Prinsip gugatan perdata dalam sistem peradilan di Indonesia sudah semestinya harus kita ketahui
bersama untuk mempermudah proses dalam sistem peradilan yang ada, agar
masyarakat tidak terjebak dengan permasalahan yang tidak kunjung selesai dan
tak tahu entah kemana permasalahan tersebut harus disampaikan. Adapun prinsip
gugatan perdata di Indonesia adalah sebagai berikut: [1]
1. Harus Ada Dasar Hukum
Menurut pasal 118 HIR
dan 142 R.Bg, siapa saja yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh orang lain
sehingga mendatangkan kerugian, dan ia tidak mampu menyelesaikan sendiri
persoalan tersebut, maka ia dapat meminta kepada pengadilan untuk menyelesaikan
masalah itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Apabila ia menghendaki campur
tangan pengadilan, maka ia harus mengajukan surat permohonan yang diatanda
tangani olehnya atau oleh kuasanya yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Agama
yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal lawannya atau tergugat.
Dasar hukum dalam mengajukan
gugatan diperlukan untuk meyakinkan para pihak yang terkait dengan gugatan itu
bahwa peristiwa kejadian dan peristiwa hukum betul-betul terjadi, tidak hanya
diada-adakan atau direkayasa. Disamping itu, disebutnya dasar hukum dalam
gugatan yang diajukan kepada pengadilan adalah untuk mencegah agar setiap orang
tidak dengan mudahnya mengajukan gugatan kepada pengadilan. Padahal kalau
diteliti dengan saksama, gugatan itu diajukan tanpa dasar hukum sama sekali,
sehingga apabila dibiarkan akan menyulitkan Pengadilan Agama dalam memeriksa
gugatan tersebut. oleh karena itu sebelum gugatan disusun dan diajukan kepada
pengadilan, penggugat harus meneliti dengan saksama apakah kerugian yang
diderita itu sehingga ia menuntut hak ke pengadilan mempunyai dasar hukum yang
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
2. Adanya Kepentingan Hukum
Suatu tuntutan hak akan
diajukan kepada pengadilan yang akan dituangkan dalam sebuah gugatan, pihak
penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Orang yang tidak
mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk
menjadi para pihak dalam mengajukan gugatan. Hanya orang yang berkepentingan
langsung yang dapat mengajukan gugatan, sedangkan orang yang tidak mempunyai
kepentingan langsung haruslah mendapat kuasa terlebih dahulu dari orang atau
badan hukum untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
3. Merupakan Suatu Sengketa
Gugatan yang diajukan
ke pengadilan haruslah bersifat sengketa, dan persengketaan itu telah
menyebabkan kerugian dari pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui
pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Oleh karena itu,
haruslah hati-hati dalam menyusun gugatan terhadap pihak lawan atau tergugat (gedagde
atau dependent), karena kalau dalam mendudukan pihak tergugat tidak
cermat maka akan mengakibatkan gagalnya gugatan di pengadilan. Perlu diingat
bahwa tergugat itu dapat terdiri dari seseorang atau beberapa orang atau satu
badan hukum atau beberapa badan hukum atau gabungan orang perorangan dengan
badan hukum.
4. Dibuat Dengan Cermat Dan Terang
Sesuai deng ketentuan
yang tersebut dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat (1) R.Bg, gugatan dapat
diajukan secara tertulis kepada pengadilan, dan berdasarkan pasal 120 HIR dan
pasal 144 ayat (1) R.Bg, dapat juga diajukan secara lisan kepada pengadilan. Gugatan
secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan
terang, jika tidak dilakukan secara demikian maka akan mengalami kegagalan
dalam sidang pengadilan. Surat gugatan tersebut harus disusun secara singkat,
padat, dan mencakup segala persoalan yang disengketakan. Surat gugat tidak
boleh obscuur libel, artinya tidak boleh kabur baik mengenai
pihak-pihaknya, objek sengketanya, dan landasan hukum yang digunakannya sebagai
dasar gugat.
5. Memahami Hukum Formil Dan Materil
Sebuah gugatan
dikatakan baik dan benar apabila orang yang membuat surat gugat itu mengetahui
tentang hukum formil dan hukum materil, sebab kedua hukum tersebut berkaitan erat
dengan seluruh isi gugatan yang akan dipertahankan dalam sidang pengadilan.
Dalam praktik Pengadilan Agama sangat sulit ditemukan para penggugat yang
mengetahui hukum formil dan materil secara utuh, meskipun kadang-kadang perkara
yang diajukan itu mempergunakan jasa pemberi bantuan hukum. Jalan keluarnya
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan terhadap orang yang belum
memahami hukum formil dan materil ini adalah sebagaimana tersebut dalam pasal
119 HIR dan pasal 143 R.Bg dimana dikemukakan bahwa ketua pengadilan berwenang
memberikan nasihat dan bantuan kepada penggugat atau kuasanya dengan tujuan
agar tidak mengalami kesulitan dalam membuat gugatan bagi orang-orang yang
kurang mengetahui tentang hukum formil dan materil.
[1] Abdul Manan, Penerpan Hukum Acara Perdata Di
Lingkungan Peradilan Agama, (Cet. III, Jakarta: Kencana, 2005), h.
17-24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar