Selasa, 13 Agustus 2019

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

"Palu Sidang"
Beracara di dalam Peradilan Agama cukup berbeda dengan beracara di Peradilan lainnya, selain peradilannya hanya untuk orang-orang beragama Islam, peradilannya pun memiliki batas kewenangan dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara, sesuai dengan pasal 49 UU Peradilan Agama, menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang 1) perkawinan, 2) waris, 3) wasiat, 4) hibah, 5) wakaf, 6) zakat, 7) ifaq, 8) shadaqah, dan 9) ekonomi syariah. Maka untuk menerapkan hukum acara dengan baik dan benar dalam beracara di Peradilan Agama perlu diketahui apa saja asas-asasnya. Adapun asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama ialah sebagai berikut:
1)  Peradilan Agama adalah Peradilan Negara.
Peradilan ini memiliki kedudukan yang sama dan setara dengan Peradilan lainnya (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer).
2) Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. 
Peradilan Agama merupakan Peradilan Islam di Indonesia yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan ketentuan hukum syariat Islam sehingga di khususkan bagi mereka yang beragama Islam, namun jika ada pihak non Muslim mereka dapat menundukkan diri pada hukum syariat Islam dalam perkara yang dihadapinya, yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariat Islam.
3) Peradilan Agama menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila.
Mekipun pada dasarnya yang ditegakkan adalah syariat Islam tetapi tetap memperhatikan asas kedilan berdasarkan pancasila sebagai dasari negara.  
4) Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan hukum Islam seperti halnya perkara yang telah disebutkan diatas.
5) Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
6) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, tidak memberatkan para pihak yang berperkara dalam hal-hal tertentu.
7) Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membedakan orang perorang sebagai pihak berperkara.
8) Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar, semata-mata demi terwujudnya kebenaran dan keadilan melalui penegakan hukum yang seadil-adilnya.
9) Peradilan dilakukan dalam persidangan majelis dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim dan salah satunya sebagai ketua, sedang yang lain sebagai anggota, dibantu oleh panitera sidang yang bertugas mencatat dan mendokumentasikan proses sidang dari awal sampai dengan selesai.
10)  Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili.
11)   Beracara dikenakan biaya, tidak ada biaya tidak ada perkara. Perkara hanya bisa didaftarkan setelah dibayar biaya panjar biaya perkara oleh yang berkepentingan.
12)  Hakim bersifat menunggu. Inisiatif mengajukan perkara ada pada pihak yang berkepentingan.
13)  Hakim pasif. Ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berkepentingan, bukan oleh hakim.
14)  Hakim aktif dalam memimpin persidangan, hakim wajib mengambil prakarsa dan bertindak sesuai dengan kewenangannya.
15)  Persidangan bersifat terbuka untuk umum. Kecuali dalam perkara tertentu yang tidak mencapai kesepakatan damai, atau karena alasan penting yang harus dimuat dalam berita acara persidangan, maka sidang dilakukan dengan tertutup.
16)  Hakim mendengar kedua belah pihak, dan diperlakukan sama dihadapan sidang.
17)  Hakim berkuasa memberi perintah.
18)  Tidak harus lewat pengacara.
19)  Pihak tergugat/termohon wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
20) Para pihak berhak mendapat bantuan hukum, untuk memberikan perlindungan yang sewajarnya kepada yang bersangkutan.
21)  Penyitaan hanya dapat dilakukan atas perintah tertulis dari hakim.
22) Semua perkara perdata dapat diselesaikan secara damai.
Meskipun suasananya dalam bentuk Peradilan, tetapi perkara perdata yang masuk di Pengadilan Agama dapat diselesaikan secara damai.  
23) Hakim wajib mendamaikan para pihak.
Upaya damai dilakukan oleh hakim selama proses persidangan berlangsung sampai dengan sebelum adanya putusan.
24) Hakim membantu para pihak. Pemberian bantuan dan nasehat dapat diberikan baik sebelum sidang, selama persidangan, maupun setelah perkara putus.
25) Asas manusiawi, pemeriksaan dilakukan secara manusiawi.  
26) Hakim wajib mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya, tidak serta merta menolak perkara yang masuk untuk didaftarkan, semua perkara yang masuk akan diputuskan dihadapan persidangan.   
27) Putusan harus disertai alasan, alasan yang ada berdasarkan fakta persidangan dan bukti-bukti yang diajukan berdasarkan ketentuan hukum yang ada.
28) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia tidak dilakukan dihadapan para pihak berperkara atau di dalam ruang sidang.
29) Tiap-tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat “Bismillaahirrahmanirrahiim” diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
30) Penetapan dan Putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
31)  Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus dibuat berita acara.
32) Terhadap setiap putusan/penetapan diberikan jalan upaya hukum menurut undang-undang.
33) Pelaksanaan putusan pengadilan wajib menjaga terpeliharanya perikemanusiaan dan perikeadilan.
34) Tuntas dan Final.[1]
Dengan demikian terdapat 34 asas hukum acara Peradilan Agama yang harus diketahui sebelum beracara di lingkungan Peradilan Agama. Selain itu, pada prinsipnya Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara perdata yang juga berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama.




[1] H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Cet. VII, Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2007), h. 8-12.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar