Rabu, 31 Juli 2019

MEDIASI DALAM SENGKETA KELUARGA

“PENYELESAIAN SENGKETA KELUARGA MELALUI PROSES MEDIASI”

Sengketa Keluarga
A.      PENDAHULUAN
Penyelesaian sengketa pada dasarnya sudah ada sejak zaman dahulu mengikuti perkembangan peradaban manusia. Manusia diciptakan oleh Yang Kuasa dengan berbagai karakter, ras suku yang berbeda-beda, dengan perbedaan tersebut manusia tidak terlepas dari konflik, baik dengan manusia lainnya, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri. Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup, perburuhan, pertanahan, perumahan, dan sebagainya yang merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan efisien. [1] Selain itu, konflik atau sengketa yang banyak terjadi di dalam masyarakat pun sering menggunakan metode mediasi dalam penyelesaian konflik keluarga yang berhubungan dengan masalah keperdataan.
Proses hubungan sosial kemasyarakatan sering kita menemukan sengketa antara masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Sengketa ini pada  umumnya  dapat terjadi  akibat dari tidak terpenuhinya hak-hak dan kewajiban masyarakat atau orang per orang sehingga dalam permasalahan seperti ini dapat digolongkan menjadi sengketa keperdataan. Namun, untuk menyelesaikan konflik seperti ini salah satunya dapat diselesaikan melalui proses mediasi baik di luar pengadilan (non litigasi) ataupun di pengadilan (litigasi). Implementasi mediasi dalam penyelesaian perkara perdata terutama bagi yang beragama Islam dalam proses litigasi dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan perdata umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri.
Mediasi diluar pengadilan (non litigasi) merupakan salah satu alternatif solusi penyelesaian konflik di masyarakat, yang juga merupakan solusi agar tidak terjadi konflik berkepanjangan sampai ke Pengadilan. Mediasi tumbuh dan berkembang sejalan dengan tumbuhnya keinginan manusia dalam menyelesaikan sengketa secara cepat, dan memuaskan bagi kedua belah pihak dan juga berkeadilan. Makna yang terkandung dari mediasi adalah bahwa pada dasarnya manusia secara lahiriah tidak menghendaki dirinya bergelimang konflik dan persengketaan dalam jangka waktu yang lama. Dikarenakan pada dasarnya, manusia berusaha untuk menghindar dan keluar dari konflik, meskipun konflik atau persengketaan tidak mungkin dihilangkan dari realitas kehidupan manusia.[2] Untuk menyelesaikan konflik tersebut diperlukan suatu instrument hukum yang mengaturnya. Hukum itu merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu sebagai sarana untuk melayani hubungan di antara semua anggota masyarakat sehingga terdapat kepastian dalam lalu-lintas hubungan itu. [3]
Sebagai alternatif penyelesaian sengketa, mediasi menjadi salah satu metode efektif penyelesaian sengketa yang memiliki banyak manfaat dan keuntungan. Manfaat dan keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, dan tetap terpeliharanya hubungan antara para pihak secara baik dikarenakan telah menyepakati beberapa poin perdamaian yang telah dirundingkan oleh para pihak yang bersengketa dalam proses mediasi, yang selanjutnya diterbitkan dalam bentuk akta perdamaian.
Prinsipnya mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral (non intervensi) dan tidak berpihak (imparsial) serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga disebut mediator atau penengah, mempunyai tugas membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.[4] Dalam mediasi, seorang mediator berperan membantu para pihak yang bersengketa dengan melakukan identifikasi persoalan yang dipersengketakan, mengembangkan pilihan, dan mempertimbangkan alternatif yang dapat ditawarkan kepada para pihak untuk mencapai kesepakatan.
Beberapa perkara perdata yang dapat dilakukan melalui proses mediasi antara lain adalah sengketa keluarga seperti; perkara warisan, perkawinan, perceraian, sengketa wakaf, hutang piutang, dan lainnya. Beberapa perkara ini pada dasarnya merupakan perkara yang tidak terlalu sulit namun juga tidak mudah untuk diselesaikan, sehingga banyak orang yang terjebak dalam permasalahan keluarga yang mampu menyebabkan keretakan hubungan kekeluargaan hanya karena persoalan keluarga yang tidak mampu diselesaikan, sehingga proses mediasi inilah merupakan jalan yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa, terutama mediasi diluar persidangan. Untuk itu penting untuk melihat bagaimana proses mediasi yang seharusnya dilakukan dalam penyelesaian konflik atau sengketa kekeluargaan, agar dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam hal proses mediasi diluar persidangan.

B.       PEMBAHASAN
1.    Pengertian, Dasar Hukum Dan Manfaat Mediasi
a.    Pengertian Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin mediare yang artinya berada di tengah. Makna ini menunjukan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya mencegahi dan menyelesaikan sengketa antara pihak. Berada ditengah juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menimbulkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa. [5] Pengertian mediasi dalam kamus hukum Indonesia berasal dari bahasa Inggris mediation yang berarti penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. [6]
Pada berbagai kajian kepustakaan ditemukan banyak definisi tentang mediasi. [7] Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Pihak netral tersebut mediator dengan tugas memberikan bantuan procedural dan substansi.
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana para pihak yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator, yang tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. [8]
Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat atau perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Jika mediasi dilakukan diluar pengadian maka proses mediasi tersebut merupakan bagian tersendiri yang terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan.
Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian mediasi di atas, maka mediasi mengandung unsur-unsur berupa: [9]
1)   Sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
2)   Pihak ketiga atau mediator diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
3)   Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa mencari jalan keluar pemecah masalah.
4)   Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan-keputusan selama proses mediasi berlangsung.
5)   Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat di terima pihak-pihak yang bersengketa untuk mengakhiri persengketaan.
Berdasarkan unsur-unsur di atas ini maka dapat dipahami bahwa dalam pelaksanaan proses penyelesaian sengketa melalui mediasi terdapat dua azas penting mediasi yaitu: 1) Menghindari “kalah-menang” (win-lose solution), melainkan sama-sama menang (win-win solution). 2) Putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran, kepatutan dan rasa keadilan.
Selain itu berdasarkan dari berbagai pengertian dan kajian-kajian literature tentang mediasi dapat dijelaskan beberapa prinsip mediasi berupa: [10] 1) Prinsip Keperdataan, bahwa jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat dikatakan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan. 2) Prinsip proses sederhana, bahwa sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan kepada pihak untuk mentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka inginkan. 3) Prinsip mediator sebagai menengahi, bahwa dalam sebuah proses mediasi mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang bersengketa yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahaman yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternatif solusi yang terbaik.
b.    Dasar Hukum Mediasi Di Luar Pengadilan
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan adanya perdamaian akan terhindar dari putusnya perpecahan silaturrahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri. Adapun dasar hukum yang menegaskan tentang perdamaian dapat dilihat dalam Al-Quran surat Al Hujuraat ayat 10 yang berbunyi; “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. [11]
Mediasi diluar pengadilan dapat kita temukan dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan, yang membentuk suatu badan penyelesaian sengketa. Mediasi di luar pengadilan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 berbunyi: [12]
1)   Sengketa atau beda pendapat dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan menyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
2)   Penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas hari) dan hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis.
3)   Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator.
4)   Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5)   Setelah menunjuk mediator atau lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi sudah harus dapat dimulai.
6)   Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
7)   Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
8)   Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
9)   Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
PERMA No. 1 Tahun 2016 juga mengatur ketentuan yang menghubungkan antara praktik mediasi di luar pengadilan yang menghasilkan kesepakatan. Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) PERMA No.1 Tahun 2016 mengatur sebuah prosedur hukum untuk akta perdamaian dari pengadilan tingkat pertama atas kesepakatan perdamaian di luar pengadilan. Prosedurnya adalah dengan cara mengajukan gugatan yang dilampiri oleh naskah atau dokumen kesepakatan perdamaian para pihak dengan mediasi atau dibantu oleh mediator bersertifikat. Pengajuan gugatan tentunya adalah pihak yang dalam sengketa itu mengalami kerugian. [13]
Pada Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung ini mengatur mengenai prosedur hukum untuk memperoleh akta perdamaian dari Pengadilan Tingkat Pertama atas kesepakatan perdamaian atau mediasi di luar pengadilan. Prosedurnya adalah dengan cara mengajukan gugatan yang dilampiri oleh naskah atau dokumen kesepakatan perdamaian dan kesepakatan perdamaian itu merupakan hasil perundingan para pihak dengan dimediasi atau dibantu oleh mediator bersertifikat. Dokumen kesepakatan perdamaian tersebut dapat diajukan dalam bentuk gugatan untuk memperoleh akta perdamaian ke pengadilan yang berwenang. Pengaju gugatan tentunya adalah pihak yang dalam sengketa ini mengalami kerugian. [14]
Peraturan untuk memperoleh akta perdamaian bagi kesepakatan perdamaian di luar pengadilan dengan pengajuan gugatan mungkin dapat dipandang agak aneh. Bagaimana sebuah sengketa yang pada dasarnya telah dapat diselesaikan secara perdamaian, tetapi kemudian salah satu pihak mengajukan gugatan kepada pihak lawannya yang telah berdamai dengan dirinya. Akan tetapi, jika melihat keadaan empiris bahwa tidak semua orang yang telah mengikat perjanjian dengan pihak lainnya bersedia menaati perjanjian itu, maka pengaturan ini memiliki dasar rasional, mengapa tetap diperlukan syarat melalui pengajuan gugatan padahal para pihak telah berdamai karena pengadilan terikat pada aturan prosedural dalam sistem hukum Indonesia bahwa pengadilan hanya dapat menjalankan fungsinya atas dasar adanya gugatan untuk sengketasengketa dan adanya permohonan untuk masalah hukum yang bukan sengketa. Mengapa disyaratkan mediator yang bersertifikat adalah untuk mendorong peningkatan kualitas jasa mediasi. Karena orang yang telah memperoleh sertifikat melalui pendidikan dan pelatihan mediasi memiliki pengetahuan dan keterampilan mediator, sehingga ia tidak akan mengubah proses mediasi yang sifatnya mufakat dan berdasarkan otonomi para pihak menjadi proses yang memutuskan seperti halnya arbitrase. [15]
Di samping itu penyelesaian sengketa para pihak di luar pengadilan secara mediasi apabila tidak diajukan ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian, jika salah satu pihak mengingkari hasil kesepakatan mediasi tersebut, maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah melakukan gugatan wanprestasi, karena kesepakatan damai tanpa akta perdamaian dari pengadilan status hukumnya adalah sebagai perjanjian bagi para pihak.
c.    Manfaat Mediasi
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi, diharapkan para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan diantara mereka, sehingga manfaat mediasi sangat dirasakan. Bahkan dalam mediasi yang gagal, meskipun belum ada penyelesaian yang dicapai, proses mediasi yang sebelumnya berlangsung telah mampu mengklarifikasi persoalan dan mempersempit perselisihan. Dengan demikian para pihak dapat memutuskan penyelesaian seperti apa yang dapat mereka terima dari pada mengejar hal-hal lain yang tidak jelas. Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa mediasi sangat bermanfaat antara lain; 1) penyelesaian sengketa melalui proses musyawarah mufakat, 2) tidak ada pihak yang kalah dan tidak ada pihak yang merasa menang, 3) mampu mengembalikan hubungan kekeluargaan yang sempat bermasalah, 4) mempersempit permasalahan, 4) meminimalisir kerugian dari pihak-pihan yang berperkara, dan 6) mengurangi penumpukan perkara di dalam pengadilan.
2.    Penyelesaian Sengketa Perkawinan Melalui Proses Mediasi Diluar Pengadilan
Kehidupan rumah tangga melalui perkawinan merupakan salah satu lembaran hidup yang akan dilalui oleh setiap manusia. Saat itulah kedewasaan pasangan suami istri sangat dituntut demi mencapai kesuksesan dalam membina bahtera rumah tangga. Tidak selamanya keharmonisan akan selalu menjadi warna yang menghiasi hari-hari yang dilalui oleh pasangan suami istri. Kadang konflik bisa saja terjadi bahkan bisa berbuntut kepada perceraian. Tergantung bagaimana pasangan suami istri itu bisa menyikapi dan mengedapankan akal sehat demi terjaganya keutuhan sebuah rumah tangga yang sakinah. [16]
Tetapi tidak dipungkiri dalam menjalani bahtera rumah tangga tidak pernah berjalan dengan mulus, banyak pernik-pernik kehidupan yang merintangi dan menjadi batu, onak dan duri penyebab terjadinya perselisihan. Banyak rumah tangga dalam kehidupan suami istri yang tidak dapat melewati masa-masa sulit tersebut sehingga menyebabkan keretakan, sengketa, perselisihan dan terkadang diakhiri dengan suatu perseraian. Banyak sebenarnya penyebab pertengkaran, perselisihan dan keretakan rumah tangga akibat perekonomian yang tidak stabil.
Konflik suami istri dalam suatu keluarga membawa banyak perbincangan yang sangat luas dan urgen. Dikatakan luas, karena faktor-faktor penyebab sangat beraneka ragam dan banyak cabangnya. Dikatakan urgen karena dapat membuka mata dan pandangan akan bahayabahaya yang ditimbulkannya. Disamping faktor ekonomi sebagai andil paling besar sebagai penyebab sengketa suami isteri, banyak faktor-faktor lain yang ikut melatarbelakangi dari penyebab pertikaian suami isteri sepanjang masa. Antara lain adalah kesalahan dalam memilih pasangan, ketiadaan kufu’ (kesetaraan) dalam sepasang suami isteri, perbedaan tingkat usia (beda umur), suami yang tidak bertanggung jawab, isteri atau suami selingkuh dan lain-lain.
Hikmah dari pernikahan adalah membangun sebuah keluarga dan menciptakan kebahagian dunia dan akhirat telah menjadi kacau, bubar dan berantarakan. Pernikahan tidak lagi menjadi suatu kebahagian tetapi kehidupan keluarga menjadi suatu yang membuyarkan kebahagian dan keadaan telah menjadi sedemikian parah sampai pada batas yang sulit untuk dipertahankan dalam suatu ikatan perkawinan. Oleh karena itu memisahkan suami isteri dalam rumah tangga perlu ditemukan jalan atau media suasana ini tidak berlarut-larut dan berkepanjangan, jalan penyelesaian ini harus ada untuk mendamai kedua belah pihak. Jika tidak sangat membahayakan semua pihak yang terlibat dalam pernikahan tersebut. Dan bila penyelesaian secara damai tidak dapat dijalankan dengan sebaik mungkin, jalan terakhir menurut Islam adalah mensyariatkan thalak atau fasakh.
Islam tidak dapat memaksakan kondisi sengketa dan perselisihan terus berlanjut dan berkepanjangan. Cerai melalui thalak atau fasakh adalah jalan halal tetapi paling dibenci Allah SWT yang harus ditempuh sebagai jalan akhir jika perdamaian tidak diketemukan. Inilah adalah obat yang paling pahit dan paling keras, jiwa-jiwa menjadi sedih, rumah tangga terpecah dan kadang-kadang konsekuensi akhir adalah anak ikut menerima akibat dari perceraian antara kedua orang tua mereka.
Oleh karena itu perceraian sedapat mungkin harus dihindari dengan menyikapi sengketa suami isteri dengan jalan yang bijaksana. Salah satu jalan adalah mencari pihak ketiga yang masih ada hubungan keluarga secara bersama-sama antara pihak suami dan pihak istri untuk mencari solusi terbaik agar rumah tangga dapat diselamatkan. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa ayat 35, telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku mediator dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.
Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam AI-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah SWT, telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku mediator dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut. [17]
Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, mumi ditempuh di luar jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.
Selama ini, pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia ada dua macam, yaitu penasihatan di luar pengadilan dan penasihatan di pengadilan. Penasihatan di luar pengadilan dilakukan oleh perorangan, biasanya seorang tokoh masyarakat, tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan, atau oleh lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga lainnya. Sedangkan penasihatan di pengadilan dilakukan oleh majelis hakim, pada setiap kali persidangan, terutama pada sidang pertama yang harus dihadiri oleh suami dan isteri secara pribadi, tidak boleh diwakilkan.
Pola penasihatan seperti disebutkan di atas mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di antara kelebihannya adalah bahwa penasihatan di luar pengadilan dapat dilakukan lebih informal dan tidak dibatasi ketentuan-ketentuan hukum acara, sehingga permasalahan lebih banyak dapat digali tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan demikian, maka pemecahannyapun dapat ditentukan dengan pertimbangan yang matang, sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Namun demikian, penasihatan di luar pengadilan sangat tergantung kepada kadar kesulitan permasalahan dan tergantung kepada tingkat “kewibawaan” para penasihat, baik perorangan maupun lembaga. Hasilnyapun tidak mempunyai kekuatan hukum, apalagi jika permasalahan tidak dapat dipecahkan dan suami-isteri tidak dapat didamaikan. Konsep inilah yang dikenal dengan masuknya pihak ketiga untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Pihak ketiga ini dikenal biasanya dengan nama mediator.
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi Iebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai.
Sayangnya dalam berbagai proses penyelesaian sengketa keluarga yang terjadi di luar Pengadilan masih belum menunjukkan sebuah keberhasilan, seperti halnya apa yang banyak terjadi di Provinsi Gorontalo terhadap persoalan masalah rumah tangga, terkadang banyak rumah tangga yang tidak lagi melalui proses mediasi di luar Pengadilan sehingga terjadi banyak penumpukan perkara keluarga di beberapa Pengadilan Agama di Gorontalo. Hal ini biasanya disebabkan oleh kurangnya pemahaman pihak berperkara tentang pentingnya penyelesaian permasalahan di luar pengadilan, anggota keluarga atau orang yang dituakan yang seharusnya mampu menjadi penengah dan mediator dalam penyelesaian permasalahan keluarga justru lebih banyak tidak netral dalam menyelesaikannya sehingga tidak menemui titik tengah dan malah menambah masalah. Begitu juga dengan lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga lainnya yang secara umum di Provinsi Gorontalo tidak berfungsi secara maksimal, padahal lembaganya ada namun tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Melihat hal ini penting bagi kita sebagai bahan renungan dan perbaikan kedepannya, agar lebih memperhatikan alternative-alternatif penyelesaian sengketa keluarga yang sekiranya masih dapat memungkinkan untuk diselesaiakan diluar pengadilan. Namun untuk mewujudkan itu semua kembali lagi pada pemahaman pihak berperka sebab ketika mereka tidak mampu memahami permasalahan yang dihadapi maka kecil kemungkinan untuk dapat diselesaikan, begitupula dengan niat baik kedua belah pihak yang sebaiknya lebih dikedepankan agar bahtera rumah tangga yang telah dibangun tidak serta-merta mudah untuk dipisahkan. 
3.    Penyelesaian Sengketa Warisan Melalui Proses Mediasi di Luar Pengadilan
Masalah kewarisan dalam Islam memang sering menimbulkan konflik di dalam masyarakat akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap proses pembagian warisan dalam Islam. Sehingga dalam perjalanannya banyak yang justru terjebak dalam masalah kewarisan hingga berujung pada konflik berkepanjangan antar keluarga. Beberapa bentuk sengketa kewarisan yang sering terjadi dalam masyarakat antara lain adalah; proses pembagian warisan yang dianggap tidak adil, penguasaan harta warisan oleh salah satu ahli waris dan adanya ahli waris yang tidak jelas kedudukannya sebagai ahli waris. Beberapa bentuk sengketa kewarisan ini lebih banyak diakibatkan oleh lamanya harta warisan yang dibagi, sehingga rentan terjadinya konflik antar keluarga.
Ketika terjadi sengketa kewarisan dalam keluarga maka hal terpenting yang pertama harus dilakukan adalah melakukan proses penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah keluarga atau mediasi yang menghadirkan pihak ketiga dalam penyelesaiannya. Meskipun hal ini banyak dipraktekkan dalam masyarakat tetapi pada kenyataannya hasilnya tidak sesuai dengan harapan, banyak sengketa warisan yang justru lebih dari sekali dilakukan mediasi tetapi tidak berhasil dan harus diselesaikan di Pengadilan Agama, seperti halnya sengketa warisan yang terjadi di Desa Yosonegoro, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo. Jika dilihat dari kasus ini sebenarnya masih sangat memungkinkan dilakukan melalui proses mediasi, sebab sengketa warisan ini pada dasarnya hanya menginginkan pembagian harta warisan, tetapi karena kedua pihak yang bersengketa salah satunya bersikeras untuk mempertahankan harta warisan yang dalam penguasaannya maka proses mediasi yang 3 kali dilakukan di desa dengan difasilitasi oleh Pemerintah Desa tidak berhasil, sehingga harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Kasus seperti ini hampir rata-rata terjadi pada sengketa warisan yang ada di Kabupaten Gorontalo.
Tujuan dilakukan mediasi sebenarnya adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imprasial. Mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). [18] Dikatakan pula letak manfaat dari pelaksanaan perdamaian yaitu dimana apabila persengketaan yang dilakukan dengan perdamaian yang menghasilkan keputusan lahiriah dan batiniah serta hubungan kedua belah pihak diharapkan akan terjalin seperti sedia kala. [19]
Berdasarkan fakta-fakta tentang ketidakberhasilan proses mediasi yang dilakukan dalam sengketa warisan ini, sering disebabkan oleh meditor merupakan orang yang tidak memahami masalah yang disengketakan seperti masalah warisan, banyak para pihak yang memilih pemerintah desa sebagai alternative solusi yang dapat dijadikan sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa tetapi nyatanya setelah proses mediasi itu dijalankan tidak menemukan solusi apa-apa, karena factor pemahaman sang mediator juga yang sangat minim dalam menyelesaikannya. Selain itu, proses mediasi diluar persidangan tidak berhasil dilakukan juga karena kategori masalah yang disengketakan sudah sangat rumit, sehingga kecil kemungkinan untuk dapat diselesaikan melalui proses musyawarah mufakat. Kemudian terakhir yang juga sangat berpengaruh pada ketidakberhasilan mediasi adalah para pihak yang tidak lagi mau untuk didamaikan, karena sama-sama merasa paling benar dan sama-sama memegang bukti-bukti yang cukup jelas.
Oleh sebab itu, meskipun dalam sengketa kewarisan kecil kemungkinan untuk dapat diselesaikan melalui proses mediasi, tetap saja upaya mediasi diluar persidangan dapat dilakukan dengan salah satu solusinya adalah dengan menghadirkan mediator yang benar-benar memahami masalah yang dihadapi terutama mediator yang telah tersertifikasi, meskipun ditingkatan desa ada pemerintah desa yang lebih berhak. Dengan demikian maka mediator bukan hanya sebagai penengah saja yang hanya mendengarkan berbagai macam keluhan dari kedua belah pihak, tatapi mampu memberikan solusi dalam penyelesaian perkara karena mediator tidak memiliki hak untuk memutuskan. .




C.      KESIMPULAN
Proses mediasi diluar persidangan merupakan alternative solusi penyelesaian sengketa, khususnya sengketa perdata seperti warisan. Mediasi pada dasarnya dapat dengan mudah dilakukan ketika kedua belah pihak menginginkan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat, namun ketika salah satu pihak bersikeras untuk tidak menginginkan adanya solusi diluar persidangan maka kecil kemungkinan mediasi dapat berhasil dilakukan.
Kehadiran dan peran mediator sebagai penengah dalam sengketa seperti permasalahan perkawinan, perceraian, dan kewarisan menjadi sangat penting, apalagi mediator yang hadir tersebut merupakan orang yang sangat memahami masalah yang disengketakan dan benar-benar netral tanpa ada kepentingan, maka akan banyak solusi yang didapatkan dalam penyelesaian sengketa tersebut yang menguntungkan kedua belah pihak, meskipun ada salah satu pihak yang tidak menginginkan, tetapi jika mediatornya sangat paham dan jeli dalam melihat sebuah masalah maka mediasi akan berhasil dengan mudah. Sebaliknya jika mediator yang hadir merupakan orang yang sama sekali tidak memahami masalah yang ada, meskipun orangnya disegani dan dihormati tetap saja akan sulit untuk menemukan sebuah solusi yang tepat.
Banyaknya masalah perkawinan, perceraian dan sengketa warisan yang berujung di Pengadilan, bukan hanya karena masalahnya sudah sangat rumit tetapi karena memang jalur mediasi di luar persidangan dianggap tidaklah menjadi solusi yang tepat, karena tidak mampu memberikan solusi apapun dalam penyelesaian sengketa keluarga. 
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Gama Media, 2008).

B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Sinar Harapan, 2006).

Kamil Al-Hayali, Solusi Islam dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005).

Mahkamah Agung Republik Indonesia, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.

Muliadi Nur, Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perceraian, http//:www.pojokhukum. blogspot.com/2008/03/mediasi-dalam-penyelesaian-sengketa.html.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Rachmadi Usman, “Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003).

Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelasaian Sengketa, (Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia, 2009).

Syahrizal Abas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2011).

Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011).

Viktor M, Perdamaian dan Perwasiatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993).







[1] Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Gama Media, 2008), h. 56.
[2] Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Gama Media, 2008), h. 56.
[3] Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Gama Media, 2008), h. 56.
[4] Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, h. 58.
[5] Syahrizal Abas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 58.
[6] B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h. 168.
[7] Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 90-92.
[8] Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2010), h.10.
[9] Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelasaian Sengketa, (Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia, 2009), h. 41.
[10] Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelasaian Sengketa, (Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia, 2009), h. 46-50.
[11] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[12] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[13] Mahkamah Agung Republik Indonesia, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
[14] Takdir Rahmadi, “Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 193.
[15] Takdir Rahmadi, “Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat”, h. 194.
[16] Kamil Al-Hayali, Solusi Islam dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 1.
[17]Muliadi Nur, Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perceraian, http//:www.pojokhukum. blogspot.com/2008/03/mediasi-dalam-penyelesaian-sengketa.html.
[18] Syahrizal Abas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional, h. 24.
[19] Viktor M, Perdamaian dan Perwasiatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar