“Benda-Benda Budaya Dalam Tradisi Perkawinan Adat
Gorontalo”
Modutu Dalam Adat Gorontalo |
Merupakan hantaran adat
yang akan dimuati dengan ayua atau perangkat adat lainnya yang akan
dihantarkan kepada pihak perempuan. Terbuat dari bambu kuning
(talila hulawa), berbentuk persegi panjang atau berbentuk seperti
perahu, dan dihiasi dengan janur, biasanya menggunakan pedati, gerobak/pedati
atau truk, saat ini sebagian besar menggunakan mobil bak terbuka yang dihiasi
dengan zanur kuning. Kola-kola akan bolak-balik sebanyak 4 kali dalam proses
perkawinan pada masa dahulu. (1) pada waktu mengantarkan hu’o longango,
(2) mengantarkan mahar, (3) mengantarkan bahan makanan (dilonggato), (4)
mengantarkan u kilati yakni pada hari H perkawinan.
Genderang hantalo
yang dibunyikan oleh petugas yang bergelar Te Tamburu, bermakna
pemberitahuan kepada masyarakat luas, bahwa putri dari keluarga si fulan, akan
melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Saat ini genderang hantalo ini
sudah jarang digunakan.
Yang dimaksud dengan sirih
– pinang disini yakni seperangkat sirih yang biasanya dimakan oleh orang-orang
tua. Makna keseluruhan dari sirih-pinang yakni persatuan dan kesatuan. Artinya
tanpa pinang-sirih tak ada manfaatnya bagi tukang makan sirih.
Adapun perangkat
sirih-pinang itu adalah; sirih yang bermakna urat dalam badan manusia, pinang
yang bermakna daging manusia, gambir yang bermakna darah manusia, dan tembakau
yang bermakna bulu roma. Pada acara hu’o lo ngango sirih-pinang
dibangi-bagikan kepada orang tua. Pada acara pertemuan antara orang tua laki-laki
dengan orang tua perempuan dibawa juga sirih-pinang. Beberapa bungkus sirih
pinang memberikan simbol mahar yang akan diberikan pengantin laki-laki. Jadi,
kalau sirih-pinang banyaknya setiap bungkus 4 buah maka maka mahar pengantin
laki-laki dinilai 4 oarang (budak). Ketentuan mahar dapat dilihat pada setiap
bungkus dari gambir atau sirih, kalau setiap bungkus 2, 3 atau 4 buah maka
maharnya tawu duluwo, totolu mealo wopatu.
4.
Ayua
Ayua sesungguhnya bukan
buah-buah sekalipun ayua tersebut terdiri dari buah-buahan. Istilah itu
tetap dipertahankan karena adat adalah simbol. Ayua hanya merupakan
simbol dari adat untuk maksud tertentu. Dalam hal ini ayua hanya
tersebut berisi harapan agar kedua mempelai akan berlaku dan mempuanyai sifat
seperti yang digambarkan pada ayua. Adapun ayua itu terdiri dari: [4]
a.
Empat baki limu bongo (jeruk kelapa
atau limau yang besar), masing-masing berisi empat buah.
b.
Empat baki nenas, masing-masing baki berisi
empat buah.
c.
Empat baki nangka setiap baki 1 buah.
d.
Empat baki tebu setiap baki terdiri dari 20
potong teridiri dari tebu biasa, tebu kuning dan tebu darah babi.
e.
Empat baki tumula (bibit kelapa),
setiap baki empat buah.
Semua buah-buahan ini mempunyai rasa manis.
Dengan demikian kedua mempelai diharapkan selalu bermanis-manis sehingga
disayangi masyarakat. Lambang kelapa
yang berbentuk tunas selain mempunyai lambang pendidikan juga berisi nilai
ekonomi yakni: dorongan agar kedua mempelai berusaha menanam kelapa dengan
kebahagiaan mereka pada masa yang akan datang. Kita sendiri mengetahui kegunaan
kelapa dari sampai ke batangnya. Kelapa biasanya akan berbuah pada umur lima
tahun. Kepada suami istri yang telah berbilang tahun sering ditanyakan apakah
yang telah anda berikan pada agama, negara, dan bangsa pada umur yang sekarang
ini jika dibandingkan dengan kelapa yang kita tanam untuk menandai hari
pernikahan kalian. [5]
Selain itu maknanya, limu bongo yang masak dan
manis bermakna keramahan, nenas bermakna keterampilan, nangka bermakna
kebahagiaan walaupun banyak kendala yang dihadapi, tebu bermakna dicintai orang
dan disayangi keluarga, tumula bermakna sumber kehidupan walaupun tidak akan jadi
kaya tapi kecukupan. [6]
5.
Tonggu
a.
Tonggu lo’u lipu pelaksanaan acara dalam
jarak dekat (dalam satu wilayah).
b.
Tonggu lo A’ato dalalo dilaksanakan oleh yang
berbeda wilayah.
c.
Tonggu lo wunggumo adalah merupakan suatu
persyaratan untuk menanyakan kepada pihak perempuan apakah sudah ada atau belum
ada pihak lain yang sudah meminta atau meminang.
d.
Tonggu lo Ongo Ngala’a adalah merupakan suatu
persyaratan untuk menanyakan apakah calon mempelai wanita bersedian menerima
calon mempelai laki-laki.
Tonggu senilai Rp. 25,- sekarang
bernilai Rp. 1.600,- yang diisi pada sebuah pomama (tempat pinang) perak
dan ditutupi dengan penutup tonggu, yang berbentuk segitiga (tutuliyo totolu).
Bermakna kebebasan untuk berbicara bagi utusan kaum laki-laki. [8]
Tapahula ialah suatu wadah yang
terbuat dari kayu yang modelnya berbentuk bundar dan mempunyai penutup, dimana
wadah ini digunakan sebagai tempat membawa sirih, pinang, tembakau. Tapahula
juga digunakan sebagai tempat membawa perlengkapan tata rias calon pengantin
perempuan.
Pomama adalah suatu benda budaya
untuk tempat meletakkan pinang, sirih, gambir, kapur dan tembakau. `
Suatu benda budaya yang
diserahkan pada saat menyerahkan tonggu, dan juga digunakan untuk
pengantin laki-laki pada saat turun dari kenderaan menuju rumah calon pengantin
perempuan. Benda ini dalam bentuk payung yang dihiasi dengan manik-manik adat
lengkap dengan ciri khas warna adat.
[1] Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, (Gorontalo:
2003), h. 144.
[2] Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 144.
[3] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo. (Limboto:
2008), h. 155-156.
[4] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 156.
[5] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 156.
[6] Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, (Gorontalo:
2003), h. 145.
[7] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 156-157.
[8] Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, (Gorontalo:
2003), h. 145.
[9] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 157.
[10] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 157.
[11] Tim Perumus Kerja Sama Pemda
Kabupaten Gorontalo, “Hasil Seminar Adat Gorontalo” Pohutu Aadati Lo Hulondhalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 157.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar