1.
Pengertian Mahar
Mahar dalam bahasa Indonesia juga disebut dengan maskawin.
Maskawin atau mahar adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum,
sesudah atau waktu berlangsungnya akad nikah sebagai pemberian wajib. Atau
sesuatu yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri dalam rangka akad
perkawinan antara keduanya, sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap
calon istri serta kesediaan calon istri untuk menjadi istrinya. Dalam redaksi
lain, maskawin (mahar) itu adalah harta yang diberikan kepada istri sebagai
tanda atau syarat terjadinya ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan
seorang wanita[1].
Secara terminologi mahar adalah pemberian wajib dari calon
suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau, suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam
bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya)[2].
Pengertian mahar dalam KHI adalah pemberian dari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang atau
jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam[3].
Muhamad Abduh dalam tafsir al-manarnya, sebagaimana yang dikutip Nasarudin Umar mengungkapkan
bahwa dalam al-Quran, sebutan mahar dengan lafaz
al-Nihla adalah sebuah pemberian yang ikhlas sebagai bukti ikatan
kekerabatan serta kasih sayang[4].
Mahar (mas kawin)
perkawinan merupakan suatu hal yang pokok dan harus ada dalam suatu perkawinan
meskipun nilai dan jumlahnya sangat minim, dalam praktiknya dianjurkan untuk
mempermudah jumlah mahar yang harus ditunaikan. Besarnya
mahar tidak dibatasi, akan tetapi Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu
secara ma’ruf. Artinya dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat
kebiasaan atau sesuai dengan kepantasan (mitsil),
tetapi dengan catatan penting bahwa mahar tidak boleh memberatkan[5].
Hukum memberikan mahar itu adalah wajib dengan arti
laki-laki mengawini seorang perempuan mesti menyerahkan mahar kepada istrinya
itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya[6].Mahar
terbagi menjadi dua yaitu pertama, mahar
musammaadalah bila mahar tidak disebutkan pada waktu akad, maka
kewajibannya itu harus ditunaikannya selama masa perkawinan sampai putus
perkawinan dalam bentuk kematian atau perceraian. Kedua, mahar mitsil adalah bila mahar tidak disebutan jenis dan jumlahnya,
maka kewajibannya adalah sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam
keluarganya.
Dibolehkan segera membayar mahar secara tunai, atau
seluruhnya dibayar belakangan dan boleh juga sebagiannya dibayar tunai dan
sebagiannya lagi dikredit (dibayar kemudian). Apabila maharnya sudah
ditetapkan, maka laki-laki tersebut harus membayar mahar yang telah ditetapkan
kepada istrinya. Keharusan membayar mahar itu berdasarkan Al-Quran dan hadis.
Sunat menyebutkan mahar pada waktu akad nikah karena Nabi selalu
menyebutkannya. Kalau perempuan yang dinikahkan itu termasuk orang yang tidak
boleh mentassarufkan (membelanjakan) hartanya karena sesuatu ‘aridh (rintangan) seperti dungu, maka
menyebut mahar pada waktu akad nikah adalah wajib[7].
Perempuan (istri) pun wajib membayar zakat maharnya itu
sebagaimana dia wajib membayar zakat uangnya yang dipiutangnya[8].Di
dalam KHI, mahar ini diatur di dalam pasal 30 sampai pasal 38. Pada pasal 30
menyatakan [9]: “Calon
mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah,
bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”
Garis hukum pasal 30 KHI diatas, menunjukkan bahwa pihak
calon mempelai laki-laki berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada
calon mempelai perempuan. Namun, jumlah, bentuk dan jenisnya diatur berdasarkan
kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai wanita[10].
Pasal 31 menyatakan :
“Penentuan mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam”
Berkaitan dengan perkawinan, dapat diungkapkan dipetakan
adanya beberapa isu sensitif yang rentan mengakibatkan kaum hawa tidak
memperoleh keadilan atas hak-haknya. Isu ini antara lain berhubungan persoalan
mahar (mas kawin).[11]
Salah satu upaya umat Islam mengangkat harkat dan martabat
wanita adalah mewajibkan seorang laki-laki yang akan menjadi suaminya untuk
memberikan mahar kepadanya, yang tidak pernah diterima sebelum Islam datang.
Disamping sebagai suatu hak wajib baginya, mahar juga merupakan hak-hak
penghormatan wanita, khususnya dalam masalah harta. Mahar tidak dimaksudkan
sebagai harga kehormatan diri wanita yang membuatnya tunduk pada suami, karena
masalah keharusan taat dan melayani
suami termasuk dalam hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing
suami istri. Karena itu, mahar tidak ada ketentuan besar dan banyaknya yang pasti, tetapi
diserahkan pada kerelaan masing-masing[12].
Mahar diwajibkan atas suami dengan sebab nikah yakni
memberikan sesuatu kepada calon istri, baik pemberian berupa uang atau benda
lain. Hal ini sudah sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 4.
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Terjemahnya
:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. Annisa : 4)[13]
Ayat ini menunjukkan kewajiban memberi mahar kepada istri.
Meskipun demikian, si istri boleh saja memberikan mahar itu kepada suami atau
orang tuanya apabila benar-benar rela, tanpa paksaan bukan karena malu atau
tipu muslihat. Karena menurut Sayyid Sabiq, apabila si istri memberikan
sebagian hartanya (mahar) lantaran malu atau takut atau tertipu maka tidak
dibolehkan menerimanya[14].
Dalam agama Islam banyaknya mahar tidak ditentukan. Hal itu
tergantung kepada kemampuan laki-laki dan kerelaan pihak perempuan. Diusahakan
agar mahar itu tidak merupakan hutang bagi laki-laki sebab kalau mahar tersebut
menjadi hutang laki-laki dan ternyata ia tidak dapat membayarnya maka persoalan
itu menjadi masalah dikemudian hari di akhirat. Itulah sebabnya agama Islam
tidak menentukannya karena dijaga akan memberatkan pihak laki-laki.
2.
Hukum Memberi Maskawin
Mahar termasuk salah satu rukun nikah. Sehingga dalam setiap
pernikahan harus ada mahar, baik bentuk maupun jumlahnya disebutkan ataupun
tidak. Jika bentuk dan jumlahnya tidak disebutkan dalam bentuk, maka pihak
istri berhak memperoleh mahrul mitsal[15].
Hukum taklifi dari
mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan
wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak
menyerahkan mahar kepada istrinya[16].
Menurut Ibnu Rusyd, bahwa membayar mahar menurut kesepakatan
ulama, hukumnya adalah wajib dan merupakan salah satu syarat nikah[17].
Adapun keharusan memberi mahar ini, sebagai dasar hukumnya adalah firman Allah
swt dalam surah An-Nisa ayat 20[18]
:
وَإِنْ
أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Terjemahnya :
“
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun”. (QS. Annisa : 20)
Mahar
selain sebagai penghormatan terhadap wanita, ia pun merupakan alat mempererat
hubungan suami istri serta penyebab kasih sayang dan rahmat. Bahkan bagi suami,
ia merupakan salah satu yang membuatnya berstatus qawamah (pemimpin) terhadap wanita. Sebagaimana firman Allah Swt
dalam surah An-Nisa ayat 34 :
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Terjemahnya :
“
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. Annisa : 34)[19]
Berdasarkan
ayat di atas, mahar sebagai hak wanita telah pasti. Keharusan pemenuhannya dan
selama belum diberikan oleh suami, ia tetap menjadi tanggungannya (utang
dirinya terhadap istri). Dengan demikian, mahar merupakan sesuatu syarat yang
harus dipenuhi dan paling diperhatikan pelunasannya.
Syekh
Muhammad Abduh, tafsirnya mengungkapkan suatu pandangan yang luar biasa
mengenai mahar ini. Kata beliau :
“Hendaknya diperhatikan dalam
pemberian mahar ini suatu arti yang lebih tinggi dari arti yang diperhatikan
oleh orang-orang yang menamakan dirinya ahli fikih, bahwa mahar (maskawin)
memiliki arti penggantian (iwwad)
atas harganya. Tidak demikian, sesungguhnya hubungan suami istri itu lebih
tinggi dan mulia daripada hubungan antara seorang laki-lakidan teman tidurnya
atau budak sahayanya. Oleh sebab itu disebutkan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), maka hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa pemberian itu merupakan salah satu tanda cinta dan
hubungan kekerabatan serta pemikat tali cinta kasih dan rahmat, serta merupakan
hal yang benar-benar wajib dan tak ada pilihan terhadapnya seperti halnya
pembeli dan penyewa memilih sesuatu”.[20]
Dari dasar
hukum mahar, jelaslah bahwa hukum memberi mahar adalah wajib. Artinya laki-laki
yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu
dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa
suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya. Dari adanya perintah Allah
untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya
memberi mahar kepada istri. Tidak ditemukan dalam litelature ulama yang
menempatkan sebagai rukun. mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah
bagi suatu perkawinan. Artinya perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak
sah.
3.
Kadar Mahar
Dalam syariat Islam tidak ditentukannya banyak atau
sedikitnya mahar yang harus diberikan kepada calon istri, tetapi yang menjadi
tolak ukurnya adalah bahwa mahar itu berupa barang atau manfaat yang bernilai
tanpa melihat sedikit atau banyak, maka dibolehkan sebuah cincin dari besi,
secangkir kurma atau berupa pengajaran Al-Qur’an dan sebagainya, asalkan kedua
pihak (mempelai laki-laki dan wanita) sama-sama rela[21].
Ada beberapa ulama yang menyebutkan batasan kadar mahar yang
kemungkinan besar didasarkan atas sejauhmana suatu barang itu dianggap
bernilai. Diantara para ulama itu adalah :
a. Abu Hanifah (mazhab Hanafi) menyebutkan bahwa paling tidak
mahar itu sebanyak 10 dirham.
b. Imam Malik (mazhab maliki) menyebutkan bahwa paling tidak
mahar itu sebanyak 3 dirham. Adapun maksimal mahar (banyaknya) itu tidak ada
batasannya sesuai dengan kemampuan.
Meskipun demikian, berlebih-lebihan dan bermahal-mahalan
dalam pemberian atau permintaan mahar ini dimakruhkan, mengingat hal itu akan
menyulitkan orang-orang yang miskin. Karena itu dikatakan bahwa semakin sedikit
mahar maka perkawinan itu semakin banyak berkahnya[22].
Inilah ajaran Islam tentang mahar seorang wanita. Namun
dewasa ini masih terdapat masyarakat yang berpegang kepada adat jahiliyah dalam
pemberian mahar yang berlebih-lebihan (memberatkan) dan menolak untuk
mengawinkan putrinya kecuali dengan mahar yang tinggi. Sebagai umat Islam yang
menyukai keutamaan hendaknya memberikan
mahar yang layak, dalam arti tidak terlalu berlebihan dan tidak pula
terlalu sedikit, hingga tampak kurang berarti tetapi disesuaikan dengan kondisi
keluarga pihak istri maupun pihak suami.
Dalam hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi
didasarkan kepada kemampuan masing-masing orang atau berdasarkan pada keadaan
atau tradisi keluarga. Dengan ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan
kesepakatan kedua belah pihak yang akan melakukan akad nikah. Dalam syariat
Islam hanya ditetapkan bahwa maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa
melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal, namun hendaknya
berdasarkan kesanggupan dan kemampuan suami[23].
4.
Tujuan Dan Hikmah Mahar
Tujuan dan hikmah mahar adalah sebagai
berikut :
a. Menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.
b. Memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai antara pasangan suami istri.
c. Sebagai usaha untuk memperhatikan dan menghargai kedudukan
wanita.
5.
Macam-Macam Mahar
Mahar merupakan harta
pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak
si istri dan sunnah disebutkan ketika akad nikah berlangsung. Kelalaian dalam
menyebut jenis dan jumlah mahar pada saat akad nikah, tidak menyebabkan batanya
perkawinan, karena mahar bukan rukun nikah. Begitupua dalam keadaan mahar masih
terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.[24] Adapun mengenai macam-macam
mahar, ulama fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu
sebagai berikut:
a. Mahar Musamma
Yaitu maskawin yang sudah
disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya pada saat ijab qabul. [25] Ulama fikih sepakat bahwa dalam
pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila: 1) Telah bercampur (bersenggama), dan 2) Apabila salah satu dari suami
istri meninggal.
Kemudian dalam hal khalwat
atau bersenang-senang dengan buka-bukaan dan belum terjadi persetubuhan, maka
tidak wajib membayar maskawin seluruhnya. Dan dalam hal ini ada perbedaan
pendapat di kalangan ahli fikih. Abu Hanifah mengatakan bahwa apabila suami
istri sudah tinggal menyendiri, maka ia wajib membayar mahar yang telah dijanjikan.
Artinya jika suami istri berada di suatu tempat yang aman dari penglihatan
siapa pun dan tidak ada halangan hukum untuk bercampur, contoh salah seorang
berpuasa wajib atau istri sedang haid, atau karena ada halangan emosi seperti
salah seorang menderita sakit, sehingga tidak bisa melakukan persenggamaan yang
wajar, atau karena ada halangan yang bersifat alamiah, seperti ada orang ketiga
di samping mereka.
b. Mahar Mitsil (Sepadan)
Mahar Mitsil yaitu maskawin
yang tidak disebut jenis dan jumlahnya pada saat akad nikah. Bila terjadi
demikian, maskawin itu mengikuti maskawin saudara perempuan lain dalam
keluarganya. Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan: dalam
keadaan suami tidak menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya. Suami
menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat
yang ditentukan atau mahar tersebut cacat. Suami menyebutkan mahar musamma,
namun kemudian isteri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan
tidak dapat diselesaikan.[26]
Menurut Amir Syarifudin, bila
mahar tersebut dalam bentuk barang, maka harus memenuhi persyaratan, yaitu:[27] 1) Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya; 2) Barang tersebut miliknya
sendiri secara pemilikan penuh, dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula
manfaatnya. Bila salah satunya saja yang dimiliki, seperti manfaatnya dan
zatnya tidak, (misalnya dipinjamkan) maka tidak sah dijadikan mahar; 3) Barang tersebut memenuhi syarat untuk diperjualbelikan; dan 3) Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan.
Dengan demikian penegasan
tersebut di atas menunjukan bahwa mahar harus ada dan jelas serta dapat
diserahkan pada saat pelaksanaan akad nikah, karena mahar yang dalam bentuk
barang sudah disebutkandalam pelaksanaan akad nikah, sehingga wajib diserahkan
pada isteri.
6.
Syarat-Syarat Mahar
Mahar yang
diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Harta berharga, yaitu harta yang memiliki nilai meskipun jumlahnya
sedikit yang terpenting memiliki nilai.
b. Barangnya suci sesuai standar kesucian dalam Islam dan dapat diambil manfaatnya.
c. Barangnya bukan barang ghasab (artinya barang
yang diambil dari orang laintanpa izin sang pemilik dengan niat tidak
memilikinya dan berniat untuk mengembalikannya suatu saat).
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya (tidak disebutkan
besarannya dan tidak diketahui kondisi barang yang diberikan).
7.
Sifat-sifat
mahar
Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabotan rumah tangga,
jasa, hartaperdagangan, atau benda lainnya yang memiliki nilai.Adapun
syarat-syarat yang boleh dijadikan mahar sebagai berikut :
a. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya
b. Barang itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam
arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya. Bila salah satunya saja yang
dimiliki, seperti manfaatnya saja dan tidak zatnya umpamanya barang yang
dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.
c. Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk
diperjualbelikan tidak boleh dijadikan mahar seperti minuman keras, daging babi
dan bangkai
d. Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang
dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada waktu
diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat
dijadikan mahar, seperti burung yang terbang di udara.
Mengenai sifat-sifat mahar, fuqaha telah sependapat tentang
sahnya pernikahan berdasarkan pertukaran dengan sesuatu barang tertentu yang
kenal sifatnya, yakni tertentu jenis, besar dan sifatnya.
Berdasarkan hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi
didasarkan kepada kemampuan masing-masing orang atau berdasarkan pada keadaan
atau tradisi keluarga. Dengan ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan
kesepakatan kedua belah pihak yang akan melakukan akad nikah. Dalam syariat
islam hanya ditetapkan bahwa maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa
melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal, namun hendaknya
berdasarkan kesanggupan dan kemampuan suami.
Semenjak kapan berlakunya kewajiban mahar itu ulama sepakat
mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk
membayar separuh mahar yang ditentukan waktu akad. Alasannya ialah
walaupun putus perkawinan atau kematian seseorang di antara suami istri terjadi
dukhul
namun suami telah wajib membayar
separuh mahar yang disebutkan waktu akad.
Kewajiban membayar mahar telah berlaku sejak terjadinya
akad, namun tidak wajib untuk diserahkan pada waktu akad itu. Karena itu jika
terjadi kerusakan atau kehilangan terhadap mahar. Sebagian ulama berpendapat
bahwa mahar tersebut harus diganti jika belum sempat diserahkan. Dengan
demikian ditegaskan bahwa mahar semestinya diserahkan dalam bentuk benda paling
lambat disaat pelaksanaan akad nikah atau diserahkan sesaat sebelum akad nikah
walaupun pengucapannya pada saat akad nikah. Pemberian atau penyerahan mahar
tidak boleh ditunda, karena jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
oleh kedua belah pihak, misalnya terjadi kerusakan atau hilang sebelum
diserahkan[28].
Mahar (maskawin) perkawinan merupakan
suatu hal yang pokok dan harus ada dalam suatu perkawinan meskipun nilai atau
pun jumlahnya sangat minim, dalam prakteknya di anjurkan untuk mempermudah
jumlah mahar yang harus ditunaikan. Besarnya mahar tidak dibatasi akan tetapi
Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu secara ma’ruf. Artinya dalam
batas-batas yang wajar sesuai adat kebiasaan atau sesuai dengan kepantasan,
tetapi dengan catatan penting bahwa mahar tidak boleh memberatkan.
[1]Mardani,
Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta
: Prenada Media Group, 2016), h. 47
[3]Abdul
Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum
Islam Dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta : Gema Insani Press, 1994), h.
[4]Nasarudin
Umar, Fiqih Wanita Untuk Semua (Jakarta
: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 79
[5]
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I, h.
131
[6]Amir
Syarifudin, Hukum Perkawinan di
Indonesia, h. 85
[7]Peunoh
Daly, Hukum Perkawinan Islam : Suatu
Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-Negara Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h. 83
[8]Sulaeman
Rasjid, Fiqh Islam (Bandung : Sinar
Baru Algensindo, 2004), h. 39
[9]Abdul
Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum
Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. h. 86-88
[10]Zainudin
Ali, Hukum Perdata Islamdi Indonesia (Jakarta
: Sinar Grafika, 2007), h. 24
[12]Departemen
Agama RI, Tuntunan Keluarga Sakinah bagi
Remaja Usia Nikah (Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan
Syariah, 2007), h. 122
[13]Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Kementerian Agama RI (Dirjen Bimas Islam, Direrktorat URAIS
dan Pembinaan Syariah Tahun 2012). h. 100
[16]Amir
Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia : Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 85
[18]Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Kementerian Agama RI (Dirjen Bimas Islam, Direrktorat URAIS
dan Pembinaan Syariah Tahun 2012). h. 105
[19]Al-Qur’an
dan Terjemahnnya, Kementerian Agama RI, h. 108
[20]Departemen
Agama RI, h. 127
[23]Mardani,
Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h.
49
[24] Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
[26] Ajub
Ishak, Hukum Perdata
Islam Di Indonesia Dan Praktik Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo,
(Gorontalo: Sultan Amai Press,2014),
h. 79.
[27] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan
Islam Di Indonesia; Antara Fiqih Munakkahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Cet.
III, (Jakarta: Kencana Perdana Media Grup,2009), h. 95.
[28]Ajub
Ishak, Hukum Perdata Islam di Indonesia
dan Praktek Perkawinan dalam Bingkai Adat Gorontalo, h. 80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar