“KONSEP TALAK DALAM ISLAM”
1. Pandangan Umum
Perceraian
Perceraian diakui dalam Islam sebagai jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang disebabkan oleh pertengkaran yang tidak ada hentinya, atau salah satu pasangan telah memilih orang lain untuk dijadikan pasangan barunya, atau suami yang tidak melaksanakan kewajibannya sedangkan dia adalah laki-laki yang mampu untuk menafkahi istri dan anak-anaknya, atau sebab lain yang mengakibatkan hubungan suami istri yang awalnya dipenuhi dengan kasih sayang namun akhirnya berubah menjadi kebencian diantara mereka. [1]
Perceraian hanya boleh dilakukan karena mengandung unsur kemaslahatan, ketika setiap jalan perdamaian antara suami istri yang bertikai tidak menemukan jalan perdamaian. Perceraian hendaklah menjadi alternatif yang lebih mendidik kedua belah pihak. Hukum Islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang, dalam batas-batas yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping banyaknya akibat buruk dari suatu perceraian menyangkut kedua belah pihak dan anak-anak, dapat pula dibayangkan betapa tersiksanya seseorang yang mana kedamaian rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan, sehingga dalam kondisi seperti ini perceraian sebagai jalan untuk menyelesaikan permasalahan ini.[2]
Menurut hukum Islam, seorang suami mempunyai hak talak sedangkan istri tidak. Talak adalah hak suami, karena dialah yang berminat melangsungkan perkawinan, dialah yang berkewajiban memberi nafkah, dia pula yang wajib membayar mas kawin, mut’ah, serta nafkah. Disamping itu laki-laki adalah orang yang lebih sabar terhadap sesuatu yang tidak disenangi oleh perempuan. laki-laki tidak akan segera menjatuhkan talak apabila marah atau ada kesukaran yang menimpanya. Sebaliknya kaum wanita itu lebih cepat marah, kurang tabah sehingga ia cepat-cepat minta cerai hanya karena ada sebab yang sebenarnya sepele atau tidak masuk akal. Karena itulah wanita tidak diberi hak untuk menjatuhkan talak. [3]
2.
Macam-Macam Talak
Hukum Islam telah
mengatur tentang talak dengan tujuan untuk membedakan cara rujuk, hal ini
dimaksudkan agar talak tidak menjadi hal yang dipermainkan oleh para pasangan
suami istri adapun macam-macam talak dapat ditinjau dari berat ringannya akibat
talak yaitu; [4]
a)
Talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada
istri yang telah dikumpuli, bukan talak karena tebusan, bukan pula talak ketiga
kalinya, sehingga suami dapat langsung kembali kepada istrinya yang dalam masa
iddah tanpa harus melakukan akad nikah yang baru.
b) Talak ba’in adalah talak yang tidak dapat dirujuk oleh
suami, kecuali dengan perkawinan yang baru walaupun dalam masa iddah, seperti
talak perempuan yang belum dicampuri (disetubuhi). Talak ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu; Pertama, talak ba’in sughra yaitu talak ini dapat
memutuskan ikatan perkawinan, artinya jika istri telah ditalak, istri dianggap
bebas menentukan pilihannya setelah habis masa iddahnya. Suami pertama dapat
rujuk dengan akad perkawinan yang baru. Kedua, talak ba’in kubra adalah talak yang menyebabkan suami tidak dapat
rujuk dengan istrinya kecuali istrinya telah menikah dengan laki-laki yang lain
dan telah bercerai dengan suami kedua. Pernikahan kedua tidak boleh sekedar
rekayasa sebagaimana dalam nikah muhallil.
c)
Talak khulu’ dipersamakan dengan talak tebus (iwadh) yang artinya talak yang diucapkan
suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami. Perceraian seperti ini
diperbolehkan dalam hukum Islam. Talak tebus boleh dilakukan sewaktu suci
ataupun sewaktu haid, karena talak tebus terjadi berdasarkan kehendak istri.
Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela walaupun menyebabkan iddahnya
menjadi panjang. Apalagi talak tebus tidak terjadi selain karena perasaan
perempuan yang tidak dapat dipertahankannya lagi. Meskipun hukum khulu’ adalah boleh tetapi tetap sebagai
perilaku yang dibenci (makruh) sama seperti asal talak. Khulu’ diperbolehkan jika ada sebab yang menuntut, seperti suami
yang cacat fisik atau cacat sedikit fisik suami yang menyebabkan suami tidak
dapat menjalankan kewajibannya, atau suami yang suka menyakiti fisik istri, dengan beberapa alasan
ini istri dapat mengajukan khulu’
untuk berpisah dengan suami, talak semacam ini biasa disebut dengan gugat cerai
atau perceraian atas inisiatif dari pihak istri.
Islam memberikan hak talak kepada suami karena suami lebih bersikeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang telah dibinanya dengan hartanya, sehingga jika dia bercerai dan harus kawin lagi tentunya dia harus mengeluarkan biaya lagi untuk pernikahan yang selanjutnya. Dalam hal siapa yang berhak menjatuhkan talak, para ulama sepakat bahwa suami yang berakal, baligh, dan merdeka yang boleh menjatuhkan talak, dan talaknya dapat dinyatakan sah. [5]
Suatu ikatan perkawinan, apabila antara suami dan istri sudah tidak ada kecocokan lagi untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian ke persidangan pengadilan. [6] Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar pengadilan agama memutuskan perkawinan penggugat dengan tergugat. [7]
Upaya cerai gugat jika dihubungkan dengan tata tertib beracara yang diatur dalam hukum acara cerai gugat benar-benar murni bersifat contentiosa. Ada sengketa, yakni sengketa perkawinan yang menyangkut perkara perceraian. Ada pihak yang sama-sama berdiri sebagai subjek perdata. Oleh karena gugatan bersifat contentiosa, serta para pihak terdiri dari dua subjek yang saling berhadapan dalam kedudukan hukum yang sama dan sederajat, proses pemeriksaan cerai gugat benar-benar murni bersifat contradictoir. [8]
3.
Alasan Talak Suami
Berbagai macam alasan dilakukannya talak
terhadap istri antara lain; laki-laki mentalak istrinya dalam keadaan terpaksa,
mabuk, lalai atau dalam keadaan lupa dalam hal ini perbedaan pendapat ulama
adanya yang menyatakan sah adapula yang menyatakan talaknya adalah sia-sia,
sehingga dalam pengucapan talak diperlukan kesempurnaan kemampuan karena
kekhawatiran kalimat talak ini hanya dipermainkan oleh laki-laki. [9]
1)
Talak Karena Adanya Paksaan
Paksaan berarti
bukan dengan kehendak dan pilihannya. Kehendak dan pilihannya merupakan dasar taklif (pembebanan agama) dalam keadaan
yang dipaksa maka dia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. [10]
2)
Talak Karena Mabuk
Para fuqaha
berpendapat bahwa talak ketika mabuk hukumnya sah, karena mabuknya disebabkan
oleh keinginannya. Bagi suami pemabuk, ketika mabuk mengucapkan talak kepada
istri, talaknya jatuh seketika dan sah sebagai talak. Ulama lain berpendapat
bahwa talaknya tidak sah karena orang yang mabuk kehilangan kesadaran yang
kedudukannya tidak jauh berbeda dengan orang gila. Kedua orang ini sama-sama
kehilangan akal, dan orang yang dipandang mukallaf harus orang yang berakal.
Sebagaimana orang yang sedang mabuk lalu shalat, sehingga shalatnya tidak sah. [11]
3)
Talak Ketika Sedang Marah
Kemarahan yang
menyebabkan tidak teraturnya ucapan dan tidak menyadari apa yang dikatakan,
talaknya tidak sah, karena akal sehatnya hilang. Orang yang marah menurut
Sayyid Sabiq sama dengan orang yang tertutup akalnya, sehingga tidak berbeda
dengan orang gila. Akan tetapi kemarahan yang tidak sampai menutup akal dan
hatinya seperti kemarahan yang terkendali karena Allah, talaknya sah. Adapun
kriteria marah dan akibatnya pada talak adalah:[12]
a) Yang menghilangkan akal, sehingga tidak sadar
apa yang dikatakannya. Dalam keadaan begini tidak ada perbedaan pendapat
tentang “tidak sahnya talak”.
b) Yang pada dasarnya
mengakibatkan orang kehilangan kesadaran atas apa yang dimaksud oleh
ucapan-ucapannya. Dalam keadaan begini “talaknya sah”.
c) Marah sangat, tetapi tidak sama sekali
menghilangkan kesadaran akalnya sehingga dia kemudian menyesal atas
keterlanjurannya mengucapkan kata-kata ketika marah tadi. Dalam hal ini
terdapat berbagai pendapat yang menyatakan talaknya tidak sah kuat argumennya.
4) Talak Main-Main dan
Keliru
Ulama fikih
berpendapat, bahwa talak dengan main-main dipandang sah, sebagaimana dipandang
sahnya nikah dengan main-main hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tarmizi yaitu “Tiga perkara
kesungguhannya dipandang benar, dan main-mainnya dipandang benar pula yaitu;
nikah, talak dan rujuk”. [13]
Menurut Sayyid
Sabiq, hadis ini dalam sanadnya ada Abdullah Bin Habib seorang rawi yang
diperselisihkan, tetapi kemudian dinilai kuat, karena dikuatkan dengan
hadis-hadis lain.
5)
Talak Karena Tidak Sadarkan Diri
Orang yang tidak
sadarkan diri adalah orang yang tidak tahu apa yang dikatakannya karena
kejadian hebat telah menimpanya, sehingga hilang akalnya dan berubah
pikirannya. Talak ini tidak sah, sebagaimana tidak sah talak orang gila, pikun,
pingsan, dan orang yang rusak akalnya karena tua atau musibah yang tiba-tiba. [14]
Menurut UU No. 1
Tahun 1974, apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum
terhadap anak, bekas suami/istri dan harta bersama. Akibat hukum terhadap anak
ialah, apabila terjadi perceraian, maka baik bapak atau ibu tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana terjadi perselisiham mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan
keputusannya. Akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat atau hukum yang lainnya (pasal
37), jika tidak ada kesepakatan Hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa
keadilan yang sewajarnya.
Pada umunya menurut
hukum adat yang ideal, baik putus perkawinan karena kematian maupun karena
perceraian, membawa akibat hukum terhadap kedudukan suami dan isteri, terhadap
pemeliharaan, pendidikan dan kedudukan anak, terhadap keluarga dan kerabat dan
terhadap harta bersama (harta pencarian), harta bawaan. Harta hadiah/pemberian,
warisan dan atau harta peninggalan/pusaka. Segala sesuatunya berdasarkan hukum
adat yang berlaku masing-masing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat
yang satu dan yang lain. [15]
Apabila terjadi
perceraian antara suami dan isteri menurut Hukum Islam maka akibat hukumnya
yang jelas ialah dibebankannya kewajban suami terhadap isteri dan anak-anaknya,
yaitu : 1) Memberi Mut’ah (suatu pemberian oleh suami kepada isteri yang
dicerainya agar hati isteri dapat terhibur) berupa uang atau barang. 2) Memberi
nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama bekas isteri dalam masa idah.
3) Memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi sampai ia
dewasa dan dapat mandiri. 4) Melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan
perjanjian lainnya.
[1]Aulia Muthiah, Hukum
Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, (Yogyakarta; Pustaka Baru, 2017),
h. 104.
[2]Aulia Muthiah, Hukum
Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 105.
[3] Abdul Rahmad Budiono, Peradilan Agama Dan Hukum Islam Di Indonesia, (Malang: Bayu Media
Publishing, 2003), h. 64.
[4]Aulia Muthiah, Hukum
Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga” , h. 106-107.
[5]Aulia Muthiah, Hukum
Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 107-108.
[6] Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori
dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika 2012), h. 94.
[7]Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, (Jakarta: Buku 2, 2007), h. 152.
[8] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 234.
[9]Aulia Muthiah, Hukum
Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 108.
[10]Aulia Muthiah, Hukum
Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 108.
[11]Aulia Muthiah, Hukum
Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 108.
[12]Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah Jilid 7,(Bandung: PT. Al-Ma’rif, 2000), h. 21.
[13]Aulia Muthiah, Hukum
Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 109.
[14]Aulia Muthiah, Hukum
Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 110.
[15]Hilman Hadikusuma, h. 175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar