Bagaimana Perubahan
Sosial Pada Adat Perkawinan Di Gorontalo…?
Perubahan sosial dalam masyarakat Gorontalo terjadi
karena pengaruh dari luar yang sangat kuat sehingga setiap masyarakat rela
menerimanya dan pada dasarnya masyarakat Gorontalo mudah menyesuaikan diri
dengan pengaruh yang datang dari luar jika bertentangan dengan agama. perubahan
sosial terhadap adat perkawinan di Gorontalo dapat dilihat pada hal-hal berikut
ini: [1]
a) Status sosial, Dahulu yang mendapat pohutu di dalam acara adat
perkawinan hanyalah terbatas pada putra-putri raja (olongiya) dan
bangsawan (ta bangusa), sekarang pohutu sudah merakyat termasuk
dalam hal nilai mahar (yang dibedakan antara bangsawan dan budak), tetapi
sekarang semua dinilai dengan bentuk uang.
b) Tujuan, Dahulu orang melakukan perkawinan karena memiliki
tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk memperbanyak keturunan dengan berpegang
kepada prinsip makin banyak anak makin banyak rezeki. Sekarang orang
melangsungkan perkawinan dengan didasari oleh motivasi kebahagian sehingga
lebih suka berkeluarga kecil.
c) Ekonomi, Dahulu biaya nikah dan mahar dihubungkan dengan
benda-benda tetap seperti tanah, pohon kelapa, dan sawah, sekarang lebih banyak
dihubungkan dengan uang.
d) Adat, Dahulu adat dupito atau wo’opo (seorang
nenek tidur bersama dengan pengantin baru pada malam pertama perkawinan), kini
adat seprti itu telah hilang.
e) Kesenian pengiring, Dahulu untuk meramaikan acara perkawinan diadakan hiburan
atau kesenian berupa turunani dan buruda, kini orang lebih suka
meramaikannya dengan iringan musik modern.
f) Perlengkapan, Dahulu untuk mengantarkan mahar digunakan kola-kola
yang diusung di pedati yang ditarik oleh manusia, tetapi sekarang sudah
menggunakan kenderaan roda empat (truk/open cup). Demikian pula perlengkapan
lain berupa huwali lo wada’a (kamar bersolek) atau huwali lo humbio
(kamar tidur pengantin) yang diberi wangi-wangian tradisional seperti: langgio,
bada’a, mato lo’u moonu, yilonta, dan totabu. Kini
disedikan kamar yang sesuai dengan kehidupan modern.
Perubahan
adat Perkawinan Gorontalo ini bukan karena sesuatu hal yang disengaja, tetapi
memang kuatnya perkembangan zaman yang semakin maju, maka arah pemikiran
masyarakat pun semakin mengalami perubahan dan peningkatan kearah yang lebih
baik. Setiap pelaksanaan prosesi adat yang ada di Gorontalo kenyataannya memang
telah banyak yang berubah tidak hanya pada persoalan adat perkawinan saja
tetapi pada berbagai adat lainnya seperti uapacara adat kematian, upacara adat
penerimaan tamu kebesaran dan berbagai adat-adat lainnya yang dilaksanakan oleh
masyarakat adat Gorontalo.
Siapa Saja Yang Berhak Melaksanakan Adat
Perkawinan Di Gorontalo…?
Daerah
Gorontalo yang merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia,
memiliki norma pernikahan sendiri yang disebut “pohutu moponika”. Pohutu merupakan bagian dari adat Gorontalo
secara keseluruhan, jelas memiliki berbagai aspek baik yang berhubungan dengan
falsafah dasar pernikahan itu sendiri, urutan prosesinya, makna falsafah benda
yang mengiringnya, busana para pelaksananya, dekorasi tempat pernikahan dan
penggunaan bahasa dalam rangkaian proses pernikahan. Hal ini semua berhubungan
dengan sistem norma yang masih tetap dipertahankan meskipun telah terjadi
penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan perkembangan pemikiran masyarakat Gorontalo.
Dalam
kehidupan sehari-hari terdapat kenyataan tentang pelaksanaan perkawinan itu
yakni perkawinan yang didasarkan pada “ Syariat Islam secara penuh” dan prosesi
perkawinan yang didasarkan pada “adat yang bersendikan agama Islam” inilah yang
disebut “pohutu moponika” sehingga pohutu moponika akan dilaksanakan bagi
pasangan pria dan wanita yang akan melangsungkan pernikahan yang tidak/belum
melanggar hukum agama.
Karena
adat Gorontalo bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, maka menurut
agama, hukum nikah itu terdiri atas :
a. Jais
(diperbolehkan) ini asal hukumnya
b. Sunnat,
bagi orang yang berkehendak serta cukup belanjanya (nafkah dan lainnya)
c. Wajib,
atas orang cukup mempunyai belanja dan dia takut akan tergoda kepada kejahatan
(zinah)
d. Haram,
kepada orang yang berniat akan menyakiti atas perempuan yang akan dikawininya.
Lalu
siapa saja sebenarnya yang boleh dan Yang berhak memperoleh pelaksanaan adat pernikahan dalam bentuk upacara
kebesaran “pohutu”, dalam adat
Gorontalo dikenal dengan beberapa Golongan yang dapat melaksanakannya, yaitu; 1)
Olongia, kini dapat disejajarkan
dengan jabatan gubernur, bupati dan walikota. 2) Huhuhu, kini dapat disejajarkan dengan wakil gubernur, wakil
bupati/wakil walikota. 3) Wuleya lo lipu’camat’.
4) Mufti. 5) Kadli. 6) Apitalau,
7) Mbuu’I biluato.
Namun,
Untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan sosial, pohutu moponika dapat dilaksanakan untuk
semua lapisan masyarakat yang ada di Gorontalo, syaratnya yakni mampu dan
berkeinginan melaksanakannya. Pohutu
moponika tidak boleh dipaksakan dan bukan simbol kekuasaan dan keberadaan
seseorang. Pohutu moponika diserahkan
pada musyawarah keluarga yang mampu dan ingin melaksanakannya karena memahami
betul makna, dan terutama manfaat pohutu
moponika.
Kenyataan
yang banyak terjadi di Masyarakat Gorontalo saat ini, banyak yang
melaksanakan adat perkawinan tetapi manfaat dan makna yang terkandung
didalamnya justru kurang dipahami oleh masyarakat yang melaksanakannya,
khususnya pasangan pengantin yang menjalaninya. Sehingga pelaksanaan seperti
ini justru dapat dikategorikan sesuatu hal yang sia-sia tanpa manfaat yang
dapat diambil dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Pada
prinsipnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu hal yang suci, agung, bahagia
dan berkesan. Itu sebabnya makna perkawinan harus dirasakan oleh kedua mempelai,
terutama jika pelaksanaannya dilaksanakan secara adat maka ada 2 makna yang
akan didapatkan sekaligus makna secara agama dan makna adatnya. Kedua pasangan
yang menikah tidak boleh mengangaggap bahwa perkawinan itu mudah dan gampang, dan
karena itu pula gampang untuk bercerai. Menurut adat perkawinan secara ideal
hanya bercerai karena meninggal. Adat Gorontalo berharap agar pasangan suami
istri akan tetap kekal, hidup rukun dan damai seperti yang tampak dalam nasehat
(palebuhu) yang ditujukan kepada
pasangan suami istri pada waktu mereka dipelaminan.
Untuk
itulah proses pernikahan itu tidak hanya sekali, jadi ia melewati tahap-tahap
yang disebut proses pernikahan (lenggota
lonika). Tahap proses pernikahan bukan dibuat untuk memperlama atau
mempersulit pernikahan, tetapi semata-mata bertujuan agar kedua calon suami
istri dapat merasakan apa makna pernikahan yang ditandai oleh perjuangan dan
kerja keras.
Pernikahan
masyarakat Gorontalo terbilang unik karena dilihat dari tahapan-tahapan
pelaksanaan saat upacara pernikahan. Namun, hal tersebut sudah berlaku di
masyarakat Gorontalo sejak dahulu kala. Upacara pernikahan pun dilaksanakan
sesuai kesepakatan bersama antara kedua belah pihak diantaranya penentuan waktu
pelaksanaan upacara pernikahan.
Salah
satu budaya atau adat yang masih tetap dipertahankan adalah adat perkawinan,
sebab perkawinan dalam masyarakat adat Gorontalo dikenal dengan kebudayaan yang
unik saat proses pelaksanaan upacara adat perkawinannya yang wajib untuk dipertahankan.
[1] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia
Dan Praktek Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo, (Gorontalo: Sultan
Amai Press, 2014). Cet. I, h. 86-87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar