Semakin berkembangnya
kehidupan di dunia modern saat ini pada dasarnya sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat pada umumnya, terutama dalam hal yang bersifat keagamaan. Banyak
orang yang semakin terjerumus kedalam pemahaman yang salah akibat dari kurangnya
filter dalam diri untuk menyerap apa yang didapatkan dari orang-orang sekitar
yang dianggap tahu padahal sebenarnya sama-sama tidak tahu. Hal inilah yang
seharusnya mulai dipahami oleh masyarakat pada umumnya, tentang mana yang bisa
diambil sebagai pedoman hidup dan mana yang justru akan menyesatkan. Kehadiran
hukum islam dalam kehidupan masyarakat, merupakan salah satu solusi yang
diberikan oleh pemerintah dalam hal penyelesaian masalah kehidupan beragama
khususnya agama Islam.
Hukum
Islam yang diterapkan diberbagai negara yang berpenduduk
muslim mempunyai ciri dan model yang berbeda-beda
dalam hal penerapannya. Di negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam
berbeda nuansanya dengan negara yang relatif berimbang antara setiap pemeluknya,
misalnya negara tersebut memiliki pluralitas agama dan dominasi penguasa juga amat berpengaruh terhadap kebijaksanaan hukum suatu
negara. Karenanya implementasi hukum Islam di negara-negara muslim bukan hanya
terletak pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga ditentukan oleh sistem
yang dikembangkan oleh negara tersebut, sebab
berlakunya hukum disuatu negara itu sangat dipengaruhi oleh pemerintahan yang
berkuasa dan model penerapannya pun bisa jadi berubah-ubah tergantung dari
pemerintahannya.
Seperti halnya apa yang terjadi dalam penerapan hukum Islam di Indonesia,
dalam perkembangannya pun semakin banyak mengalami perubahan terutama dalam hal
penerapan hukumnya yang mulai mengalami perubahan akibat dari perkembangan
zaman yang ada. Saat ini masyarakat muslim yang
ada di Indonesia sangat memiliki harapan besar terhadap kepastian hukum yang
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepastian hukum disebut juga dengan istilah principle of legal security dan rechtszekerheid. Kepastian
hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga negara. Kepastian hukum (rechtszekerheid) juga
diartikan dengan jaminan bagi anggota masyarakat, bahwa semuanya akan
diperlakukan oleh negara/penguasa berdasarkan peraturan hukum, tidak dengan sewenang-wenang.
Salah satu bagian
dari hukum Islam yang berlaku di Indonesia, yang telah mengalami perubahan
dalam penerapannya adalah tentang pelaksanaan isbat nikah di Indonesia, dimana
bahwa dalam aturan yang sebenarnya yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, bahwa isbat nikah itu boleh dilakukan atau diberikan
kepada pasangan yang telah menikah namun tidak memiliki buku nikah atau tidak
tercatat secara sah di Kantor Urusan Agama (KUA) baik yang perkawinannya
dilakukan sebelum undang-undang perkawinan diberlakukan di Indonesia maupun
karena alasan lain yang dapat diterima dan dibenarkan dalam undang-undang.
Namun, nyatanya saat ini kebijakan itu mulai berubah dan sudah dipraktekkan
dalam sistem peradilan yang ada di Indonesia khususnya dalam Peradilan Agama.
Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap status
perkawinan tidak tercatat yang tidak diakui oleh hukum Negara yang ada di
Indonesia.
Status perkawinan dalam
hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan perkawinan yang telah
dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang telah memberikan
rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. [1] Dalam penjelasan Pasal 2
disebutkan bahwa Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada
Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai
dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Berdasarakan
ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UUP dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa
patokan untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama
dan kepercayaan para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UUP.
Pasal 2 ayat (2)
menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan
kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum
terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari
perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan mendapatkan Akta
Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah perkawinan.
Akta Nikah merupakan akta outentik
karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat
sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut
melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan
adanya Akta Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami
istri yang telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah. Kemungkinan yang
jadi penyebab tidak adanya Kutipan Akta Nikah disebabkan oleh beberapa faktor
seperti; (a) kelalaian pihak suami isteri atau pihak keluarga yang
melangsungkan pernikahan tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan
pemerintah. Hal ini kelihatan semata-mata karena ketidaktahuan mereka mereka
terhadap peraturan dan ketentuan yang ada (buta hukum); (b) Besarnya
biaya yang dibutuhkan bila mengikuti prosedur resmi tersebut; (c) Karena
kelalaian petugas Pegawai Pecatat Nikah/wakil seperti dalam memeriksa
surat-surat/persyaratan-persyaratan nikah atau berkas-berkas yang ada
hilang; (d) Pernikahan yang dilakukan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan
(e) Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya
persetujuan dari isteri sebelumnya.
Beberapa hal inilah
yang menjadi dasar pemberian isbat nikah kepada pasangan menikah yang belum memiki
akta nikah atau buku nikah. Meskipun saat ini banyak pula dimanfaatkan oleh
pasangan yang telah menikah tanpa pencatatan dan justru perkawinanya tidak
jelas entah dilakukan dimana dan karena alasan apa tetapi meminta
perlindungan keabsahan perkawinannya melalui Isbat Nikah di Pengadilan Agama.
Apa Itu Isbat Nikah...?
Isbat nikah berasal dari dua suku kata
dalam bahasa Arab yaitu isbat dan nikah. Kata isbat adalah isim masdar yang
berasal dari bahasa Arab asbata-yasbitu-isbatan yang berarti penentuan
atau penetapan. Istilah ini kemudian diserap menjadi istilah kata dalam bahasa
Indonesia.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata
isbat diartikan dengan menetapkan yaitu berupa penetapan tentang kebenaran
(keabsahan) atau menetapkan kebenaran sesuatu. Ahmad Warson Munawwir dalam
kamus besar Arab-Indonesia mengartikan istilah isbat dengan penetapan,
penutupan dan pengiyaan. [2]
Isbat nikah menurut Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan adalah pengesahan atas perkawinan yang telah
dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA
atau PPN yang berwenang. Isbat nikah juga mengandung arti suatu metode atau
cara dalam menetapkan sahnya suatu perkawinan yang belum tercatat di KUA
setempat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan
hal perkawinan yang dilaksanakan di pengadilan. Buku Pedoman Teknis
Administrasi Peradilan Agama Tahun 2010 menjelaskan bahwa isbat nikah adalah
pernyataan tentang sahnya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan
tidak dicatat oleh PPN yang berwenang. [3]
Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 64
menjelaskan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan
menurut peraturan-peraturan lama adalah sah. [4] Dalam hal ini termasuk masalah isbat
nikah. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan
kedua terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
disebutkan pada Pasal 49 ayat (2) yang dimaksud dalam Ayat 1 huruf a adalah
hal-hal yang diatur berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
Sedangkan penjelasan Pasal 49 Ayat (2) tersebut dikatakan bahwa salah satu
bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang terdiri dari
22 item salah satunya adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi
sebelum undang-undang tersebut, tentang perkawinan yang dijalankan menurut peraturan
yang lain. [5]
Apa Saja Syarat-Syarat
Isbat Nikah...?
Perkawinan hanya dapat dibukikan dengan
Akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal perkawinan tidak
dapat dibuktikan dengan Akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan
Agama. Adapun yang menjadi syarat Isbat nikah sebagaimana dijelaskan dalam
Kompilasi hukum Islam Pasal 7 ayat (3) yaitu: [6]
1) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian, Hilangnya Akta Nikah.
2) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya
salah satu syarat perkawinan.
3) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya UndangUndang Nomor I Tahun 1974 dan Perkawinan yang dilakukan oieh
mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor
Tahun 1974.
Berdasarkan
syarat-syarat isbat nikah sebagaimana tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa
tidak semua peristiwa perkawinan dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama,
artinya permohonan isbat nikah yang diajukan melalui Pengadilan Agama, setelah
melalui proses pesidangan ternyata syarat-syarat sebagaimana tersebut secara
yuridis telah terpenuhi maka Majelis hakim akan mengabulkan Permohonan
penetapan nikah tersebut, namun sebaliknya bila syarat-syarat sebagaimana
tersebut di atas tidak terpenuhi maka secara yuridis Hakim akan menolak
permohonan isbat nikahnya tersebut karena tidak sesuai dengan aturan hukum yang
ada, namun dapat juga terjadi sebaliknya Majelis hakim akan
mengabulkan permohonannya apabila Majelis Hakim mempunyai argumentasi logis
dalam pertimbangannya seperti pertimbangan psikologis, sosiologis, atau
pertimbangan lainya yang apabila tidak dikabulkan akan menimbulkan mudharat
bagi pihak-pihak ataupun bagi keluarganya, misalnya dengan tidak dikabulkan
permohonan.
Pengesahanan Nikah
akan menjadikan nasib seseorang atau anaknya tersebut akan mendapat kesulitan
dalam mendapatkan akta kelahiran dan lain sebagainya. Dengan demikian sesuai
dengan kewenangan yang dimilikinya hakim berijtihad kemudian mengabulkan
permohonan Pengesahan nikah yang secara Yuridis tidak terpenuhi syarat-syarat
yang ditentukan diatas. Sebagaimana kewenangan hakim untuk berijtihad
dijelaskan di dalam hadis Nabi yang artinya: “Dari Amru bin al-'ash :
Sesungguhnya ia mendengar Rasululiah saw Bersabda: apabila hakim memutuskan perkara
lalu dia berijtihad kemudian dia benar, maka baginya dua pahala. lalu apabila
dia memutuskan perkara dan berijtihad kemudian dia salah maka baginya satu
pahala” (muttafaq 'alaih). [7]
Bagaimana Tujuan
Isbat Nikah...?
Sebagaimana diketahui
bahwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta Pasal 7
Kompilasi Hukum Islam adanya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta
nikah, artinya dalam hal perkawinan tidak mendapatkan akta nikah maka solusi
yang dapat ditempuh adalah mengajukan permohonan itsbat nikah, artinya
seseorang yang mengajukan itsbat nikah bertujuan antara lain sebagai
berikut:
a.
Agar perkawinan yang dilaksanakannya mendapat bukti secara
autentik berupa Kutipan Akta nikah dan mendapat legalisasi baik secara yuridis
formal maupun di kalangan masyarakat luas.
b. Untuk
menghindari fitnah yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi dalam pergaulan
sehari-hari di dalam lingkungan masyarakat yang dampak langsungnya adalah
perempuan pada umumnya. Karenanya isbat nikah yang menjadi kewenangan Peradilan Agama
adalah sebuah solusi yang bijaksana untuk menyelesaikan persoalan di dalam
masyarakat
c.
Untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat
yang berimplikasi pada upaya perlindungan pada hak-hak bagi siapa yang terkait
dalam perkawinan tersebut. [8]
Perkawinan Tidak Tercatat Seperti Apa Yang Dapat Diisbatkan di Pengadilan Agama...?
Perkawinan adalah hak
asasi bagi setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan untuk
melaksanakannya, karenanya perkawinan haruslah dilandasi dengan itikad baik
bagi kedua belah pihak, dengan niat dan itikad baik maka diharapkan perkawinan
akan langgeng dan mendapat keridhaan Allah dan bernilai ibadah. Bahwa perkawinan adalah hak asasi bagi
setiap warga negara dapat dijumpai pada Pasal 28 b ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 pada perubahan kedua. Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa “Setiap
orang berhak membentuk dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. [9] Bila dicermati bunyi pasal tersebut di
atas adanya katakata "Melalui perkawinan yang sah" hal ini
mengisyaratkan adanya suatu ketentuaan dan syarat yang harus dipenuhi sebelum
melaksanakan perkawinan.
Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang
penting, sebagaimana peristiwa kelahiran, kematian dan lain-lain, maka untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah
tidak cukup hanya dibuktikan dengan adanya peristiwa itu sendiri tanpa adanya
bukti tertulis berdasarkan pencatatan di lembaga yang ditunjuk dengan demikian
pencatatan yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya akta berupa
Surat Nikah oleh pejabat yang berwenang maka fungsi akta merupakan alat bukti
yang sempurna dan mengikat (autentik).
Pengadilan Agama sebagaimana peradilan
lainnya mempunyai tugas utama atau tugas pokok menerima, memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan setiap perkara dan Pengadilan dilarang menolak suatu perkara
karena hukumnya tidak jelas atau belum ada. Semua perkara harus diproses sesuai
aturan yang berlaku, demikian pula halnya dengan perkara isbat nikah.
Pengadilan Agama wajib menerima, memeriksa dan mengadili permohonan isbat nikah
yang telah didaftarkan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam tahap
persidanganlah hakim akan memutuskan apakah permohonan isbat nikah tersebut
dikabulkan atau ditolak. [10]
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa
dasar hukum hakim dalam mengabulkan permohonan isbat nikah mengacu pada
ketentuan perundang-undangan
sebagai berikut:
1) Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
2) Pasal 64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
disebutkan bahwa “untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan
menurut peraturan- peraturan lama adalah sah”. [11]
3) Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI): a) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. a) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbath nikahnya ke Pengadilan Agama. c) Isbath nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a. Adanya
perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c.
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d.
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun
1974; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. [12] Yang berhak mengajukan permohonan itsbat
nikah ialah suami atau isteri, anakanak mereka, wali nikah, dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu. [13]
Pasal-Pasal inilah diantaranya yang
merupakan hukum normatif sebagai dasar pijakan hakim dalam memutuskan suatu
permohonan isbat nikah. Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas, maka
terhadap perkawinan yang tidak tercatat atau perkawinan bawah tangan yang
terjadi sebelum tahun 1974 atau sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan itu
sendiri, maka hal ini dapat dimaklumi karena memang belum ada aturan baku yang
mengaturnya secara menyeluruh yang berlaku secara nasional sehingga Terhadap
Perkawinan bawah tangan seperti ini maka merujuk pada ketentuan Pasal 64
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, hakim mempunyai dasar hukum yuridis dan alasan kuat untuk mengabulkan
permohonan isbat nikah tersebut dengan syarat terbukti dalam proses persidangan
yakni pada tahap pembuktian bahwa pernikahan tersebut benar-benar telah
dilakukan menurut syariat Islam yakni terpenuhi syarat dan rukunnya dan tidak
terdapat halangan atau larangan perkawinan yang dilanggar yang menyebabkan
perkawinan tersebut cacat baik larangan agama maupun larangan menurut
undangundang.
Adapun terhadap perkawinan bawah tangan
yang terjadi setelah tahun 1974 atau setelah lahirnya Undang-Undang Perkawinan,
maka hakim dalam hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam
ayat 3 huruf (e) yang berlaku secara umum untuk setiap perkawinan bawah tangan
yang terjadi dengan syarat terbukti pada pemeriksaan di persidangan bahwa
perkawinan tersebut telah berlangsung secara sah, terpenuhi rukun dan syaratnya
dan tidak ada larangan perkawinan menurut hukum agama maupun undang-undang yang
dilanggar, [14] maka hakim mempunyai dasar hukum untuk
mengabulkannya. Namun jika ternyata terbukti perkawinan tersebut tidak memenuhi
syarat dan rukunnya, atau ada larangan perkawinan yang dilanggar baik larangan
agama maupun larangan undangundang, maka permohonan isbat nikah tersebut tidak
akan dikabulkan atau ditolak. Dalam kasus Permohonan isbat nikah yang diajukan
bersama-sama dengan gugat cerai dalam rangka mengurus perceraian (komulasi
obyektif perkara).
Hal ini sering terjadi pada perkara Cerai
Gugat atau Cerai Talak yang dikomulasikan dengan permohonan isbat nikah karena
perkawinannya dahulu tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah maka merujuk
pada ketentuan Pasal 7 ayat 3 huruf a yakni: “Isbath nikah yang dapat diajukan
ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: a Adanya
perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.” [15] maka berdasarkan ketentuan pasal tersebut
hakim mempunyai dasar hukum untuk mengesahkan pernikahan tersebut dalam rangka
proses perceraian.
Dalam hal Permohonan isbat nikah yang
diajukan oleh mereka yang telah memiliki buku nikah namun di kemudian hari
ternyata buku nikah tersebut hilang atau karena musibah alam dan sebagainya
maka hakim memutus dengan merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat 3 huruf b
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Isbath nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai halhal yang berkenaan dengan: b. Hilangnya
Akta Nikah.” [16] Maka jika terbukti di muka persidangan
perkawinan tersebut benarbenar telah dilangsungkan secara resmi dan tercatat,
juga terpenuhi syarat dan rukunnya, tidak melanggar ketentuan larangan
perkawinan baik menurut hukum agama maupun undang-undang, maka hakim mempunyai
dasar hukum untuk mengabulkan permohonan isbat nikah tersebut. Isbat nikah yang
dimohonkan ke Pengadilan karena adanya keraguan dari para pihak (para Pemohon)
tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan pada waktu perkawinan
mereka dilangsungkan dahulu, maka para pihak dapat mengajukan permohonan
isbatnya dan dengan mendasar pada ketentuan Pasal 7 ayat 3 huruf c Kompilasi
Hukum Islam ’Isbath nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan c. adanya keraguan tentang sah atau
tidaknya salah satu syarat perkawinan”. [17] Pengadilan melalui majelis hakim akan
mensahkan pernikahan tersebut dengan syarat pernikahan tersebut telah memenuhi
ketentuan syariat agama dan tidak ada larangan atau halangan perkawinan yang
dilanggar.
Secara umum pasangan suami isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya tanpa dicatat oleh Pegawai
pencatat Nikah kantor Urusan Agama, maka pasangan suami isteri tersebut dapat
mengajukan permohonan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Dengan syarat isbat
nikah dimaksud hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan ketentuan Pasal 7 ayat
(3) huruf a sampai dengan huruf e Kompilasi Hukum Islam. Bila terdapat salah
satu dari kelima alasan tersebut di atas dapat diajukan permohonan isbat nikah
ke Pengadilan Agama, namun demikian Pengadilan Agama hanya akan mengabulkan
permohonan isbat nikah sepanjang perkawinan tersebut memenuhi rukun dan syarat
perkawinan secara syariat Islam dan kepastian tidak adanya pelanggaran terhadap
larangan perkawinan menurut Hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam) dan
Undang-Undang Perkawinan.
Terhadap Perkawinan bawah tangan yang
terjadi setelah terbitnya Undang-Undang
Perkawinan yang akhir-akhir ini banyak dimohonkan pengesahannya (isbat) pada
Pengadilan Agama, maka dalam hal ini pengadilan tetap memprosesnya sampai ke
persidangan dan Majelis Hakim akan mempertimbangkan apabila nikahnya telah
memenuhi rukun dan syarat pernikahan maka permohonan isbat nikah tersebut dapat
dikabulkan. Pasal 7 ayat 3 huruf (e) yang berbunyi: “perkawinan yang dilakukan
oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974”, [18] menjadi dasar hukum yang diambil hakim
dalam mengabulkan Perkara isbat nikah yang masuk, karena pasal tersebut berlaku
secara umum bagi semua perkawinan bawah tangan baik yang berlangsung sebelum
tahun 1974 ataupun setelah tahun 1974 selama memenuhi rukun dan syarat
pernikahan. Namun demikian, hakim harus penuh kehati-hatian dalam memeriksa dan
memutus perkara isbat nikah, hakim harus mengetahui sebab musabab yang melatar
belakangi para pihak atau pasangan suami isteri tersebut tidak mendapatkan buku
nikah. Jika penyebabnya karena masalah biaya pencatatan perkawinan bagi mereka
yang tidak mampu atau mereka yang tinggal di pelosok-pelosok daerah yang tidak
terjangkau oleh KUA (kantor Urusan Agama) alasan tersebut masih dapat dimaklumi dan menjadi bahan pertimbangan
hakim.
Disamping mendasarkan kepada hukum yuridis,
hakim dalam memeriksa dan memutus permohonan isbat nikah juga mengedepankan
aspek-aspek lain seperti
pertimbangan sosiologis dan philosofis karena hakim dalam menyelesaikan atau
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan
sungguhsungguh nilai-nilai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, selain hukum normatif sehingga
putusannya sesuai dan memenuhi rasa keadilan. [19]
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam yang
merupakan hukum terapan di Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam itupulah
telah mengakomodir hukum Islam sebagai bagian integral dari Hukum Nasional. Kompilasi
Hukum Islam merupakan hukum yang hidup (living
law) di tengah-tengah masyarakat muslim, karena itu dalam praktek
sehari-hari beberapa bagian hukum keperdataan Islam seperti, perkawinan, waris,
wakaf, telah berlaku dan diamalkan sejak dahulu oleh masyarakat Indonesia yang
mayoritas agama Islam. Dengan melihat kenyataan banyak masyarakat mengajukan
isbat nikah di Pengadilan Agama dengan alasan untuk mengurus akta lahir
anaknya, karena mau mendaftar sekolah, anak yang mau mendaftar ujian PNS, atau TNI/POLRI
dan lain-lain. Melihat kenyataan ini, dengan alasan kemaslahatan untuk
kepastian hukum, dengan diisbatkan pernikahannya mereka mendapat akta nikah,
selain itu juga untuk memberi perlindungan hukum terhadap anak-anak mereka yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut, karena anak-anak tidak salah apa-apa
sehingga statusnya perlu dilindungi. [20]
Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat 3 huruf (e) memberi peluang kepada Majelis
Hakim untuk mengabulkan permohonan isbat nikah walaupun nikah tidak dicatat
dilakukan setelah lahirnya Undang-Undang Perkawinan asalkan aturan hukumnya
sesuai dengan aturan hukum agama. Untuk meyakinkan Majelis Hakim bahwa nikahnya
telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum islam, maka dalam tahap
pembuktian Majelis Hakim akan memerintahkan Pemohon untuk menghadirkan
saksi-saksi waktu akad nikah bahkan sampai pada modinnya (penghulu) dihadirkan
dalam persidangan sehingga terbukti syarat dan rukun pernikahan terpenuhi dan
pernikahan tersebut telah sah menurut hukum agama. [21]
Pertimbangan dan dasar hukum seorang Hakim
dalam mengabulkan Isbat Nikah yang pernikahannya dilakukan setelah lahirnya
Undang Undang Perkawinan di samping hukum Normatif Kompilasi Hukum Islam Pasal
7 ayat 3 huruf (e) juga pertimbangan lain seperti maslahah Mursalah
(Kemaslahatan bersama), karena jika tidak dikabulkan dikhawatirkan akan
mempersulit masa depan keluarga, terutama anak dari pelaku nikah bawah tangan.
Adapun terhadap permohonan isbat nikah
perkawinan bawah tangan yang mengandung unsur penyelundupan hukum seperti
poligami tanpa izin pengadilan, atau untuk memanfaatkan celah demi menjaga
kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang telah bercerai, atau seorang
isteri takut tunjangannya sebagai isteri Pegawai Negeri sipil yang ditinggal
mati oleh suaminya hilang maka permohonan isbat nikah seperti ini dapat
dipastikan akan ditolak. Terhadap isbat nikah untuk melegalkan poligami liar
maka untuk mencegah dan mengeliminasi penyelundupan hukum tersebut, maka proses
pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan isbat nikah seperti ini
merujuk pada buku II hususnya ketentuan pada angka 3 dan 4 sebagai berikut: [22] ”Proses permohonan isbat nikah yang
diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontentius dengan
mendudukkan isteri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak
Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan
banding dan kasasi”.
Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan
isbat nikah tersebut, diketahui bahwa suaminya masih terikat perkawinan sah
dengan perempuan lain maka isteri terdahulu harus dijadikan pihak dalam perkara
tersebut dan jika Pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan
isteri terdahulu sebagai pihak, maka permohonan tersebut harus ditolak. Hakim
harus mempertimbangkan secara sungguh-sungguh apakah dengan mengisbatkan nikah
tersebut akan membawa kebaikan atau justru mendatangkan mudharat bagi
pihak-pihak dalam keluarga tersebut. Dari sinilah hakim mempertimbangkan isbat
nikah apakah akan dikabulkan atau ditolak dengan pertimbangan yang memadai dan
tidak terjebak oleh onvooldoende
gemotiveerd (putusan yang kurang pertimbangan). Hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara dengan mengedepankan:
a.
Asas ius curia novit yakni hakim dianggap
mengetahui hukum sesuatu dan asas kebebasan hakim untuk menemukan hukumnya
terhadap masalah atau kasus yang tidak terdapat peraturan hukumnya
(rechtsvacuum).
b. Pertimbangan sosiologis yang mendorong
hakim menganalisis suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan
penafsiran sosiologis terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan
masalah yang dihadapi supaya hukum tidak stagnan, melainkan berkembang
mengikuti perkembangan masyarakat atau sesuai dengan hukum yang hidup dan
berkembang (living law) di
masyarakat. Atau disebut dengan penemuan hukum (rechtsvinding).
Pola pikir diatas inilah yang telah
mengarahkan Pengadilan Agama untuk dapat menerima perkara permohonan isbat
nikah untuk keperluan Akta Kelahiran anak dengan merujuk Pasal 32 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang
menyatakan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu tahun
dilaksanakan berdasarkan penetapan Pengadilan yang menyatakan anak itu anak
orang tua yang bersangkutan. Dengan demikian isbat nikah untuk keperluan
membuat akta kelahiran anak merupakan sintesa penyimpangan hukum (distortion of law) yang dibina atas
dasar pengisian kekosongan hukum (rechtsvacuum)
karena tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus tentang hal ini. [23]
Dari beberapa uraian
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Isbat nikah
merupakan pengesahan atas
perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi
tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang. Isbat nikah juga mengandung
arti suatu metode atau cara dalam menetapkan sahnya suatu perkawinan yang belum
tercatat di KUA setempat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
terkait dengan hal perkawinan yang dilaksanakan di pengadilan.
Isbat nikah pada
dasarnya dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun pasangan perkawinan yang tidak
mendapatkan buku nikah dari KUA dengan alasan yang sesuai dengan aturan dalam
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, namun jika tidak memenuhi
syarat seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang maka permohonan isbat
nikah dapat memungkinkan untuk tidak dikabulkan kecuali dengan pertimbangan
lain yang diberikan oleh Majelis Hakim.
Terhadap perkawinan
yang dilakukan dibawah tangan atau perkawinan yang sengaja tidak dicatatkan,
ketika hal ini diajukan untuk mendapatkan isbat nikah dari Pengadilan Agama
karena alasan-alasan tertentu seperti untuk kepentingan anak, dan untuk
kemaslahatan bersama maka meskipun tidak sesuai dengan apa yang ada dalam
aturan yang sesungguhnya Pengadilan Agama dapat menerimanya yang penting dalam
proses perkawinannya terpenuhi semua rukun dan syarat perkawinan dengan
menghadirkan saksi-saksi yang mengetahui perkawinan pada saat itu, hal ini
dilakukan oleh majelis hakim dalam rangka kemaslahatan bersama demi menghindari
kemudharatan, bukan karena melanggar ketentuan yang telah disebutkan dalam
undang-undang.
.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan et. al, (ed) Ensiklopedi
Hukum Islam, Jilid: 1, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhove, 1996).
Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam/ Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI.
Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Al-Hikmah,
1993).
Makamah Agung RI, disampaikan dalam rangka Rakernas MA RI.
Mahkamah Agung RI, Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, (Jakarta, Mahkamah
Agung RI, 2010).
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
Republik
Indonesia, Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Republik
Indonesia, Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara
Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2006)
Sayyid
Muhammad bin Ismail alkahlani.
Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, (Jakarta: Pranada
Media, 2004).
[2] Abdul Aziz Dahlan et. al,
(ed) Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid: 1, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhove,
1996), h. 221
[3] Mahkamah Agung RI, Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, (Jakarta, Mahkamah
Agung RI, 2010), h.147.
[6] Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[8] Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, (Jakarta: Pranada Media, 2004), h. 86.
[12] Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[13] Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam/ Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI, h. 139.
[14] Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[15] Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[16] Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[17] Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[18] Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[20] Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993), h. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar