Seberapa Pentingkah Kafa’ah
Dalam Perkawinan...?
Kafa’ah atau kufu’
ialah serupa, seimbang, serasi. [1] Menurut istilah hukum Islam yang dimaksud
dengan kafa’ah yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon isteri dan calon
suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
perkawinan. [2]
Kemudian menurut Slamet Abidin dan Aminuddin
seperti yang dikutip oleh Abdul Rahman Ghozali bahwa yang dimaksud dengan kafa’ah ialah laki-laki sebanding dengan
calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan
sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan,
keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah.
Sebab kalau kafa’ah diartikan
persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya
kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di
sisi Allah swt adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya. [3]
Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon
pendamping hidup atau calon suami/istri, tetapi tidak menjadi syarat sah dalam suatu
perkawinan, artinya bahwa menikah dengan yang tidak kafa’ah pun tidak menjadi persoalan yang
terpenting adalah antara suami dan istri harus siap dan mampu saling menerima
satu sama lain segala bentuk kekurangan dari diri masing-masing. Pada
prinsipnya Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat
mendorong terciptanya kebahagiaan suami isteri dalam berumah tangga, dan akan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau keretakan rumah
tangga.
Bagaimana Ukuran Kafa’ah Dalam Islam...?
Masalah kafa’ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap
hidup yang lurus dan sopan bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan
sebagainya. Seorang laki-laki yang
shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak
menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi. Laki-laki yang
terpandang karena kedudukan dan kekayaan berhak menikah dengan perempuan yang
memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir
sekalipun, berhak dan boleh menikah dengan perempuan kaya-raya, asalkan laki-laki
tersebut merupakan seorang muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta
serta tidak seorang pun walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. [4]
Selain itu ada kerelaan dari walinya yang mengakadkan dari pihak
perempuannya. Akan tetapi, jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi
luhur dan jujur berarti tidak sekufu dengan perempuan yang shalihah. Bagi
perempuan shalihah jika dikawinkan oleh bapaknya dengan lai-laki fasik, kalau
perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh orang tuanya, maka perempuan tersebut
boleh menuntut pembatalan. [5]
Mengenai ukuran kafa’ah ini,
dapat dikutip beberapa pendapat jumhur Ulama, terutama pendapat para Imam
Mazhab seperti yang dikutip prof. Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng:
1) Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa :
“Sesungguhnya kafa’ah adalah persamaan antara
seorang calon (pengantin) laki-laki dengan
seorang calon (penganti) wanita dalam beberapa masalah tertentu.”
Adapun persamaan yang dimaksud oleh golongan
Hanafiyah yaitu; 1) Keturunan, 2) Islam, 3) Pekerjaan, 4) Merdeka, 5) Agama dan 6) Harta.
Abu Hanifah mengatakan bahwa wajib para wali
menyanggah perkawinan yang terjadi dengan tidak sekufu itu.
2) Golongan Malikiyah berpendapat bahwa:
Kafa’ah adalah
sebanding dalam dua urusan; 1) Masalah agama (orang tersebut harus muslim
yang tidak fasik). 2) Calon pria bebas dari cacat yang besar dan
dapat mengakibatkan wanita tersebut dapat melaksanakan hak khiyar atau
pilihannya seperti: gila atau kusta.
Masalah harta, merdeka, keturunan dan
pekerjaan merupakan pertimbangan saja, demikian pendapat Malikiyah. [6]
3) Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa:
Kafa’ah itu
adalah dalam masalah tidak adanya aib. Kalau salah satu diantara calon
pengantin ada aib, maka yang lain dapat membatalkan perkawinan atau fasakh. Yang perlu dipertimbangkan dalam
maslah kafa’ah adalah keturunan, agama, merdeka dan pekerjaan.” Al-Syafi’i
menambahkan bahwa ketiadaan kufu’ tidak mensahkan nikah, terkecuali jika
terjadi dengan kerelaan perempuan dan para wali semua. [7]
4) Golongan Hanabilah berpendapat bahwa:
Kriteria kesepadanan itu ada lima macam,
meliputi kesepadan dalam hal:; 1) Kebangsaan, 2) Agama, 3) Kemerdekaan, 4) Perusahaan, dan 5) Kekayaan.
Dari beberapa pendapat Imam Mazhab di atas,
dipahami bahwa kafa’ah dalam sebuah perkawinan menurut para Imam Mazhab
merupakan suatu hal yang urgen, sekalipun hal tersebut bukanlah syarat sah
suatu perkawinan. Ibn Hazm berpendapat bahwa tidak harus kafa’ah
dipertimbangkan dalam pernikahan. Tiap laki-laki muslim berhak menikah dengan
wanita muslim sepanjang bukan seorang pezina. Orang Islam semua bersaudara,
karena itu tidak diharamkan seorang laki-laki dari keturunan yang tidak masyhur
kawin dengan seorang wanita keturunan Bani Hasyim. Seorang muslm yang fasikh
sekufu’ dengan wanita muslim yang fasik pula. [8]
Dalam prakteknya, Rasulullah SAW telah
mengawinkan Zaenab binti Jahsy (bangsawan Arab) dengan Zayd (bekas budak
Rasulullah) dan telah dikawinkan pula putri Zubayr bin “Abd al-Muthallib (suku
Quraisy) dengan Miqdad (tukang samak kulit). Hal ini selaras dengan firman
Allah surat al-Hujurat/49: 10 yang terjemahnya “Sesungguhnya setiap muslim
adalah bersaudara”. [9]
Berdasarkan ayat di atas, dapat diartikan
bahwa semua muslim adalah bersaudara. Kata bersaudara menunjukkan arti bahwa
setiap muslim mempunyai derajat yang
sama termasuk dalam hal memilih dan menentukan pasangannya. Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
mayoritas ulama mengakui keberadaan
kafa’ah dalam perkawinan. Sementara mengenai Ibn Hazm, walaupun secara formal beliau tidak mengakui kafa’ah tapi secara subtansial beliau
mengakuinya, yakni dari segi agama.
Lalu sebenarnya bagaimana kedudukan kafa’ah dalam perkawinan...? Menurut Moh. Anwar seperti yang dikutip oleh
Choerudin dalam skripsinya yang berjudul “studi analisis terhadap pendapat imam
alauddin al kasani tentang konsep kafa'ah” menyatakan faktor kafa’ah itu ada
lima perkara, yaitu:
a) Kebangsaan dan kesukubangsaan, Setiap suku bangsa itu
mempunyai adat istiadat yang berbeda dengan suku lainnya yang kadang-kadang
dapat menimbulkan salah paham.
b) Keagamaan, Faktor ini sangat penting
sekali, sebab faktor agama itu menyangkut keyakinan seseorang. Kalau berbeda
agama antara suami istri itu sudah tentu sukar sekali akan tercapainya tujuan
perkawinan.
c) Akhlak, Faktor ini pun cukup penting, sebab faktor
akhlak ini merupakan kebiasaan mengenai tingkah laku seseorang. Kalau yang
seorang baik, shaleh, tukang beribadah. Sedangkan yang seorang lain sebaliknya,
tentu tidak akan harmonis dalam rumah tangganya.
d) Keturunan, Faktor keturunan pun tidak kurang pentingnya
dalam mencapai tujuan perkawinan, sebab keturunan seseorang itu ada kalanya
terus-menerus ke anak cucunya, seperti mengenai penyakit, kebiasaan dan
sebagainya.
e) Pekerjaan antara kedua belah pihak, Faktor ini pun dapat
mempengaruhi akan keadaan rumah tangga seseorang, sebab kebiasaan seorang
petani, pedagang, buruh, pendidik, pejabat, orang alim, tentu ada perbedaan
antara satu dengan lainnya meskipun tidak begitu mencolok, akan tetapi perlu
diperhatikan sebelumnya. Demikian pula factor kesehatan kedua belah pihak, dan
kaya atau miskinnya.
Hal senada diungkapkan oleh Quraish Shihab
bahwa kendati kafa’ah bukan syarat sah sebuah perkawinan namun disaat yang sama
kita harus memahami jika dewasa ini ada orang baik calon suami, calon isteri,
maupun orang tua enggan kawin atau mengawinkan anaknya, kecuali dengan pasangan
yang dinilinya berbobot dan berbibit, serta menekankan syarat kesetaraan dalam
keturunan/kebangsawanan atau syarat lainnya. Bisa juga terdapat orang tua yang
mensyaratkan bagi calon menantunya kemampuan materi, tingkat pendidikan atau
keberadaan pada tempat tertentu. Tentu saja hal yang diungkapkan oleh Quraish
Shihab tersebut sifatnya pribadi bukan atas nama agama. Hal tersebut merupakan
hak bagi calon pengantin laki-laki atau
perempuan ataupun orang tua yang tidak boleh diganggu gugat.
Al-Hafid juga berkomentar mengenai kafa’ah
ini, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng
bahwa kekufuan dalam soal agama disepakati oleh para ulama mujtahidin. Komentar
dari al- Hafid ini selaras dengan prinsip Islam bahwa pada dasarnya kedudukan manusia sama hanya takwa yang membedakannya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat/49: 13 “Hai manusia, Sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
Dari ayat tersebut ini dipahami bahwa dalam pandangan Allah yang
membedakan antara satu manusia dengan manuisa lainnya. Bukan masalah kekayaaan,
kebangsawanan, kecantikan/ketampanan melainkan masalah agama. Islam sangat antusias menegakkan perkawinan yang
ideal yakni perkawinan yang penuh cinta, kasih sayang, kehangatan, dan saling
menghargai. Islam juga sangat antusias untuk melanggengkan perkawinan tersebut
selama itu memungkinkan. Akan tetapi kadang-kadang, suami istri atau salah
satunya tidak bisa mencapai tingkatan yang diiginkan Islam tersebut. Pada saat
itulah berbagai permasalahan mendapatkan jalan masuk kedalam kehidupan mereka
berdua. Untuk membuat keruh beningnya cinta, kehangatan, saling menghormati,
dan kasih sayang diantara mereka berdua.
Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa banyak yang terlena dengan masa awal perkawinan
yang dirasa sangat nyaman dan tenteram bahkan banyak yang terlalu berlebihan
menanggapi satu sama lain dan menyatakan bahwa tidak ada yang terbaik selain
istri atau suami yang ada saat itu. Namun, pada akhirnya banyak yang berubah
ditengah perjalanan rumah tangga, kata-kata yang begitu manis diawal akan
berubah menjadi cacian dan hinaan satu sama lain dengan tingkatan emosi yang
tidak dapat terbendung lagi, hingga akhirnya perpisahan pun terjadi bahkan tak
jarang ada yang sering melakukan kekerasan terhadap istrinya sendiri.
Oleh
karena itu, perkawinan pada prinsipnya membutuhkan kematangan jiwa dan raga,
meskipun hal ini juga tidak menjamin kelangsungan rumah tangga menjadi harmonis
namun setidaknya akan mampu meminimalisir terjadinya permasalahan dalam rumah
tangga. Selain itu perkawinan juga membutuhkan kesetaraan atau kafa’ah dalam berbagai hal, terutama
dalam hal tingkat kematangan dalam berfikir, tingkat keimanan, tingkat
pendidikan dan penghasilan. Yang oleh banyak orang hal ini dianggap sebagai
sesuatu hal yang akan sangat menentukan bagaimana kehidupan rumah tangga
selanjutnya.
Pada prinsipnya didalam ajaran Islam manusia dianggap sama dan
sejajar oleh Allah swt. Yang membedakan hanyalah tingkat keimanannya saja.
Bahkan tidak ada ayat ataupun hadis yang secara langsung menjelaskan bahwa
perkawinan itu harus dilakukan dengan orang yang sekufu atau sejajar dengannya,
namun dalam praktiknya di masyarakat perkawinan banyak dilakukan oleh orang
yang sekufu, bahkan banyak orang tua yang harus bertentangan dengan anaknya
sendiri karena ketidak setujuannya terhadap pasangan hidup yang akan dipilih
oleh anaknya sendiri, orang tua lebih banyak ikut terlibat dalam menentukan
pasangan hidup anak-anaknya dengan alasan ingin menyaksikan anak-anaknya
bahagia dalam berumah tangga, bukan karena ingin melihat calon pasangan dari
asal-usulnya, kekayaannya atau karena pekerjaannya. Semua ini dilakukan dalam
rangka menjaga ikatan perkawinan agar tetap berlangsung lama dan bahagia,
meskipun pada kenyataannya setara dalam perkawinan juga bukan jadi jaminan
dalam mendapatkan kebahagiaan rumah tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar