orang-orang beragama Islam,
peradilannya pun memiliki batas kewenangan dalam memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara, sesuai dengan
pasal 49 UU Peradilan Agama, menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang 1) perkawinan, 2) waris, 3) wasiat, 4) hibah, 5) wakaf, 6) zakat, 7) ifaq, 8) shadaqah, dan 9) ekonomi syariah. Maka untuk menerapkan hukum acara dengan baik dan benar dalam beracara di
Peradilan Agama perlu diketahui apa saja asas-asasnya. Adapun asas-asas Hukum
Acara Peradilan Agama ialah sebagai berikut:
1) Peradilan Agama adalah Peradilan Negara.
Peradilan ini memiliki kedudukan yang sama dan setara dengan Peradilan
lainnya (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer).
2) Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Peradilan
Agama merupakan Peradilan Islam di
Indonesia yang
bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan ketentuan hukum syariat Islam sehingga di khususkan bagi mereka yang
beragama Islam, namun jika ada pihak non Muslim mereka dapat menundukkan diri pada hukum syariat Islam dalam perkara yang dihadapinya, yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariat Islam.
3) Peradilan Agama menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila.
Mekipun pada dasarnya yang ditegakkan adalah syariat Islam tetapi tetap
memperhatikan asas kedilan berdasarkan pancasila sebagai dasari negara.
4) Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan
hukum Islam seperti halnya perkara yang telah disebutkan diatas.
5) Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
6) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, tidak
memberatkan para pihak yang berperkara dalam hal-hal tertentu.
7) Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membedakan orang perorang
sebagai pihak berperkara.
8) Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar,
semata-mata demi terwujudnya kebenaran dan keadilan melalui penegakan hukum
yang seadil-adilnya.
9) Peradilan dilakukan dalam persidangan majelis dengan sekurang-kurangnya
tiga orang hakim dan salah satunya sebagai ketua, sedang yang lain sebagai
anggota, dibantu oleh panitera sidang yang bertugas mencatat dan
mendokumentasikan proses sidang dari awal sampai dengan selesai.
10) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili.
11)
Beracara
dikenakan biaya, tidak ada biaya tidak ada perkara. Perkara hanya bisa
didaftarkan setelah dibayar biaya panjar biaya perkara oleh yang
berkepentingan.
12) Hakim bersifat menunggu. Inisiatif mengajukan perkara ada pada pihak yang
berkepentingan.
13) Hakim pasif. Ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang
berkepentingan, bukan oleh hakim.
14) Hakim aktif dalam memimpin persidangan, hakim wajib mengambil prakarsa dan
bertindak sesuai dengan kewenangannya.
15) Persidangan bersifat terbuka untuk umum. Kecuali dalam perkara tertentu
yang tidak mencapai kesepakatan damai, atau karena alasan penting yang harus
dimuat dalam berita acara persidangan, maka sidang dilakukan dengan tertutup.
16) Hakim mendengar kedua belah pihak, dan diperlakukan sama dihadapan sidang.
17) Hakim berkuasa memberi perintah.
18) Tidak harus lewat pengacara.
19) Pihak tergugat/termohon wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
20) Para pihak berhak mendapat bantuan hukum, untuk memberikan perlindungan
yang sewajarnya kepada yang bersangkutan.
21) Penyitaan hanya dapat dilakukan atas perintah tertulis dari hakim.
22) Semua perkara perdata dapat diselesaikan secara damai.
Meskipun suasananya dalam bentuk Peradilan, tetapi perkara perdata yang
masuk di Pengadilan Agama dapat diselesaikan secara damai.
23) Hakim wajib mendamaikan para pihak.
Upaya damai dilakukan oleh hakim selama proses persidangan berlangsung
sampai dengan sebelum adanya putusan.
24) Hakim membantu para pihak. Pemberian bantuan dan nasehat dapat diberikan
baik sebelum sidang, selama persidangan, maupun setelah perkara putus.
25) Asas manusiawi, pemeriksaan dilakukan secara manusiawi.
26) Hakim wajib mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya, tidak serta
merta menolak perkara yang masuk untuk didaftarkan, semua perkara yang masuk akan
diputuskan dihadapan persidangan.
27) Putusan harus disertai alasan, alasan yang ada berdasarkan fakta
persidangan dan bukti-bukti yang diajukan berdasarkan ketentuan hukum yang ada.
28) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia tidak dilakukan dihadapan para
pihak berperkara atau di dalam ruang sidang.
29) Tiap-tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat “Bismillaahirrahmanirrahiim”
diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
30) Penetapan dan Putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
31) Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus
dibuat berita acara.
32) Terhadap setiap putusan/penetapan diberikan jalan upaya hukum menurut
undang-undang.
33) Pelaksanaan putusan pengadilan wajib menjaga terpeliharanya perikemanusiaan
dan perikeadilan.
Dengan demikian terdapat 34 asas hukum acara Peradilan Agama yang harus
diketahui sebelum beracara di lingkungan Peradilan Agama. Selain itu, pada prinsipnya
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara perdata yang juga berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
Peradilan Agama.
[1] H.A.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Cet. VII,
Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2007), h. 8-12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar