Selasa, 06 Agustus 2019

ISBAT NIKAH PERKAWINAN TIDAK TERCATAT

ISBAT NIKAH PERKAWINAN TIDAK TERCATAT"

Buku Nikah


Semakin berkembangnya kehidupan di dunia modern saat ini pada dasarnya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat pada umumnya, terutama dalam hal yang bersifat keagamaan. Banyak orang yang semakin terjerumus kedalam pemahaman yang salah akibat dari kurangnya filter dalam diri untuk menyerap apa yang didapatkan dari orang-orang sekitar yang dianggap tahu padahal sebenarnya sama-sama tidak tahu. Hal inilah yang seharusnya mulai dipahami oleh masyarakat pada umumnya, tentang mana yang bisa diambil sebagai pedoman hidup dan mana yang justru akan menyesatkan. Kehadiran hukum islam dalam kehidupan masyarakat, merupakan salah satu solusi yang diberikan oleh pemerintah dalam hal penyelesaian masalah kehidupan beragama khususnya agama Islam. 

Hukum Islam yang diterapkan diberbagai negara yang berpenduduk muslim mempunyai ciri dan model yang berbeda-beda dalam hal penerapannya. Di negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam berbeda nuansanya dengan negara yang relatif berimbang antara setiap pemeluknya, misalnya negara tersebut memiliki pluralitas agama dan dominasi penguasa juga amat berpengaruh terhadap kebijaksanaan hukum suatu negara. Karenanya implementasi hukum Islam di negara-negara muslim bukan hanya terletak pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga ditentukan oleh sistem yang dikembangkan oleh negara tersebut, sebab berlakunya hukum disuatu negara itu sangat dipengaruhi oleh pemerintahan yang berkuasa dan model penerapannya pun bisa jadi berubah-ubah tergantung dari pemerintahannya.

Seperti halnya apa yang terjadi dalam penerapan hukum Islam di Indonesia, dalam perkembangannya pun semakin banyak mengalami perubahan terutama dalam hal penerapan hukumnya yang mulai mengalami perubahan akibat dari perkembangan zaman yang ada. Saat ini masyarakat muslim yang ada di Indonesia sangat memiliki harapan besar terhadap kepastian hukum yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepastian hukum disebut juga dengan istilah principle of legal security dan rechtszekerheid. Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum (rechtszekerheid) juga diartikan dengan jaminan bagi anggota masyarakat, bahwa semuanya akan diperlakukan oleh negara/penguasa berdasarkan peraturan hukum, tidak dengan sewenang-wenang. 

Salah satu bagian dari hukum Islam yang berlaku di Indonesia, yang telah mengalami perubahan dalam penerapannya adalah tentang pelaksanaan isbat nikah di Indonesia, dimana bahwa dalam aturan yang sebenarnya yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa isbat nikah itu boleh dilakukan atau diberikan kepada pasangan yang telah menikah namun tidak memiliki buku nikah atau tidak tercatat secara sah di Kantor Urusan Agama (KUA) baik yang perkawinannya dilakukan sebelum undang-undang perkawinan diberlakukan di Indonesia maupun karena alasan lain yang dapat diterima dan dibenarkan dalam undang-undang. Namun, nyatanya saat ini kebijakan itu mulai berubah dan sudah dipraktekkan dalam sistem peradilan yang ada di Indonesia khususnya dalam Peradilan Agama. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap status perkawinan tidak tercatat yang tidak diakui oleh hukum Negara yang ada di Indonesia. 

Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. [1] Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UUP dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa patokan untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UUP. 

Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di hadapan  Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah perkawinan. 

Akta Nikah merupakan akta outentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah. Kemungkinan yang jadi penyebab tidak adanya Kutipan Akta Nikah disebabkan oleh beberapa faktor seperti; (a) kelalaian pihak suami isteri atau pihak keluarga yang melangsungkan pernikahan tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan pemerintah. Hal ini kelihatan semata-mata karena ketidaktahuan mereka mereka terhadap peraturan dan  ketentuan yang ada (buta hukum); (b) Besarnya biaya yang dibutuhkan bila mengikuti prosedur resmi tersebut; (c) Karena kelalaian petugas Pegawai Pecatat Nikah/wakil seperti dalam memeriksa surat-surat/persyaratan-persyaratan nikah atau  berkas-berkas yang ada hilang; (d) Pernikahan yang dilakukan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan (e) Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya. 

Beberapa hal inilah yang menjadi dasar pemberian isbat nikah kepada pasangan menikah yang belum memiki akta nikah atau buku nikah. Meskipun saat ini banyak pula dimanfaatkan oleh pasangan yang telah menikah tanpa pencatatan dan justru perkawinanya tidak jelas entah dilakukan dimana dan karena alasan apa tetapi meminta perlindungan keabsahan perkawinannya melalui Isbat Nikah di Pengadilan Agama.

Apa Itu Isbat Nikah...?
Isbat nikah berasal dari dua suku kata dalam bahasa Arab yaitu isbat dan nikah. Kata isbat adalah isim masdar yang berasal dari bahasa Arab asbata-yasbitu-isbatan yang berarti penentuan atau penetapan. Istilah ini kemudian diserap menjadi istilah kata dalam bahasa Indonesia.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata isbat diartikan dengan menetapkan yaitu berupa penetapan tentang kebenaran (keabsahan) atau menetapkan kebenaran sesuatu. Ahmad Warson Munawwir dalam kamus besar Arab-Indonesia mengartikan istilah isbat dengan penetapan, penutupan dan pengiyaan. [2]

Isbat nikah menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang. Isbat nikah juga mengandung arti suatu metode atau cara dalam menetapkan sahnya suatu perkawinan yang belum tercatat di KUA setempat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan hal perkawinan yang dilaksanakan di pengadilan. Buku Pedoman Teknis Administrasi Peradilan Agama Tahun 2010 menjelaskan bahwa isbat nikah adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan tidak dicatat oleh PPN yang berwenang. [3]

Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 64 menjelaskan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah. [4] Dalam hal ini termasuk masalah isbat nikah. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disebutkan pada Pasal 49 ayat (2) yang dimaksud dalam Ayat 1 huruf a adalah hal-hal yang diatur berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. Sedangkan penjelasan Pasal 49 Ayat (2) tersebut dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang terdiri dari 22 item salah satunya adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang tersebut, tentang perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang lain. [5]

Apa Saja Syarat-Syarat Isbat Nikah...?
Perkawinan hanya dapat dibukikan dengan Akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Adapun yang menjadi syarat Isbat nikah sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 7 ayat (3) yaitu: [6]

1)   Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, Hilangnya Akta Nikah.
2)   Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
3)   Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UndangUndang Nomor I Tahun 1974 dan Perkawinan yang dilakukan oieh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor Tahun 1974.

Berdasarkan syarat-syarat isbat nikah sebagaimana tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa tidak semua peristiwa perkawinan dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama, artinya permohonan isbat nikah yang diajukan melalui Pengadilan Agama, setelah melalui proses pesidangan ternyata syarat-syarat sebagaimana tersebut secara yuridis telah terpenuhi maka Majelis hakim akan mengabulkan Permohonan penetapan nikah tersebut, namun sebaliknya bila syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas tidak terpenuhi maka secara yuridis Hakim akan menolak permohonan isbat nikahnya tersebut karena tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada, namun dapat juga terjadi sebaliknya Majelis hakim akan mengabulkan permohonannya apabila Majelis Hakim mempunyai argumentasi logis dalam pertimbangannya seperti pertimbangan psikologis, sosiologis, atau pertimbangan lainya yang apabila tidak dikabulkan akan menimbulkan mudharat bagi pihak-pihak ataupun bagi keluarganya, misalnya dengan tidak dikabulkan permohonan.

Pengesahanan Nikah akan menjadikan nasib seseorang atau anaknya tersebut akan mendapat kesulitan dalam mendapatkan akta kelahiran dan lain sebagainya. Dengan demikian sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya hakim berijtihad kemudian mengabulkan permohonan Pengesahan nikah yang secara Yuridis tidak terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan diatas. Sebagaimana kewenangan hakim untuk berijtihad dijelaskan di dalam hadis Nabi yang artinya: “Dari Amru bin al-'ash : Sesungguhnya ia mendengar Rasululiah saw Bersabda: apabila hakim memutuskan perkara lalu dia berijtihad kemudian dia benar, maka baginya dua pahala. lalu apabila dia memutuskan perkara dan berijtihad kemudian dia salah maka baginya satu pahala” (muttafaq 'alaih). [7]

Bagaimana Tujuan Isbat Nikah...?
Sebagaimana diketahui bahwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam adanya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah, artinya dalam hal perkawinan tidak mendapatkan akta nikah maka solusi yang dapat ditempuh adalah mengajukan permohonan itsbat nikah, artinya seseorang yang mengajukan itsbat nikah bertujuan antara lain sebagai berikut:

a.   Agar perkawinan yang dilaksanakannya mendapat bukti secara autentik berupa Kutipan Akta nikah dan mendapat legalisasi baik secara yuridis formal maupun di kalangan masyarakat luas.
b.  Untuk menghindari fitnah yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi dalam pergaulan sehari-hari di dalam lingkungan masyarakat yang dampak langsungnya adalah perempuan pada umumnya. Karenanya isbat nikah yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah sebuah solusi yang bijaksana untuk menyelesaikan persoalan di dalam masyarakat
c.   Untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat yang berimplikasi pada upaya perlindungan pada hak-hak bagi siapa yang terkait dalam perkawinan tersebut. [8]

Perkawinan Tidak Tercatat Seperti Apa Yang Dapat Diisbatkan di Pengadilan Agama...?
Perkawinan adalah hak asasi bagi setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan untuk melaksanakannya, karenanya perkawinan haruslah dilandasi dengan itikad baik bagi kedua belah pihak, dengan niat dan itikad baik maka diharapkan perkawinan akan langgeng dan mendapat keridhaan Allah dan bernilai ibadah. Bahwa perkawinan adalah hak asasi bagi setiap warga negara dapat dijumpai pada Pasal 28 b ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 pada perubahan kedua. Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. [9] Bila dicermati bunyi pasal tersebut di atas adanya katakata "Melalui perkawinan yang sah" hal ini mengisyaratkan adanya suatu ketentuaan dan syarat yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan perkawinan.

Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang penting, sebagaimana peristiwa kelahiran, kematian dan lain-lain, maka untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah tidak cukup hanya dibuktikan dengan adanya peristiwa itu sendiri tanpa adanya bukti tertulis berdasarkan pencatatan di lembaga yang ditunjuk dengan demikian pencatatan yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya akta berupa Surat Nikah oleh pejabat yang berwenang maka fungsi akta merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat (autentik).

Pengadilan Agama sebagaimana peradilan lainnya mempunyai tugas utama atau tugas pokok menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara dan Pengadilan dilarang menolak suatu perkara karena hukumnya tidak jelas atau belum ada. Semua perkara harus diproses sesuai aturan yang berlaku, demikian pula halnya dengan perkara isbat nikah. Pengadilan Agama wajib menerima, memeriksa dan mengadili permohonan isbat nikah yang telah didaftarkan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam tahap persidanganlah hakim akan memutuskan apakah permohonan isbat nikah tersebut dikabulkan atau ditolak. [10]

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa dasar hukum hakim dalam mengabulkan permohonan isbat nikah mengacu pada ketentuan perundang-undangan sebagai berikut:

1)  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
2) Pasal 64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan- peraturan lama adalah sah”. [11]
3) Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI): a) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. a) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbath nikahnya ke Pengadilan Agama. c) Isbath nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. [12] Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anakanak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. [13]

Pasal-Pasal inilah diantaranya yang merupakan hukum normatif sebagai dasar pijakan hakim dalam memutuskan suatu permohonan isbat nikah. Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas, maka terhadap perkawinan yang tidak tercatat atau perkawinan bawah tangan yang terjadi sebelum tahun 1974 atau sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan itu sendiri, maka hal ini dapat dimaklumi karena memang belum ada aturan baku yang mengaturnya secara menyeluruh yang berlaku secara nasional sehingga Terhadap Perkawinan bawah tangan seperti ini maka merujuk pada ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hakim mempunyai dasar hukum yuridis dan alasan kuat untuk mengabulkan permohonan isbat nikah tersebut dengan syarat terbukti dalam proses persidangan yakni pada tahap pembuktian bahwa pernikahan tersebut benar-benar telah dilakukan menurut syariat Islam yakni terpenuhi syarat dan rukunnya dan tidak terdapat halangan atau larangan perkawinan yang dilanggar yang menyebabkan perkawinan tersebut cacat baik larangan agama maupun larangan menurut undangundang.

Adapun terhadap perkawinan bawah tangan yang terjadi setelah tahun 1974 atau setelah lahirnya Undang-Undang Perkawinan, maka hakim dalam hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ayat 3 huruf (e) yang berlaku secara umum untuk setiap perkawinan bawah tangan yang terjadi dengan syarat terbukti pada pemeriksaan di persidangan bahwa perkawinan tersebut telah berlangsung secara sah, terpenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada larangan perkawinan menurut hukum agama maupun undang-undang yang dilanggar, [14] maka hakim mempunyai dasar hukum untuk mengabulkannya. Namun jika ternyata terbukti perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat dan rukunnya, atau ada larangan perkawinan yang dilanggar baik larangan agama maupun larangan undangundang, maka permohonan isbat nikah tersebut tidak akan dikabulkan atau ditolak. Dalam kasus Permohonan isbat nikah yang diajukan bersama-sama dengan gugat cerai dalam rangka mengurus perceraian (komulasi obyektif perkara).

Hal ini sering terjadi pada perkara Cerai Gugat atau Cerai Talak yang dikomulasikan dengan permohonan isbat nikah karena perkawinannya dahulu tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah maka merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat 3 huruf a yakni: “Isbath nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: a Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.” [15] maka berdasarkan ketentuan pasal tersebut hakim mempunyai dasar hukum untuk mengesahkan pernikahan tersebut dalam rangka proses perceraian.

Dalam hal Permohonan isbat nikah yang diajukan oleh mereka yang telah memiliki buku nikah namun di kemudian hari ternyata buku nikah tersebut hilang atau karena musibah alam dan sebagainya maka hakim memutus dengan merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat 3 huruf b Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Isbath nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai halhal yang berkenaan dengan: b. Hilangnya Akta Nikah.” [16] Maka jika terbukti di muka persidangan perkawinan tersebut benarbenar telah dilangsungkan secara resmi dan tercatat, juga terpenuhi syarat dan rukunnya, tidak melanggar ketentuan larangan perkawinan baik menurut hukum agama maupun undang-undang, maka hakim mempunyai dasar hukum untuk mengabulkan permohonan isbat nikah tersebut. Isbat nikah yang dimohonkan ke Pengadilan karena adanya keraguan dari para pihak (para Pemohon) tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan pada waktu perkawinan mereka dilangsungkan dahulu, maka para pihak dapat mengajukan permohonan isbatnya dan dengan mendasar pada ketentuan Pasal 7 ayat 3 huruf c Kompilasi Hukum Islam ’Isbath nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan”. [17] Pengadilan melalui majelis hakim akan mensahkan pernikahan tersebut dengan syarat pernikahan tersebut telah memenuhi ketentuan syariat agama dan tidak ada larangan atau halangan perkawinan yang dilanggar.

Secara umum pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya tanpa dicatat oleh Pegawai pencatat Nikah kantor Urusan Agama, maka pasangan suami isteri tersebut dapat mengajukan permohonan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Dengan syarat isbat nikah dimaksud hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf e Kompilasi Hukum Islam. Bila terdapat salah satu dari kelima alasan tersebut di atas dapat diajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama, namun demikian Pengadilan Agama hanya akan mengabulkan permohonan isbat nikah sepanjang perkawinan tersebut memenuhi rukun dan syarat perkawinan secara syariat Islam dan kepastian tidak adanya pelanggaran terhadap larangan perkawinan menurut Hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam) dan Undang-Undang Perkawinan.

Terhadap Perkawinan bawah tangan yang terjadi setelah terbitnya Undang-Undang Perkawinan yang akhir-akhir ini banyak dimohonkan pengesahannya (isbat) pada Pengadilan Agama, maka dalam hal ini pengadilan tetap memprosesnya sampai ke persidangan dan Majelis Hakim akan mempertimbangkan apabila nikahnya telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan maka permohonan isbat nikah tersebut dapat dikabulkan. Pasal 7 ayat 3 huruf (e) yang berbunyi: “perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, [18] menjadi dasar hukum yang diambil hakim dalam mengabulkan Perkara isbat nikah yang masuk, karena pasal tersebut berlaku secara umum bagi semua perkawinan bawah tangan baik yang berlangsung sebelum tahun 1974 ataupun setelah tahun 1974 selama memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Namun demikian, hakim harus penuh kehati-hatian dalam memeriksa dan memutus perkara isbat nikah, hakim harus mengetahui sebab musabab yang melatar belakangi para pihak atau pasangan suami isteri tersebut tidak mendapatkan buku nikah. Jika penyebabnya karena masalah biaya pencatatan perkawinan bagi mereka yang tidak mampu atau mereka yang tinggal di pelosok-pelosok daerah yang tidak terjangkau oleh KUA (kantor Urusan Agama) alasan tersebut masih dapat dimaklumi dan menjadi bahan pertimbangan hakim.

Disamping mendasarkan kepada hukum yuridis, hakim dalam memeriksa dan memutus permohonan isbat nikah juga mengedepankan aspek-aspek lain seperti pertimbangan sosiologis dan philosofis karena hakim dalam menyelesaikan atau memutuskan perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguhsungguh nilai-nilai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, selain hukum normatif sehingga putusannya sesuai dan memenuhi rasa keadilan. [19]

Kehadiran Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hukum terapan di Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam itupulah telah mengakomodir hukum Islam sebagai bagian integral dari Hukum Nasional. Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum yang hidup (living law) di tengah-tengah masyarakat muslim, karena itu dalam praktek sehari-hari beberapa bagian hukum keperdataan Islam seperti, perkawinan, waris, wakaf, telah berlaku dan diamalkan sejak dahulu oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas agama Islam. Dengan melihat kenyataan banyak masyarakat mengajukan isbat nikah di Pengadilan Agama dengan alasan untuk mengurus akta lahir anaknya, karena mau mendaftar sekolah, anak yang mau mendaftar ujian PNS, atau TNI/POLRI dan lain-lain. Melihat kenyataan ini, dengan alasan kemaslahatan untuk kepastian hukum, dengan diisbatkan pernikahannya mereka mendapat akta nikah, selain itu juga untuk memberi perlindungan hukum terhadap anak-anak mereka yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, karena anak-anak tidak salah apa-apa sehingga statusnya perlu dilindungi. [20]

Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat 3 huruf (e) memberi peluang kepada Majelis Hakim untuk mengabulkan permohonan isbat nikah walaupun nikah tidak dicatat dilakukan setelah lahirnya Undang-Undang Perkawinan asalkan aturan hukumnya sesuai dengan aturan hukum agama. Untuk meyakinkan Majelis Hakim bahwa nikahnya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum islam, maka dalam tahap pembuktian Majelis Hakim akan memerintahkan Pemohon untuk menghadirkan saksi-saksi waktu akad nikah bahkan sampai pada modinnya (penghulu) dihadirkan dalam persidangan sehingga terbukti syarat dan rukun pernikahan terpenuhi dan pernikahan tersebut telah sah menurut hukum agama. [21]

Pertimbangan dan dasar hukum seorang Hakim dalam mengabulkan Isbat Nikah yang pernikahannya dilakukan setelah lahirnya Undang Undang Perkawinan di samping hukum Normatif Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat 3 huruf (e) juga pertimbangan lain seperti maslahah Mursalah (Kemaslahatan bersama), karena jika tidak dikabulkan dikhawatirkan akan mempersulit masa depan keluarga, terutama anak dari pelaku nikah bawah tangan.

Adapun terhadap permohonan isbat nikah perkawinan bawah tangan yang mengandung unsur penyelundupan hukum seperti poligami tanpa izin pengadilan, atau untuk memanfaatkan celah demi menjaga kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang telah bercerai, atau seorang isteri takut tunjangannya sebagai isteri Pegawai Negeri sipil yang ditinggal mati oleh suaminya hilang maka permohonan isbat nikah seperti ini dapat dipastikan akan ditolak. Terhadap isbat nikah untuk melegalkan poligami liar maka untuk mencegah dan mengeliminasi penyelundupan hukum tersebut, maka proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan isbat nikah seperti ini merujuk pada buku II hususnya ketentuan pada angka 3 dan 4 sebagai berikut: [22] ”Proses permohonan isbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontentius dengan mendudukkan isteri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan banding dan kasasi”.

Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan isbat nikah tersebut, diketahui bahwa suaminya masih terikat perkawinan sah dengan perempuan lain maka isteri terdahulu harus dijadikan pihak dalam perkara tersebut dan jika Pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak, maka permohonan tersebut harus ditolak. Hakim harus mempertimbangkan secara sungguh-sungguh apakah dengan mengisbatkan nikah tersebut akan membawa kebaikan atau justru mendatangkan mudharat bagi pihak-pihak dalam keluarga tersebut. Dari sinilah hakim mempertimbangkan isbat nikah apakah akan dikabulkan atau ditolak dengan pertimbangan yang memadai dan tidak terjebak oleh onvooldoende gemotiveerd (putusan yang kurang pertimbangan). Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara dengan mengedepankan:

a.   Asas ius curia novit yakni hakim dianggap mengetahui hukum sesuatu dan asas kebebasan hakim untuk menemukan hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tidak terdapat peraturan hukumnya (rechtsvacuum).
b.  Pertimbangan sosiologis yang mendorong hakim menganalisis suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan penafsiran sosiologis terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak stagnan, melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sesuai dengan hukum yang hidup dan berkembang (living law) di masyarakat. Atau disebut dengan penemuan hukum (rechtsvinding).

Pola pikir diatas inilah yang telah mengarahkan Pengadilan Agama untuk dapat menerima perkara permohonan isbat nikah untuk keperluan Akta Kelahiran anak dengan merujuk Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan Pengadilan yang menyatakan anak itu anak orang tua yang bersangkutan. Dengan demikian isbat nikah untuk keperluan membuat akta kelahiran anak merupakan sintesa penyimpangan hukum (distortion of law) yang dibina atas dasar pengisian kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus tentang hal ini. [23]

Dari beberapa uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Isbat nikah merupakan pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang. Isbat nikah juga mengandung arti suatu metode atau cara dalam menetapkan sahnya suatu perkawinan yang belum tercatat di KUA setempat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan hal perkawinan yang dilaksanakan di pengadilan.

Isbat nikah pada dasarnya dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun pasangan perkawinan yang tidak mendapatkan buku nikah dari KUA dengan alasan yang sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, namun jika tidak memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang maka permohonan isbat nikah dapat memungkinkan untuk tidak dikabulkan kecuali dengan pertimbangan lain yang diberikan oleh Majelis Hakim.

Terhadap perkawinan yang dilakukan dibawah tangan atau perkawinan yang sengaja tidak dicatatkan, ketika hal ini diajukan untuk mendapatkan isbat nikah dari Pengadilan Agama karena alasan-alasan tertentu seperti untuk kepentingan anak, dan untuk kemaslahatan bersama maka meskipun tidak sesuai dengan apa yang ada dalam aturan yang sesungguhnya Pengadilan Agama dapat menerimanya yang penting dalam proses perkawinannya terpenuhi semua rukun dan syarat perkawinan dengan menghadirkan saksi-saksi yang mengetahui perkawinan pada saat itu, hal ini dilakukan oleh majelis hakim dalam rangka kemaslahatan bersama demi menghindari kemudharatan, bukan karena melanggar ketentuan yang telah disebutkan dalam undang-undang.













.





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan et. al, (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid: 1, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhove, 1996).

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam/ Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.

Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993).  

Makamah Agung RI, disampaikan dalam rangka Rakernas MA RI.  

Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, (Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2010).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.

Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2006)

Sayyid Muhammad bin Ismail alkahlani.

Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Pranada Media, 2004).






[1] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[2] Abdul Aziz Dahlan et. al, (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid: 1, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhove, 1996), h. 221
[3] Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, (Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2010), h.147.
[4] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[5] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
[6] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[7] Sayyid Muhammad bin Ismail alkahlani, h. 117
[8] Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Pranada Media, 2004), h. 86.
[9] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
[10] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2006)
[11] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[12] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[13] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam/ Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, h. 139.
[14] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[15] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[16] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[17] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[18] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[19] Satria Efendi M.Zein, h. 89.
[20] Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993), h. 55.  
[21] Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, h. 55.  
[22] Makamah Agung RI, disampaikan dalam rangka Rakernas MA RI, h. 142.  
[23] Makamah Agung RI, disampaikan dalam rangka Rakernas MA RI, h. 142.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar