Rabu, 07 Agustus 2019

"Perubahan Dalam Pelaksanaan Adat Perkawinan di Gorontalo

“PERUBAHAN ADAT PERKAWINAN GORONTALO”

Prosesi Tolobalango Dalam Adat Gorontalo

Bagaimana Perubahan Sosial Pada Adat Perkawinan Di Gorontalo…?

Perubahan sosial dalam masyarakat Gorontalo terjadi karena pengaruh dari luar yang sangat kuat sehingga setiap masyarakat rela menerimanya dan pada dasarnya masyarakat Gorontalo mudah menyesuaikan diri dengan pengaruh yang datang dari luar jika bertentangan dengan agama. perubahan sosial terhadap adat perkawinan di Gorontalo dapat dilihat pada hal-hal berikut ini: [1]
a)  Status sosial, Dahulu yang mendapat pohutu di dalam acara adat perkawinan hanyalah terbatas pada putra-putri raja (olongiya) dan bangsawan (ta bangusa), sekarang pohutu sudah merakyat termasuk dalam hal nilai mahar (yang dibedakan antara bangsawan dan budak), tetapi sekarang semua dinilai dengan bentuk uang.
b) Tujuan, Dahulu orang melakukan perkawinan karena memiliki tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk memperbanyak keturunan dengan berpegang kepada prinsip makin banyak anak makin banyak rezeki. Sekarang orang melangsungkan perkawinan dengan didasari oleh motivasi kebahagian sehingga lebih suka berkeluarga kecil.
c)  Ekonomi, Dahulu biaya nikah dan mahar dihubungkan dengan benda-benda tetap seperti tanah, pohon kelapa, dan sawah, sekarang lebih banyak dihubungkan dengan uang.
d)  Adat, Dahulu adat dupito atau wo’opo (seorang nenek tidur bersama dengan pengantin baru pada malam pertama perkawinan), kini adat seprti itu telah hilang.
e)  Kesenian pengiring, Dahulu untuk meramaikan acara perkawinan diadakan hiburan atau kesenian berupa turunani dan buruda, kini orang lebih suka meramaikannya dengan iringan musik modern.
f)  Perlengkapan, Dahulu untuk mengantarkan mahar digunakan kola-kola yang diusung di pedati yang ditarik oleh manusia, tetapi sekarang sudah menggunakan kenderaan roda empat (truk/open cup). Demikian pula perlengkapan lain berupa huwali lo wada’a (kamar bersolek) atau huwali lo humbio (kamar tidur pengantin) yang diberi wangi-wangian tradisional seperti: langgio, bada’a, mato lo’u moonu, yilonta, dan totabu. Kini disedikan kamar yang sesuai dengan kehidupan modern.

Perubahan adat Perkawinan Gorontalo ini bukan karena sesuatu hal yang disengaja, tetapi memang kuatnya perkembangan zaman yang semakin maju, maka arah pemikiran masyarakat pun semakin mengalami perubahan dan peningkatan kearah yang lebih baik. Setiap pelaksanaan prosesi adat yang ada di Gorontalo kenyataannya memang telah banyak yang berubah tidak hanya pada persoalan adat perkawinan saja tetapi pada berbagai adat lainnya seperti uapacara adat kematian, upacara adat penerimaan tamu kebesaran dan berbagai adat-adat lainnya yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Gorontalo.

Siapa Saja Yang Berhak Melaksanakan Adat Perkawinan Di Gorontalo…?

Daerah Gorontalo yang merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, memiliki norma pernikahan sendiri yang disebut “pohutu moponika”. Pohutu merupakan bagian dari adat Gorontalo secara keseluruhan, jelas memiliki berbagai aspek baik yang berhubungan dengan falsafah dasar pernikahan itu sendiri, urutan prosesinya, makna falsafah benda yang mengiringnya, busana para pelaksananya, dekorasi tempat pernikahan dan penggunaan bahasa dalam rangkaian proses pernikahan. Hal ini semua berhubungan dengan sistem norma yang masih tetap dipertahankan  meskipun telah terjadi penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan perkembangan pemikiran masyarakat Gorontalo.

Dalam kehidupan sehari-hari terdapat kenyataan tentang pelaksanaan perkawinan itu yakni perkawinan yang didasarkan pada “ Syariat Islam secara penuh” dan prosesi perkawinan yang didasarkan pada “adat yang bersendikan agama Islam” inilah yang disebut “pohutu moponika” sehingga pohutu moponika akan dilaksanakan bagi pasangan pria dan wanita yang akan melangsungkan pernikahan yang tidak/belum melanggar hukum agama.

Karena adat Gorontalo bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, maka menurut agama, hukum nikah itu terdiri atas :
a.   Jais (diperbolehkan) ini asal hukumnya
b.  Sunnat, bagi orang yang berkehendak serta cukup belanjanya (nafkah dan lainnya)
c.   Wajib, atas orang cukup mempunyai belanja dan dia takut akan tergoda kepada kejahatan (zinah)
d.  Haram, kepada orang yang berniat akan menyakiti atas perempuan yang akan dikawininya.

Lalu siapa saja sebenarnya yang boleh dan Yang berhak memperoleh pelaksanaan adat pernikahan dalam bentuk upacara kebesaran “pohutu”, dalam adat Gorontalo dikenal dengan beberapa Golongan yang dapat melaksanakannya, yaitu; 1) Olongia, kini dapat disejajarkan dengan jabatan gubernur, bupati dan walikota. 2) Huhuhu, kini dapat disejajarkan dengan wakil gubernur, wakil bupati/wakil walikota. 3) Wuleya lo lipu’camat’. 4) Mufti. 5) Kadli.  6) Apitalau, 7) Mbuu’I biluato.

Namun, Untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan sosial, pohutu moponika dapat dilaksanakan untuk semua lapisan masyarakat yang ada di Gorontalo, syaratnya yakni mampu dan berkeinginan melaksanakannya. Pohutu moponika tidak boleh dipaksakan dan bukan simbol kekuasaan dan keberadaan seseorang. Pohutu moponika diserahkan pada musyawarah keluarga yang mampu dan ingin melaksanakannya karena memahami betul makna, dan terutama manfaat pohutu moponika.

Kenyataan yang banyak terjadi di Masyarakat Gorontalo saat ini, banyak yang melaksanakan adat perkawinan tetapi manfaat dan makna yang terkandung didalamnya justru kurang dipahami oleh masyarakat yang melaksanakannya, khususnya pasangan pengantin yang menjalaninya. Sehingga pelaksanaan seperti ini justru dapat dikategorikan sesuatu hal yang sia-sia tanpa manfaat yang dapat diambil dalam menjalani kehidupan rumah tangga. 

Pada prinsipnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu hal yang suci, agung, bahagia dan berkesan. Itu sebabnya makna perkawinan harus dirasakan oleh kedua mempelai, terutama jika pelaksanaannya dilaksanakan secara adat maka ada 2 makna yang akan didapatkan sekaligus makna secara agama dan makna adatnya. Kedua pasangan yang menikah tidak boleh mengangaggap bahwa perkawinan itu mudah dan gampang, dan karena itu pula gampang untuk bercerai. Menurut adat perkawinan secara ideal hanya bercerai karena meninggal. Adat Gorontalo berharap agar pasangan suami istri akan tetap kekal, hidup rukun dan damai seperti yang tampak dalam nasehat (palebuhu) yang ditujukan kepada pasangan suami istri pada waktu mereka dipelaminan.

Untuk itulah proses pernikahan itu tidak hanya sekali, jadi ia melewati tahap-tahap yang disebut proses pernikahan (lenggota lonika). Tahap proses pernikahan bukan dibuat untuk memperlama atau mempersulit pernikahan, tetapi semata-mata bertujuan agar kedua calon suami istri dapat merasakan apa makna pernikahan yang ditandai oleh perjuangan dan kerja keras.

Pernikahan masyarakat Gorontalo terbilang unik karena dilihat dari tahapan-tahapan pelaksanaan saat upacara pernikahan. Namun, hal tersebut sudah berlaku di masyarakat Gorontalo sejak dahulu kala. Upacara pernikahan pun dilaksanakan sesuai kesepakatan bersama antara kedua belah pihak diantaranya penentuan waktu pelaksanaan upacara pernikahan.

Salah satu budaya atau adat yang masih tetap dipertahankan adalah adat perkawinan, sebab perkawinan dalam masyarakat adat Gorontalo dikenal dengan kebudayaan yang unik saat proses pelaksanaan upacara adat perkawinannya yang wajib untuk dipertahankan.





[1] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Dan Praktek Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2014). Cet. I, h. 86-87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar