Rabu, 07 Agustus 2019

Seberapa Pentingkah Kafa’ah Dalam Perkawinan...?

Seberapa Pentingkah Kafa’ah Dalam Perkawinan...?


Ilustrasi Permasalahan Rumah Tangga

Apa itu Kafa’ah
Dalam Perkawinan...?
Kafa’ah atau kufu’ ialah serupa, seimbang, serasi. [1] Menurut istilah hukum Islam yang dimaksud dengan kafa’ah yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon isteri dan calon suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. [2]

Kemudian menurut Slamet Abidin dan Aminuddin seperti yang dikutip oleh Abdul Rahman Ghozali bahwa yang dimaksud dengan kafa’ah ialah laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi Allah swt adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya. [3]

Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon pendamping hidup atau calon suami/istri, tetapi tidak menjadi syarat sah dalam suatu perkawinan, artinya bahwa menikah dengan yang tidak kafa’ah pun tidak menjadi persoalan yang terpenting adalah antara suami dan istri harus siap dan mampu saling menerima satu sama lain segala bentuk kekurangan dari diri masing-masing. Pada prinsipnya Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami isteri dalam berumah tangga, dan akan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau keretakan rumah tangga.

Bagaimana Ukuran Kafa’ah Dalam Islam...?
Masalah kafa’ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup yang lurus dan sopan bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Seorang laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak  menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi. Laki-laki yang terpandang karena kedudukan dan kekayaan berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, berhak dan boleh menikah dengan perempuan kaya-raya, asalkan laki-laki tersebut merupakan seorang muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. [4]

Selain itu ada kerelaan dari walinya yang mengakadkan dari pihak perempuannya. Akan tetapi, jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur berarti tidak sekufu dengan perempuan yang shalihah. Bagi perempuan shalihah jika dikawinkan oleh bapaknya dengan lai-laki fasik, kalau perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh orang tuanya, maka perempuan tersebut boleh menuntut pembatalan. [5]

Mengenai ukuran kafa’ah ini, dapat dikutip beberapa pendapat jumhur Ulama, terutama pendapat para Imam Mazhab seperti yang dikutip prof. Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng:

1)  Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa :
“Sesungguhnya kafa’ah adalah persamaan antara seorang calon (pengantin) laki-laki dengan  seorang calon (penganti) wanita dalam beberapa masalah tertentu.”
Adapun persamaan yang dimaksud oleh golongan Hanafiyah yaitu; 1) Keturunan, 2) Islam, 3) Pekerjaan, 4) Merdeka, 5) Agama dan 6) Harta.
Abu Hanifah mengatakan bahwa wajib para wali menyanggah perkawinan yang terjadi dengan tidak sekufu itu.

2) Golongan Malikiyah berpendapat bahwa:
Kafa’ah adalah sebanding dalam dua urusan; 1) Masalah agama (orang tersebut harus muslim yang tidak fasik). 2) Calon pria bebas dari cacat yang besar dan dapat mengakibatkan wanita tersebut dapat melaksanakan hak khiyar atau pilihannya seperti: gila atau kusta.
Masalah harta, merdeka, keturunan dan pekerjaan merupakan pertimbangan saja, demikian pendapat Malikiyah. [6]

3) Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa:
Kafa’ah itu adalah dalam masalah tidak adanya aib. Kalau salah satu diantara calon pengantin ada aib, maka yang lain dapat membatalkan perkawinan atau fasakh. Yang perlu dipertimbangkan dalam maslah kafa’ah adalah keturunan, agama, merdeka dan pekerjaan.” Al-Syafi’i menambahkan bahwa ketiadaan kufu’ tidak mensahkan nikah, terkecuali jika terjadi dengan kerelaan perempuan dan para wali semua. [7]

4) Golongan Hanabilah berpendapat bahwa:
Kriteria kesepadanan itu ada lima macam, meliputi kesepadan dalam hal:; 1) Kebangsaan, 2) Agama, 3) Kemerdekaan, 4) Perusahaan, dan 5) Kekayaan.  

Dari beberapa pendapat Imam Mazhab di atas, dipahami bahwa kafa’ah dalam sebuah perkawinan menurut para Imam Mazhab merupakan suatu hal yang urgen, sekalipun hal tersebut bukanlah syarat sah suatu perkawinan. Ibn Hazm berpendapat bahwa tidak harus kafa’ah dipertimbangkan dalam pernikahan. Tiap laki-laki muslim berhak menikah dengan wanita muslim sepanjang bukan seorang pezina. Orang Islam semua bersaudara, karena itu tidak diharamkan seorang laki-laki dari keturunan yang tidak masyhur kawin dengan seorang wanita keturunan Bani Hasyim. Seorang muslm yang fasikh sekufu’ dengan wanita muslim yang fasik pula. [8]

Dalam prakteknya, Rasulullah SAW telah mengawinkan Zaenab binti Jahsy (bangsawan Arab) dengan Zayd (bekas budak Rasulullah) dan telah dikawinkan pula putri Zubayr bin “Abd al-Muthallib (suku Quraisy) dengan Miqdad (tukang samak kulit). Hal ini selaras dengan firman Allah surat al-Hujurat/49: 10 yang terjemahnya “Sesungguhnya setiap muslim adalah bersaudara”. [9]

Berdasarkan ayat di atas, dapat diartikan bahwa semua muslim adalah bersaudara. Kata bersaudara menunjukkan arti bahwa setiap muslim mempunyai  derajat yang sama termasuk dalam hal memilih dan menentukan pasangannya.   Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mayoritas ulama  mengakui keberadaan kafa’ah dalam perkawinan. Sementara mengenai Ibn Hazm,  walaupun secara formal beliau tidak mengakui kafa’ah tapi secara subtansial beliau mengakuinya, yakni dari segi agama.

Lalu sebenarnya bagaimana kedudukan kafa’ah dalam perkawinan...? Menurut Moh. Anwar seperti yang dikutip oleh Choerudin dalam skripsinya yang berjudul “studi analisis terhadap pendapat imam alauddin al kasani tentang konsep kafa'ah” menyatakan faktor kafa’ah itu ada lima perkara, yaitu:

a)  Kebangsaan dan kesukubangsaan, Setiap suku bangsa itu mempunyai adat istiadat yang berbeda dengan suku lainnya yang kadang-kadang dapat menimbulkan salah paham.
b) Keagamaan, Faktor ini sangat penting sekali, sebab faktor agama itu menyangkut keyakinan seseorang. Kalau berbeda agama antara suami istri itu sudah tentu sukar sekali akan tercapainya tujuan perkawinan.
c)  Akhlak, Faktor ini pun cukup penting, sebab faktor akhlak ini merupakan kebiasaan mengenai tingkah laku seseorang. Kalau yang seorang baik, shaleh, tukang beribadah. Sedangkan yang seorang lain sebaliknya, tentu tidak akan harmonis dalam rumah tangganya.
d)  Keturunan, Faktor keturunan pun tidak kurang pentingnya dalam mencapai tujuan perkawinan, sebab keturunan seseorang itu ada kalanya terus-menerus ke anak cucunya, seperti mengenai penyakit, kebiasaan dan sebagainya.
e)  Pekerjaan antara kedua belah pihak, Faktor ini pun dapat mempengaruhi akan keadaan rumah tangga seseorang, sebab kebiasaan seorang petani, pedagang, buruh, pendidik, pejabat, orang alim, tentu ada perbedaan antara satu dengan lainnya meskipun tidak begitu mencolok, akan tetapi perlu diperhatikan sebelumnya. Demikian pula factor kesehatan kedua belah pihak, dan kaya atau miskinnya.

Hal senada diungkapkan oleh Quraish Shihab bahwa kendati kafa’ah bukan syarat sah sebuah perkawinan namun disaat yang sama kita harus memahami jika dewasa ini ada orang baik calon suami, calon isteri, maupun orang tua enggan kawin atau mengawinkan anaknya, kecuali dengan pasangan yang dinilinya berbobot dan berbibit, serta menekankan syarat kesetaraan dalam keturunan/kebangsawanan atau syarat lainnya. Bisa juga terdapat orang tua yang mensyaratkan bagi calon menantunya kemampuan materi, tingkat pendidikan atau keberadaan pada tempat tertentu. Tentu saja hal yang diungkapkan oleh Quraish Shihab tersebut sifatnya pribadi bukan atas nama agama. Hal tersebut merupakan hak bagi calon pengantin  laki-laki atau perempuan ataupun orang tua yang tidak boleh diganggu gugat.

Al-Hafid juga berkomentar mengenai kafa’ah ini, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng bahwa kekufuan dalam soal agama disepakati oleh para ulama mujtahidin. Komentar dari al- Hafid ini selaras dengan prinsip Islam bahwa pada dasarnya kedudukan  manusia sama hanya takwa yang membedakannya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat/49: 13 “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Dari ayat tersebut ini dipahami bahwa dalam pandangan Allah yang membedakan antara satu manusia dengan manuisa lainnya. Bukan masalah kekayaaan, kebangsawanan, kecantikan/ketampanan melainkan masalah agama. Islam sangat antusias menegakkan perkawinan yang ideal yakni perkawinan yang penuh cinta, kasih sayang, kehangatan, dan saling menghargai. Islam juga sangat antusias untuk melanggengkan perkawinan tersebut selama itu memungkinkan. Akan tetapi kadang-kadang, suami istri atau salah satunya tidak bisa mencapai tingkatan yang diiginkan Islam tersebut. Pada saat itulah berbagai permasalahan mendapatkan jalan masuk kedalam kehidupan mereka berdua. Untuk membuat keruh beningnya cinta, kehangatan, saling menghormati, dan kasih sayang diantara mereka berdua.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak yang terlena dengan masa awal perkawinan yang dirasa sangat nyaman dan tenteram bahkan banyak yang terlalu berlebihan menanggapi satu sama lain dan menyatakan bahwa tidak ada yang terbaik selain istri atau suami yang ada saat itu. Namun, pada akhirnya banyak yang berubah ditengah perjalanan rumah tangga, kata-kata yang begitu manis diawal akan berubah menjadi cacian dan hinaan satu sama lain dengan tingkatan emosi yang tidak dapat terbendung lagi, hingga akhirnya perpisahan pun terjadi bahkan tak jarang ada yang sering melakukan kekerasan terhadap istrinya sendiri.

Oleh karena itu, perkawinan pada prinsipnya membutuhkan kematangan jiwa dan raga, meskipun hal ini juga tidak menjamin kelangsungan rumah tangga menjadi harmonis namun setidaknya akan mampu meminimalisir terjadinya permasalahan dalam rumah tangga. Selain itu perkawinan juga membutuhkan kesetaraan atau kafa’ah dalam berbagai hal, terutama dalam hal tingkat kematangan dalam berfikir, tingkat keimanan, tingkat pendidikan dan penghasilan. Yang oleh banyak orang hal ini dianggap sebagai sesuatu hal yang akan sangat menentukan bagaimana kehidupan rumah tangga selanjutnya.

Pada prinsipnya didalam ajaran Islam manusia dianggap sama dan sejajar oleh Allah swt. Yang membedakan hanyalah tingkat keimanannya saja. Bahkan tidak ada ayat ataupun hadis yang secara langsung menjelaskan bahwa perkawinan itu harus dilakukan dengan orang yang sekufu atau sejajar dengannya, namun dalam praktiknya di masyarakat perkawinan banyak dilakukan oleh orang yang sekufu, bahkan banyak orang tua yang harus bertentangan dengan anaknya sendiri karena ketidak setujuannya terhadap pasangan hidup yang akan dipilih oleh anaknya sendiri, orang tua lebih banyak ikut terlibat dalam menentukan pasangan hidup anak-anaknya dengan alasan ingin menyaksikan anak-anaknya bahagia dalam berumah tangga, bukan karena ingin melihat calon pasangan dari asal-usulnya, kekayaannya atau karena pekerjaannya. Semua ini dilakukan dalam rangka menjaga ikatan perkawinan agar tetap berlangsung lama dan bahagia, meskipun pada kenyataannya setara dalam perkawinan juga bukan jadi jaminan dalam mendapatkan kebahagiaan rumah tangga.





[1] Djaman Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), h. 76.   
[2] Depag RI, “Ilmu Fiqh”, dalam Abdul Rahman Ghozali,  Fiqh Munakahat  (Jakarta: Kencana, 2010), h. 96.   
[3] Slamet Abidin dan Aminuddin dalam Abdul Rahman Ghozali,  Fiqh Munakahat  (Jakarta: Kencana, 2010), h. 96-97.   
[4] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 97.  
[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 97.   
[6] Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng, Fikih II, (Makassar: Alauddin Press, 2010), h. 54-55.   
[7] Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng, Fikih II, h. 55.   
[8] Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng, Fikih II, h. 59.   
[9]  Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar