Kamis, 01 Agustus 2019

MAHAR PERKAWINAN DALAM ISLAM

“MAHAR PERKAWINAN DALAM ISLAM”


1.        Pengertian Mahar
Mahar dalam bahasa Indonesia juga disebut dengan maskawin. Maskawin atau mahar adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau waktu berlangsungnya akad nikah sebagai pemberian wajib. Atau sesuatu yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri dalam rangka akad perkawinan antara keduanya, sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap calon istri serta kesediaan calon istri untuk menjadi istrinya. Dalam redaksi lain, maskawin (mahar) itu adalah harta yang diberikan kepada istri sebagai tanda atau syarat terjadinya ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita[1].
Secara terminologi mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau, suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya)[2].
Pengertian mahar dalam KHI adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam[3].
Muhamad Abduh dalam tafsir al-manarnya, sebagaimana yang dikutip Nasarudin Umar mengungkapkan bahwa dalam al-Quran, sebutan mahar dengan lafaz al-Nihla adalah sebuah pemberian yang ikhlas sebagai bukti ikatan kekerabatan serta kasih sayang[4].
Mahar (mas kawin) perkawinan merupakan suatu hal yang pokok dan harus ada dalam suatu perkawinan meskipun nilai dan jumlahnya sangat minim, dalam praktiknya dianjurkan untuk mempermudah jumlah mahar yang harus ditunaikan. Besarnya mahar tidak dibatasi, akan tetapi Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu secara ma’ruf. Artinya dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan atau sesuai dengan kepantasan (mitsil), tetapi dengan catatan penting bahwa mahar tidak boleh memberatkan[5].
Hukum memberikan mahar itu adalah wajib dengan arti laki-laki mengawini seorang perempuan mesti menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya[6].Mahar terbagi menjadi dua yaitu pertama, mahar musammaadalah bila mahar tidak disebutkan pada waktu akad, maka kewajibannya itu harus ditunaikannya selama masa perkawinan sampai putus perkawinan dalam bentuk kematian atau perceraian. Kedua, mahar mitsil adalah bila mahar tidak disebutan jenis dan jumlahnya, maka kewajibannya adalah sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.
Dibolehkan segera membayar mahar secara tunai, atau seluruhnya dibayar belakangan dan boleh juga sebagiannya dibayar tunai dan sebagiannya lagi dikredit (dibayar kemudian). Apabila maharnya sudah ditetapkan, maka laki-laki tersebut harus membayar mahar yang telah ditetapkan kepada istrinya. Keharusan membayar mahar itu berdasarkan Al-Quran dan hadis. Sunat menyebutkan mahar pada waktu akad nikah karena Nabi selalu menyebutkannya. Kalau perempuan yang dinikahkan itu termasuk orang yang tidak boleh mentassarufkan (membelanjakan) hartanya karena sesuatu ‘aridh (rintangan) seperti dungu, maka menyebut mahar pada waktu akad nikah adalah wajib[7].
Perempuan (istri) pun wajib membayar zakat maharnya itu sebagaimana dia wajib membayar zakat uangnya yang dipiutangnya[8].Di dalam KHI, mahar ini diatur di dalam pasal 30 sampai pasal 38. Pada pasal 30 menyatakan [9]: “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”
Garis hukum pasal 30 KHI diatas, menunjukkan bahwa pihak calon mempelai laki-laki berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan. Namun, jumlah, bentuk dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai wanita[10].
Pasal 31 menyatakan :
“Penentuan mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam”
Berkaitan dengan perkawinan, dapat diungkapkan dipetakan adanya beberapa isu sensitif yang rentan mengakibatkan kaum hawa tidak memperoleh keadilan atas hak-haknya. Isu ini antara lain berhubungan persoalan mahar (mas kawin).[11]
Salah satu upaya umat Islam mengangkat harkat dan martabat wanita adalah mewajibkan seorang laki-laki yang akan menjadi suaminya untuk memberikan mahar kepadanya, yang tidak pernah diterima sebelum Islam datang. Disamping sebagai suatu hak wajib baginya, mahar juga merupakan hak-hak penghormatan wanita, khususnya dalam masalah harta. Mahar tidak dimaksudkan sebagai harga kehormatan diri wanita yang membuatnya tunduk pada suami, karena masalah keharusan  taat dan melayani suami termasuk dalam hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing suami istri. Karena itu, mahar tidak ada ketentuan  besar dan banyaknya yang pasti, tetapi diserahkan pada kerelaan masing-masing[12].
Mahar diwajibkan atas suami dengan sebab nikah yakni memberikan sesuatu kepada calon istri, baik pemberian berupa uang atau benda lain. Hal ini sudah sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 4.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Terjemahnya :
            Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. Annisa : 4)[13]
Ayat ini menunjukkan kewajiban memberi mahar kepada istri. Meskipun demikian, si istri boleh saja memberikan mahar itu kepada suami atau orang tuanya apabila benar-benar rela, tanpa paksaan bukan karena malu atau tipu muslihat. Karena menurut Sayyid Sabiq, apabila si istri memberikan sebagian hartanya (mahar) lantaran malu atau takut atau tertipu maka tidak dibolehkan menerimanya[14].
Dalam agama Islam banyaknya mahar tidak ditentukan. Hal itu tergantung kepada kemampuan laki-laki dan kerelaan pihak perempuan. Diusahakan agar mahar itu tidak merupakan hutang bagi laki-laki sebab kalau mahar tersebut menjadi hutang laki-laki dan ternyata ia tidak dapat membayarnya maka persoalan itu menjadi masalah dikemudian hari di akhirat. Itulah sebabnya agama Islam tidak menentukannya karena dijaga akan memberatkan  pihak laki-laki.
2.        Hukum Memberi Maskawin
Mahar termasuk salah satu rukun nikah. Sehingga dalam setiap pernikahan harus ada mahar, baik bentuk maupun jumlahnya disebutkan ataupun tidak. Jika bentuk dan jumlahnya tidak disebutkan dalam bentuk, maka pihak istri berhak memperoleh mahrul mitsal[15].
Hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya[16].
Menurut Ibnu Rusyd, bahwa membayar mahar menurut kesepakatan ulama, hukumnya adalah wajib dan merupakan salah satu syarat nikah[17]. Adapun keharusan memberi mahar ini, sebagai dasar hukumnya adalah firman Allah swt dalam surah An-Nisa ayat 20[18] :
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Terjemahnya :
              “ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun”. (QS. Annisa : 20)
                Mahar selain sebagai penghormatan terhadap wanita, ia pun merupakan alat mempererat hubungan suami istri serta penyebab kasih sayang dan rahmat. Bahkan bagi suami, ia merupakan salah satu yang membuatnya berstatus qawamah (pemimpin) terhadap wanita. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah An-Nisa ayat 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Terjemahnya :  
              “ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. Annisa : 34)[19]
                Berdasarkan ayat di atas, mahar sebagai hak wanita telah pasti. Keharusan pemenuhannya dan selama belum diberikan oleh suami, ia tetap menjadi tanggungannya (utang dirinya terhadap istri). Dengan demikian, mahar merupakan sesuatu syarat yang harus dipenuhi dan paling diperhatikan pelunasannya.
            Syekh Muhammad Abduh, tafsirnya mengungkapkan suatu pandangan yang luar biasa mengenai mahar ini. Kata beliau :
            “Hendaknya diperhatikan dalam pemberian mahar ini suatu arti yang lebih tinggi dari arti yang diperhatikan oleh orang-orang yang menamakan dirinya ahli fikih, bahwa mahar (maskawin) memiliki arti penggantian (iwwad) atas harganya. Tidak demikian, sesungguhnya hubungan suami istri itu lebih tinggi dan mulia daripada hubungan antara seorang laki-lakidan teman tidurnya atau budak sahayanya. Oleh sebab itu disebutkan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), maka hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemberian itu merupakan salah satu tanda cinta dan hubungan kekerabatan serta pemikat tali cinta kasih dan rahmat, serta merupakan hal yang benar-benar wajib dan tak ada pilihan terhadapnya seperti halnya pembeli dan penyewa memilih sesuatu”.[20]
            Dari dasar hukum mahar, jelaslah bahwa hukum memberi mahar adalah wajib. Artinya laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya. Dari adanya perintah Allah untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada istri. Tidak ditemukan dalam litelature ulama yang menempatkan sebagai rukun. mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah bagi suatu perkawinan. Artinya perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak sah.
3.        Kadar Mahar
Dalam syariat Islam tidak ditentukannya banyak atau sedikitnya mahar yang harus diberikan kepada calon istri, tetapi yang menjadi tolak ukurnya adalah bahwa mahar itu berupa barang atau manfaat yang bernilai tanpa melihat sedikit atau banyak, maka dibolehkan sebuah cincin dari besi, secangkir kurma atau berupa pengajaran Al-Qur’an dan sebagainya, asalkan kedua pihak (mempelai laki-laki dan wanita) sama-sama rela[21].
Ada beberapa ulama yang menyebutkan batasan kadar mahar yang kemungkinan besar didasarkan atas sejauhmana suatu barang itu dianggap bernilai. Diantara para ulama itu adalah :
a.    Abu Hanifah (mazhab Hanafi) menyebutkan bahwa paling tidak mahar itu sebanyak 10 dirham.
b.    Imam Malik (mazhab maliki) menyebutkan bahwa paling tidak mahar itu sebanyak 3 dirham. Adapun maksimal mahar (banyaknya) itu tidak ada batasannya sesuai dengan kemampuan.
Meskipun demikian, berlebih-lebihan dan bermahal-mahalan dalam pemberian atau permintaan mahar ini dimakruhkan, mengingat hal itu akan menyulitkan orang-orang yang miskin. Karena itu dikatakan bahwa semakin sedikit mahar maka perkawinan itu semakin banyak berkahnya[22].
Inilah ajaran Islam tentang mahar seorang wanita. Namun dewasa ini masih terdapat masyarakat yang berpegang kepada adat jahiliyah dalam pemberian mahar yang berlebih-lebihan (memberatkan) dan menolak untuk mengawinkan putrinya kecuali dengan mahar yang tinggi. Sebagai umat Islam yang menyukai keutamaan hendaknya memberikan  mahar yang layak, dalam arti tidak terlalu berlebihan dan tidak pula terlalu sedikit, hingga tampak kurang berarti tetapi disesuaikan dengan kondisi keluarga pihak istri maupun pihak suami.
Dalam hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi didasarkan kepada kemampuan masing-masing orang atau berdasarkan pada keadaan atau tradisi keluarga. Dengan ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang akan melakukan akad nikah. Dalam syariat Islam hanya ditetapkan bahwa maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal, namun hendaknya berdasarkan kesanggupan dan kemampuan suami[23].
4.        Tujuan Dan Hikmah Mahar
Tujuan dan hikmah mahar adalah sebagai berikut :
a.    Menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.
b.    Memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang  dan cinta mencintai antara pasangan suami istri.
c.    Sebagai usaha untuk memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita.
5.        Macam-Macam Mahar
Mahar merupakan harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak si istri dan sunnah disebutkan ketika akad nikah berlangsung. Kelalaian dalam menyebut jenis dan jumlah mahar pada saat akad nikah, tidak menyebabkan batanya perkawinan, karena mahar bukan rukun nikah. Begitupua dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.[24] Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a.    Mahar Musamma
Yaitu maskawin yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya pada saat ijab qabul. [25] Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila: 1) Telah bercampur (bersenggama), dan 2) Apabila salah satu dari suami istri meninggal.
Kemudian dalam hal khalwat atau bersenang-senang dengan buka-bukaan dan belum terjadi persetubuhan, maka tidak wajib membayar maskawin seluruhnya. Dan dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih. Abu Hanifah mengatakan bahwa apabila suami istri sudah tinggal menyendiri, maka ia wajib membayar mahar yang telah dijanjikan. Artinya jika suami istri berada di suatu tempat yang aman dari penglihatan siapa pun dan tidak ada halangan hukum untuk bercampur, contoh salah seorang berpuasa wajib atau istri sedang haid, atau karena ada halangan emosi seperti salah seorang menderita sakit, sehingga tidak bisa melakukan persenggamaan yang wajar, atau karena ada halangan yang bersifat alamiah, seperti ada orang ketiga di samping mereka.
b.    Mahar Mitsil (Sepadan)
Mahar Mitsil yaitu maskawin yang tidak disebut jenis dan jumlahnya pada saat akad nikah. Bila terjadi demikian, maskawin itu mengikuti maskawin saudara perempuan lain dalam keluarganya. Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan: dalam keadaan suami tidak menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya. Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat. Suami menyebutkan mahar musamma, namun kemudian isteri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.[26]
Menurut Amir Syarifudin, bila mahar tersebut dalam bentuk barang, maka harus memenuhi persyaratan, yaitu:[27] 1) Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya; 2) Barang tersebut miliknya sendiri secara pemilikan penuh, dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya. Bila salah satunya saja yang dimiliki, seperti manfaatnya dan zatnya tidak, (misalnya dipinjamkan) maka tidak sah dijadikan mahar; 3) Barang tersebut memenuhi syarat untuk diperjualbelikan; dan 3) Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan.
Dengan demikian penegasan tersebut di atas menunjukan bahwa mahar harus ada dan jelas serta dapat diserahkan pada saat pelaksanaan akad nikah, karena mahar yang dalam bentuk barang sudah disebutkandalam pelaksanaan akad nikah, sehingga wajib diserahkan pada isteri.
6.        Syarat-Syarat Mahar
            Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.    Harta berharga, yaitu harta yang memiliki nilai meskipun jumlahnya sedikit yang terpenting memiliki nilai.
b.    Barangnya suci sesuai standar kesucian dalam Islam dan dapat diambil manfaatnya.
c.    Barangnya bukan barang ghasab (artinya barang yang diambil dari orang laintanpa izin sang pemilik dengan niat tidak memilikinya dan berniat untuk mengembalikannya suatu saat).
d.   Bukan barang yang tidak jelas keadaannya (tidak disebutkan besarannya dan tidak diketahui kondisi barang yang diberikan).
7.        Sifat-sifat mahar
Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabotan rumah tangga, jasa, hartaperdagangan, atau benda lainnya yang memiliki nilai.Adapun syarat-syarat yang boleh dijadikan mahar sebagai berikut :
a.    Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya
b.    Barang itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya. Bila salah satunya saja yang dimiliki, seperti manfaatnya saja dan tidak zatnya umpamanya barang yang dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.
c.    Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjualbelikan tidak boleh dijadikan mahar seperti minuman keras, daging babi dan bangkai
d.   Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada waktu diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang di udara.
Mengenai sifat-sifat mahar, fuqaha telah sependapat tentang sahnya pernikahan berdasarkan pertukaran dengan sesuatu barang tertentu yang kenal sifatnya, yakni tertentu jenis, besar dan sifatnya.
Berdasarkan hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi didasarkan kepada kemampuan masing-masing orang atau berdasarkan pada keadaan atau tradisi keluarga. Dengan ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang akan melakukan akad nikah. Dalam syariat islam hanya ditetapkan bahwa maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal, namun hendaknya berdasarkan kesanggupan dan kemampuan suami.
Semenjak kapan berlakunya kewajiban mahar itu ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar separuh mahar yang ditentukan waktu akad. Alasannya ialah walaupun putus perkawinan atau kematian seseorang di antara suami istri terjadi dukhul namun suami telah wajib membayar separuh mahar yang disebutkan waktu akad.
Kewajiban membayar mahar telah berlaku sejak terjadinya akad, namun tidak wajib untuk diserahkan pada waktu akad itu. Karena itu jika terjadi kerusakan atau kehilangan terhadap mahar. Sebagian ulama berpendapat bahwa mahar tersebut harus diganti jika belum sempat diserahkan. Dengan demikian ditegaskan bahwa mahar semestinya diserahkan dalam bentuk benda paling lambat disaat pelaksanaan akad nikah atau diserahkan sesaat sebelum akad nikah walaupun pengucapannya pada saat akad nikah. Pemberian atau penyerahan mahar tidak boleh ditunda, karena jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak, misalnya terjadi kerusakan atau hilang sebelum diserahkan[28].
Mahar (maskawin) perkawinan merupakan suatu hal yang pokok dan harus ada dalam suatu perkawinan meskipun nilai atau pun jumlahnya sangat minim, dalam prakteknya di anjurkan untuk mempermudah jumlah mahar yang harus ditunaikan. Besarnya mahar tidak dibatasi akan tetapi Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu secara ma’ruf. Artinya dalam batas-batas yang wajar sesuai adat kebiasaan atau sesuai dengan kepantasan, tetapi dengan catatan penting bahwa mahar tidak boleh memberatkan.




[1]Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta : Prenada Media Group, 2016), h. 47
[2]Abdurahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta : Kencana, 2006), h. 84
[3]Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta : Gema Insani Press, 1994), h.
[4]Nasarudin Umar, Fiqih Wanita Untuk Semua (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 79
[5] Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I, h. 131
[6]Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 85
[7]Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-Negara Islam  (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h. 83
[8]Sulaeman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2004), h. 39
[9]Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. h. 86-88
[10]Zainudin Ali, Hukum Perdata Islamdi Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 24
[11]Yusdani, Menuju Fqh Keluarga Progresif, h. 80
[12]Departemen Agama RI, Tuntunan Keluarga Sakinah bagi Remaja Usia Nikah (Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syariah, 2007), h. 122
[13]Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kementerian Agama RI (Dirjen Bimas Islam, Direrktorat URAIS dan Pembinaan Syariah Tahun 2012). h. 100
[14]Departemen Agama RI, Tuntunan Keluarga Sakinah bagi Remaja Usia Nikah, h. 125
[15]Abu Malik Kamal ibnu as-Syyid Salim, Fiqih Sunnah Wanita Jilid 2, h. 198
[16]Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia  : Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 85
[17]Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 48
[18]Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kementerian Agama RI (Dirjen Bimas Islam, Direrktorat URAIS dan Pembinaan Syariah Tahun 2012). h. 105
[19]Al-Qur’an dan Terjemahnnya, Kementerian Agama RI, h. 108
[20]Departemen Agama RI, h. 127
[21]Ibid, h. 127
[22]Ibid, h. 130
[23]Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 49
[24] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
[25] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Cet. 9, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 55. 
[26] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Dan Praktik Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo, (Gorontalo: Sultan Amai Press,2014), h. 79. 
[27] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia; Antara Fiqih Munakkahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. III, (Jakarta: Kencana Perdana Media Grup,2009), h. 95. 
[28]Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam di Indonesia dan Praktek Perkawinan dalam Bingkai Adat Gorontalo, h. 80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar