Rabu, 05 April 2017

CORAK KARYA TAFSIR DAN METODOLOGI PENAFSIRAN DI INDONESIA ( Tinjauan Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka )


CORAK KARYA TAFSIR DAN METODOLOGI PENAFSIRAN DI INDONESIA 
( Tinjauan Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka )

Jusuf A. Lakoro, S.H.I., M.H. (Advokat/Pengacara)

A.              LATAR BELAKANG
Dalam sejarahnya Al-qur’an turun dalam bentuk yang utuh dan murni dengan menggunakan bahasa Arab dan penjelasan yang masih bersifat umum. Sehingga ketika al-Qur’an ini menyebar luas dan nabi Muhammad wafat maka para penafsir al-Qur’an pun bermunculan untuk memberikan penjelasan secara ilmiah, logis dan runtut bersama sejarahnya, termasuk penafsiran al-Qur’an di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam masa penafsirannya sejak masuknya Islam hingga saat ini.
Metode yang digunakan dalam penafsiran al-Qur’an di Indonesia ini secara umum sama dengan yang digunakan oleh para mufassir lainnya yaitu: Metode Ijmali ( Global ), Metode Tahlily ( Analisis ), Metode Muqarin ( Komparatif ) dan Metode Mawdhu’i ( Tematik ), namun dengan ciri khas dan corak yang berbeda-beda. Banyak karya tafsir di Indonesia ini yang pernah di bukukan dan sudah dikenal luas di masyarakat antara lain, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Tafsir Qur’an, Tafsir Sinar, Tafsir Al-Bayan, Tafsir An-Nur, Tafsir Al-Azhar dan Al-Qur’an Bacaan Mulia. [1]
Semua karya tafsir yang pernah dihasilkan ini merupakan karya tafsir yang menjadi bahan rujukan ummat Islam khusunya di Indonesia yang mampu memberikan titik terang tentang isi kandungan al-Qur’an. Sehingga rasa ingin tahu masyarakat tentang karya tafsir ini pun semakin berkembang sebagai upaya untuk menambah keilmuan khususnya tentang al-Qur’an. Salah satu karya tafsir yang akan dijelaskan dalam makalah ini adalah tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Karya tafsir ini banyak dirujuk oleh para pengkaji al-Qur’an sebab karya tafsir ini bahasanya mudah dipahami, menyejukkan, penjelasannya mendetail dan mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena  Makalah ini akan membahas bagaimana Metode dan corak karya tafsir yang digunakan oleh Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar ?.  

B.                 PEMBAHASAN
1.                  Biografi Singkat Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar
Prof. Dr. Buya Malik Haji Abdul Karim Bin Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka lahir pada tanggal 16 Februari 1908 M bertepatan dengan tanggal 13 Muharram 1326 H, di sebuah desa yang bernama Tanah Sirah, dalam negeri Sungai Batang, terletak di tepi Sungai Maninjau. Sejak kecil beliau senang menyingkat namanya dengan AMKA (Abdul Karim Malik Abdullah) dan sejak tahun 1927 namanya disingkat menjadi Hamka dan nama inilah yang terkenal sampai dengan saat ini. [2]
Dalam perjalanan hidupnya Buya Hamka pernah dipenjarakan selama 2 tahun pada masa pemerintahan Soekarno sebagai Presiden dalam tuduhan pembrontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), semasa dipenjarakan Buya Hamka orang yang tidak tinggal diam dalam berkarya. Salah satu karya tebesarnya yang sampai dengan saat ini masih dikenal luas dalam masyarakat muslim adalah Tafsir Al-Azhar dibuat dalam 30 Jilid masing-masing berisi 1 Juz, dan karya tafsir ini merupakan hasil karyanya selama berada di dalam penjara. Setelah peralihan pemerintahan dari orde lama ke orde baru, akhirnya beliau bisa bernafas lega dengan dibebaskan dari dalam penjara. Setelah keluar dari penjara beliau kembali menyempurnakan karya tafsir Al-Azhar yang dibuatnya selama dalam masa tahanan. Dengan bebasnya beliau karya-karyanya semakin diterima dalam masyarakat dan pemikirannya pun semakin berkembang dengan hasil karya yang semakin gemilang.
Tafsir Al-Azhar yang merupakan hasil karya terbesar Buya Hamka namanya diambil dari salah satu Masjid Agung Kebayoran Baru yaitu ”Masjid Al-Azhar”. Beberapa hal penting yang memotivasi Hamka dalam menulis Tafsir Al-Azhar adalah (1) Adanya mufassir klasik yang sangat gigih atau ta’assub (fanatik), yang sering memaksakan kehendaknya kedalam mazhab yang dianutnya, walaupun sebenarnya penjelasan sebenarnya mengarah kepada mazhab lain; (2) Rasa ingin tahu umat muslim saat itu sangat tinggi untuk belajar agama; (3) Ingin meninggalkan sebuah pusaka berupa hasil karya pemikiran yang bermanfaat; (4) Membalas hutang budi atas penghargaan yang telah diberikan kepadanya (Gelar Doktor Honoris Causa).
Dalam proses penerbitan karya tafsir Al-Azhar ini dilakukan dalam 3 tahapan penerbitan pada masa pimpinan H. Mahmud sebagai penerbit pembimbing. Tahapan pertama diterbitkan dari juz 1 sampai dengan juz 4, tahapan kedua dari juz 15 sampai dengan juz 30 dan tahapan ketiga dari juz 5 sampai dengan juz 14, dengan penerbit yang berbeda-beda. [3]

2.                  Corak Karya Tafsir Al-Azhar
Adapun di Indonesia berdasarkan hasil pemetaan Islah Gusminan, bahwa corak atau nuansa karya-karya tafsir yang ada di Indonesia dari periode ke periode ada lima yaitu; Pertama, Corak Sastra Bahasa, Kedua, Corak Sosial kemasyarakatan, Ketiga, Corak Teologis, Keempat, Corak Sufistik dan Kelima, Corak Psikologis. [4] Kelima corak inilah yang digunakan secara umum oleh para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an di Indnesia, walaupun masing-masing mufassir memiliki ciri khas tertentu dalam penafsirannya.
 Buya Hamka yang merupakan salah satu mufassir Indonesia yang sangat terkenal ini setelah diamati melalui penafsiran yang dilakukannya terhadap tafsir Al-Azhar, ditinjau dari corak penafsirannya, lebih banyak mengutamakan tentang kehidupan sosial masyarakat dan mengatasi masalah yang timbul didalamnya. Sehingga sangat jelas terlihat bahwa beliau menggunakan corak penafsiran adab ijtima’i (sosial kemasyarakatan) [5].
Salah satu contoh penafsirannya yang berhubungan dengan masalah sosial kemasyarakatan terdapat dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 159 berikut ini:
ان الذ ين يكتمون ما انز لنا من البينت والهدى من بعد مابينه للناس فى اكتب.الئك يلعنهم الله ويلعنهم اللعنون.
Terjemahannya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah kami jelaskan kepada manusia dalam kitab, mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat [6].
Penafsiran yang dilakukan oleh Buya Hamka dalam ayat ini adalah sebagai berikut:
-                     Yang dimaksud dengan keterangan-keterangan dalam ayat ini adalah tentang sifat-sifat rasul akhir zaman yang akan diutus yaitu nabi Muhammad s.a.w. yang begitu jelas sifat-sifatnya diterangkan, sehingga mereka kenal sebagaimana anak mereka sendiri.
-                     Dengan menyebut keterangan-keterangan maka jelas terlihat bahwa penjelasan ini bukan dalam satu tempat saja dan bukan satu kali saja, melainkan diberbagai kesempatan.
-                     Dan yang dimaksud dengan petunjuk atau hudan adalah intisari ajaran Nabi Musa a.s. yang sama dengan intisari ajaran nabi Muhammad s.a.w. yaitu tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain dan tiada membuatnya patung dan berhala.
-                     Setelah kami jelaskan kepada manusia dalam kitab, maksudnya bahwa segala keterangan dan petunjuk itu jelas tertulis dalam dikitab taurat itu sendiri, dan sudah disampaikan kepada manusia, sehingga tidak dapat disembunyikan lagi.
-                     Mereka itu akan dilaknat Allah dan mereka pun akan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat, maksudnya adalah orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan itu, mereka yang tidak jujur, orang-orang yang curang, yang telah melakukan korupsi atas kebenaran, karena mempertahankan golongan sendiri. Orang yang semacam ini pantas dilaknat Allah dan manusia. Kecurangan terhadap ayat suci dalam kitab-kitab Tuhan , hanya semata-mata mempertahankan kedudukan, adalah satu kejahatan yang patut dilaknat. [7]
Penafsiran Buya Hamka dalam ayat ini menjelaskan tentang kondisi masyaraat yahudi yang hidup di zaman nabi Musa a.s. yang telah sengaja menyembunyikan berita tentang akan diutusnya nabi Muhammad sebagai nabi terakhir yang telah disebutkan dalam kitab mereka di zaman itu. Hal ini terjadi akbibat dari ketidakpercayaan mereka tentang berita ini. Sehingga sangat pantas bagi mereka untuk dalaknat oleh Allah dan manusia. Ayat yang ditafsirkan ini merupakaan celaan keras atas perbuatan curang terhadap sebuah kebenaran. Oleh sebab itu dalam menafsirkan suatu ayat jangan hanya sekedar menjuruskan perhatian pada sebab turunnya ayat saja.
Celaan ini bukan hanya bertujuan pada perbuatan pendeta yahudi dan nasrani yang sengaja menyembunyikan kebenaran, tetapi juga peringatan kepada kita semua umat Islam terutama kepada orang yang orang-orang yang ahli dalam penafsiran, agar jangan sekali-sekali menyembunyikan kebenaran tentang ayat Al-Qur’an dan Hadis, dalam hal ini kebenaran tentang amar ma’ruf, nahi munkar, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran yang merupakan kewajiban bagi setiap manusia.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Tafsir Al-Azhar menggunakan corak Adabi Ijtima’i. Sekalipun corak ini melakukan penafsiran mengenai aneka macam persoalan yang berhubungan dengan kandungan ayat yang ditafsirkan seperti; filsafat, teologi, hukum, tasawuf, dan sebagainya. Namun penafsirannya tidak keluar dari coraknya yang berusaha untuk menagatasi problem yang ada dalam kehidupan masyarakat dan memotifasinya untuk memperoleh kemajuan duniawi dan ukhrawi menurut petunjuk al-Qu’an.
Berdasarkan penafsiran diatas dapat dikemukakan bahwa sistematika penafsiran yang dilakukan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar adalah sebagai berikut:
1.      Ayat
Dalam menulis ayat dan terjemahannya, langkah pertama yang dilakukannya adalah mencantumkan terlebih dahulu nama surat dan terjemahannya, urutan surat, jumlah ayat dan terjemahannya.
2.      Terjemahan
Dalam menjelaskan terjemahannya biasanya beliau mengelompokkan beberapa ayat dan masing-masing terjemahannya, kemudian memberi pendahuluan yang isinya menjelaskan tentang alasan penamaan surat, menyebutkan jumlah ayat, sedikit menjelaskan sejarah yang mencakup tentang ayat tersebut dan penjelasan tentang inti sarinya.
3.      Munasabah
Sebelum menjelaskan tentang munasabah biasanya beliau memberi judul tentang pemabahasan ayat yang akan ditafsirkan, namun ada juga yang tidak. Setelah itu ia mengungkapkan munasabah [8] ayat. 
4.      Tafsir Ayat/Kosa Kata
Dalam sistematika yang keempat ini beliau mencantumkan ayat yang akan ditafsirkan diikuti dengan penjelasan, yang kemudian menjelaskan kosa kata yang penting dalam ayat tersebut, sebab terkadang kosa kata inilah yang banyak yang menjadi multi tafsir sehingga hal ini menjadi bagian penting.
5.      Asbab Al Nuzul
Asbab Al-Nuzul ini termasuk hal yang penting dalam penafsiran sebuah ayat walaupun sebenarnya dalam model penafsiran yang dilakukan Buya Hamka hal itu tidak terlalu berpengaruh, tetapi penting untuk dikemukakan sebagai bukti kuat dalam penafsiran ayat. Asbab Al Nuzul akan dikemukakan dalam bagian penafsiran ayat apabila ada Asbab Al Nuzul yang kemudian akan diperkuat lagi dengan hadis bila ada.
6.      Kandungan Ayat/Kesimpulan  
Kandungan ayat/kesimpulan ini merupakan bagian akhir dari sistematika penafsiran Buya Hamka, dengan menjelaskan kandungan ayat atau kesimpulan ayat tersebut, jika ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan lagi dalam sebuah kesimpulan. Dalam hal ini tidak selamanya beliau lakukan sebab tidak semua ayat yang beliau tafsirkan mencantumkan sebuah kesimpulan akhir.
3.                  Metodologi Penafsiran dalam Tafsir Al-Azhar
Jika diperhatikan penafsiran Buya Hamka dalam kitabnya Tafsir Al-Azhar, ditinjau dari segi sumber atau bentuk/manhaj tafsir, maka ia merupakan perpaduan antara tafsir bi al-Ma’tsur [9] dan bi al-Ra’yi [10]. Hal ini terlihat ketika beliau menafsirkan Q.S Al-Baqarah [2]:158:
ان الصفا و المروة من شعا ئر الله
Terjemahannya:
Sesungguhnya Safa dan Marwah itu merupakan sebagian syiar (Agama) Allah. [11]
Menurut Syaikh Muhammad Abduh ayat ini masih urutan dari masalah peralihan arah kiblat, meskipun pada penafsiran lain seakan-akan telah terpisah. Menyebutkan dari hal sa’i diantara safa dan marwah setelah memperingatkan menyuruh sabar dan shalat, guna menerima segala penyempurnaan nikmat tuhan kelak, dan supaya tahan menderita atas segala cobaan. Maka dengan ayat ini dibayangkan pengharapan, bahwa akan dating masanya mereka akan berkeliling diantara bukit safa dan marwah. Betapapun kesulitan yang dihadapi tetapi pengharapan itu harus selalu dibayangkan.
Selanjutnya beliau menjelaskan tentang syi’ar bentuk jamak dari sya’air, maka sya’airallah artinya tanda-tanda peribadatan kepada Allah yang mencakup seluruh aspek peribadatan misalnya ibadah haji yang banyak terdapat syiar didalamnya. Lebih lanjut ia menjelaskan tentang syiar sa’i yang menurut hadis Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas, bahwa sa’i  merupakan kenangan terhadap Hajar istri nabi Ibrahim yang ketika itu Ismail yang dikandungnya telah lahir, sementara ia ditinggal seorang diri oleh Ibrahim yang sedang melanjutkan perjalanannya ke syam, yang kemudian air persediaannya telah habis sehingga menyebabkan air susunya nyaris kering sedang taka da sumur ditempat itu untuk mengambil air. Anaknya Ismail pun menangis kehausan hingga hampir parau suaranya. Maka dengan harapan yang cemas Hajar setengah berlari diantar dua bukit safa dan marwah sebanyak 7 kali pergi dan balik dan tiba-tiba kedengaran olehnya suara sementara burung beterbangan yang pada saat itu juga terdengar suara Ismail yang menangis, setelah 7 kali itu diapun kembali ketempat Ismail. Maka dilihatnya malaikat yang sedang menggali-gali tanah diujung kaki anaknya maka keluarlah air dengan cemas dipelukah air dan dia berkata zam! zam! yang artinya berkumpullah-berkumpullah. (Al-Bukhari, 1993, II: 206, Hadis ke 1643) [12]
Penafsiran Buya Hamka diatas ini jelas mengindikasikan perpaduan antara tafsir bi al-ra’yi dan bi al-ma’tsur, diaman ia menjelaskannya dengan munasabah ayat dengan mengutip Muhammad Abduh. Kemudian menjelaskan kosa kata syi’ar secara rasional, setelah itu menjelaskan dengan hadis nabi. Akan tetapi penafsirannya lebih dominan dengan menggunakan tafsir bi al-ra’yi sehingga Tafsir Al-Azhar Baidan mengkasifikasikannya sebagai tafsir yang menggunakan bentuk ra’yi “pemikiran”. (Baidan, 2003:106)
Mencermati penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, yang menjelaskan ayat al-Qur’an secara analitis dengan mengikuti urutan ayat dalam al-Qur’an, sehingga dapat disimpulkan bahwa metode yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat adalah dengan menggunakan metode Tahlili [13]. Hal ini nampak terlihat dalam salah satu penafsirannya dalam Q.S Al-Thariq [86]:11 sebagai berikut:
والسماء ذاتالرجع
Terjemahannya:
Demi langit yang menurunkan hujan[14]
Dalam ayat ini Buya Hamka menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan langit ini tentulah yang diatas kita. Sedangkan yang didalam mulut bagian atas kita namai langit-langit dan tabir sutera warna-warni yang dipasang diatas singgasana raja atau diatas pelaminan dinamai langit-langit juga, sehingga yang dimaksud dengan langit disini dipakai untuk yang diatas. Terkadang juga dilambangkan sebagai ketinggian dan kemuliaan dan kemuliaan tuhan, lalu kita tadahkan tangan ke langit ketika berdoa. Maka dari langit itulah turunnya hujan. Langitlah yang menyimpan air, menyediakannya lalu menurunkannya menurut jangka waktu. Sedangkan raj’i disini diartikan sebagai hujan oleh sebab hujan itu memang air dari bumi juga [15].
Melihat penafsiran ayat ini Baidan berkomentar bahwa Buya Hamka menggunakan metode analitis sehingga peluang untuk memaparkan tafsir yang rinci dan memadai menjadi lebih besar. Dengan demikian jelas bahwa Tafsir Al-Azhar  yang merupakan hasil karya dari Buya Hamka menggunakan metode Tahlili dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.

C.                KESIMPULAN
1.        Tafsir Al-Azhar merupakan karya tafsir Indonesia, yang disusun oleh seorang yang bernama Prof. Dr. Buya Malik Haji Abdul Karim Bin Abdul Karim Amrullah (Buya Hamka). Yang ditulis kurang lebih 6 Tahun, 2 Tahun ditulisnya dalam penjara dan sisanya diselesaikan ketika sudah bebas dari penjara, yang berjumlah 30 jilid masing-masing jilid 1 juz.
2.        Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka merupakan karya tafsir yang memiliki corak Adab Al-Ijtima’i.
3.        Tafsir Al-Azhar ini selanjutnya merupakan karya tafsir yang menggunakan metode tahlili dan munggunakan manhaj al-ra’yi.













DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Hafiz, Ulumul Qur’an Praktis. Idea Pustaka Utama, Bogor, Cet.I, 2003
Az-zahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Maktabah Wahbah, Jilid I, Cet. 7
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir. Pustaka Progresif, Yogyakarta, Cet. 16. 1997
Baidan, Nasrudin. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, Cet. I. Solo, P.T Tiga Serangkai. 2003
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 2 dan Juz 30, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005
Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan 1996
Jurnal Hunafa,Vol. 6, No.3, 2009
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009
Muhammad Bin Mukram Bin Manzhur Al-Fariqy, Lisan Al-Arab, Dar Shadir, Jilid V, 1412
Shihab, M. Quraish.dkk.  Sejarah Dan Ulumul Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus, Cet. 4, 2008.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta, Penerbit Djambatan, 1992
Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan 1996


[1] Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan, 1996
[2] Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan, 1996
[3] Jurnal Hunafa,Vol. 6, No.3, STAIN Datokrama, Palu, 2009
[4] Muhammad Bin Mukram Bin Manzhur Al-Fariqy, Lisan Al-Arab, Dar Shadir, Jilid V, 1412
[5] Adab Ijtima’i adalah corak tafsir yang menerangkan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur;an yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat dan berupaya untuk menanggulangi masalah-masalah mereka dengan petunjuk-petunjuknya.
[6] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009.
[7] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 2, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005
[8] Secara terminologis Munasabah menurut Imam Zarkasyi memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum, dengan lafal-lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat, dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).
[9] Tafsir bi al-Ma’tsur secara terminologi adalah tafsir yang berpegang pada riwayat yang shahih, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan sunnah sebagai penjelas terhadap kitabullah, atau dengan perkataan para sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan tokoh-tokoh besar tabi’iyn karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat. (Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis, Bogor, CV. Idea Pustaka Utama, Cet. I. 2003)
[10] Tafsir bi al-Ra’yi menurut istilah adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Yang disebut juga dengan al-tafsir bi al-ijtihadi, yaitu penafsiran dengan menggunakan ijtihad karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. (Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis, Bogor, CV. Idea Pustaka Utama, Cet. I. 2003)
[11] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009.
[12] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 2, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005
[13] Tahlili berasal dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti mengurai, menganalisis. Jadi Metode Tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat didalam al-Qur’an Mushaf Utsmani.  (Shihab, M. Quraish.dkk.  Sejarah Dan Ulumul Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus, Cet. 4, 2008)
[14] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih,  2009.
[15] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 30, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar