“SISTEM KEWARISAN ISLAM”
A.
PENDAHULUAN
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan
mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya,
terutama dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun
dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban
bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan
orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya. Demikian juga dengan
kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian tersebut menimbulkan
kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan
jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis,
yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli
waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang
ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada
keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu
tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh. Dalam
hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa
bagian mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula
berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
Hukum waris Islam pada dasarnya mengatur peralihan harta
dari seorang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup, dalam hal ini
adalah ahli warisnya. Diantara aturan yang mengatur tentang hubungan sesama
manusia yang telah ditetapkan Allah adalah aturan tentang pembagian warisan,
yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta
yang ditinggalkan oleh seorang yang telah meninggal memang memerlukan aturan
khusus tentang siapa saja yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan
bagaimana cara untuk mendapatkannya. Munculnya masalah dalam pembagian warisan
di kehidupan masyarakat, tidak lain karena kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap warisan dan pembagiannya dalam aturan agama dan aturan hukum positif
di Indonesia, sehingga pada umumnya sering menimbulkan masalah yang tak kunjung
selesai walau sudah di adili lewat sidang pengadilan agama.
Sementara ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris. Harta peninggalan adalah harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Harta waris
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. [1]
Selain Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sebagai sandaran
didalam menentukan bagian warisan kepada ahli waris di Indonesia, ada juga kitab-kitab fikih yang
menjadi dasar pembagian harta warisan, dan yang paling utama yang menjadi dasar
pembagian harta waris dalam Islam menggunakan dasar hukum
yang terdapat dalam al-Quran
antara lain dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 7 yang berbunyi:
للرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Terjemahnya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S
An-Nisa Ayat 7) [2]
Islam telah jelas mengatur porsi antara laki-laki dan
perempuan dalam hal warisan yaitu 2
banding 1, namun di masa kini hal ini banyak tidak digunakan oleh para ahli
waris, kebanyakan menggunakan sistem pembagian secara musyawarah dan
kekeluargaan. Pembagian dengan cara seperti ini pun ternyata juga tidak efektif, terkadang malah
menimbulkan masalah dikemudian hari seperti yang banyak terjadi di masyarakat, hal ini banyak menimbulkan problem dalam
masyarakat yang akhirnya perang antar saudara pun tak terhindarkan, yang
tadinya keluarganya baik-baik saja tapi karena ada persolana warisan maka
keutuhan keluarga menjadi renggang.
B.
PEMBAHASAN
1.
Hukum Kewarisan Dalam Islam
a. Pengertian
Hukum Kewarisan Dalam Islam
Secara bahasa, kata waratsa
asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an dan di rinci
dalam Sunnah Rasulullah s.a.w., hukum kewarisan Islam di tetapkan. Secara
Bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti; Pertama, mengganti
(QS An-Naml [27]: 16), artinya Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan
daud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Kedua, memberi (QS Maryam
[19]: 6). [3]
Dalam terminologis Ulama
fikih, irts atau mirats (warisan) didefinisikan dengan harta
ataupun hak yang ditinggalkan si mayat (muwarist) yang dengan sebab
kematiannya menjadi hak penerima waris yang telah ditetapkan syara. [4]
Secara terminologis, hukum
kewarisan dalam Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
kepemilikan harta peninggalan (tirkah) [5] pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian
masing-masing.[6] Menurut Prof. Mohammad Amin Suma, hukum
kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, menentukan
berapa bagian masing-masing ahli waris dan mengatur kapan pembagian harta
kekayaan pewaris dilaksanakan.[7] Menurut M. Idris Mulyo, wirasah atau hukum waris adalah hukum yang
mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan,
serta pembagian yang lazim disebut hukum faraidh. [8]
Hukum kewarisan Islam mengatur
peralihan harta dari seorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih
hidup. Aturan dalam peralihan harta ini disebut dengan berbagai nama. Dalam
literatur Islam ditemukan beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam
seperti: Faraid, Fiqih Mawaris dan Hukm al-Waris. Perbedaan dalam
penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama
dalam pembahasan. Kata yang lazim dipakai adalah Faraid. [9]
Jadi, hukum kewarisan adalah aturan tentang proses
peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris
yang ditinggalkan sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang berlaku. Sementara
ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima baik berdasarkan hubungan
darah maupun hubungan perkawinan yang memiliki akibat hukum untuk saling
mewarisi.
b. Rukun Waris
Rukun waris ialah rukun yang harus
terpenuhi secara keseluruhan, bila tidak terpenuhi salah satunya, waktu waris
mewarisi tidak dapat dilaksanakan. Adapun rukun waris yang harus dipenuhi ada 3
yaitu:
1) Harta
Warisan (Mauruts atau Tirkah)
Harta warisan (mauruts)
yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang akan diterima oleh para
ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang,
dan melaksanakan wasiat si pewaris. Dan yang dimaksud dengan tirkah
yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan
oleh syariat untuk dipusakai oleh para ahli waris. Apa-apa yang ditinggalkan
oleh orang yang meninggal dunia harus diartikan sedemikian luas agar dapat
mencakup kepada; [10] 1) Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, 2) Hak-hak
kebendaan, 3) Benda-benda yang berada ditangan orang lain, 4) Hak-hak yang
bukan kebendaan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI), harta warisan adalah harta bawaan ditambah harta bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan
pemberian untuk kerabat. [11] Sedangkan yang dimaksud dengan harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda
yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
2) Pewaris (Muwarrits)
Yaitu orang yang meninggal dunia,
baik mati haqiqi maupun mati hukmy. Mati hukmy ialah suatu
kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun
sesungguhnya ia belum mati sejati.[12] Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pewaris
adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan Agama, meninggalkan harta ahli waris dan harta
peninggalan.[13]
3) Ahli Waris (Warits)
Yaitu orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hokum untuk menjadi ahli
waris.[14] Adapun syarat ahli waris adalah;[15] 1) Mempunyai hubungandarah dengan pewaris,
misalnya anak kandung, orang tua pewaris dan seterusnya, 2) Mempunyai hubungan
perkawinan (suami/istri pewaris), 3) Mempunyai hubungan satu agam dengan
pewaris, 4) Tidak terhalang untuk mendapatkan warisan, misalnya ia pembunuh
pewaris.
c. Sebab-Sebab
Mewarisi
Sebab-sebab menerima warisan yang
disepakati ada tiga yaitu kekerabatan (hubungan nasab), pernikahan dan wala’
(pemerdekaan).[16]
1) Hubungan
Al-Qarabah (kekerabatan).
Hubungan al-qarabah atau
disebut juga hubungan nasab (darah) yaitu setiap hubungan persaudaraan
yang diakibatkan oleh kelahiran (keturunan), baik yang dekat maupun yang jauh.
Sehingga dengan demikian hubungan nasab ini mencakup pada ayah dan ibu,
anak-anak, saudara, paman (saudara laki-laki ayah) dan siapa saja yang ada
hubungan nasab dengan mereka, seperti yang disebutkan dalam Q.S Al-Anfal [8]:
75.
2) Hubungan
Pernikahan.
Hubungan pernikahan disini adalah
hubungan kewarisan yang disebabkan akad nikah yang sah. Dengan sebab akad
tersebut, suami mewarisi harta si istri dan si istri mewarisi harta si suami,
walalupun belum pernah melakukan hubungan badan dan berkhalwat (tinggal
berdua). Adapun nikah fasid yang telah disepakati seperti nikah tanpa
saksi, nikah batal seperti nikah mut’ah tidak termasuk nikah syar’i maka
pernikahan tersebut tidak menjadi sebab saling mewarisi; sedangkan nikah fasid
yang mukhtalaf (tidak disepakati) seperti nikah tanpa wali, maka menurut
sebagian ulama boleh saling mewarisi antara suami istri karena subhat
al-khilaf dan menurut ulama lainnya tidak saling mewarisi karena pernikahan
tersebut fasad (cacat hukum).
3) Hubungan
Wala’
Hubungan wala’ yang juga
disebut wala’ al-‘itqi atau wala’ an-ni’mah yaitu hubungan
kekerabatan (kerabat hukmi) yang disebabkan karena memerdekakan hambanya, maka
ia mempunyai hubungan kekerabatan dengan hamba tersebut. Dengan sebab itu si
tuan berhak mewarisi hartanya karena karena ia telah berjasa memerdekakannya
dan mengembalikan nilai kemanusiaannya.
d. Syarat-Syarat
Mendapat Warisan
Dalam warisan disyariatkan empat
hal berikut ini; [17] 1) Kematian
pewaris secara hakiki, secara hukum, atau secara asumtif, 2) Kehidupan ahli
waris setelah kematian pewaris, meskipun secara hokum, seperti kandungan.
Kandungan dianggap hidup secara hokum karena bias jadi ruh belum ditiupkan ke
dalamnya, 3) Tidak ada salah satu hal-hal yang menhalangi pewarisan, 4) Tidak
terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat. [18]
e. Sebab-Sebab
Terhalang Mendapat Warisan
Orang yang dihalangi dari warisan
adalah orang yang padanya terpenuhi sebab-sebab pewarisan, tetapi dia memiliki
satu sifat yang mencabut haknya untuk mendapat warisan. Orang ini dinamakan
dengan mahrum. Dan hal-hal yang menghalangi pewarisan ada tiga yaitu; [19]
1)
Perbudakan, baik sempurna maupun tidak sempurna.
2)
Pembunuhan secara sengaja yang diharamkan. Jika ahli waris
membunuh pewarisnya secara zholim, maka disepakati bahwa dia tidak mewarisnya.
Nabi s.a.w. bersabda:
ليس للقا تل شيء
“pembunuh tidak berhak mendapat apa-apa”
3)
Perbedaan agama. Orang muslim tidak mewarisi orang kafir.
Dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.
Hal
ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w., ”orang Islam tidak mewarisi
orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang muslim” (HR.
Jama’ah).
Dan
hadis: “tidak saling mewarisi antar dua orang pemeluk agama yang berbeda”.
(HR. Ashab Sunan).
f.
Hak-Hak Yang Harus Di Dahulukan Sebelum Pembagian Warisan
Hak-hak yang berkaitan dengan tirkah terbagi dua (1)
hak-hak yang berkaitan dengan hak orang lain semasa hidup si mayit, (2) hak-hak
yang tidak ada kaitan dengan hak orang lain. [20]
1) Hak-hak yang berkaitan dengan orang
lain, yaitu hak semasa hidup si mayit yang disebut juga dengan al-huquq
al-ainiyah, yaitu hak-hak yang ada keterkaitannya dengan harta benda yang
ditinggalkan mayit (hak kebendaan) seperti seorang penjual untuk menyerahkan
barang yang dijual, hak penerima gadai terhadap barang gadaian. Menurut Abu
Hanifah termasuk hak orang lain adalah hak sewaan apabila uang sewaannya sudah
dibayarkan kepada orang yang menyewakan maka barang misalnya rumah yang
disewakan adalah hak bagi penyewa sampai habis masa sewanya.
2) Hak
yang tidak ada kaitannya dengan hak orang lain (hak mayit) ada empat, yaitu
pengurusan mayit (al-tajhiz), membayar utang, melaksanakan wasiat,
kemudian hak waris atau pembagian warisan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) teridiri dari tiga buku yaitu
Buku I tentang Perkawinan yang terdiri dari 19 Bab 170 pasal dan 323 ayat. Buku
II tentang Hukum Kewarisan terdiri dari 6 Bab, 44 pasal dan 66 ayat. Buku III
tentang Wakaf terdiri dari 5 Bab, 15 pasal dan 36 ayat.
Kewarisan yang dijelaskan dalam Buku II Kompilasi Hukum
Islam ini diawali dengan ketentuan umum yang memuat pengertian dasar waris,
antara lain sebagai berikut.
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagian ahli waris masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalannya.
c. Ahli waris adalah orang yang pada
saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya
maupun hak-haknya.
e. Harta warisan adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazahnya (tajhiz),
pembayaran hutang, dan pembagian untuk kerabat.
f. Anak angkat adalah anak yang dalam
hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya
beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan. (Pasal 171 KHI) [22]
g. Disamping pengertian-pengertian
diatas, dalam pewarisan harus dipahami juga pengertian harta pribadi dan harta
bersama.
Berdasarkan asas ahli waris langsung dan asas
ahli waris pengganti, secara tekstual ahli waris langsung diatur dengan
pasal 174 yang berbunyi:
a. Kelompok-kelompok terdiri dari:
1) Menurut hubungan darah:
Golongan
laki-laki
terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
Golongan
perempuan
terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.
2) Menurut hubungan perkawinan terdiri
dari duda atau janda.
b. Apabila semua ahli waris ada, maka
yang berhak mendapatkan warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Dengan demikian, ahli waris langsung yang disebutkan dalam
pasal 174 adalah: (1) anak laki-laki, (2) anak perempuan, (3) ayah, (4) ibu,
(5) paman, (6) kakek, (7) nenek, (8) saudara laki-laki, (9) saudara perempuan,
(10) janda, dan (11) duda.
Dari segi pembagiannya, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
mengelompokan ahli waris kedalam tiga kategori (1) Dzawil Furudh, (2)
Ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya, dan (3) Ahli waris pengganti.
a. Ahli Waris Dzawil Furudh
Kelompok ahli waris yang mendapat bagian pasti (dzawil
furudh al-Muqaddarah) dalam Kompilasi Hukum Islam terdiri dari: anak
perempuan, ayah, ibu, janda (istri), duda (suami), saudara laki-laki seibu atau
saudari perempuan seibu dan saudara perempuan kandung atau seayah.
b. Ahli Waris yang Tidak Ditentukan
Bagiannya (‘Ashabah)
Kelompok ashabah baik ashabah binafs, ashabah
bighair ataupun ma’al ghair dalam KHI adalah sevagai berikut.
1) Anak laki-laki dan keturunannya.
2) Anak perempuan dan keturunannya bila
bersama anak laki-laki.
3) Saudara laki-laki bersama saudara
perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah.
4) Kakek dan nenek.
Ayah dalam KHI hanya termasuk kelompok dzawil furudh
dengan bagian 1/3 (jika tidak ada anak tetapi ada suami dan ibu) atau 1/6 (jika
ada anak). Anak dimaksud tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Ayah
tidak termasuk salah satu ahli waris yang akan mendapatkan ashabah.
Demikian juga kakek, nenek, paman dan bibi diperlakukan sama baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu.
c. Ahli Waris Pengganti
Istilah ahli waris pengganti dikenal dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sebagaimana tercantum pada Pasal 185 yang berbunyi:
1) Ahli waris yang meninggal lebih dulu
dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,
kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2) Bagian bagi ahli waris pengganti
tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Kompilasi Hukum Islam pasal 173 menyebutkan:
“Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena:
1) Dipersalahkan karena membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewaris;
2) Dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Atas dasar pasal 173 tersebut ahli waris pengganti
terhalang untuk mendapatkan warisan karena dinyatakan telah membunuh, mencoba
membunuh, menganiaya berat pada pewaris, memfitnah pewaris yang diancam dengan
hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Adapun ahli waris pengganti (pasal 185) berdasarkan
penjelasan dari Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Agama
Buku II adalah sebagai berikut:
1) Keturunan dari anak mewarisi bagian
yang digantikannya.
2) Keturunan dari saudara
laki-laki/perempuan (sekandung, seayah, dan seibu) mewarisi bagian yang
digantikannya.
3) Kakek dan nenek dari pihak ayah
mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi sama.
4) Kakek dan nenek dari pihak ibu
mewarisi bagian dari ibu, masing-masing berbagia sama.
5) Paman dan bibi dari pihak ayah
beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan
nenek pihak ayah.
Paman dan ibu dari pihak ibu beserta
keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek pihak
ibu. Selain yang tersebut diatas tidak termasuk ahli waris pengganti. [25]
4.
Prinsip Hijab dan Mahjub dalam KHI
Ahli waris dapat terhalang (mahjub) untuk dapat
warisan apabila ada ahli waris yang kekerabatannya lebih kuat pada pewaris.
Dalam Kompilasi Hukum Islam ada 4 (empat) prinsip hijab mahjub yang harus
selalu dipahami, yaitu sebagai berikut:
a. Anak laki-laki maupun anak perempuan
beserta keturunannya (cucu laki-laki/perempuan dan seterusnya kebawah) menghijab:
1) Saudara (kandung, ayah, seibu) dan
keturunannya (keponakan pewaris dan seterusnya);
2) Paman dan bibi dari pihak ayah dan
ibu serta keturunannya sepupu pewaris dan seterusnya).
b. Ayah menghijab:
1) Saudara dan keturunannya (keponakan
pewaris dan seterusnya);
2) Kakek dan nenek yang melahirkannya
serta;
3) Paman/bibi pihak ayah dan
keturunannya (sepupu pewaris dan seterusnya).
c. Ibu menghijab:
1) Kakek dan nenek yang melahirkannya
serta;
2) Paman/bibi dari pihak ibu dan
keturunannya (sepupu pewaris dan seterusnya).
Saudara (kandung, seayah atau seibu) dan
keturunannya (keponakan pewaris dan seterusnya) menghijab paman dan bibi
pihak ayah dan ibu serta keturunannya.
5.
Penundaan Pembagian Warisan
a. Faktor
Penundaan Pembagian Harta Warisan
Berdasarkan aturan yang berlaku dalam ajaran Islam, waktu
pembagian harta warisan berawal sejak wafatnya si pewaris. Petunjuk ini dapat
dipahami dari maksud surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Namun, menurut adat kebiasaan
di Indonesia sebagian masyarakat Islam menyelesaikan pembagian harta warisan
setelah peringatan hari-hari kematian yang ketujuh, empat puluh dan seratus
hari. Dengan pertimbangan pada waktu-waktu tersebut diharapkan para ahli waris
dapat berkumpul di tempat pewaris. Sementara itu menurut Seminar Hukum Nasional
tahun 1963 di Jakarta menyimpulkam bahwa waktu pembagian harta warisan
selekas-lekasnya setelah 40 hari kematian. Keputusan ini juga menyakatakan
adanya perluasan tugas Balai Peninggalan Harta.
Dalam ajaran Islam, adat kebiasaan dikenal dengan istilah ‘urf.
Kedudukan ‘urf shahih dapat dijadikan sebagai hukum dan oleh seorang
hakim dapat dipergunakan dalam menetapkan suatu perkara. Atas dasar itulah ahli
ushul fiqh membuat kaedah: adat kebiasaan itu merupakan syari’at yang
ditetapkan sebagai hukum. Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa untuk
pembagian harta warisan biasa berawal dari wafat pewaris sampai dengan
dilaksanakan peringatan hari kematian yang keempat puluh. Sementara itu,
mengenai lamanya waktu atau daluarsa dalam fiqh dikenal dengan istilah taqaddum,
murur al-zaman, dan ba’da mada al muddah.
Menurut Al-Syeikh Abdullah al-Syarkawiy: “Apabila telah
lampau batas waktu lima belas tahun hakim tidak boleh lagi menerima gugatan.
Sedangkan menurut A’la al-Din Afandy, seseorang yang tidak menggugat selama 33
tahun, padahal tidak ada halangan untuk menggugat, kemudian ia menggugat
kembali, maka gugatannya tidak diterima, maka ia tidak dapat menggugat padahal
ada kemungkinan untuk itu. Hal ini telah dijelaskan pula bahwa ada diantara
putusan yang batal karena ada gugatan diajukan setelah lampau waktu.
Dari beberapa uraian ini dapat dipahami bahwa daluarsa
dalam fiqh berkisar 15 (lima belas) tahun sampai 33 (tiga puluh tiga) tahun.
Untuk menetapkan waktu penundaan, maka dapat digunakan jarak antara waktu
terlama pembagian harta warisan biasa 100 (seratus) hari dengan jarak waktu
daluarsa 33 tahun. Dengan menggunakan ukuran di atas dapat dirumuskan tenggang
waktu pembagian harta warisan kepada tiga kategori:
1) Pembagian
biasa, yaitu sejak dari wafatnya si pewaris sampai peringatan hari kematian
yang ke 100 hari upacara selamatan.
2) Penundaan,
yaitu sehabis hari kematian 100 hari sampai sebelum waktu daluarsa 33 tahun.
3) Daluarsa,
yaitu dari 33 tahun sampai ke atas.
Semua harta si pewaris akan beralih kepada ahli waris
secara ijbari, dari salah satu kewajiban ahli waris adalah membagi harta
warisan di antara ahli waris yang berhak. Menurut Imam Sudiyat, kemungkinan
tidak terbaginya harta peninggalan sesudah meninggalnya pewaris karena
dijadikan sebagai harta keluarga yang dapat dipertahankan itu berupa tanah
pertanian, pekarangan-pekarangan dan rumah.
Hilman menyatakan bahwa penundaan pembagian harta warisan,
diantara harta warisan yang tertunda dapat berupa bangunan rumah beserta
pekarangannya, tanah sawah, tanah kebun dan benda-benda magis. Sementara
menurut Bushar, harta peninggalan yang dapat di tunda diantaranya sawah, rumah
dengan pekarangannya, dan barang yang mengandung banyak khasiat.
Selanjutnya dalam beberapa Yurisprudensi Pengadilan Agama
menunjukan bahwa harta warisan yang tertunda diantaranya: tanah sawah, tanah
kebun, tanah pekarangan, rumah dan pekarangannya, barang perhiasan (emas dan
permata), perabot rumah tangga dan toko. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa semua harta warisan dapat tertunda pembagiannya. Namun, harta warisan
yang sering tertunda adalah tanah kebun, tanah sawah, rumah dan pekarangannya.
Adapun faktor-faktor
penyebab terjadinya penundaan pembagian harta warisan adalah sebagai berikut:
1) Penundaan
atas dasar kesepakatan setiap ahli waris
Penundaan pembagian harta warisan semacam ini pada dasarnya
tidak ada larangan dalam Islam, yang penting itu adalah hasil kesepakatan
bersama antar ahli waris yang ada. Selain itu bilamana setiap ahli waris rela
membaginya secara kekeluargaan maka dapat di bagi secara kekeluargaan, atau
dibagi secara damaisesuai dengan kesepakatan setia pihak yang terkait. Bahkan,
berdasarkan hal tersebut, adalah sah bilamana ada diantara ahli waris yang
merelakan atau menggugurkannya dalam pembagian harta warisan itu untuk diserahkan
kepada ahli waris yang lain. Dapat dipahami bahwa hak seseorang untuk menerima
harta warisan dalam kategori hak hamba (hak perorangan) secara murni. Dengan
demikian penundaan yang dilakukan atas dasar kesepakatan setiap ahli waris,
hukumnya adalah mubah.
2) Penundaan
atas dasar menegakkan rumah tangga yang terkecil
Untuk mengkaji status hukum penundaan atas dasar menegakkan rumah
tangga yang terkecil, terlebih dahulu perlu dirumuskan pertanyaan sebagai
berikut, apakah penundaan ini memiliki alasan dan tujuan yang sesuai dengan
amalan syariat. Dari pertanyaan ini akan diperoleh jawaban yang selanjutnya
akan dapat diketahui status hukumnya. Dalam kajian Ushul Fiqh, manakala adat
kebiasaan itu telah dilakukan oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan
dalil syara’, maka ia akan masuk dalam kategori ‘urf syahih. Begitu pula
jika dilihat dari alasan penundaan yang menegakkan hidup keluarga terkecil,
yang terdiri dari janda dan anak-anak yang masih kecil, maka dapat dikatakan
niat yang terkandung dari menegakkan keluarga yang terkecil ini adalah sebagai
amal syariat dan hal ini bersesuaian dengan kaidah ushul fiqh dalam hal ini
segala urusan tergantung kepada niatnya.
3) Penundaan
atas dasar sudut waktu berselangnya anak-anak mencapai usia dewasa
Kemudian jika penundaan itu dilihat dari sudut waktu
berselangnya yaitu sampai anak-anak mencapai usia dewasa, maka ada petunjuk
dalam ajaran Islam untuk tidak menyerahkan harta kepada orang yang tidak cakap
bertindak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam membolehkan penundaan yang
dilakukan atas dasar kesepakatan setiap ahli waris, kemaslahatan, dan
menghindari kemudharatan.
b. Upaya
Hukum Dalam Mengatasi Dampak Negatif Dalam Penundaan Pembagian Warisan
1) Dampak
negatif dari penundaan pembagian harta warisan
Berbagai kasus posisi kewarisan menunjukan bahwa terangkatnya kasus
kewarisan di Pengadilan Agama disebabkan oleh banyaknya harta peninggalan yang
tidak jelas atau hilangnya data peninggalan harta tersebut. Ketidakjelasan
harta peninggalan atau hilangnya data itu disebabkan oleh tidak tercatatnya
jumlah dan ukuran luas harta peninggalan dan juga tidak jelasnya mana harta
bawaan suami istri, dan tidak jelasnya harta bersama.
Dengan demikian akan menimbulkan masalah dalam penyelesaian pembagian
warisan dari harta produktif yang akan dibagi. Bahkan dari ketidakjelasan harta
peninggalan itu dapat memberi peluang kepada ahli waris yang lemah imannya
untuk memanipulasi data harta peninggalan tersebut. Perkara warisan adalah
persoalan yang meilbatkan anggota-anggota keluarga; karena itu ia termasuk
perselisihan keluarga. Jika sampai terangkatanya kasus ke Pengadilan, maka
dampaknya akan putusnya hubungan silaturrahmi diantara ahli waris dan
keluarganya. Padahal hukum kewarisan Islam berperan untuk menghindari putusnya
hubungan silaturrahmi.
Untuk menghindari dampak negatif dari tertundanya pembagian harta
warisan, maka perlu satu upaya, guna terwujudnya kemaslahatan sesama ahli
waris. Dalam kajian hukum Islam kemudharatan harus dihilangkan sesuai dengan
kaedah ushul fiqh.
2) Upaya
hukum Islam dalam mengatasi dampak negatif dari hilangnya data harta
peninggalan
Adapun upaya yang akan dilakukan dalam Hukum Islam untuk
mengatasi dari dampak negatif hilangnya data atau tidak jelasnya harta
peninggalan ditempuh dengan dua cara:
Pertama, perlu adanya
pencatatan semua harta peninggalan, baikberupa benda bergerak maupun benda
tidak bergerak kemudian diketahui oleh para ahli waris.
Kedua, perlu ditetapkan
pembatasan waktu daluarsa, guna menghindari hilangnya atau tidak jelas data
harta peninggalan.
c. Kedudukan
Harta Warisan Yang Tertunda Dan Pengurusannya
Apabila seorang meninggal dunia, ia meninggalkan harta
warisan yang tertunda pembagiannya, maka harta tersebut akan menimbulkan
persoalan dalam pengurusan peralihannya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
yang mengurus harta warisan yang tertunda pembagiannya di urus oleh janda
pewaris, anak-anak pewaris, dan keluarga terdekat para ahli waris.
1) Penguasaan
janda
Pada umumnya masyarakat di Indonesia, apabila pewaris
meninggalkan istri, sedangkan anak-anaknya masih kecil, maka harta warisannya
berada di bawah pe ngawasan janda pewaris. Dalam masyarakat yang parental,
janda dapat menguasai harta warisan selama hidupnya, atau dapat mengalihkannya
kepada akan-anak setelah mereka dapat berdiri sendiri.
Dalam penguasaan harta warisan si janda dapat juga berperan
sebagai pembagi harta warisan kepada ahli waris, tanpa turut campur tangan
pihak saudara-saudara laki-laki pewaris. Tetapi tidak demikian halnya, jika si
janda tidak mempunyai anak.
2) Penguasaan
anak
Apabila janda pewaris sudah berusia lanjut sedangkan anak-anaknya
beranjak dewasa, dan mereka sudah berumah tangga, maka pengurusan harta warisan
yang belum dibagi diurus secara bergiliran di antara ahli waris yang berhak,
atau masing-masing ahli waris mengurusnya sebagain atau oleh salah satu dari
ahli waris.
3) Penguasaan
keluarga
Bila pewaris meninggalkan anak-anak yang
masih kecil, sedangkan ia tidak ada jandanya lagi yang dapat bertanggung jawab
untuk mengurus harta warisan, maka pengurusan harta warisan yang belum
dibagikan berada di bawah pengawasan orang tua pewaris menurut susuanan garis
keturunan kekerabatan. Dan jika orang tua pewaris juga sudah tidak ada lagi,
maka penguasaannya dapat dipegang oleh saudara-saudara pewaris atau
keturunannya, menurut susunan garis keturunan kekerabatan pewaris. Pada prinsipnya,
penguasaan harta warisan yang belum dibagi diputuskan berdasarkan atas kemauan
bersama ahli waris.
Dengan demikian
pembagian harta warisan dalam Islam pada dasarnya memang sudah diatur
sedemikian rupa untuk memberikan perlindungan terhadap harta yang ditinggalkan
dan memberikan kemaslahatan kepada keluarga yang ditinggalkan. Sehingga
diupayakan dapat membagi harta warisan dengan ketentuan yang telah ada, namun
jika harus ditunda kiranya dapat memberikan alasan yang benar-benar masuk akal
dan dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga yang ada. Yang paling penting
adalah komunikasi dalam keluarga yang ditinggalkan itu harus ada.
C.
KESIMPULAN
Warisan merupakan
harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya untuk dapat digunakan sebagai
kebutuhan ahli waris yang ditinggalkan. Dalam
Islam harta warisan sudah semestinya segera untuk dibagi ketika salah satu
pewaris meninggal dunia, untuk menghindari terjadi masalah dikemudian hari,
sebab penundaan pembagian harta warisan bukanlah sebuah solusi dalam menjaga
harta warisan yang ditinggalkan.
Harta yang ditinggalkan
oleh seorang yang telah meninggal memang memerlukan aturan khusus tentang siapa
saja yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara untuk
mendapatkannya. Munculnya masalah dalam pembagian warisan di kehidupan
masyarakat, tidak lain karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap warisan
dan pembagiannya dalam aturan agama dan aturan hukum positif di Indonesia,
sehingga pada umumnya sering menimbulkan masalah yang tak kunjung selesai walau
sudah di adili lewat sidang pengadilan agama. Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menjadi salah satu landasan atau dasar hukum pembagian warisan dalam
Islam mampu memberikan kontribusi terhadap persoalan warisan yang sering
menimbulkan sengketa dilingkungan keluarga. Dengan demikian segala ketentuan
yang ada dalam hukum Islam semua telah dituangkan kedalam KHI untuk menjadi
solusi penyelesaian sengketa warisan yang banyak terjadi di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq,
Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013),
Cet. I, Edisi Revisi.
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008),
Cet. III.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 2013).
M. Athoillah, Fikih Mawaris
”Metode Pembagian Waris Praktis”, (Bandung: Yrama Widya, 2013), Cet. I.
M. Idris Ramulyo, Beberapa
Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: In Hill Co,
1991).
Mahkamah Agung RI, Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, (Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama: 2014).
Mardani, Hukum Kewarisan
Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2014), Cet. I.
Muhammad Amin Suma, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah “Jilid 5”, (Matraman: Tinta Abadi Gemilang, 2013),
Cet. I.
[1] M. Athoillah, Fikih
Mawaris ”Metode Pembagian Waris Praktis”, (Bandung: Yrama Widya, 2013), Cet. I.
[3] Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam
Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), Cet. I, Edisi
Revisi, h. 281.
[4] M. Athoillah, Fikih Waris “Metode Pembagian Waris Praktis”, (Bandung: Yrama Widya,
2013), Cet. I, Edisi Revisi, h. 2.
[5] Tirkah (harta peninggalan
pewaris) yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda
yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. (Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf
d)
[6] Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Pasal 171 huruf
a.
[7] Muhammad Amin Suma, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.
108.
[8] M. Idris Ramulyo, Beberapa
Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: In Hill Co,
1991), h. 42.
[10] Mardani, Hukum
Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2014), Cet. I, h. 25.
[11] Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Pasal 171 huruf
e.
[12] Mardani, Hukum
Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2014), Cet. I, h. 26.
[13] Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Pasal 171 huruf
b.
[14] Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Pasal 171 huruf
c.
[15] Mardani, Hukum
Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2014), Cet. I, h. 27.
[16] M. Athoillah, Fikih Waris “Metode Pembagian Waris Praktis”, (Bandung: Yrama Widya,
2013), Cet. I, Edisi Revisi, h. 22.
[20] M. Athoillah, Fikih Waris “Metode Pembagian Waris Praktis”, (Bandung: Yrama Widya,
2013), Cet. I, Edisi Revisi, h. 32.
[21] M. Athoillah, Fikih Waris “Metode Pembagian Waris Praktis”, (Cet.
I, Bandung: Yrama Widya, 2013), h. 147-148.
[22] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
[23] M. Athoillah, Fikih Waris “Metode Pembagian Waris Praktis”, (Cet.
I, Bandung: Yrama Widya, 2013), h. 150-156.
[24] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama Buku II, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama: 2014), h. 165.
[25] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama Buku II, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama: 2014), h. 162-163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar