Sejak tersebarnya Islam di seluruh penjuru
dunia, berbagai negara yang sebagian besar masyarakatnya menganut agama Islam
masing-masing menunjukkan sisi keislamannya dengan budaya masing-masing negara.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penganut agama Islam
terbesar di dunia pun menunjukan hal yang sama, dimana Islam sangat berkembang
pesat dengan penyesuaian tradisi dan budaya setempat yang sangat melekat.
Inilah hal yang membedakan antara Islam di Indonesia dengan Islam yang ada di
negara-negara lainnya, berbagai macam aliran ajaran Islam berkembang disini
termasuk aliran sesat pun semakin berkembang, Masing-masing menunjukan bahwa
ajarannya yang paling benar, bahkan tidak sedikit ajaran Islam yang memasukkan
unsur budaya dan adat yang berkembang di masing-masing daerah. Walaupun ini
terlihat berbeda dari ajaran Islam yang ada di Arab sebagai tempat turunnya
wahyu dan ajaran Islam, namun hal inilah yang justru menambah keberagaman
ajaran Islam di Indonesia bahkan menjadi tempat wisata yang di incar oleh para
wisatawan.
Memasukkan unsur budaya dalam ajaran
Islam memang bukanlah sesuatu hal yang baru di dunia Islam, berbagai negara
Islam lainnya pun melakukan hal yang sama, tidak hanya di Indonesia. Dalam
perkembangannya budaya dan agama memang merupakan dua sisi yang berbeda, agama
merupakan sesuatu keyakinan setiap insan manusia dan sebagai identitas diri
penganutnya yang diyakini dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan
ketentuan mutlak yang sudah di atur oleh yang maha kuasa. Sementara kalau
budaya adalah sesuatu keyakinan sekelompok masyarakat yang berkembang diterapkan
dan dilaksanakan oleh kelompok masyarakat yang mempercayainya tanpa ada aturan
tertulis yang sudah menjadi kebiasaan. Sehingga antara agama dan budaya
merupakan dua sisi yang berbeda.
Hal yang sama juga digambarkan oleh KH
Abdurrahman Wahid dalam paradigma kultural yang digagasnya, bahwa Islam pada
dasarnya merupakan ajaran yang bermuatan hukum (religion of law) yang
diturunkan oleh Allah SWT saw untuk dilaksanakan tanpa terkecuali dan tanpa direduksi
sedikitpun. Karakter dasar ajaran agama Islam ini menandakan serba normatif dan
orientasinya juga serba legal formalistik. Dalam artian bahwa hukum-hukum Islam
harus dilaksanakan secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa pada semua level tanpa adanya perbaikan atau penafsiran ulang.[1] Islam sebagai agama yang bersumberkan wahyu
sehingga ia memiliki norma-norma hukum tersendiri. Ia bersifat normatif,
sehingga cenderung bersifat permanen. Sementara itu budaya adalah buatan
manusia yang memiliki kecenderungan relatif dan berkembang sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi umat. [2]
Dalam kelompok masyarakat Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam kebudayaan yang masing-masing berbeda dalam
suatu daerah, menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan bagian terpenting dalam
perkembangan Islam di negara ini. Islam ditempatkan sebagai agama yang paling
mulia sementara budaya memberikan warna tersendiri dalam perkembangan Islam.
Pembauran antara agama dan budaya di masing-masing daerah di Indonesia menjadi
salah satu corak agama Islam di negara ini yang mudah untuk dikenali dan
dijumpai dalam masyarakatnya.
Salah satu daerah yang juga merupakan
daerah yang masih sangat menjaga nilai-nilai kebudayaan dan adat istiadat di
negara ini adalah Gorontalo, yang banyak mempadupadankan antara budaya dan
agama. Banyak hal yang bisa kita saksikan dalam pembauran antara Islam dan
budaya di Gorontalo ini misalnya pelaksanaan adat pernikahan, pemakaman,
penyelenggaraan adat tamu kehormatan, penyelenggaraan adat kepala daerah atau
pejabat yang baru, tradisi tujuh bulanan, aqikah, Isra mi’raj, maulid nabi dan
masih banyak lagi, yang semua dilaksanakan dengan adat yang sudah membudaya di
masyarakat kita.
Hal ini sesuai dengan falsafah adat dan sumber hukum adat
masyarakat Gorontalo: “Adati hulahulaa to syaraa, syaraa hulahulaa to
Quruani”. Menurut S.R Nur (dalam Amin, 2012:18) prinsip ini ditetapkan pada masa
Sultan Eato (1673-1679). Ditegaskan lebih lanjut oleh Amin (2012:15) Gorontalo
sebagai “daerah contoh” yang berhasil menjadikan agama Islam sebagai
identitas utama dari bangunan budaya dan perkembangan masyarakatnya.
Salah satu yang paling dikenal dan
sudah menjadi budaya di masyarakat Gorontalo bahkan sudah dikenal luas sampai
ke manca negara adalah pelaksanaan tradisi maulid nabi, yang terlihat mewah,
berlebihan dan bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak diajarkan oleh nabi
Muhammad saw, Oleh sekelompok masyarakat yang tidak melaksanakannya. Hal inilah
yang sebenarnya harus menjadi perhatian kita bersama, jangan sampai sebuah
tradisi justru akan merusak norma-norma agama yang kita anut. Maka sangat
penting untuk kita membahas masalah ini dengan melihat berbagai aspek kehidupan
masyarakat Gorontalo dari sisi kebudayaannya.
B. Tradisi
Maulid Nabi Dalam Ritual Adat Islam Gorontalo
Pelaksanaan tradisi maulid nabi yang
dilaksanakan secara adat dan budaya Gorontalo menjadi daya tarik tersendiri
dalam perkembangannya. Proses pelaksanaannya ini merupakan salah satu unsur
kebudayaan yang sangat luhur dan mempunyai nilai tinggi, antara suku dan
daerah-daerah lainnya yang melaksanakan menurut adat masing-masing daerah
dengan ciri khas tersendiri yang telah diwariskan secara turun temurun oleh
nenek moyang yang juga dijadikan sebagai landasan hidup. Pelaksanaan maulid
nabi secara tradisional seperti yang dilaksanakan di Gorontalo pada dasarnya
memang tidak ada anjurannya dalam Islam tetapi untuk memperingati maulid nabi
itu secara umum memang sudah dilaksanakan sejak dulu.
Al Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa
yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan
Fathimiyyah-Al Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada Ubaidullah bin Maimun Al
Qaddah Al Yahudi-mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para
raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Ism’iliyyah Rafidhiyyah. Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam
kitabnya Al Mawa’izh Wal I‘tibar 1/490. Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara
pakar sejarah ada yang menilai, bahwa yang
pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan
Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan
maulid, yaitu maulid Nabi , maulid Imam Ali, maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra,
maulid Al-Hasan
dan Al-Husain,
dan maulid raja yang sedang berkuasa. Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung
dengan berbagai modelnya, hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin
Amirul Juyusy. Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin
Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang.
Tradisi walima adalah tradisi tua
semasa kerajaan-kerajaan Islam ada, yang dilaksanakan turun temurun antar
generasi. Diperkirakan mulai ada sejak Gorontalo mengenal Islam pada abad ke
18. Walimah adalah tradisi lama yang hingga kini masih dijaga dan dipelihara
dengan baik. Tanpa diperintah, setiap masjid diseluruh Gorontalo melaksanakan
tradisi ini, dan masyarakatnya menyiapkan kue-kue tradisional seperti
kolombengi, curuti, buludeli, wapili, tutulu, pisangi dan lain-lain. Sejak
tahun 1673 Gorontalo menetapkan semboyan adat bersendikan syara dan syara
bersendikan kitabullah, sejak itu tradisi walimah mulai ramai dilaksanakan. [3]
Dalam pelaksanaannya maulid nabi
Muhammad s.a.w., bertujuan untuk mengingat hari kelahiran nabi Muhammad s.a.w.,
mengingat jasa-jasa beliau yang telah menyebarkan agama Islam ke seluruh dunia termasuk kepada kita, dan juga mengingat pada
sifat-sifatnya yang luhur budi, penyabar, rendah hati dan lain-lain. Sikapnya
yang tegas menyebarkan dakwah Islam patut kita teladani. Dalam memperingati
maulid nabi ini harapannya bukan hanya sekedar mengingat saja kemudian kembali
dilupakan setelah ritualnya selesai, namun harus mampu di terapkan dalam
kehidupan sehari-hari dan ditanamkan dalam diri setiap manusia.
Perayaan maulid nabi yang dilaksanakan
setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, hampir seluruh masyarakat muslim di dunia
melaksanakannya dengan tradisi dan perayaan yang berbeda-beda. Tak terkecuali masyarakat
Gorontalo yang setiap tahunnya melaksanakan peringatan maulid nabi di
masjid-masjid yang dilaksanakan secara adat dan tradisi masyarakat setempat.
Walaupun begitu tidak semua masjid yang melaksanakannya dengan cara adat dan
tradisi Gorontalo, ada juga sebagian masjid yang melaksanakannya tetapi tidak
menggunakan unsur perayaan tradisional. Perayaan hari-hari besar Islam di
Gorontalo lainnya juga dengan menggunakan unsur tradisional didalamnya seperti
pelaksanaan Isra’ Mi’raj dan 10 Muharam, namun yang paling meriah dan yang
sangat ditunggu-tunggu kedatangannya adalah perayaan maulid nabi Muhammad
s.a.w. bahkan perayaannya ini sudah menjadi salah satu tempat wisata religi
yang ada di Gorontalo dan sudah banyak dikenal luas seperti di Desa Bongo,
Kecamatan Batudaa Pantai yang sangat khas dengan unsur tradisional pelaksanaan
maulid nabi dengan pelaksanaan yang sangat meriah, mewah dan terkesan berlebihan.
Pada dasarnya setiap pelaksanaan
ritual yang berlebihan itu dianggap sebagai bid’ah, bagi yang tidak
melaksanakan maulid nabi di Gorontalo sebagian menganggap bahwa ini adalah
ritual yang berlebihan, walaupun sebenarnya ini adalah bagian dari mengagungkan
nabi sebagai makhluk istimewa ciptaan Allah, namun hal ini juga tidak
dibenarkan dilaksanakan dengan cara yang berlebihan. Ada orang yang melakukan
bid’ah dalam agama Allah yang berkenaan dengan pribadi Rasulullah s.a.w. yang
dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah yang paling
mencintai Rasulullah, dan yang mengagungkan beliau, barang siapa yang tidak
berbuat sama seperti mereka, maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah
s.a.w. atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya, yang biasa mereka
pergunakan orang yang menolak bid’ah mereka. [4]
Tuduhan bahwa setiap pelaksanaan yang
berlebihan itu adalah bid’ah karena tidak ada dasar pelaksanaannya dan tidak
pernah diajarkan oleh nabi, sebenarnya bisa dibantah dengan argumen yang juga
masuk akal dan dengan menunjukan pelaksanaan yang baik dan terarah sehingga
terhindar dari perkara bid’ah. Hal ini memungkinkan orang untuk beranggapan
semacam itu karena bisa jadi belum mengenal apa yang ada didalamnya, sehingga
penting bagi kita untuk mengenal lebih jauh pelaksanaan maulid nabi ini agar
terhindar dari perkara bid’ah. Yang paling penting dalam setiap pelaksanaan
ritual tradisi daerah itu harus memahaminya dan ikhlas dalam pelaksanaanya
tanpa paksaan juga tanpa membebani masyarakat.
Perayaan maulid nabi di masjid-masjid
yang ada di Gorontalo tidak lepas dari berbagai macam persiapan yang dilakukan
oleh masyarakat yang melaksanakannya, diantara persiapan yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Penentuan Hari Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan maulid nabi,
sebenarnya sudah ditentukan hari dan tanggal untuk pelaksanaannya di kalender
masehi yaitu pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal karena pada tanggal tersebut
merupakan hari kelahiran nabi. Namun oleh masyarakat Gorontalo tanggal 12
Rabi’ul Awwal ini merupakan awal atau tanda dimulainya pelaksanaan maulid nabi
di masjid-masjid, biasanya pada tanggal ini selalu dilaksanakan oleh
masjid-masjid besar yang ada di pusat Kabupaten/Kota sebagai masjid daerah atau
masjid yang ada di pusat kecamatan sebagai masjid kecamatan, yang kemudian di
hari-hari berikutnya dilaksanakan oleh semua masjid-masjid yang sudah
menentukan hari pelaksanaannya. Penentuan hari pelaksanaan maulid nabi di
masjid-masjid di Gorontalo biasanya itu melalui hasil rapat takmirul masjid dengan
jama’ah masjid dan diputuskan secara bersama, dengan pertimbangan kesiapan
masyarakat terutama dalam hal biaya dan kesiapan masjid sebagai pelaksana.
2. Biaya
Dalam hal biaya pelaksanaan maulid
nabi, segala bentuk biaya yang terjadi saat pelaksanaannya semua dibebankan
kepada masyarakat, tanpa menggunakan dana pembangunan masjid. Maka dari itu
kesiapan pelaksanaan dari masyarakat memang sangat diharapkan. Biaya yang
sangat membebani sebenarnya ada pada biaya sadakah/sedekah kepada orang yang
berzikir/dikili, apalagi jumlah para pezikir itu kalau banyak maka biayanya pun
semakin banyak, biasanya di masjid-masjid kecil saja bisa mencapai Rp.
5.000.000 dengan prediksi sekitar 50 orang peserta, apalagi di masjid-masjid
besar yang jumlahnya lebih dari itu maka biayanya pun akan semakin besar.
Kemudian yang membutuhkan biaya besar juga di proses pembuatan walimah/toyopo
yang saat ini rata-rata paling rendahnya membutuhkan dana sebesar Rp.
300.000/Walimah dan Rp. 150.000/Toyopo, sehingga dalam kenyataannya tidak semua
masyarakat mampu untuk mengadakannya, hanya orang-orang yang mampu dan
mempunyai keinginan saja yang bisa mengadakannya.
3. Walimah/Toyopo
Walima dalam bahasa Arab, berasal dari
kata “aulim” yang diartikan oleh bahasa Persia “Kanduri” dalam
bahasa Indonesia “Kenduri” yang artinya adalah pesta makan setelah
berdoa kepada Allah SWT (Hinta, 2011:230). Lebih lanjut
Hinta (2011) memaparkan kata Al-walimah memiliki kata dasar ‘al-walmu–al-walam’, artinya tali
pengikat atau pelana kuda’. Sehingga walima bisa diartikan sebagai perjamuan atau
hidangan yang dihidangkan kepada para tamu atau undangan (pezikir dan
pejabat) oleh tuan rumah (masyarakat Desa Bongo). Dengan tujuan untuk
memperkuat tali persaudaraan antar sesama.[5] Dalam masyarakat Gorontalo lebih
dikenal sebagai “tolangga” wadah atau tempat yang berisi kue basah atau
kue kering yang diarak ke masjid untuk di doakan dengan harapan mendapatkan
keberkahannya, walimah ini dibuat dan dikreasikan oleh masyarakat dengan bentuk
yang unik dan hiasan yang meriah. Sementara kalau toyopo merupakan
bahasa Gorontalo yang awalnya disepakati dengan nama lilingo yang
artinya bulat terbuat dari daun kelapa yang masih muda atau janur, kemudian
lebih dikenal dengan sebutan toyopo yang saat ini mulai berubah menjadi
loyang plastik karena semakin sulit mendapatkan janur atau daun kelapa muda. Toyopo
ini digunakan untuk mengisi makanan berupa nasi kuning, pisang, dodol,
telur, ayam goreng, kue cucur dan kue basah lainnya khas Gorontalo.
4. Tunuhio
Dalam bahasa Indonesia Tunuhio
adalah yang diikutkan atau bersamaan, ini adalah sejumlah uang yang diantarkan
bersamaan dengan walimah atau toyopo sesuai kemampuan dan keikhlasan
dari pemilik walimah atau toyopo, uang ini diberikan kepada panitia
penyelenggara di masjid dan semua yang terkumpul akan dibagikan kepada para
pezikir yang hadir pada saat itu.
5. Dikili/Zikir
Dikili kalau diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah
zikir yang biasanya dilaksanakan pada setiap maulid nabi dan pada saat
perayaan 10 Muharram. Bedanya kalau dalam perayaan 10 Muharram waktunya lebih
singkat atau setengah dari zikir yang dilaksanakan di maulid nabi, sementara
kalau zikir di maulid nabi lebih panjang dan dilaksanakan semalam suntuk dan
dilanjutkan sampai pagi hari menjelang siang. Isi dari zikir pada umumnya
merupakan puji-pujian kepada baginda nabi Muhammad s.a.w., sholawat dan cerita
perjalan nabi. Zikir ini dilaksanakan oleh para pezikir yang datang dari
berbagai tempat di Gorontalo yang biasanya datang dengan suka rela tanpa di
undang.
Dari lima hal yang merupakan proses
persiapan dari pelaksanaan maulid nabi di Gorontalo ini, semuanya sudah biasa
dilakukan oleh sebagain besar masyarakat Gorontalo yang melaksanakannya.
Fenomena pelaksanaan maulid nabi ini kalau dilihat sebenarnya sangat membebani
masyarakat tetapi karena antusias dari masyarakat dan keihkalasannya maka beban
itu tidak terlalu dirasakan, karena tujuannya untuk mendapatkan keberkahan.
Namun, ada beban terendiri terhadap panitia atau pengurus masjid sebagai
pelaksana di dalam pelaksanannya terutama ketersediaan biaya yang tidak bisa
diprediksi berapa banyaknya, begitu juga dengan jumlah para pezikir yang belum
bisa diprediksi banyaknya, sementara para pezikir yang datang itu pada
kenyataannya itu bukanlah orang-orang yang di undang tetapi datang dengan suka
rela. Sehingga banyak masjid yang sepakat dan kompak untuk melaksanakannya pada
hari yang sama untuk menghindari membludaknya para pezikir.
Dalam pelaksanaanya banyak hal yang
perlu dicermati dengan baik oleh masyarakat yang bisa jadi akan merusak
kesakralan suasana keislaman pelaksanaan maulid nabi ini, tujuannya baik tapi
pelaksanaannya melupakan ibadah yang ada di dalamnya. Seperti para pezikir
sebagian besar yang tidak sholat subuh padahal kegiatannya melewati sholat
shubuh, ada juga para pezikir laki-laki yang sudah minum minuman yang terlarang
padahal berada di dalam masjid dengan kondisi sedang berzikir alasannya untuk
mempertahankan stamina, kemudian dari masyarakatnya banyak yang tidak
mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan lewat zikir tersebut karena dalam
kondisi yang sedang tidur sehingga zikir berlalu begitu saja, dan yang terakhir
adalah isi dari walimah dan toyopo yang kebanyakan menjadi mubadzir. Sehingga
apa yang dilaksanakan di Gorontalo ini awalnya mengharapkan keberkahan tetapi
pada akhirnya keberkahannya hilang kalau semua itu terjadi.
C. Makna dan Berkah Pelaksanaan Tradisi Maulid Nabi Di Gorontalo
C. Makna dan Berkah Pelaksanaan Tradisi Maulid Nabi Di Gorontalo
Kondisi
masyarakat gorontalo yang masih mempercayai tradisi sebagai salah satu bentuk
kemajemukan masyarakat, semakin menunjukan bahwa masyarakat kita masih cukup
terbuka dalam menerima setiap perbedaan yang ada terutama dalam hal kebudayaan.
Bagi yang mempercayai tradisi pelaksanaan maulid nabi sebagian besar karena
alasan melanjutkan tradisi yang sudah ada sejak dulu, sedangkan yang tidak
melaksanakan menganggap pelaksanaan ini tidak diajarkan dalam Islam. Itulah
realita yang terjadi dalam masyarakat kita, sehingga masyarakat Gorontalo
semakin mantap untuk mewujudkan masyarakat Madani, yaitu masyarakat yang
berbudaya, maju dan modern, Setiap warga mengetahui hak-hak dan kewajibannya
terhadap negara, bangsa dan agama serta terhadap sesama, dan menjunjung tinggi
hak-hak asasi manusia.[6] Termasuk dalam
pelaksanaan prosesi tradisi maulid nabi sebagai wujud pelestarisan budaya
daerah dengan melibatkan masyarakat banyak didalamnya, semakin berkembang dan
bertransformasi menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Setiap pelaksanaan prosesi adat di
semua daerah itu baik adat yang murni maupun adat yang ada unsur keagamaan
didalamnya, termasuk pelaksanaan maulid nabi di Gorontalo sebenarnya mempunyai
tujuan yang baik dan mengharapkan keberkahan didalamnya, terutama keberkahan
umur, keberkahan rezeki dan keberkahan kesehatan keluarga. Namun harapan
keberkahan dan tujuan yang baik didalamnya harus dibarengi dengan pelaksanaan
yang baik pula agar tujuannya dapat tercapai.
Makna peringatan mauled nabi di
Gorontalo kalau dilihat fenomena yang ada saat ini adalah:
1. Menyegarkan kembali ingatan
kita akan ajaran Nabi dan kita harus siap untuk melaksanakannya. Memperingati hari lahir tidak boleh hanya sebagai
kegiatan ritual semata. Tapi harus diaplikasikan atau diwujudkan dalam
aktivitas nyata kita di kehidupan sehari-hari.
2. Kebersamaan dan gotong
royong, semangat gotong royong dan kebersamaan di dalam masyarakat kita saat
ini memang sudah mulai pudar oleh berkembangnya zaman, sehingga yang mampu
mempersatukan masyarakat di zaman saat ini hanyalah kegiatan yang melibatkan
banyak masyarakat, seperti pelaksanaan maulid nabi yang melibatkan banyak orang
didalamnya sehingga suasana kebersamaan dan gotong royong akan tetap selalu
terjaga.
3. Keberkahan dan doa,
pelaksanaan maulid nabi yang begitu meriah di Gotontalo ini, juga mengharapkan
makna keberkahan lewat doa atau zikir yang disampaikan pada saat
pelaksanannya.
Ketiga makna
besar yang diungkapkan ini memeng merupakan makna yang cukup dirasakan oleh
masyarakat yang melaksnakannya. Tetapi pertnyaannya apakah makna yang
terkandung didalam pelaksanaannya ini mampu merubah kondisi masyarakat kita.
Pada kenyataannya sesuai dengan pengalaman dan hasil pengamatan dilingkungan
masyarakat masih belum mampu merubah, hal ini dapat dilihat dari pelaksanaannya
yang bermakna untuk mengingat kembali jasa-jasa nabi dalam menyebarkan agama
Islam dan mengingat hari kelahiran nabi ini belum mampu diterapkan dalam
kehidupan nyata. Pada saat pelaksanannya masyarakat justru lebih terbayang dan
teringat pada tradisinya bukan pada maknanya, sehingga orang lebih mengenal
walimah, toyopo, dikili, kolombengi dan desa Bongo sebagai desa yang
melaksanakannya dengan meriah, bukan mengingat jasa-jasa nabi atau kelahiran
nabi, bahkan kalau diamati pada saat pelaksanaannya orang-orang lebih
memperhatiakan walimah yang disediakan dibandingkan zikir yang sementara
disampaikan.
Sementara
dalam hal gotong-royong dan kebersamaan yang merupakan makna yang bisa kita
aplikasikan kedalam kehidupan setelahnya, hanya mampu bertahan pada saat
persiapan dan pelaksanaannya saja, setelah itu kehidupan kembali normal seperti
sebelumnya, Masjid yang ramai pada saat persiapan dan pelaksanaan kembali sepi
bahkan ada masjid yang ditinggalkan dalam keadaan kotor dan semua kembali pada
aktifitasnya sehari-hari. Kemudian dalam hal keberkahan dan doa yang merupakan
tujuan dan harapan dari masyarakat yang melaksanakannya agar setelah
pelaksanaan ini ada limpahan berkah dan rezeki, namun semua itu harus diikuti
dengan keihlasan dan keteraturan dalam pelaksanannya, yang paling penting
adalah tidak melewati batasan-batasan norma agama Islam agar segala doa yang
disampaikan dan segala bentuk persiapan yang dilakukan yang membutuhkan biaya
yang tidak sedikit ini akan mendapatkan keberkahan.
Makna dari
tradisi maulid nabi ini harus kita sikapi dengan bijak, baik yang
melaksanakannya maupun yang tidak melaksanakannya, walaupun ini sudah menjadi
tradisi di masyarakat kita tetapi tidak semua melaksanakannya, sehingga kita
wajib saling menghormati. Yang terpenting dalam pelaksanaan tradisi semacam ini
adalah jangan sampai melupakan ibadah wajib yang sudah menjadi kewajiban mutlak
bagi setiap pemeluk Islam dan jangan melanggar norma-norma agama. Islam sudah
memberikan keleluasaan dalam hal ibadah tetapi jangan sampai memasukkan unsur
yang menjadi larangan dalam beribadah ataupun ritual yang menjadi tradisi. Sementara
untuk berkah dalam pelaksanaan maulid nabi sebenarnya ada yang langsung
merasakannya ada juga yang tidak merasakannya sama sekali, semua tergantung
niatnya dan tergantung keikhlasannya.
C. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
- Dari lima hal yang merupakan proses persiapan dari pelaksanaan maulid nabi di Gorontalo ini, semuanya sudah biasa dilakukan oleh sebagain besar masyarakat Gorontalo yang melaksanakannya. Fenomena pelaksanaan maulid nabi ini kalau dilihat sebenarnya sangat membebani masyarakat tetapi karena antusias dari masyarakat dan keihkalasannya maka beban itu tidak terlalu dirasakan, karena tujuannya untuk mendapatkan keberkahan. Namun, ada beban tersendiri terhadap panitia atau pengurus masjid sebagai pelaksana di dalam pelaksanannya terutama ketersediaan biaya yang tidak bisa diprediksi berapa banyaknya, begitu juga dengan jumlah para pezikir yang belum bisa diprediksi banyaknya, sementara para pezikir yang datang itu pada kenyataannya itu bukanlah orang-orang yang di undang tetapi datang dengan suka rela. Sehingga banyak masjid yang sepakat dan kompak untuk melaksanakannya pada hari yang sama untuk menghindari membludaknya para pezikir.
- Pelaksanaan tradisi maulid nabi di Gorontalo ini pada dasarnya memiliki tujuan yang baik, Sementara untuk maknanya ada tiga yang diharapkan dalam pelaksanaannya yaitu, mengingat hari kelahiran nabi dan menyegarkan kembali ingatan kita atas perjuangan dan ajaran beliau dalam penyebaran ajaran Islam, makna gotong royong dan kebersamaan dan makna keberkahan atau doa. Yang semua ini dapat diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari.
By, Jusuf A. Lakoro
[1] Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta:
Desantara, 2001), hlm. 93.
[4] Syekh Muhammad Bin Shaleh
Al-Utsman, Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah, Departemen Agama,
Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan. Kerajaan Saudi Arabia, 2009.
[5] Muhrizal H. Rahman, Jurnal: Tradisi
Walimah (Suatu Studi Etnografi di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai,
Kabupaten Gorontalo), Universitas Gorontalo (UNG), Gorontalo, 2013.
[6] Masykur Hakim dan Tanu Wijaya, Model
Masyarakat Madani, Intimedia Cipta Nusantara, Jakarta, Cet. I, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar