HUKUM KELUARGA DI DUNIA
ISLAM
A.
Pendahuluan
Agama
diyakini setiap pemeluknya sebagai seperangkat aturan Tuhan untuk menjadi
pedoman hidup yang harus ditaati agar kelak selamat dalam mengarungi kehidupan
dunia dan akhirat nanti. Agama diyakini mengajarkan nilai-nilai yang benar dan
universal untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, misalnya nilai keadilan,
kedamaian, cinta kasih, persaudaraan dan persamaan. Ketika nilai yang ideal itu
turun kebumi dan berinterkasi kedunia, baik disengaja maupun tidak.Ketika
manusia berusaha memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur tersebut
dalam kehidupan sehari-hari, ia tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh sosio-kultural
dan sosio-historis yang ada disekelilingnya.
Jauh
sebelum Islam datang di muka bumi ini, tatanan kehidupan manusia memang tidak
teratur seperti saat ini, terutama dalam persoalan perkawinan. Manusia seakan
seperti binatang yang tidak punya aturan yang jelas, perempuan diperlakukan
tidak senonoh dan bahkan hanya merupakan sebuah alat pemuas nafsu. Namun dengan
hadirnya Islam dalam mengatur proses perkawinan mampu merubah segalanya ke arah
yang lebih baik, wanita pun terlindungi dan terjamin kehidupannya.
Terdapat
fenomena yang menyakitkan, terutama pada posisi perempuan dan anak, perkawinan
tanda adanya catatan dari PPN sebagai tugas dari pemerintah, menjadikan
sewenang-wenangnya seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab untuk
melaksanakan perkawinan setelah itu melepaskan tanggung jawabnya dalam
menafkahi istri dan anak-anaknya, karena tak ada bukti otentik yang menjelaskan
tentang adanya perkawinan, sehingga menyulitkan sang istri untuk menuntut
haknya kepada pengadilan, ini slah satu problem sehingga melahirkan kebutuhan
adanya pencatatan perkawinan.
Berkembangnya kehidupan
dunia modern saat ini memang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat pada
umumnya, terutama dalam hal yang bersifat keagamaan. Banyak orang yang semakin
terjerumus kedalam pemahaman yang salah akibat dari kurangnya filter dalam diri
untuk menyerap apa yang didapatkan dari orang-orang sekitar yang dianggap tahu
padahal sebenarnya sama-sama tidak tahu. Hal inilah yang seharusnya mulai
dipahami oleh masyarakat pada umumnya, tentang mana yang bisa diambil sebagai
pedoman hidup dan mana yang justru akan menyesatkan. Kehadiran hukum islam
dalam kehidupan masyarakat, merupakan salah satu solusi untuk mengatur tata
kehidupan manusia yang lebih baik.
Hukum Islam
yang diterapkan diberbagai negara yang
berpenduduk muslim mempunyai ciri
dan model yang berbeda-beda dalam hal penerapannya. Di negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam
berbeda nuansanya dengan negara yang relatif berimbang antara setiap pemeluknya, misalnya negara tersebut memiliki pluralitas agama dan dominasi penguasa juga amat berpengaruh terhadap
kebijaksanaan hukum suatu negara. Karenanya implementasi hukum Islam di
negara-negara muslim bukan hanya terletak pada seberapa banyak penganut Islam
tetapi juga ditentukan oleh sistem yang dikembangkan oleh negara tersebut, sebab berlakunya hukum disuatu
negara itu sangat dipengaruhi oleh pemerintahan yang berkuasa dan model
penerapannya pun bisa jadi berubah-ubah tergantung dari pemerintahannya.
Salah satu hal yang berhubungan
dengan peristiwa perkawinan yang juga menjadi perhatian negara-negara Islam di
Dunia adalah proses pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan memang
bukanlah sebagai penentu sah atau tidaknya sebuah perkawinan, karena pencatatan
perkawinan tidak termasuk dalam rukun dan syarat perkawinan, sehingga
perkawinan yang tidak tercatat pun kalau memenuhi rukun dan syarat perkawinan
itu tetap sah di dalam hukum Islam. Walaupun begitu, ada negara Islam yang
tetap mewajibkan pencatatan perkawinan itu tetap harus dilakukan bahkan
dianggap tidak sah dan ilegal karena tidak dicatatkan tujuannya adalah untuk
memperbaiki tatanan kehidupan manusia dan melindungi sebuah institusi
perkawinan. Pencatatan perkawinan di negara-negara Islam yang ada di dunia
berbeda-beda masing-masing negara dalam penerapannya.
Pencatatan
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat.
Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk
melindungi martabat dan kesucian dalam perkawinan, dan lebih khusus bagi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang
dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapatkan
salinannya.[1] Pencatatan perkawinan dilakukan
dalam rangka penertiban pelaksanaan perkawinan sekalipun tidak termasuk dalam
syarat dan rukun sahnya sebuah perkawinan, tetapi untuk pemenuhan persyaratan
secara administratif. Melalui pencatatan, perkawinan yang dilaksanakan dapat
diketahui bahwa yang bersangkutan sudah menikah yang dibuktikan dengan dengan
buku nikah, yang merupakan salinan dari data hasil pencatatan perkawinan
sebelum dilakukan akad nikah. [2]
B.
Pencatatan Perkawinan Di Dunia Islam
a. Iran
Iran menetapkan bahwa
setiap perkawinan dan percerain harus dicatatkan. Perkawinan atau
perceraian yang tidak dicatatkan adalah satu pelanggaran. Upaya
kodifikasi hukum Islam, khususnya hukum keluarga di Iran sebagai bagian dari
hukum perdata dilakukan pada tahun 1928-1935. Selanjutnya, pada tahun
1927, Menteri Keadilan Iran membentuk Komisi yang bertugas menyiapkan draft
hukum perdata. Ketentuan yang berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum waris
lebih mencerminkan unifikasi dan kodifikasi hukum syari`ah, sedangkan
ketentuan-ketentuan di luar itu diambil dari Kode Napoleon selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari`ah. Draft yang disusun oleh komisi
tersebut kemudian ditetapkan sebagai Qanun Madani (Hukum Perdata) dalam
tiga tahap, antara tahun 1928-1935.
Hukum Perdata
Iran khususnya hukum waris dan hukum keluarga didasarkan pada hukum
tradisional Syi`ah Itsna Asy`ariyah (Ja`fari). Untuk materi hukum waris, hingga
sekarang tetap diberlakukan tanpa ada perubahan sedangkan hukum perkawinan dan
perceraian mengalami reformasi. Reformasi hukum ini telah beberapa kali
dilakukan, namun upaya reformasi hukum yang dinggap cukup substansial dilakukan
pada tahun 1967. Upaya ini kemudian menghasilkan Hukum Perlindungan Keluarga (Qanun
Himayat Khaneiwada). Undang-undang ini bertujuan mengatur institusi
perceraian dan poligami agar terhindar dari tindakan sewenang-wenang.
Pencatatan perkawinan
merupakan salah satu materi reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Iran.
Dalam hal ini, setiap perkawinan, sebelum dilaksanakan harus dicatatkan pada
lembaga yang berwenang sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan tentang
pencatatan perkawinan ini merupakan pembaruan yang bersifat regulatory (administratif).
Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak sampai mengakibatkan tidak sahnya
pernikahan, namun terhadap pelanggarnya dikenai hukuman fisik, yaitu penjara
selama satu hingga enam bulan (Hukum Perkawinan 1931, Pasal 1) Peraturan
seperti ini tidak ditemui dalam pemikiran fiqh klasik, baik dalam mazhab Syi`i
maupun Sunni.
b. Mesir
Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir di mulai dengan
terbitnya Ordonasi 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan
mereka serta menyerahkan pelaksananan pencatatan nikah kepada kemauan
para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonasi tahun
1880 itu diikuti dengan lahirnya ordonasi tahun 1897 yang pasal 31
menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan
perkawiann tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu
pihak apabila tidak dibuktikan dengan adanya suatu dokumen yang bebas dari
dugaan pemalsuan. Tampak
bahwa pasal ini mengandung persyaratan adanya dokumen yang diduga tidak palsu
agar dapat dijadikan dasar keputusan. Demikian pula Ordonasi tahun 1921
mengandung ketentuan bahwa dokumen itu harus bersifat resmi, dibuat oleh
pegawai berwenang yang ditugaskan untuk itu. [3]
Dari sini
jelaslah bahwa undang-undang di mesir mengambil prinsip tidak mendengarkan
suatu gugatan dalam kasus-kasus perkawinan dan akibat- akibat hukumnya
apabila perkawinan tersebut tidak terbukti berdasarkan suatu dokumen resmi yang
diterbitkan oleh pejabat berwenang, seperti hakim dan pegawai pencatat nikah
atau kosul (untuk luar negeri).
c. Yordania
UU Yodania No. 61 Tahun
1976 mengharuskan adanya pencatatan perkawinan dan yang melanggar dapat dihukum
baik mempelai maupun pegawai dengan hukuman pidana. Diantaranya pada
Undang-undang tahun 1976 pasal 17 menyatakan bahwa laki-laki mendatangkan qodhi
atau wakil dalam upacara, untuk mencatat dan mengeluarkan sertifikat nikah,
jika tidak mendatangkan qodhi maka semua pihak yang terlibat (dua
mempelai, wali dan 2 saksi) dikenai hukuman berdasarkan jordanian penal
code atau membayar denda lebih dari seratus dinar. [4]
d. Turki
Pencatatan perkawinan
harsus dilakukan. Dalam permohonan perkawinan calon suami dan calon istri
wajib menyatakan persetujuan atas perkawinan mereka tanpa ada paksaan.
Pencatatan perkawinan boleh dilakukan di tempat domisili calon suami atau calon
istri. Dokumen yang hasrus dibawa:
1. Kartu Identitas
2. Surat Dokter
3. Surat keterangan masih lajang dari desa setempat
4. Pasfoto
e. Malaysia
Dalam Hukum Perkawinan
Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan . Proses
pencatatan dilakukan setelah selesai akad nikah. Contohnya teks UU
Pinang 1985 pasal 25; “Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan tiap-tiap
orang yang bermastautin dalam negeri Pulau Pinang dan perkawinan tiap-tiap
orang yang tinggal di luar negeri tetapi bermastautin dalam Negeri Pulai Pinang
hendaklah didaftarkan mengikuti Enakmen ini”. Bagi orang yang tidak mencatatkan
perkawinannya merupakan perbuatan pelanggaran dan dapat dihukum dengan hukuman denda
atau penjara, akan tetapi ada undang-undang Malaysia juga yang menyatakan bahwa
pendaftarannya dilaksanakan minimal 7 hari sebelum pernikahan.
f. Saudi Arabia
Aturan pertama yang memuat pencatatan
perkawinan tertuang dalam Undang-Undang Mesir tentang Organisasi dan Prosedur
Berperkara di Pengadilan tahun 1897 (Egyptian Code of Organization and Prosedure
for Syari’ah Court of 1897). Dalam peraturan ini disebutkan bahwa
pemberitahuan suatu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan
(akta). Hal inilah yang kemudian diperluas dengan peraturan perundang-undangan
tahun 1909 – 1910, dan diubah tahun 1913 dimana pada pasal 102 disebutkan bahwa
perdebatan sekitar perkawinan dan perceraian yang diadukan salah satu pasangan
atau orang ketiga tidak akan ditanggapi kecuali ada bukti yang meyakinkan
kebenarannya. Hanya saja menurut UU tahun 1897, pembuktian ini boleh atau cukup
dengan oral atau lisan yang diketahui secara umum oleh pihak yang berperkara.
Sementara menurut peraturan tahun 1911, pembuktian harus dengann catatan resmi
pemerintah (official
document) atau tulisan tangan dan tanda tangan dari seorang yang
sudah meninggal. Dalam peraturan tahun 1931 lebih dipertegas lagi dengan
kata-kata harus ada bukti resmi (akta) dari pemerintah (official
certificate). [5]
g. Palestina
Sama
dengan mayoritas negara Islam yang lain, di Palestina juga mewajibkan
pencatatan perkawinan dan menyiapkan sanksi jika tidak melakukannya, akan
tetapi tidak berarti tidak sah perkawinan jika tidak dicatatkan.
Dari
pemaparan sedikit diatas menunjukkan bahwa mayoritas negara Islam
mewajibkan adanya pencatatan perkawinan hanya dengan prosedur dan
syarat-syarat yang berbeda-beda, begitu juga dengan sanksi, tidak semua negara
Islam yang mewajibkan pencatatan lantas juga mewajibkan sanksi jika tidak
melakukan pencatatan perkawinan. Sedangkan di
Saudi Arabia masih belum memastikan tentang adanya pemcatatan, karena
sumber hukumnya masih murni mengambil dari Al Qur'an, sunnah dan fiqh Imam
Hanbali.
h.
Indonesia
Pencatatan
perkawinan dilakukan dalam rangka penertiban pelaksanaan perkawinan sekalipun
tidak termasuk dalam syarat dan rukun sahnya sebuah perkawinan, tetapi untuk
pemenuhan persyaratan secara administratif. Di Indonesia pencatatan perkawinan
dilakukan sebelum pelaksanaan akad nikah sebagai pemenuhan persyaratan untuk
mendapatkan buku nikah sebagai legalitas perkawinan lewat pencatatan di KUA
yang merupakan wilayah tempat pelaksanaan akad nikah.
Dalam Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa tidak ada
perkawinan di luar masing-masing agama dan kepercayaan itu. Kemudian dalam
Pasal 2 Ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang
berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, sedangkan kewajiban Pegawai Pencatat Nikah
diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1955 dan Nomor 2 Tahun
1954. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa pencatatan bagi
mereka yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.[6] Di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menempatkan pencatatan perkawinan
sebagai sesuatu yang penting dimana menyatakan dalam pasal 2 ayat 2 bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 terdiri dari dua ayat 1 tentang sahnya, ayat 2 tentang
pendaftarannya. Seolah-olah karena terpisah, syarat pendaftaran tidak
diperlukan untuk sahnya nikah. Tetapi dari ketentuan pasal 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dapatlah disimpulkan bahwa keduanya (syaratnya
materiil dan syarat formil itu) dilakukan bersamaan.[7] Pasal 2 tersebut berbunyi: [8]
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun
1975 berbunyi: [9]
3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayannya itu perkawinan
dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Ini adalah satu-satunya ayat yang
mengatur tentang pencatatan perkawinan. Di dalam penjelasannya tidak ada uraian
yang lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975.
Dengan demikian, pencatatan
perkawinan ini walaupun di dalam undang-undang perkawinan hanya diatur oleh
satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan
tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya
berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar
hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah
tidaknya sebuah perkawinan.
Di dalam KHI memuat masalah
pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 di mana: [10]
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat
(1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah senagaimana yang diatur dalam
undang-undang nomor 22 Tahun 1946 jo undang-undang nomor 32 tahun 1954.
Selanjutnya pada pasal 6
dijelaskan:
1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,
setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
2) Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Aturan-aturan di dalam KHI ini
sudah melangkah lebih jauh tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama,
di dalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan “agar terjaminnya ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam.” Ketertiban di sini menyangkut ghayat al-tasyri’
(tujuan hukum islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat.
Pencatatan Pernikahan pada
dasarnya untuk menjamin seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa
dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain, sebab salah
satu bukti yang dianggap sah adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara
dan dokumen ini berguna apabila terjadi perkara di pengadilan ketika ada
sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang berhubungan
dengan akibat dari pernikahan, seperti warisan, masalah anak dan sebagainya.
Selain itu pencatatan perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini
merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi
martabat dan kesucian (mistaqan ghalizhan) perkawinan dan lebih khusus
bagi perempuan dalam rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang
dibuktikan dengan akta nikah. Jika terjadi percekcokan maka dapat melakukan
upaya hukum untuk mempertahankan hak-hak masing-masing. Karena dengan akta
tersebut suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah
mereka lakukan.
C. Pencatatan Perkawinan Dalam Perspektif
Fikih Klasik Dan Konfensional
Meninjau
pencatatan perkawinan di zaman Nabi, Sahabat dan tabiin tidak ada, karena
memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dilihat pada
sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an, Hadist serta fiqih klasik secara
eksplisit tidak mengatur atau menyinggung terkait pencatatan perkawinan.
Terdapat beberapa keadaan kenapa pencatatan tidak ada di zaman itu, diantaranya
pada zaman Nabi masyarakatnya lebih ahli dan mengandalkan
hafalan/ingatan, dan memang zaman itu pencatatan belum dibutuhkan.
Lalu
seiring perkembangan zaman yang dikatakan era globalisasi, muncul problematika-problematika
perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya pencatatan atau nikah dibawah tangan
(nikah sirri) sehingga memunculkan kebutuhan adanya campur tangan pemerintah
dalam perkawinan berupa pencatatan. [11]
Ayat
atau sunnah tidak mengatur tentang adanya pencatatan, namun jika kita melihat
dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang menjadi dasar hukum hutang piutang atau
dikenal dengan ayat mudayanah dapat ditarik sebagai dasar pencatatan dengan
istinbath berupa qias, berikut ayatnya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ
بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ
فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا
أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا
رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ
تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الآُخْرَى وَلا يَأْبَ
الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ
كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ
لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاّ تَرْتَابُوا إِلاّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاّ
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
Terjemahnya:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
sseorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu),
kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tidak ada dosa bai kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah Maha
mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[12]
Dari ayat ini
menunjukkan anjuran, bahkan sebagian ulama anjuran ini bersifat kewajiban
untuk mencatat utang piutang dan mendatangkan saksi di hadapan pihak ketiga
yang dipercaya. Selain itu, ayat ini juga menekankan perlunya menulis utang
walaupun hanya sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
bertujuan untuk menghindarkan terjadinya sengketa di kemudian hari. [13]
Dengan
ayat ini dapat ditarik istinbath dengan qias (analog) bahwa jika
perjanjian yang berhubungan dengan harta saja dianjurkan untuk dicatatkan
diatas hitam dan putih, bagaimana dengan perkawinan, sebagai ikatan lahir
bathin antara laki-laki dan perempuan yang disebut dalam al qur’an sebagai mitsaqon
ghalidza dengan tujuan membina keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Dengan
diabsahkannya pencatatan perkawinan di mayoritas negeri muslim, bukan masalah
campur tangan urusan agama dengan masyarakat, tapi pencatatan kejadian
penting yang dilakukan penduduknya menjadi tugas pemerintah untuk mencatatkan
sebagai bukti otentik seperti kelahiran anak (akta lahir), pernikahan,
pembuatan KTP, SIM, dll. [14]
Selain dengan konsep
qias, dalil maslahah dapat dijadikan dasar penetapan pencatatan nikah. Menurut
Assyatibi, syarat maslahah ialah:
- Harus bersifat logis,
- Bukan termasuk ta’abbudi dan
- Tidak ada dalil qath’iy yang menyatakan atau menolak.
Sedangkan Imam al
Ghazali memberikan syarat untuk menjadikan isthlah sebagai metode yaitu
1. Sejalan dengan syariah
2. Tidak bertentangan dengan syariah
Melihat
situasi dan kondisi tentang kebutuhan pencatatan perkawinan yang bisa dikatakan
termasuk kategori dlaruriyah, karena terdapa madlarat yang besar jika tidak
melaksanakan pencatatan, seperti fakta yang ada, banyak pelaku prostitusi
melegalkan hubungan badan dengan ijab kabul di hadapan Pegawai nikah gadungan,
akibatnya tentu banyak merugikan seorang perempuan, anak jika ternyata dari
hasil berhubungan itu menghasilkan anak. Dan seandainya lelaki yang melakukan transaksi
tersebut terikat perkawinan, maka memungkinkan terjadinya perceraian.
D.
Kesimpulan
Dari
uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Pencatatan perkawinan telah diwajibkan di beberapa Negara Islam dengan prosedur dan tatacara yang berbeda satu sama lain, sesuai kebutuhan negaranya, begitu pula di Indonesia telah mewajibkan penduduknya untuk mendaftarkan pencatatan perkawinan dengan di undang-undangkannya KHI, UU nomor 1 tahun 1974, PP Nomor 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974 dan beberapa undang-undang sebelumnya.
- Adapun landasan hukum pencatatan perkawinan dapat diqiaskan pada surat Al Baqarah ayat 282, dan ditinjau dari perspektif maslahah adanya pencatatan, karena pokok dari tujuan/maqashid syariah adalah menarik kerusakan lebih didahulukan daripada menari kemaslahatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Hukum
Islam Di Indonesia, (Cet. IV; Jakarta: Raja
Grafindo Persada., 2000).
Abdul
Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke -2.
Ajub Ishak, Hukum
Perdata Islam Di Indonesia, (Cet I; Gorontalo: Sultan
Amai Press, 2014).
Andi
Tahir Hamid, Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), Cet. Ke-1.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah
“Mushaf Fatimah”,
(Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).
Dedi Supriyadi Dan Mustofa, Perbandingan Hukum
Perkawinan Di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009)
Iis Inayatul Afiyah, Pencatatan
Nikah Dalam Perspektif Maslahah (Analisis RUU Hukum Materiil PA Tentang Perkawinan), (Malang: UIN Maliki Malang,
2016)
Mardani, Hukum Perkawinan
Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha Ilmu, 2010).
M. Atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern dalam Khaoeruddin Nasution (Jakarta:
Ciputat Press), cet I.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,
2004).
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Syamsul anwar,Islam, Negara, dan Hukum, (Jakarta; INIS).
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2008)
[2] Ajub Ishak, Hukum
Perdata Islam Di Indonesia, (Cet I; Gorontalo: Sultan Amai Press, 2014, h. 47.
[5] M Atho Muzdhar
dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern dalam
Khaoeruddin Nasution (Jakarta: Ciputat Press), cet I.
[6] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke -2 , h.
48
[7] Andi Tahir Hamid, Peradilan Agama dan
Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), Cet.
Ke-1, h. 18.
[9] Republik Indonesia, Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
[10] Republik Indonesia, Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
[11] Iis Inayatul Afiyah, Pencatatan Nikah dalam
perspektif Maslahah
(analisis RUU Hukum materiil PA tentang perkawinan), (Malang: UIN Maliki
Malang, 2016)
[14] Iis Inayatul Afiyah, Pencatatan Nikah dalam
perspektif Maslahah
(analisis RUU Hukum materiil PA tentang perkawinan), (Malang: UIN Maliki
Malang, 2016)
[15] Iis Inayatul Afiyah, Pencatatan Nikah dalam
perspektif Maslahah
(analisis RUU Hukum materiil PA tentang perkawinan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar