HARAM
BERMEDIA SOSIAL...?
(Kajian Sosiologis Fatwa MUI NO. 24 Tahun 2017 Tentang Pedoman Bermuamalah
Melalui Media Sosial)
Media Sosial |
Semakin berkembangnya zaman dan
teknologi saat ini, menjadikan manusia yang ada diatas bumi ini semakin terlena
dengan kehidupan yang serba canggih, sampai-sampai untuk bersilaturrahin ke
sesama teman, keluarga, dan lain sebagainya pun saat ini dapat dilakukan dengan
hanya bermodalkan satu buah HP Android yang mampu mendeteksi keberadaan
orang-orang yang kita kenal. Kecanggihan dunia saat ini semakin dimanfaatkan
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan hal-hal yang
tidak seharusnya dilakukan. Jika dahulu jika kita bermasalah dengan seseorang
mungkin hanya orang-orang sekitar kita saja yang dapat mengetahuinya, tetapi
saat ini yang bermasalah hanya ada di salah satu desa yang ada di Indonesia
tapi yang akan mengetahuinya satu Indonesia bahkan orang-orang di luar negeri
pun akan mampu mengaksesnya, hal ini karena adanya media sosial yang digunakan
oleh masyarakat yang mampu mengakses informasi yang ada di dunia.
- Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih seperti saat ini, menunjukkan bahwa penting untuk dilakukan pengawasan dan pencegahan terhadap perkembangan bermedia sosial yang semakin tidak beraturan dalam penggunaannya. Salah satu bentuk perhatian dari para ulama yang ada di Indonesia adalah dengan mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 24 Tahun 2017, fatwa ini dikeluarkan karena saat ini media sosial kerap dijadikan sebagai wadah menyebar ghibah, kebencian, fitnah, dan konten pornografi. Fatwa MUI ini juga dimaksudkan sebagai panduan bagi warganet, khususnya yang beragama Islam, dalam menggunakan media sosial dengan cara-cara yang baik dan benar.
Dalam pertimbangannya yang telah melalui proses
ijtihad ulama, Fatwa MUI No. 24
Tahun 2017 ini selain mempertimbangkan apa yang telah ada dalam al-Quran,
Sunnah dan Pendapat Ulama juga mengandung unsur pertimbangan sosiologis, sebab pada prinsipnya pedoman bermedia social
tidak diatur dalam ajaran Islam. Penjelasan
dalam al-Quran dan
sunnah tentang pedoman
bermuamalah dan bermedia sosial di qiyaskan
dalam beberapa ayat al-Quran dan Hadis sebab tidak ada ayat al-Quran dan hadis
yang secara eksplisit menjelaskan tentang media sosial, antara lain; [1]
1.
Dalam Q.S
Al Hujurat ayat 6; “Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. Ayat ini memerintahkan tentang pentingnya melakukan tabayyun (klarifikasi) ketika memperoleh
informasi. Kemudian Dalam QS. An-Nur ayat
16; “Dan mengapa kamu tidak berkata,
diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi
kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang
besar". Friman Allah swt. ini melarang untuk menyebarkan praduga dan
kecurigaan, mencari keburukan orang, serta menggunjing. Dan ada beberapa ayat
al-Quran lagi yang menjadi dasar pertimbangannya.
2.
Hadis Nabi saw yang memerintahkan
jujur dan melarang berbohong, sebagaimana sabdanya; “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wajib atas kalian berlaku jujur, karena
sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan
itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk
selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur.
Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta, karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan
pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada api Neraka.
Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia
ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim). Kamudian
dalam Hadis Nabi saw yang yang lain menjelaskan pengertian
tentang ghibah sebagaimana sabdanya; “Dari
Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Tahukah kalian apa ghibah
itu?” Para shababat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau
bersabda: “Ghibah itu adalah bercerita tentang saudara kalian tentang hal yang
ia benci.” Ada yang bertanya:, “Bagaimana pendapatmu jika yang saya ceritakan
itu benar-benar nyata ada pada diri orang itu?, nabi pun menjawab: “Jika apa
yang kamu katakana tentang saudaramu itu benar adanya maka telah melakukan
ghibah kepadanya; namun apabila apa yang kamu katakan tidak benar, maka berarti
kamu telah melakukan kedustaan (fitnah) kepadanya." (HR. al-Bukhari
dan Muslim). Selain dua hadis ini masih ada beberapa hadis lainnya yang juga
menjadi dasar pertimbangannya.
3.
Qa’idah sadd al-dzari’ah, yang menyatakan bahwa semua hal yang dapat
menyebabkan terjadinya perbuatan haram adalah haram.
4.
Dalam Qaidah Fiqhiyyah dijelaskan
bahwa; “Pada dasarnya, segala bentuk
muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya atau meniadakan
kebolehannya”. Selain itu ada juga penjelasan tentang; “Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.”
Dan masih banyak lagi.
5.
Selain itu ada pula pendapat ulama
yang menjadi dasar pertimbangannya antara lain; Pendapat Imam al-Qurthubi dalam
menafsirkan ayat al-Quran terkait ghibah: Mengenai firman Allah SWT, (“Adakah seorang di antara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati?”) Allah SWT mengumpamakan
mengenai kejahatan ghibah dengan memakan daging orang mati karena orang mati
tidak dapat mengetahui kalau dagingnya dimakan orang lain, seperti saat ia
hidup tidak mengetahui orang mempergunjingkannya.
Berdasarkan beberapa pertimbangan inilah sehingga fatwa MUI tentang
Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial dikeluarkan semata-mata untuk
kemaslahatan bersama, yang mampu menghasilkan beberapa
poin penting yang diharamkan dalam fatwa ini, antara lain adalah; [2]
1. Melakukan ghibab, fitnah, namimah, dan menyebarkan
permusuhan.
2. Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan berdasarkan suku, ras, atau antara golongan.
3. Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun
dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
4. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan
segala yang terlarang secara syari.
5. Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai
dengan tempat atau waktunya.
6. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya
konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
7. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya
konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran
kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau
khalayak hukumnya haram.
8. Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau
kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara
syar’i.
9. Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk
membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar
seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta
menipu khalayak hukumnya haram.
10. Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten
tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang
mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
11. Aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi
berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain
sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun
non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung,
membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.
Selain pertimbangan berdasarkan al-Quran, hadis, Qa’idah sadd al-dzari’ah, Qa’idah Fiqhiyyah dan pertimbangan pendapat ulama, juga terdapat
Pertimbangan sosiologis yang dapat dilihat dari Fatwa MUI No. 24 Tahun 2017 ini
antara lain adalah;
1.
Bahwa bermuamalah dengan sesama
manusia, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial merupakan suatu
keharusan bagi setiap muslim, sebab manusia yang ada di muka bumi ini pada
dasarnya saling membutuhkan satu sama lain. Namun, setiap muslim wajib
mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu ‘an al-munkar).
2.
Melakukan pembuatan
dan penyebaran berita hoax, ghibah, fitnah, namimah,
bullying, aib, gosip, pornografi dan hal-hal lain sejenisnya pada dasarnya merupakan perbuatan yang dilarang dalam
Islam, namun penyebaran melalui media sosial merupakan sesuatu hal yang mampu
memperparah keadaan, memperkeruh suasana kekeluargaan, kebersamaan dan
keberagaman di Indonesia, sebab proses penyebarannya begitu cepat diakses oleh
seluruh pengguna media sosial, maka dengan pertimbangan inilah masalah tersebut
diharamkan, sebab mampu merusak tatanan kehidupan sosial bermasyarakat.
3.
Media sosial dapat digunakan
sebagai sarana untuk menjalin silaturrahmi, menyebarkan informasi, dakwah,
pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan positif di bidang agama, politik,
ekonomi, dan sosial serta budaya. Penggunaan media sosial yang melebihi batas
ketentuan yang ada ini sebaiknya harus ada larangan secara tegas dalam ajaran
Islam melalui fatwa majelis ulama Indonesia, sebab kalau penggunaannya
berlebihan maka akan merusak hubungan silaturrahmi sesama manusia, merusak jiwa
dan juga akal manusia.
4.
Penetapan haram bermedia sosial
dilakukan hanya dalam batasan-batasan seperti yang telah disebutkan diatas, sebab
jika dilakukan pemberlakuan haram bermedia sosial secara umum maka akan memutus
hubungan silaturrahmi melalui media sosial, mengurangi jumlah pengguna media
sosial yang pasti akan berpengaruh pada perputaran perekonomian di masyarakat,
dan menutup akses masyarakat untuk mengetahui informasi secara luas.
Pertimbangan sosiologis di dalam menetapkan
fatwa MUI merupakan kewenangan dari para Ulama yang tergabung dalam Majelis
Ulama Indonesia. Banyak resiko yang harus diambil oleh para ulama dalam
menetapkan fatwa-fatwa, antara lain penolakan oleh sebagian masyarakat, adanya
kepentingan politik yang bertentangan kepentingan agama, dan proses
penerapannya di masyarakat. Sehingga dalam menetapkan suatu hukum yang tidak
ada dasarnya di dalam al-Quran dan sunnah benar-benar harus melalui proses yang
panjang dan kajian yang mendalam.
Beberapa fatwa MUI yang pernah mendapatkan
penolakan di masyarakat seperti penetapan haram merokok dan fatwa-fatwa lainnya
yang kontra dengan kepentingan masyarakat termasuk juga didalamnya fatwa
tentang pedoman bermedia sosial yang banyak dianggap bahwa para ulama terlalu
banyak mencampuri urusan pribadi masyarakat. Fatwa tentang pedoman bermedia
sosial sempat dianggap kontra dengan kepentingan masyarakat karena ada sesuatu
yang diharamkan didalamnya, namun sesuatu yang diharamkan hanya pada
batasan-batasan tertentu saja. Sehingga fatwa ini menunjukan selain karena ada
kepentingan untuk masalah keagamaan, masalah kenegaraan, juga ada masalah
sosial kemasyarakatan yang harus diselesaikan di masyarakat. Sayangnya hingga
saat ini fatwa-fatwa MUI yang keluar penerapannya di masyarakat tidak sesuai
dengan harapan sebagian besar masyarakat di Indonesia, khususnya umat Islam
kemungkinan besar karena memang tidak tersosialisasikan di masyarakat dengan
baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar