Jumat, 09 Agustus 2019

PRINSIP GUGATAN PERDATA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

“PRINSIP GUGATAN PERDATA DALAM SISTEM PERADILAN
DI INDONESIA”

"Timbangan Dan Palu Hakim"

Prinsip gugatan perdata dalam sistem peradilan di Indonesia sudah semestinya harus kita ketahui bersama untuk mempermudah proses dalam sistem peradilan yang ada, agar masyarakat tidak terjebak dengan permasalahan yang tidak kunjung selesai dan tak tahu entah kemana permasalahan tersebut harus disampaikan. Adapun prinsip gugatan perdata di Indonesia adalah sebagai berikut: [1]

1.  Harus Ada Dasar Hukum
Menurut pasal 118 HIR dan 142 R.Bg, siapa saja yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh orang lain sehingga mendatangkan kerugian, dan ia tidak mampu menyelesaikan sendiri persoalan tersebut, maka ia dapat meminta kepada pengadilan untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Apabila ia menghendaki campur tangan pengadilan, maka ia harus mengajukan surat permohonan yang diatanda tangani olehnya atau oleh kuasanya yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Agama yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal lawannya atau tergugat.

Dasar hukum dalam mengajukan gugatan diperlukan untuk meyakinkan para pihak yang terkait dengan gugatan itu bahwa peristiwa kejadian dan peristiwa hukum betul-betul terjadi, tidak hanya diada-adakan atau direkayasa. Disamping itu, disebutnya dasar hukum dalam gugatan yang diajukan kepada pengadilan adalah untuk mencegah agar setiap orang tidak dengan mudahnya mengajukan gugatan kepada pengadilan. Padahal kalau diteliti dengan saksama, gugatan itu diajukan tanpa dasar hukum sama sekali, sehingga apabila dibiarkan akan menyulitkan Pengadilan Agama dalam memeriksa gugatan tersebut. oleh karena itu sebelum gugatan disusun dan diajukan kepada pengadilan, penggugat harus meneliti dengan saksama apakah kerugian yang diderita itu sehingga ia menuntut hak ke pengadilan mempunyai dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

2.  Adanya Kepentingan Hukum
Suatu tuntutan hak akan diajukan kepada pengadilan yang akan dituangkan dalam sebuah gugatan, pihak penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Orang yang tidak mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk menjadi para pihak dalam mengajukan gugatan. Hanya orang yang berkepentingan langsung yang dapat mengajukan gugatan, sedangkan orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung haruslah mendapat kuasa terlebih dahulu dari orang atau badan hukum untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

3.  Merupakan Suatu Sengketa
Gugatan yang diajukan ke pengadilan haruslah bersifat sengketa, dan persengketaan itu telah menyebabkan kerugian dari pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Oleh karena itu, haruslah hati-hati dalam menyusun gugatan terhadap pihak lawan atau tergugat (gedagde atau dependent), karena kalau dalam mendudukan pihak tergugat tidak cermat maka akan mengakibatkan gagalnya gugatan di pengadilan. Perlu diingat bahwa tergugat itu dapat terdiri dari seseorang atau beberapa orang atau satu badan hukum atau beberapa badan hukum atau gabungan orang perorangan dengan badan hukum.

4.  Dibuat Dengan Cermat Dan Terang
Sesuai deng ketentuan yang tersebut dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat (1) R.Bg, gugatan dapat diajukan secara tertulis kepada pengadilan, dan berdasarkan pasal 120 HIR dan pasal 144 ayat (1) R.Bg, dapat juga diajukan secara lisan kepada pengadilan. Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secara demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan. Surat gugatan tersebut harus disusun secara singkat, padat, dan mencakup segala persoalan yang disengketakan. Surat gugat tidak boleh obscuur libel, artinya tidak boleh kabur baik mengenai pihak-pihaknya, objek sengketanya, dan landasan hukum yang digunakannya sebagai dasar gugat.

5.  Memahami Hukum Formil Dan Materil
Sebuah gugatan dikatakan baik dan benar apabila orang yang membuat surat gugat itu mengetahui tentang hukum formil dan hukum materil, sebab kedua hukum tersebut berkaitan erat dengan seluruh isi gugatan yang akan dipertahankan dalam sidang pengadilan. Dalam praktik Pengadilan Agama sangat sulit ditemukan para penggugat yang mengetahui hukum formil dan materil secara utuh, meskipun kadang-kadang perkara yang diajukan itu mempergunakan jasa pemberi bantuan hukum. Jalan keluarnya yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan terhadap orang yang belum memahami hukum formil dan materil ini adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 119 HIR dan pasal 143 R.Bg dimana dikemukakan bahwa ketua pengadilan berwenang memberikan nasihat dan bantuan kepada penggugat atau kuasanya dengan tujuan agar tidak mengalami kesulitan dalam membuat gugatan bagi orang-orang yang kurang mengetahui tentang hukum formil dan materil.





[1] Abdul Manan, Penerpan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Cet. III, Jakarta: Kencana, 2005), h. 17-24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar