A.
PENDAHULUAN
Penyelesaian
sengketa pada dasarnya sudah ada sejak zaman dahulu mengikuti perkembangan
peradaban manusia. Manusia diciptakan oleh Yang Kuasa dengan berbagai karakter,
ras suku yang berbeda-beda, dengan perbedaan tersebut manusia tidak terlepas
dari konflik, baik dengan manusia lainnya, alam lingkungannya, bahkan dengan
dirinya sendiri. Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa
alternatif di luar pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus
bisnis, lingkungan hidup, perburuhan, pertanahan, perumahan, dan sebagainya
yang merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa yang
cepat, efektif, dan efisien. [1] Selain itu, konflik atau
sengketa yang banyak terjadi di dalam masyarakat pun sering menggunakan metode
mediasi dalam penyelesaian konflik keluarga yang berhubungan dengan masalah keperdataan.
Proses hubungan sosial kemasyarakatan sering kita menemukan sengketa antara
masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Sengketa ini pada umumnya
dapat terjadi akibat dari tidak terpenuhinya
hak-hak dan kewajiban masyarakat atau orang per
orang sehingga dalam permasalahan seperti ini dapat digolongkan menjadi sengketa keperdataan. Namun, untuk menyelesaikan konflik seperti ini salah satunya dapat diselesaikan
melalui proses mediasi baik di luar pengadilan (non litigasi)
ataupun di pengadilan (litigasi). Implementasi mediasi dalam
penyelesaian perkara perdata terutama bagi yang beragama Islam dalam proses litigasi dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama dan perdata umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri.
Mediasi
diluar pengadilan (non litigasi) merupakan salah satu alternatif solusi penyelesaian konflik di
masyarakat, yang juga merupakan solusi agar tidak terjadi konflik
berkepanjangan sampai ke Pengadilan. Mediasi tumbuh dan berkembang sejalan
dengan tumbuhnya keinginan manusia dalam menyelesaikan sengketa secara cepat,
dan memuaskan bagi kedua belah pihak dan juga berkeadilan. Makna yang
terkandung dari mediasi adalah bahwa pada dasarnya manusia secara lahiriah
tidak menghendaki dirinya bergelimang konflik dan persengketaan dalam jangka
waktu yang lama. Dikarenakan pada dasarnya, manusia berusaha untuk menghindar
dan keluar dari konflik, meskipun konflik atau persengketaan tidak mungkin
dihilangkan dari realitas kehidupan manusia.[2]
Untuk menyelesaikan konflik tersebut diperlukan suatu instrument hukum yang
mengaturnya. Hukum itu merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan
sosial itu sendiri, yaitu sebagai sarana untuk melayani hubungan di antara
semua anggota masyarakat sehingga terdapat kepastian dalam lalu-lintas hubungan
itu. [3]
Sebagai
alternatif penyelesaian sengketa, mediasi menjadi salah satu metode efektif
penyelesaian sengketa yang memiliki banyak manfaat dan keuntungan. Manfaat dan
keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat
diselesaikan dengan win-win solution,
waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, dan tetap terpeliharanya
hubungan antara para pihak secara baik dikarenakan telah menyepakati beberapa
poin perdamaian yang telah dirundingkan oleh para pihak yang bersengketa dalam
proses mediasi, yang selanjutnya diterbitkan dalam bentuk akta perdamaian.
Prinsipnya
mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui
perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral (non intervensi) dan tidak berpihak (imparsial) serta diterima kehadirannya
oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga disebut mediator atau penengah,
mempunyai tugas membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan
masalahnya, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.[4]
Dalam mediasi, seorang mediator berperan membantu para pihak yang bersengketa
dengan melakukan identifikasi persoalan yang dipersengketakan, mengembangkan
pilihan, dan mempertimbangkan alternatif yang dapat ditawarkan kepada para
pihak untuk mencapai kesepakatan.
Beberapa perkara perdata yang dapat
dilakukan melalui proses mediasi antara lain adalah sengketa keluarga seperti;
perkara warisan, perkawinan, perceraian, sengketa wakaf, hutang piutang, dan
lainnya. Beberapa perkara ini pada dasarnya merupakan perkara yang tidak
terlalu sulit namun juga tidak mudah untuk diselesaikan, sehingga banyak orang
yang terjebak dalam permasalahan keluarga yang mampu menyebabkan keretakan
hubungan kekeluargaan hanya karena persoalan keluarga yang tidak mampu
diselesaikan, sehingga proses mediasi inilah merupakan jalan yang dapat
ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa, terutama mediasi diluar
persidangan. Untuk itu penting untuk melihat bagaimana proses mediasi
yang seharusnya dilakukan dalam penyelesaian konflik atau sengketa kekeluargaan, agar dapat
memberikan kontribusi pemikiran dalam hal proses mediasi diluar persidangan.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian, Dasar Hukum Dan Manfaat Mediasi
a. Pengertian Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa
latin mediare yang artinya berada di
tengah. Makna ini menunjukan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai
mediator dalam menjalankan tugasnya mencegahi dan menyelesaikan sengketa antara
pihak. Berada ditengah juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral
dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga
kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga
menimbulkan kepercayaan (trust) dari
para pihak yang bersengketa. [5]
Pengertian mediasi dalam kamus hukum Indonesia berasal dari bahasa Inggris mediation yang berarti penyelesaian
sengketa secara damai yang melibatkan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. [6]
Pada berbagai
kajian kepustakaan ditemukan banyak definisi tentang mediasi. [7]
Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih
melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak
memiliki kewenangan memutus. Pihak netral tersebut mediator dengan tugas
memberikan bantuan procedural dan substansi.
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di
mana para pihak yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa
untuk mencari kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator,
yang tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak
untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. [8]
Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa
memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat atau perdata.
Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak,
perbankan, bisnis, lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya
dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Jika mediasi dilakukan diluar
pengadian maka proses mediasi tersebut merupakan bagian tersendiri yang
terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan.
Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian mediasi di
atas, maka mediasi mengandung unsur-unsur berupa: [9]
1)
Sebuah proses
penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
2)
Pihak ketiga atau
mediator diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
3)
Mediator bertugas
membantu para pihak yang bersengketa mencari jalan keluar pemecah masalah.
4)
Mediator tidak
mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan-keputusan selama proses mediasi
berlangsung.
5)
Tujuan mediasi adalah
untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat di terima pihak-pihak
yang bersengketa untuk mengakhiri persengketaan.
Berdasarkan unsur-unsur di atas ini maka dapat dipahami
bahwa dalam pelaksanaan proses penyelesaian sengketa melalui mediasi terdapat
dua azas penting mediasi yaitu: 1) Menghindari “kalah-menang” (win-lose solution), melainkan sama-sama
menang (win-win solution). 2) Putusan
tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar
kesejajaran, kepatutan dan rasa keadilan.
Selain itu berdasarkan dari berbagai pengertian dan
kajian-kajian literature tentang mediasi dapat dijelaskan beberapa prinsip
mediasi berupa: [10]
1) Prinsip Keperdataan, bahwa jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat
Undang-Undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat dikatakan bahwa
sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan.
2) Prinsip proses sederhana, bahwa sifat sukarela dalam mediasi memberikan
keleluasaan kepada pihak untuk mentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa
mediasi yang mereka inginkan. 3) Prinsip mediator sebagai menengahi, bahwa
dalam sebuah proses mediasi mediator menjalankan peran untuk menengahi para
pihak yang bersengketa yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan
pemahaman yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan
alternatif solusi yang terbaik.
b.
Dasar Hukum Mediasi Di Luar Pengadilan
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan adanya
perdamaian akan terhindar dari putusnya perpecahan silaturrahmi (hubungan kasih
sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat
diakhiri. Adapun dasar hukum yang menegaskan tentang perdamaian dapat dilihat
dalam Al-Quran surat Al Hujuraat ayat 10 yang berbunyi; “Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat
rahmat”. [11]
Mediasi diluar pengadilan dapat kita temukan dalam beberapa Peraturan
Perundang-undangan, yang membentuk suatu badan penyelesaian sengketa. Mediasi
di luar pengadilan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hal ini dapat
dilihat pada Pasal 6 berbunyi: [12]
1) Sengketa
atau beda pendapat dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan menyampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
2) Penyelesaian
sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan
dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat
belas hari) dan hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis.
3) Dalam
hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
diselesaikan maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda
pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui
seorang mediator.
4) Apabila
para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan
bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak
berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan
kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase
atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5) Setelah
menunjuk mediator atau lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi sudah harus
dapat dimulai.
6) Usaha
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang
ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
7) Kesepakatan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan
mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib
didaftarkan di pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak penandatanganan.
8) Kesepakatan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7)
wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran.
9) Apabila
usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6)
tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis
dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase
ad hoc.
PERMA No. 1 Tahun 2016 juga mengatur ketentuan yang menghubungkan antara
praktik mediasi di luar pengadilan yang menghasilkan kesepakatan. Pasal 36 ayat
(1), (2), dan (3) PERMA No.1 Tahun 2016 mengatur sebuah prosedur hukum untuk akta
perdamaian dari pengadilan tingkat pertama atas kesepakatan perdamaian di luar
pengadilan. Prosedurnya adalah dengan cara mengajukan gugatan yang dilampiri
oleh naskah atau dokumen kesepakatan perdamaian para pihak dengan mediasi atau
dibantu oleh mediator bersertifikat. Pengajuan gugatan tentunya adalah pihak
yang dalam sengketa itu mengalami kerugian. [13]
Pada Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung ini mengatur mengenai prosedur
hukum untuk memperoleh akta perdamaian dari Pengadilan Tingkat Pertama atas kesepakatan
perdamaian atau mediasi di luar pengadilan. Prosedurnya adalah dengan cara
mengajukan gugatan yang dilampiri oleh naskah atau dokumen kesepakatan
perdamaian dan kesepakatan perdamaian itu merupakan hasil perundingan para
pihak dengan dimediasi atau dibantu oleh mediator bersertifikat. Dokumen
kesepakatan perdamaian tersebut dapat diajukan dalam bentuk gugatan untuk
memperoleh akta perdamaian ke pengadilan yang berwenang. Pengaju gugatan
tentunya adalah pihak yang dalam sengketa ini mengalami kerugian. [14]
Peraturan untuk
memperoleh akta perdamaian bagi kesepakatan perdamaian di luar pengadilan
dengan pengajuan gugatan mungkin dapat dipandang agak aneh. Bagaimana sebuah
sengketa yang pada dasarnya telah dapat diselesaikan secara perdamaian, tetapi
kemudian salah satu pihak mengajukan gugatan kepada pihak lawannya yang telah
berdamai dengan dirinya. Akan tetapi, jika melihat keadaan empiris bahwa tidak
semua orang yang telah mengikat perjanjian dengan pihak lainnya bersedia
menaati perjanjian itu, maka pengaturan ini memiliki dasar rasional, mengapa
tetap diperlukan syarat melalui pengajuan gugatan padahal para pihak telah
berdamai karena pengadilan terikat pada aturan prosedural dalam sistem hukum
Indonesia bahwa pengadilan hanya dapat menjalankan fungsinya atas dasar adanya
gugatan untuk sengketasengketa dan adanya permohonan untuk masalah hukum yang
bukan sengketa. Mengapa disyaratkan mediator yang bersertifikat adalah untuk
mendorong peningkatan kualitas jasa mediasi. Karena orang yang telah memperoleh
sertifikat melalui pendidikan dan pelatihan mediasi memiliki pengetahuan dan
keterampilan mediator, sehingga ia tidak akan mengubah proses mediasi yang
sifatnya mufakat dan berdasarkan otonomi para pihak menjadi proses yang
memutuskan seperti halnya arbitrase. [15]
Di samping itu penyelesaian sengketa para pihak di luar pengadilan secara
mediasi apabila tidak diajukan ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh
akta perdamaian, jika salah satu pihak mengingkari hasil kesepakatan mediasi
tersebut, maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah melakukan gugatan
wanprestasi, karena kesepakatan damai tanpa akta perdamaian dari pengadilan
status hukumnya adalah sebagai perjanjian bagi para pihak.
c.
Manfaat Mediasi
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi, diharapkan
para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan diantara mereka, sehingga
manfaat mediasi sangat dirasakan. Bahkan dalam mediasi yang gagal, meskipun
belum ada penyelesaian yang dicapai, proses mediasi yang sebelumnya berlangsung
telah mampu mengklarifikasi persoalan dan mempersempit perselisihan. Dengan
demikian para pihak dapat memutuskan penyelesaian seperti apa yang dapat mereka
terima dari pada mengejar hal-hal
lain yang tidak jelas. Sehingga
dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa mediasi sangat bermanfaat antara lain; 1)
penyelesaian sengketa melalui proses musyawarah mufakat, 2) tidak ada pihak
yang kalah dan tidak ada pihak yang merasa menang, 3) mampu mengembalikan
hubungan kekeluargaan yang sempat bermasalah, 4) mempersempit permasalahan, 4)
meminimalisir kerugian dari pihak-pihan yang berperkara, dan 6) mengurangi
penumpukan perkara di dalam pengadilan.
2.
Penyelesaian
Sengketa Perkawinan Melalui Proses Mediasi Diluar Pengadilan
Kehidupan rumah tangga melalui perkawinan merupakan salah satu lembaran
hidup yang akan dilalui oleh setiap manusia. Saat itulah kedewasaan pasangan
suami istri sangat dituntut demi mencapai kesuksesan dalam membina bahtera
rumah tangga. Tidak selamanya keharmonisan akan selalu menjadi warna yang
menghiasi hari-hari yang dilalui oleh pasangan suami istri. Kadang konflik bisa
saja terjadi bahkan bisa berbuntut kepada perceraian. Tergantung bagaimana
pasangan suami istri itu bisa menyikapi dan mengedapankan akal sehat demi
terjaganya keutuhan sebuah rumah tangga yang sakinah. [16]
Tetapi tidak dipungkiri dalam menjalani bahtera rumah tangga tidak pernah
berjalan dengan mulus, banyak pernik-pernik kehidupan yang merintangi dan
menjadi batu, onak dan duri penyebab terjadinya perselisihan. Banyak rumah
tangga dalam kehidupan suami istri yang tidak dapat melewati masa-masa sulit
tersebut sehingga menyebabkan keretakan, sengketa, perselisihan dan terkadang
diakhiri dengan suatu perseraian. Banyak sebenarnya penyebab pertengkaran,
perselisihan dan keretakan rumah tangga akibat perekonomian yang tidak stabil.
Konflik suami istri dalam suatu keluarga membawa banyak perbincangan yang
sangat luas dan urgen. Dikatakan luas, karena faktor-faktor penyebab sangat
beraneka ragam dan banyak cabangnya. Dikatakan urgen karena dapat membuka mata
dan pandangan akan bahayabahaya yang ditimbulkannya. Disamping faktor ekonomi
sebagai andil paling besar sebagai penyebab sengketa suami isteri, banyak
faktor-faktor lain yang ikut melatarbelakangi dari penyebab pertikaian suami
isteri sepanjang masa. Antara lain adalah kesalahan dalam memilih pasangan,
ketiadaan kufu’ (kesetaraan) dalam sepasang suami isteri, perbedaan tingkat
usia (beda umur), suami yang tidak bertanggung jawab, isteri atau suami
selingkuh dan lain-lain.
Hikmah dari pernikahan adalah membangun sebuah keluarga dan menciptakan
kebahagian dunia dan akhirat telah menjadi kacau, bubar dan berantarakan.
Pernikahan tidak lagi menjadi suatu kebahagian tetapi kehidupan keluarga
menjadi suatu yang membuyarkan kebahagian dan keadaan telah menjadi sedemikian
parah sampai pada batas yang sulit untuk dipertahankan dalam suatu ikatan
perkawinan. Oleh karena itu memisahkan suami isteri dalam rumah tangga perlu
ditemukan jalan atau media suasana ini tidak berlarut-larut dan berkepanjangan,
jalan penyelesaian ini harus ada untuk mendamai kedua belah pihak. Jika tidak
sangat membahayakan semua pihak yang terlibat dalam pernikahan tersebut. Dan
bila penyelesaian secara damai tidak dapat dijalankan dengan sebaik mungkin,
jalan terakhir menurut Islam adalah mensyariatkan thalak atau fasakh.
Islam tidak dapat memaksakan kondisi sengketa dan perselisihan terus
berlanjut dan berkepanjangan. Cerai melalui thalak atau fasakh adalah jalan
halal tetapi paling dibenci Allah SWT yang harus ditempuh sebagai jalan akhir
jika perdamaian tidak diketemukan. Inilah adalah obat yang paling pahit dan
paling keras, jiwa-jiwa menjadi sedih, rumah tangga terpecah dan kadang-kadang
konsekuensi akhir adalah anak ikut menerima akibat dari perceraian antara kedua
orang tua mereka.
Oleh karena itu perceraian sedapat mungkin harus dihindari dengan
menyikapi sengketa suami isteri dengan jalan yang bijaksana. Salah satu jalan
adalah mencari pihak ketiga yang masih ada hubungan keluarga secara
bersama-sama antara pihak suami dan pihak istri untuk mencari solusi terbaik
agar rumah tangga dapat diselamatkan. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah
An-Nisaa ayat 35, telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada
persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam
(mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga
perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara
menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan
jalan mengirim seorang hakam selaku mediator dari kedua belah pihak untuk
membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.
Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq
(terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri).
Namun jauh sebelumnya dalam AI-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah SWT, telah
memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami
isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat
dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara
suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku mediator dari
kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut. [17]
Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”,
yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak
selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, mumi ditempuh di luar
jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan
alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak
lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia
juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.
Selama ini, pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia ada dua
macam, yaitu penasihatan di luar pengadilan dan penasihatan di pengadilan.
Penasihatan di luar pengadilan dilakukan oleh perorangan, biasanya seorang
tokoh masyarakat, tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan, atau oleh
lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi
keluarga lainnya. Sedangkan penasihatan di pengadilan dilakukan oleh majelis
hakim, pada setiap kali persidangan, terutama pada sidang pertama yang harus
dihadiri oleh suami dan isteri secara pribadi, tidak boleh diwakilkan.
Pola penasihatan seperti disebutkan di atas mempunyai kelebihan dan
kekurangannya. Di antara kelebihannya adalah bahwa penasihatan di luar
pengadilan dapat dilakukan lebih informal dan tidak dibatasi
ketentuan-ketentuan hukum acara, sehingga permasalahan lebih banyak dapat
digali tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan demikian, maka
pemecahannyapun dapat ditentukan dengan pertimbangan yang matang, sehingga
dapat diterima oleh kedua belah pihak. Namun demikian, penasihatan di luar
pengadilan sangat tergantung kepada kadar kesulitan permasalahan dan tergantung
kepada tingkat “kewibawaan” para penasihat, baik perorangan maupun lembaga.
Hasilnyapun tidak mempunyai kekuatan hukum, apalagi jika permasalahan tidak
dapat dipecahkan dan suami-isteri tidak dapat didamaikan. Konsep inilah yang
dikenal dengan masuknya pihak ketiga untuk mendamaikan kedua belah pihak yang
berselisih. Pihak ketiga ini dikenal biasanya dengan nama mediator.
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator
tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak pula
mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi Iebih memberdayakan
para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong
dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan
keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan
perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para
pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para
pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat
kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai.
Sayangnya dalam berbagai proses penyelesaian sengketa keluarga yang
terjadi di luar Pengadilan masih belum menunjukkan sebuah keberhasilan, seperti
halnya apa yang banyak terjadi di Provinsi Gorontalo terhadap persoalan masalah
rumah tangga, terkadang banyak rumah tangga yang tidak lagi melalui proses
mediasi di luar Pengadilan sehingga terjadi banyak penumpukan perkara keluarga
di beberapa Pengadilan Agama di Gorontalo. Hal ini biasanya disebabkan oleh
kurangnya pemahaman pihak berperkara tentang pentingnya penyelesaian
permasalahan di luar pengadilan, anggota keluarga atau orang yang dituakan yang
seharusnya mampu menjadi penengah dan mediator dalam penyelesaian permasalahan
keluarga justru lebih banyak tidak netral dalam menyelesaikannya sehingga tidak
menemui titik tengah dan malah menambah masalah. Begitu juga dengan lembaga
penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga
lainnya yang secara umum di Provinsi Gorontalo tidak berfungsi secara maksimal,
padahal lembaganya ada namun tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Melihat hal ini penting bagi kita sebagai bahan renungan dan perbaikan
kedepannya, agar lebih memperhatikan alternative-alternatif penyelesaian
sengketa keluarga yang sekiranya masih dapat memungkinkan untuk diselesaiakan
diluar pengadilan. Namun untuk mewujudkan itu semua kembali lagi pada pemahaman
pihak berperka sebab ketika mereka tidak mampu memahami permasalahan yang
dihadapi maka kecil kemungkinan untuk dapat diselesaikan, begitupula dengan niat
baik kedua belah pihak yang sebaiknya lebih dikedepankan agar bahtera rumah
tangga yang telah dibangun tidak serta-merta mudah untuk dipisahkan.
3.
Penyelesaian
Sengketa Warisan Melalui Proses Mediasi di Luar Pengadilan
Masalah kewarisan dalam Islam memang sering menimbulkan konflik di dalam
masyarakat akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap proses pembagian
warisan dalam Islam. Sehingga dalam perjalanannya banyak yang justru terjebak
dalam masalah kewarisan hingga berujung pada konflik berkepanjangan antar
keluarga. Beberapa bentuk sengketa kewarisan yang sering terjadi dalam
masyarakat antara lain adalah; proses pembagian warisan yang dianggap tidak
adil, penguasaan harta warisan oleh salah satu ahli waris dan adanya ahli waris
yang tidak jelas kedudukannya sebagai ahli waris. Beberapa bentuk sengketa
kewarisan ini lebih banyak diakibatkan oleh lamanya harta warisan yang dibagi,
sehingga rentan terjadinya konflik antar keluarga.
Ketika terjadi sengketa kewarisan dalam keluarga maka hal terpenting yang
pertama harus dilakukan adalah melakukan proses penyelesaian sengketa melalui
jalur musyawarah keluarga atau mediasi yang menghadirkan pihak ketiga dalam
penyelesaiannya. Meskipun hal ini banyak dipraktekkan dalam masyarakat tetapi
pada kenyataannya hasilnya tidak sesuai dengan harapan, banyak sengketa warisan
yang justru lebih dari sekali dilakukan mediasi tetapi tidak berhasil dan harus
diselesaikan di Pengadilan Agama, seperti halnya sengketa warisan yang terjadi
di Desa Yosonegoro, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo. Jika dilihat
dari kasus ini sebenarnya masih sangat memungkinkan dilakukan melalui proses
mediasi, sebab sengketa warisan ini pada dasarnya hanya menginginkan pembagian
harta warisan, tetapi karena kedua pihak yang bersengketa salah satunya
bersikeras untuk mempertahankan harta warisan yang dalam penguasaannya maka
proses mediasi yang 3 kali dilakukan di desa dengan difasilitasi oleh
Pemerintah Desa tidak berhasil, sehingga harus diselesaikan di Pengadilan
Agama. Kasus seperti ini hampir rata-rata terjadi pada sengketa warisan yang
ada di Kabupaten Gorontalo.
Tujuan dilakukan mediasi sebenarnya adalah menyelesaikan sengketa antara
para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imprasial.
Mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan
lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua
belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak
yang dikalahkan (win-win solution). [18]
Dikatakan pula letak manfaat dari pelaksanaan perdamaian yaitu dimana apabila
persengketaan yang dilakukan dengan perdamaian yang menghasilkan keputusan
lahiriah dan batiniah serta hubungan kedua belah pihak diharapkan akan terjalin
seperti sedia kala. [19]
Berdasarkan fakta-fakta tentang ketidakberhasilan proses mediasi yang
dilakukan dalam sengketa warisan ini, sering disebabkan oleh meditor merupakan
orang yang tidak memahami masalah yang disengketakan seperti masalah warisan,
banyak para pihak yang memilih pemerintah desa sebagai alternative solusi yang
dapat dijadikan sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa tetapi nyatanya
setelah proses mediasi itu dijalankan tidak menemukan solusi apa-apa, karena
factor pemahaman sang mediator juga yang sangat minim dalam menyelesaikannya.
Selain itu, proses mediasi diluar persidangan tidak berhasil dilakukan juga
karena kategori masalah yang disengketakan sudah sangat rumit, sehingga kecil
kemungkinan untuk dapat diselesaikan melalui proses musyawarah mufakat.
Kemudian terakhir yang juga sangat berpengaruh pada ketidakberhasilan mediasi
adalah para pihak yang tidak lagi mau untuk didamaikan, karena sama-sama merasa
paling benar dan sama-sama memegang bukti-bukti yang cukup jelas.
Oleh sebab itu, meskipun dalam sengketa kewarisan kecil kemungkinan untuk
dapat diselesaikan melalui proses mediasi, tetap saja upaya mediasi diluar
persidangan dapat dilakukan dengan salah satu solusinya adalah dengan
menghadirkan mediator yang benar-benar memahami masalah yang dihadapi terutama
mediator yang telah tersertifikasi, meskipun ditingkatan desa ada pemerintah
desa yang lebih berhak. Dengan demikian maka mediator bukan hanya sebagai
penengah saja yang hanya mendengarkan berbagai macam keluhan dari kedua belah
pihak, tatapi mampu memberikan solusi dalam penyelesaian perkara karena
mediator tidak memiliki hak untuk memutuskan. .
C. KESIMPULAN
Proses
mediasi diluar persidangan merupakan alternative solusi penyelesaian sengketa,
khususnya sengketa perdata seperti warisan. Mediasi pada dasarnya dapat dengan
mudah dilakukan ketika kedua belah pihak menginginkan penyelesaian sengketa
melalui jalur musyawarah mufakat, namun ketika salah satu pihak bersikeras
untuk tidak menginginkan adanya solusi diluar persidangan maka kecil
kemungkinan mediasi dapat berhasil dilakukan.
Kehadiran
dan peran mediator sebagai penengah dalam sengketa seperti permasalahan
perkawinan, perceraian, dan kewarisan menjadi sangat penting, apalagi mediator
yang hadir tersebut merupakan orang yang sangat memahami masalah yang
disengketakan dan benar-benar netral tanpa ada kepentingan, maka akan banyak
solusi yang didapatkan dalam penyelesaian sengketa tersebut yang menguntungkan
kedua belah pihak, meskipun ada salah satu pihak yang tidak menginginkan,
tetapi jika mediatornya sangat paham dan jeli dalam melihat sebuah masalah maka
mediasi akan berhasil dengan mudah. Sebaliknya jika mediator yang hadir
merupakan orang yang sama sekali tidak memahami masalah yang ada, meskipun
orangnya disegani dan dihormati tetap saja akan sulit untuk menemukan sebuah
solusi yang tepat.
Banyaknya
masalah perkawinan, perceraian dan sengketa warisan yang berujung di
Pengadilan, bukan hanya karena masalahnya sudah sangat rumit tetapi karena
memang jalur mediasi di luar persidangan dianggap tidaklah menjadi solusi yang
tepat, karena tidak mampu memberikan solusi apapun dalam penyelesaian sengketa
keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sutiyoso, Hukum
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Gama Media,
2008).
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Sinar Harapan, 2006).
Kamil
Al-Hayali, Solusi Islam dalam Konflik
Rumah Tangga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005).
Mahkamah
Agung Republik Indonesia, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan.
Muliadi
Nur, Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa
Perceraian, http//:www.pojokhukum. blogspot.com/2008/03/mediasi-dalam-penyelesaian-sengketa.html.
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Rachmadi
Usman, “Pilihan Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadilan”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003).
Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelasaian Sengketa, (Jakarta: Telaga
Ilmu Indonesia, 2009).
Syahrizal Abas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana, 2011).
Takdir
Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa
Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011).
Viktor M, Perdamaian dan Perwasiatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993).
[1] Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, (Yogyakarta: Gama Media, 2008), h. 56.
[2] Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, (Yogyakarta: Gama Media, 2008), h. 56.
[3] Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, (Yogyakarta: Gama Media, 2008), h. 56.
[4] Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
h. 58.
[5]
Syahrizal Abas, Mediasi Dalam Perspektif
Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2011), h.
58.
[6]
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia,
(Cet. I, Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h. 168.
[7] Gunawan
Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 90-92.
[8] Khotibul
Umam, Penyelesaian Sengketa Di Luar
Pengadilan, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2010), h.10.
[9]
Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai
Alternatif Penyelasaian Sengketa, (Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia, 2009),
h. 41.
[10]
Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai
Alternatif Penyelasaian Sengketa, (Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia, 2009),
h. 46-50.
[11]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[12]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[13] Mahkamah
Agung Republik Indonesia, PERMA Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
[14] Takdir
Rahmadi, “Mediasi Penyelesaian Sengketa
Melalui Pendekatan Mufakat”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.
193.
[15] Takdir
Rahmadi, “Mediasi Penyelesaian Sengketa
Melalui Pendekatan Mufakat”, h. 194.
[16] Kamil
Al-Hayali, Solusi Islam dalam Konflik
Rumah Tangga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 1.
[17]Muliadi
Nur, Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa
Perceraian, http//:www.pojokhukum.
blogspot.com/2008/03/mediasi-dalam-penyelesaian-sengketa.html.
[18]
Syahrizal Abas, Mediasi Dalam Perspektif
Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional, h. 24.
[19]
Viktor M, Perdamaian dan Perwasiatan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar