Selasa, 06 Agustus 2019

Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

“BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)"

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena yang terjadi dalam sebuah komunitas sosial. Seringkali tindakan kekerasan ini disebut hidden crime (kejahatan yang tersembunyi). Disebut demikian, karena baik pelaku maupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. [1] Situasi ini semakin diperparah dengan ideologi jaga praja atau menjaga ketat ideologi keluarga, seperti dalam budaya Jawa “membuka aib keluarga berarti membuka aib sendiri”, situasi demikian menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan menyebabkan tingginya the “dark number” karena tidak dilaporkan. [2]
Penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan pelaku mudah sekali melakukan tindak kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan atau frustasi. Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui interaksi dalam keluarga atau dengan lingkungan sosial di masa kanak-kanak. Apabila tindak kekerasan mewarnai kehidupan sebuah keluarga, kemungkinan besar anak-anak mereka akan mengalami hal yang sama setelah mereka menikah nanti. Hal ini disebabkan mereka menganggap bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar atau mereka dianggap gagal jika tidak mengulang pola kekerasan tersebut. Perasaan kesal dan marah terhadap orang tua yang selama ini berusaha ditahan, akhirnya akan muncul menjadi tindak kekerasan kepada istri, suami atau anak-anak.
Faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar diri si pelaku kekerasan. Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang menimbulkan frustasi misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya. [3]
Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat menimpa siapa saja, ibu, bapak, suami, istri, anak, bahkan pembantu rumah tangga, akan tetapi korban kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, hal ini terjadi karena hubungan antara korban dan pelaku tidak setara. Pelaku kekerasan biasanya memiliki status kekuasaan yang lebih besar, baik dari segi ekonomi, kekuasaan fisik, maupun status sosial dalam keluarga.
Isu kekerasan dalam rumah tangga hingga saat ini masih menjadi sangat hangat dalam berbagai media yang ada, banyak kita menyaksikan korban-korban kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Indonesia begitu memilukan, ada yang rela membunuh istri ataupun anak-anaknya hanya karena masalah sepele, bahkan kasus yang baru saja terjadi di Indonesia dimana seorang istri terpaksa harus membunuh suaminya sendiri karena telah tega melakukan kekerasan terhadap dirinya dan kelakuan korban yang telah melakukan pemerkosaan terhadap anaknya sendiri.
Pembunuhan yang banyak menimpa keluarga di Indonesia pada dasarnya dilakukan karena sebelumnya memang telah sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini penting sebenarnya untuk mendapatkan perhatian serius dari pemerintah terkait tentang bagaimana solusi sebenarnya yang sebaiknya dilakukan untuk menyelamatkan rumah tangga yang seperti ini. Namun, terkadang memang hukum di Indonesia tidak berpihak pada yang lemah, terbukti bahwa kasus yang menimpa seorang istri yang membunuh suaminya dengan cukup beralasan antara lain karena memang sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari suaminya dan anaknya yang diperkosa oleh suaminya sendiri, tapi karena sang istri ini telah melakukan tindakan kriminal maka tetap saja dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Apa Itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga...?
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan yang marak terjadi dan bahkan presentasenya dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan. Pengertian kekerasan dalam hukum pidana dapat dilihat pada Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi: “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan kekerasan”. [4]
Berdasarkan bunyi Pasal 89 tersebut, pengertian kekerasan tidak dinyatakan secara tegas. Kekerasan hanya diartikan sebagai bentuk perbuatan yang menimbulkan keadaan seseorang menjadi pingsan atau tidak berdaya. Hal ini berarti kekerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lebih dikaitkan kepada akibat dari perbuatan yang dilakukan seseorang, dan perbuatan tersebut dalam hukum pidana terkait dengan ancaman, bentuk kekerasan dapat berupa fisik maupun non fisik. [5]
Sedangkan secara bahasa kekerasan dapat diartikan: [6]
a.    Perihal (yang bersifat, berciri) keras;
b.    Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain;
c.    Paksaan.
Berbeda halnya dengan pengertian kekerasan menurut Kadish Sanford, menurutnya kekerasan adalah “all type of illegal behaviour , either threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or death of an individual”.
Bertitik tolak pada pengertian yang diberikan oleh Kadish Sanford tersebut, kekerasan menunjuk kepada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman atau sudah merupakan perbuatan yang nyata, yang berakibat terjadinya kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau kematian. [7] Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian kekerasan yang diberikan oleh Yesmil Anwar dalam bukunya yang berjudul “Saat Menuai Kejahatan”, menurutnya kekerasan adalah: [8] “Penggunaan kekuatan yang bertentangan dengan kemauan orang lain, dan yang berakibat atau berakibat pembinasaan, atau kerugian pada orang lain, atau harta benda, atau hilangnya kemerdekaan orang lain”.
Sedangkan pengertian rumah tangga dapat merujuk kepada kata keluarga. Keluarga dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi: “Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan”. [9]
Keluarga yang terbentuk dari hubungan perkawinan dapat diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. [10]
Pengertian rumah tangga atau keluarga tersebut hanya dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai objek dari kekerasan dalam rumah tangga. [11] Sehingga nantinya dalam pembahasan mengenai kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan secara objektif.
Berdasarkan pengertian yang sudah disampaikan sebelumnya maka kekerasan dalam rumah tangga merujuk kepada ancaman atau perbuatan yang nyata yang terjadi didalam lingkup rumah tangga. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan definisi yang jelas dan tegas mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga, sebagai berikut: “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. [12]
Definisi yang terdapat dalam Undang-Undang PKDRT tersebut pada pokoknya ditujukan kepada perempuan, meskipun tidak menutup kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi kepada laki-laki sebagai korban.
Bagaimana Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga...?
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 5 Undang-Undang PKDRT dibagi menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu; kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Adapun bentuk-bentuk kekerasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: [13]
a.    Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit kepada korban. Kekerasan fisik ini dapat berupa dorongan, cubitan, tendangan, pemukulan dengan alat pemukul, siraman dengan zat kimia atau air panas, menenggelamkan dan tembakan. [14] Kekerasan fisik ini kadang diikuti oleh kekerasan seksual, baik itu berupa serangan terhadap alat seksual maupun berupa persetubuhan paksa. Moerti Hadiati Soeroso merangkum bentuk kekerasan fisik ini ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu; kekerasan pembunuhan, penganiayaan, dan perkosaan. [15] Akibat dari kekerasan fisik dapat berupa luka ringan, luka sedang, luka berat, maupun kematian.
Adapun definisi kekerasan fisik dalam Pasal 6 UndangUndang PKDRT adalah sebagai berikut; [16] “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”
b.    Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah bentuk kekerasan yang menyerang atau ditujukan kepada psikis (mental atau kejiwaan) seseorang, baik itu berupa penghinaan, komentar yang ditujukan untuk merendahkan martabat seseorang, larangan, maupun ancaman.[17] Dalam Pasal 7 Undang-Undang PKDRT memberikan pengertian kekerasan psikis, sebagai berikut: [18] “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”.
c.    Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual, baik itu telah terjadi persetubuhan atau tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara korban dan pelaku. Kekerasan seksual perlu dibedakan dengan kekerasan fisik karena kekerasan seksual tidak sekadar melalui perilaku fisik. [19] Kekerasan Seksual dalam Pasal 8 Undang-Undang PKDRT adalah: [20] Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: 1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. 2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
d.    Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga dalam Pasal 9 Undang-Undang PKDRT adalah; [21]
1)    Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2)   Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Penelantaran rumah tangga ini erat kaitannya dengan ekonomi, baik itu berupa tidak diberikan biaya yang seharusnya ditanggung oleh pelaku demi kelangsungan hidup korban atau berupa pembatasan atau larangan yang menyebabkan ketergantungan ekonomi. Misal, suami melarang istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, serta tidak memberikan uang belanja.[22]
Dilihat dari segi subyek dan obyeknya, KDRT dapat terjadi dengan beberapa konteks antara lain:
a.    Kekerasan suami terhadap istri
Suami merasa berhak untuk memaksakan kehendak kepada istri sebab ia adalah pemimpin dalam rumah tangga. Implikasi yang mucul adalah perilaku tirani dan kesewenang-wenangan suami atas istri dan anak-anaknya. Tak jarang dijumpai seorang kepala rumah tangga memukul istri atau anak-anak, atau pembantunya, hanya gara-gara alasan yang amat sederhana.
b.    Kekerasan istri terhadap suami
Kekerasan dalam rumah tangga tidak mengenal jenis kelamin.Kekerasan bisa terjadi dari istri terhadap suami. Kekerasan psikologis terjadi misalnya tatkala istri melontarkan kata-kata kasar dan kotor kepada suami. Istri menteror suami dengan ancaman-ancaman dan ungkapan yang menyakitkan hati. Mungkin juga istri melakukan tindakan-tindakan paksa terhadap harta benda suaminya yang ia tidak memiliki hak atasnya. Termasuk melakukan tindakan penyelewengan seksual atau perselingkuhan yang dengan sengaja ditampakkan di depan mata.
c.    Kekerasan orang tua kepada anak-anak
Kekerasan fisik terjadi tak kala orang tua sering main pukul terhadap anakanak. Hanya karena kesalahan-kesalahan kecil yang tidak prinsip, orang tua menjadi emosi dan menghukum anak dengan tindakan keras. Tak jarang dijumpai ada anak menjadi cacat seumur hidup karena penyiksaan orang tua, atau bahkan menjadi mati teraniaya.
d.    Kekerasan anak kepada orang tua
Banyak pula dijumpai, anak-anak menjadi pelaku kekerasan baik secara fisik, seksual maupun psikologis terhadap orang tuanya. Berawal dari perbedaan pendapat, atau dari keinginan yang tidak dituruti, atau dari pembagian serta perlakuan yang tak adil dari orang tuanya, anak menjadi berang dan menganiaya orang tuanya sendiri. Bahkan ada yang sampai menyebabkan kematian orang tua. Contohnya adalah anak menghujat, mencela, berkata kasar dan kotor kepada orang tuanya, anak mengancam akan melarikan diri dari rumah, mencederai orang tua, dan berbagai ancaman lainnya karena ingin memaksakan kehendaknya sendiri terhadap orang tua.
e.    Kekerasan terhadap pembantu rumah tangga
Karena posisi pembantu rumah tangga yang sering dipandang sebelah mata, dalam kehidupan masyarakat kita banyak ditemukan bentuk-bentuk kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, khususnya pembantu perempuan. Seperti penyiksaan fisik, pemukulan, pelecehan seksual, perkosaan, serta kekerasan psikologis seperti kata-kata hinaan, dan ancaman-ancaman lain.
Bagaimana Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga...?
a.   Secara Teoritis.
Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli.
Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus Neil Alan dan kawan-kawan. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya permasalahan, tapi beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.
b.  Secara Empiris
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan kecenderungan peningkatan untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam rumah tangga di negara kita.
Setiap bentuk kekerasan mempunyai faktor penyebab yang dapat sama namun dapat pula berbeda. Kekerasan dalam Rumah Tangga secara umum terjadi karena ada faktor stress (tekanan) yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan pada orang lain. Stress banyak terjadi karena faktor ekonomi, psikologis, pola asuh semasa anak-anak dan lain-lain. Adapula penyebab terjadinya kekerasan justru karena adanya anggapan bahwa korban adalah pihak yang seharusnya boleh diperlakukan seperti kemauannya.
Adapula faktor lain yang menyebabkan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu;
1)  Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara.
2) Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-aki harus kuat, berani serta tanpa ampun.
3) KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri.
4) Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
Penyebab yang khas dari Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah anggapan-anggapan gender, telah menjadi akibat yang khas pula terhadap korbannya. Para perempuan yang menjadi korban cendrung menyalahkan diri, merasa sebagai pihak yang telah lalai menjalankan kewajiban, merasa kotor dan tak berdaya. Pihak korban benar-benar menginternalisasi keyakinan-keyakinan umum bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan sehingga kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi. Korban menganggap bahwa pengalaman yang dialami bukan kekerasan, dan karenanya tidak pernah berusaha mengungkapkannya.
Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Kekerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diartikan sebagai bentuk perbuatan yang menimbulkan keadaan seseorang menjadi pingsan atau tidak berdaya. Sementara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kekerasan yang dilakukan seseorang baik suami, istri ataupun anak kepada salah satu anggota keluaga; suami, istri, anak, dan pembantu rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 yaitu kekersan fisik dan kekerasan fsikis, kekerasan fisik biasanya langsung dapat dirasakan oleh korban yang mengalaminya dan langsung terlihat bentuk kekerasannya, berbeda dengan kekerasan fsikis yang lebih pada kekerasan mental yang memang tidak terasa secara langsung di tubuh orang yang mengalaminya tetapi dapat menyebabkan penderitaan yang cukup berkepanjangan dibandingkan kekerasan fisik.
Penyebab kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi dalam masyarakat di Indonesia biasanya sering disebabkan oleh ketidaksetaraan strata social, pemahaman terhadap peranan antara laki-laki dan perempuan yang tidak dipahami dan menganggap perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, dan yang sering terjadi disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga.





DAFTAR PUSTAKA

Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999).

Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2003).

Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, edisi kelima, 1980).

Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog, (Edisi I Cetakan ke-2, Bandung: PT Alumni, 2009).

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, tt).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT Eresco, 1992).

www.kbbi.web.id/keras, Akses 21 April 2019

Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009).







[1] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, tt), h. 1.
[2] Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog, (Edisi I Cetakan ke-2, Bandung: PT Alumni, 2009), h. 2.
[3] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, h. 76.
[4] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[5] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, h. 58.
[6] www.kbbi.web.id/keras, Akses 21 April 2019
[7] Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT Eresco, 1992), h. 55.
[8] Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 411.
[9] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[10] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[11] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, h. 61.
[12] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[13] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[14] Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 35.
[15] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, h. 80-81.
[16] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[17] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, h. 81.
[18] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[19] Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 36.
[20] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[21] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[22] Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar