Sabtu, 03 Agustus 2019

Haram Bermedia Sosial...?

HARAM BERMEDIA SOSIAL...?
(Kajian Sosiologis Fatwa MUI NO. 24 Tahun 2017 Tentang Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial)


Media Sosial
Semakin berkembangnya zaman dan teknologi saat ini, menjadikan manusia yang ada diatas bumi ini semakin terlena dengan kehidupan yang serba canggih, sampai-sampai untuk bersilaturrahin ke sesama teman, keluarga, dan lain sebagainya pun saat ini dapat dilakukan dengan hanya bermodalkan satu buah HP Android yang mampu mendeteksi keberadaan orang-orang yang kita kenal. Kecanggihan dunia saat ini semakin dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Jika dahulu jika kita bermasalah dengan seseorang mungkin hanya orang-orang sekitar kita saja yang dapat mengetahuinya, tetapi saat ini yang bermasalah hanya ada di salah satu desa yang ada di Indonesia tapi yang akan mengetahuinya satu Indonesia bahkan orang-orang di luar negeri pun akan mampu mengaksesnya, hal ini karena adanya media sosial yang digunakan oleh masyarakat yang mampu mengakses informasi yang ada di dunia.


  • Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih seperti saat ini, menunjukkan bahwa penting untuk dilakukan pengawasan dan pencegahan terhadap perkembangan bermedia sosial yang semakin tidak beraturan dalam penggunaannya. Salah satu bentuk perhatian dari para ulama yang ada di Indonesia adalah dengan mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 24 Tahun 2017, fatwa ini dikeluarkan karena saat ini media sosial kerap dijadikan sebagai wadah menyebar ghibah, kebencian, fitnah, dan konten pornografi. Fatwa MUI ini juga dimaksudkan sebagai panduan bagi warganet, khususnya yang beragama Islam, dalam menggunakan media sosial dengan cara-cara yang baik dan benar.

Dalam pertimbangannya yang telah melalui proses ijtihad ulama, Fatwa MUI No. 24 Tahun 2017 ini selain mempertimbangkan apa yang telah ada dalam al-Quran, Sunnah dan Pendapat Ulama juga mengandung unsur pertimbangan sosiologis, sebab pada prinsipnya pedoman bermedia social tidak diatur dalam ajaran Islam. Penjelasan dalam al-Quran dan sunnah tentang pedoman bermuamalah dan bermedia sosial di qiyaskan dalam beberapa ayat al-Quran dan Hadis sebab tidak ada ayat al-Quran dan hadis yang secara eksplisit menjelaskan tentang media sosial, antara lain; [1]
1.    Dalam Q.S Al Hujurat ayat 6; Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. Ayat ini memerintahkan tentang pentingnya melakukan tabayyun (klarifikasi) ketika memperoleh informasi. Kemudian Dalam QS. An-Nur ayat 16; “Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar". Friman Allah swt. ini melarang untuk menyebarkan praduga dan kecurigaan, mencari keburukan orang, serta menggunjing. Dan ada beberapa ayat al-Quran lagi yang menjadi dasar pertimbangannya.
2.    Hadis Nabi saw yang memerintahkan jujur dan melarang berbohong, sebagaimana sabdanya; “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wajib atas kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta, karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada api Neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim). Kamudian dalam Hadis Nabi saw yang yang lain menjelaskan pengertian tentang ghibah sebagaimana sabdanya; “Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Tahukah kalian apa ghibah itu?” Para shababat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Ghibah itu adalah bercerita tentang saudara kalian tentang hal yang ia benci.” Ada yang bertanya:, “Bagaimana pendapatmu jika yang saya ceritakan itu benar-benar nyata ada pada diri orang itu?, nabi pun menjawab: “Jika apa yang kamu katakana tentang saudaramu itu benar adanya maka telah melakukan ghibah kepadanya; namun apabila apa yang kamu katakan tidak benar, maka berarti kamu telah melakukan kedustaan (fitnah) kepadanya." (HR. al-Bukhari dan Muslim). Selain dua hadis ini masih ada beberapa hadis lainnya yang juga menjadi dasar pertimbangannya.
3.    Qa’idah sadd al-dzari’ah, yang menyatakan bahwa semua hal yang dapat menyebabkan terjadinya perbuatan haram adalah haram.
4.    Dalam Qaidah Fiqhiyyah dijelaskan bahwa; “Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya atau meniadakan kebolehannya”. Selain itu ada juga penjelasan tentang; “Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.” Dan masih banyak lagi.
5.    Selain itu ada pula pendapat ulama yang menjadi dasar pertimbangannya antara lain; Pendapat Imam al-Qurthubi dalam menafsirkan ayat al-Quran terkait ghibah: Mengenai firman Allah SWT, (“Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?”) Allah SWT mengumpamakan mengenai kejahatan ghibah dengan memakan daging orang mati karena orang mati tidak dapat mengetahui kalau dagingnya dimakan orang lain, seperti saat ia hidup tidak mengetahui orang mempergunjingkannya.

Berdasarkan beberapa pertimbangan inilah sehingga fatwa MUI tentang Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial dikeluarkan semata-mata untuk kemaslahatan bersama, yang mampu menghasilkan beberapa poin penting yang diharamkan dalam fatwa ini, antara lain adalah; [2]
1.   Melakukan ghibab, fitnah, namimah, dan menyebarkan permusuhan.
2.   Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan berdasarkan suku, ras, atau antara golongan.
3.   Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
4.   Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala yang terlarang secara syari.
5.   Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai dengan tempat atau waktunya.
6.   Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
7.   Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
8.   Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.
9.   Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.
10.    Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
11.    Aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.

Selain pertimbangan berdasarkan al-Quran, hadis, Qa’idah sadd al-dzari’ah, Qa’idah Fiqhiyyah  dan pertimbangan pendapat ulama, juga terdapat Pertimbangan sosiologis yang dapat dilihat dari Fatwa MUI No. 24 Tahun 2017 ini antara lain adalah;
1.    Bahwa bermuamalah dengan sesama manusia, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, sebab manusia yang ada di muka bumi ini pada dasarnya saling membutuhkan satu sama lain. Namun, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu ‘an al-munkar).
2.    Melakukan pembuatan dan penyebaran berita hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, pornografi dan hal-hal lain sejenisnya pada dasarnya merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam, namun penyebaran melalui media sosial merupakan sesuatu hal yang mampu memperparah keadaan, memperkeruh suasana kekeluargaan, kebersamaan dan keberagaman di Indonesia, sebab proses penyebarannya begitu cepat diakses oleh seluruh pengguna media sosial, maka dengan pertimbangan inilah masalah tersebut diharamkan, sebab mampu merusak tatanan kehidupan sosial bermasyarakat.
3.    Media sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silaturrahmi, menyebarkan informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan positif di bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial serta budaya. Penggunaan media sosial yang melebihi batas ketentuan yang ada ini sebaiknya harus ada larangan secara tegas dalam ajaran Islam melalui fatwa majelis ulama Indonesia, sebab kalau penggunaannya berlebihan maka akan merusak hubungan silaturrahmi sesama manusia, merusak jiwa dan juga akal manusia.
4.    Penetapan haram bermedia sosial dilakukan hanya dalam batasan-batasan seperti yang telah disebutkan diatas, sebab jika dilakukan pemberlakuan haram bermedia sosial secara umum maka akan memutus hubungan silaturrahmi melalui media sosial, mengurangi jumlah pengguna media sosial yang pasti akan berpengaruh pada perputaran perekonomian di masyarakat, dan menutup akses masyarakat untuk mengetahui informasi secara luas.

Pertimbangan sosiologis di dalam menetapkan fatwa MUI merupakan kewenangan dari para Ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia. Banyak resiko yang harus diambil oleh para ulama dalam menetapkan fatwa-fatwa, antara lain penolakan oleh sebagian masyarakat, adanya kepentingan politik yang bertentangan kepentingan agama, dan proses penerapannya di masyarakat. Sehingga dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada dasarnya di dalam al-Quran dan sunnah benar-benar harus melalui proses yang panjang dan kajian yang mendalam.

Beberapa fatwa MUI yang pernah mendapatkan penolakan di masyarakat seperti penetapan haram merokok dan fatwa-fatwa lainnya yang kontra dengan kepentingan masyarakat termasuk juga didalamnya fatwa tentang pedoman bermedia sosial yang banyak dianggap bahwa para ulama terlalu banyak mencampuri urusan pribadi masyarakat. Fatwa tentang pedoman bermedia sosial sempat dianggap kontra dengan kepentingan masyarakat karena ada sesuatu yang diharamkan didalamnya, namun sesuatu yang diharamkan hanya pada batasan-batasan tertentu saja. Sehingga fatwa ini menunjukan selain karena ada kepentingan untuk masalah keagamaan, masalah kenegaraan, juga ada masalah sosial kemasyarakatan yang harus diselesaikan di masyarakat. Sayangnya hingga saat ini fatwa-fatwa MUI yang keluar penerapannya di masyarakat tidak sesuai dengan harapan sebagian besar masyarakat di Indonesia, khususnya umat Islam kemungkinan besar karena memang tidak tersosialisasikan di masyarakat dengan baik.




[1] Majelis Ulama Indonesia, Fatwa MUI No. 24 Tahun 2017 Tentang Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
[2] Majelis Ulama Indonesia, Fatwa MUI No. 24 Tahun 2017 Tentang Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar