Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan fenomena yang terjadi dalam sebuah komunitas sosial. Seringkali
tindakan kekerasan ini disebut hidden
crime (kejahatan yang tersembunyi). Disebut demikian, karena baik pelaku
maupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan
publik. [1] Situasi ini semakin diperparah dengan
ideologi jaga praja atau menjaga ketat ideologi keluarga, seperti dalam budaya
Jawa “membuka aib keluarga berarti membuka aib sendiri”, situasi demikian
menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan menyebabkan tingginya
the “dark number” karena tidak
dilaporkan. [2]
Penyebab terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal menyangkut kepribadian dari
pelaku kekerasan yang menyebabkan pelaku mudah sekali melakukan tindak
kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan atau frustasi.
Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui interaksi dalam keluarga
atau dengan lingkungan sosial di masa kanak-kanak. Apabila tindak kekerasan
mewarnai kehidupan sebuah keluarga, kemungkinan besar anak-anak mereka akan mengalami
hal yang sama setelah mereka menikah nanti. Hal ini disebabkan mereka
menganggap bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar atau mereka dianggap gagal
jika tidak mengulang pola kekerasan tersebut. Perasaan kesal dan marah terhadap
orang tua yang selama ini berusaha ditahan, akhirnya akan muncul menjadi tindak
kekerasan kepada istri, suami atau anak-anak.
Faktor eksternal adalah
faktor-faktor diluar diri si pelaku kekerasan. Mereka yang tidak tergolong
memiliki tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan
dengan situasi yang menimbulkan frustasi misalnya kesulitan ekonomi yang
berkepanjangan, penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam
kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya. [3]
Kekerasan dalam Rumah Tangga
dapat menimpa siapa saja, ibu, bapak, suami, istri, anak, bahkan pembantu rumah
tangga, akan tetapi korban kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah
kekerasan terhadap perempuan dan anak, hal ini terjadi karena hubungan antara korban
dan pelaku tidak setara. Pelaku kekerasan biasanya memiliki status kekuasaan
yang lebih besar, baik dari segi ekonomi, kekuasaan fisik, maupun status sosial
dalam keluarga.
Isu kekerasan dalam
rumah tangga hingga saat ini masih menjadi sangat hangat dalam berbagai media
yang ada, banyak kita menyaksikan korban-korban kekerasan dalam rumah tangga
yang terjadi di Indonesia begitu memilukan, ada yang rela membunuh istri
ataupun anak-anaknya hanya karena masalah sepele, bahkan kasus yang baru saja
terjadi di Indonesia dimana seorang istri terpaksa harus membunuh suaminya
sendiri karena telah tega melakukan kekerasan terhadap dirinya dan kelakuan
korban yang telah melakukan pemerkosaan terhadap anaknya sendiri.
Pembunuhan yang
banyak menimpa keluarga di Indonesia pada dasarnya dilakukan karena sebelumnya
memang telah sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini penting
sebenarnya untuk mendapatkan perhatian serius dari pemerintah terkait tentang
bagaimana solusi sebenarnya yang sebaiknya dilakukan untuk menyelamatkan rumah
tangga yang seperti ini. Namun, terkadang memang hukum
di Indonesia tidak berpihak pada yang lemah, terbukti bahwa kasus yang menimpa
seorang istri yang membunuh suaminya dengan cukup beralasan antara lain karena
memang sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari suaminya dan anaknya
yang diperkosa oleh suaminya sendiri, tapi karena sang istri ini telah
melakukan tindakan kriminal maka tetap saja dihukum sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Apa Itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga...?
Kekerasan
dalam rumah tangga merupakan perbuatan yang marak terjadi dan bahkan
presentasenya dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan. Pengertian
kekerasan dalam hukum pidana dapat dilihat pada Pasal 89 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang berbunyi: “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan
dengan kekerasan”. [4]
Berdasarkan
bunyi Pasal 89 tersebut, pengertian kekerasan tidak dinyatakan secara tegas.
Kekerasan hanya diartikan sebagai bentuk perbuatan yang menimbulkan keadaan
seseorang menjadi pingsan atau tidak berdaya. Hal ini berarti kekerasan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lebih dikaitkan kepada akibat dari perbuatan
yang dilakukan seseorang, dan perbuatan tersebut dalam hukum pidana terkait
dengan ancaman, bentuk kekerasan dapat berupa fisik maupun non fisik. [5]
a. Perihal (yang bersifat, berciri) keras;
b. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang
yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain;
c. Paksaan.
Berbeda halnya
dengan pengertian kekerasan menurut Kadish Sanford, menurutnya kekerasan adalah
“all type of illegal behaviour , either
threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in
the injury or death of an individual”.
Bertitik tolak
pada pengertian yang diberikan oleh Kadish Sanford tersebut, kekerasan menunjuk
kepada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang,
baik berupa ancaman atau sudah merupakan perbuatan yang nyata, yang berakibat
terjadinya kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau kematian. [7] Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan
pengertian kekerasan yang diberikan oleh Yesmil Anwar dalam bukunya yang
berjudul “Saat Menuai Kejahatan”, menurutnya kekerasan adalah: [8] “Penggunaan kekuatan yang bertentangan
dengan kemauan orang lain, dan yang berakibat atau berakibat pembinasaan, atau
kerugian pada orang lain, atau harta benda, atau hilangnya kemerdekaan orang
lain”.
Sedangkan
pengertian rumah tangga dapat merujuk kepada kata keluarga. Keluarga dalam
Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang berbunyi: “Keluarga adalah mereka yang mempunyai
hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan”. [9]
Keluarga yang
terbentuk dari hubungan perkawinan dapat diartikan sebagai ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan
Yang Maha Esa. [10]
Pengertian
rumah tangga atau keluarga tersebut hanya dimaksudkan untuk memberikan gambaran
mengenai objek dari kekerasan dalam rumah tangga. [11] Sehingga nantinya dalam pembahasan
mengenai kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan secara objektif.
Berdasarkan
pengertian yang sudah disampaikan sebelumnya maka kekerasan dalam rumah tangga
merujuk kepada ancaman atau perbuatan yang nyata yang terjadi didalam lingkup
rumah tangga. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan definisi yang jelas dan tegas mengenai
apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga, sebagai berikut:
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. [12]
Definisi yang
terdapat dalam Undang-Undang PKDRT tersebut pada pokoknya ditujukan kepada
perempuan, meskipun tidak menutup kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga
dapat terjadi kepada laki-laki sebagai korban.
Bagaimana Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga...?
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal
5 Undang-Undang PKDRT dibagi menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu; kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Adapun
bentuk-bentuk kekerasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: [13]
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan
yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit kepada korban. Kekerasan fisik
ini dapat berupa dorongan, cubitan, tendangan, pemukulan dengan alat pemukul,
siraman dengan zat kimia atau air panas, menenggelamkan dan tembakan. [14] Kekerasan fisik ini kadang diikuti oleh
kekerasan seksual, baik itu berupa serangan terhadap alat seksual maupun berupa
persetubuhan paksa. Moerti Hadiati Soeroso merangkum bentuk kekerasan fisik ini
ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu; kekerasan pembunuhan, penganiayaan, dan
perkosaan. [15] Akibat dari kekerasan fisik dapat berupa
luka ringan, luka sedang, luka berat, maupun kematian.
Adapun definisi kekerasan fisik dalam Pasal
6 UndangUndang PKDRT adalah sebagai berikut; [16] “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat.”
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah bentuk kekerasan
yang menyerang atau ditujukan kepada psikis (mental atau kejiwaan) seseorang,
baik itu berupa penghinaan, komentar yang ditujukan untuk merendahkan martabat
seseorang, larangan, maupun ancaman.[17] Dalam Pasal 7 Undang-Undang PKDRT
memberikan pengertian kekerasan psikis, sebagai berikut: [18] “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”.
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan
yang bersifat seksual, baik itu telah terjadi persetubuhan atau tidak, dan
tanpa memperdulikan hubungan antara korban dan pelaku. Kekerasan seksual
perlu dibedakan dengan kekerasan fisik karena kekerasan seksual tidak sekadar
melalui perilaku fisik. [19] Kekerasan Seksual dalam Pasal 8
Undang-Undang PKDRT adalah: [20] Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf c meliputi: 1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. 2) Pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
d. Penelantaran Rumah Tangga
1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau
di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Penelantaran rumah tangga ini erat
kaitannya dengan ekonomi, baik itu berupa tidak diberikan biaya yang seharusnya
ditanggung oleh pelaku demi kelangsungan hidup korban atau berupa pembatasan
atau larangan yang menyebabkan ketergantungan ekonomi. Misal, suami melarang
istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, serta tidak
memberikan uang belanja.[22]
Dilihat dari segi subyek dan obyeknya, KDRT
dapat terjadi dengan beberapa konteks antara lain:
a. Kekerasan suami terhadap istri
Suami merasa berhak untuk
memaksakan kehendak kepada istri sebab ia adalah pemimpin dalam rumah tangga.
Implikasi yang mucul adalah perilaku tirani dan kesewenang-wenangan suami atas
istri dan anak-anaknya. Tak jarang dijumpai seorang kepala rumah tangga memukul
istri atau anak-anak, atau pembantunya, hanya gara-gara alasan yang amat
sederhana.
b. Kekerasan istri terhadap suami
Kekerasan dalam rumah tangga
tidak mengenal jenis kelamin.Kekerasan bisa terjadi dari istri terhadap suami.
Kekerasan psikologis terjadi misalnya tatkala istri melontarkan kata-kata kasar
dan kotor kepada suami. Istri menteror suami dengan ancaman-ancaman dan
ungkapan yang menyakitkan hati. Mungkin juga istri melakukan tindakan-tindakan
paksa terhadap harta benda suaminya yang ia tidak memiliki hak atasnya.
Termasuk melakukan tindakan penyelewengan seksual atau perselingkuhan yang
dengan sengaja ditampakkan di depan mata.
c. Kekerasan orang tua kepada anak-anak
Kekerasan fisik terjadi tak
kala orang tua sering main pukul terhadap anakanak. Hanya karena
kesalahan-kesalahan kecil yang tidak prinsip, orang tua menjadi emosi dan
menghukum anak dengan tindakan keras. Tak jarang dijumpai ada anak menjadi
cacat seumur hidup karena penyiksaan orang tua, atau bahkan menjadi mati
teraniaya.
d. Kekerasan anak kepada orang tua
Banyak pula dijumpai, anak-anak
menjadi pelaku kekerasan baik secara fisik, seksual maupun psikologis terhadap
orang tuanya. Berawal dari perbedaan pendapat, atau dari keinginan yang tidak
dituruti, atau dari pembagian serta perlakuan yang tak adil dari orang tuanya,
anak menjadi berang dan menganiaya orang tuanya sendiri. Bahkan ada yang sampai
menyebabkan kematian orang tua. Contohnya adalah anak menghujat, mencela,
berkata kasar dan kotor kepada orang tuanya, anak mengancam akan melarikan diri
dari rumah, mencederai orang tua, dan berbagai ancaman lainnya karena ingin
memaksakan kehendaknya sendiri terhadap orang tua.
e. Kekerasan terhadap pembantu rumah tangga
Karena posisi pembantu rumah
tangga yang sering dipandang sebelah mata, dalam kehidupan masyarakat kita
banyak ditemukan bentuk-bentuk kekerasan terhadap pembantu rumah tangga,
khususnya pembantu perempuan. Seperti penyiksaan fisik, pemukulan, pelecehan
seksual, perkosaan, serta kekerasan psikologis seperti kata-kata hinaan, dan
ancaman-ancaman lain.
Bagaimana Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
Dalam Rumah Tangga...?
a. Secara Teoritis.
Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan
dalam rumah tangga secara teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab
terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan
berdasarkan pada suatu teori para ahli.
Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan
dalam rumah tangga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa,
yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh
pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus Neil Alan dan kawan-kawan.
membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri)
sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun
isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga
masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya permasalahan, tapi
beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi
faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.
b. Secara Empiris
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang
menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman,
terutama yang diperoleh dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah
dilakukan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang
baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan
memperlihatkan kecenderungan peningkatan untuk mengungkap kasus kekerasan dalam
rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak
kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal
tindak kekerasan yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu
mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau
persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan
korban kekerasan dalam rumah tangga di negara kita.
Setiap bentuk kekerasan mempunyai faktor
penyebab yang dapat sama namun dapat pula berbeda. Kekerasan dalam Rumah Tangga
secara umum terjadi karena ada faktor stress (tekanan) yang menyebabkan
seseorang melakukan kekerasan pada orang lain. Stress banyak terjadi karena
faktor ekonomi, psikologis, pola asuh semasa anak-anak dan lain-lain. Adapula
penyebab terjadinya kekerasan justru karena adanya anggapan bahwa korban adalah
pihak yang seharusnya boleh diperlakukan seperti kemauannya.
Adapula faktor lain yang menyebabkan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu;
1) Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi
yang setara.
2) Masyarakat menganggap laki-laki dengan
menanamkan anggapan bahwa laki-aki harus kuat, berani serta tanpa ampun.
3) KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan
sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri.
4) Pemahaman keliru terhadap ajaran agama,
sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
Penyebab yang khas dari Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah anggapan-anggapan gender, telah menjadi akibat yang khas
pula terhadap korbannya. Para perempuan yang menjadi korban cendrung
menyalahkan diri, merasa sebagai pihak yang telah lalai menjalankan kewajiban,
merasa kotor dan tak berdaya. Pihak korban benar-benar menginternalisasi
keyakinan-keyakinan umum bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan sehingga
kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi. Korban menganggap bahwa pengalaman
yang dialami bukan kekerasan, dan karenanya tidak pernah berusaha
mengungkapkannya.
Berdasarkan
beberapa hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Kekerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana diartikan sebagai bentuk perbuatan yang menimbulkan keadaan seseorang
menjadi pingsan atau tidak berdaya. Sementara
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kekerasan yang dilakukan
seseorang baik suami, istri ataupun anak kepada salah satu anggota keluaga;
suami, istri, anak, dan pembantu rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat
digolongkan menjadi 2 yaitu kekersan fisik dan kekerasan fsikis, kekerasan
fisik biasanya langsung dapat dirasakan oleh korban yang mengalaminya dan
langsung terlihat bentuk kekerasannya, berbeda dengan kekerasan fsikis yang
lebih pada kekerasan mental yang memang tidak terasa secara langsung di tubuh
orang yang mengalaminya tetapi dapat menyebabkan penderitaan yang cukup
berkepanjangan dibandingkan kekerasan fisik.
Penyebab kekerasan dalam rumah tangga yang
sering terjadi dalam masyarakat di Indonesia biasanya sering disebabkan oleh
ketidaksetaraan strata social, pemahaman terhadap peranan antara laki-laki dan
perempuan yang tidak dipahami dan menganggap perempuan lebih rendah dari pada
laki-laki, dan yang sering terjadi disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia
Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999).
Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum,
(Yogyakarta: UII Press, 2003).
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi
Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, edisi kelima, 1980).
Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog,
(Edisi I Cetakan ke-2, Bandung: PT Alumni, 2009).
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam
Perspektif Yuridis-Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, tt).
Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi,
(Bandung: PT Eresco, 1992).
www.kbbi.web.id/keras, Akses
21 April 2019
Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan, (Bandung: Refika
Aditama, 2009).
[1] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam
Perspektif Yuridis-Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, tt), h. 1.
[2] Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog,
(Edisi I Cetakan ke-2, Bandung: PT Alumni, 2009), h. 2.
[3] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam
Perspektif Yuridis-Viktimologis, h. 76.
[4] Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[5] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam
Perspektif Yuridis-Viktimologis, h. 58.
[6] www.kbbi.web.id/keras, Akses
21 April 2019
[7] Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi,
(Bandung: PT Eresco, 1992), h. 55.
[8] Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan, (Bandung: Refika
Aditama, 2009), h. 411.
[9] Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[10] Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[11] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam
Perspektif Yuridis-Viktimologis, h. 61.
[12] Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
[13] Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
[14] Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum,
(Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 35.
[15] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam
Perspektif Yuridis-Viktimologis, h. 80-81.
[16] Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
[17] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif
Yuridis-Viktimologis, h. 81.
[18] Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
[19] Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum,
(Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 36.
[20] Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[21] Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
[22] Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum,
(Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar