Senin, 03 September 2018

PENCATATAN PERKAWINAN DI NEGARA-NEGARA MUSLIM


HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM
“PENCATATAN PERKAWINAN DI NEGARA-NEGARA MUSLIM”


Buku Nikah Indonesia

A.      Pendahuluan
Agama diyakini setiap pemeluknya sebagai seperangkat aturan Tuhan untuk menjadi pedoman hidup yang harus ditaati agar kelak selamat dalam mengarungi kehidupan dunia dan akhirat nanti. Agama diyakini mengajarkan nilai-nilai yang benar dan universal untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, misalnya nilai keadilan, kedamaian, cinta kasih, persaudaraan dan persamaan. Ketika nilai yang ideal itu turun kebumi dan berinterkasi kedunia, baik disengaja maupun tidak.Ketika manusia berusaha memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan sehari-hari, ia tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh sosio-kultural dan sosio-historis yang ada disekelilingnya.
Jauh sebelum Islam datang di muka bumi ini, tatanan kehidupan manusia memang tidak teratur seperti saat ini, terutama dalam persoalan perkawinan. Manusia seakan seperti binatang yang tidak punya aturan yang jelas, perempuan diperlakukan tidak senonoh dan bahkan hanya merupakan sebuah alat pemuas nafsu. Namun dengan hadirnya Islam dalam mengatur proses perkawinan mampu merubah segalanya ke arah yang lebih baik, wanita pun terlindungi dan terjamin kehidupannya.
Terdapat fenomena yang menyakitkan, terutama pada posisi perempuan dan anak, perkawinan tanda adanya catatan dari PPN sebagai tugas dari pemerintah, menjadikan sewenang-wenangnya seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab untuk melaksanakan perkawinan setelah itu melepaskan tanggung jawabnya dalam menafkahi istri dan anak-anaknya, karena tak ada bukti otentik yang menjelaskan tentang adanya perkawinan, sehingga menyulitkan sang istri untuk menuntut haknya kepada pengadilan, ini slah satu problem sehingga melahirkan kebutuhan adanya pencatatan perkawinan.
Berkembangnya kehidupan dunia modern saat ini memang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat pada umumnya, terutama dalam hal yang bersifat keagamaan. Banyak orang yang semakin terjerumus kedalam pemahaman yang salah akibat dari kurangnya filter dalam diri untuk menyerap apa yang didapatkan dari orang-orang sekitar yang dianggap tahu padahal sebenarnya sama-sama tidak tahu. Hal inilah yang seharusnya mulai dipahami oleh masyarakat pada umumnya, tentang mana yang bisa diambil sebagai pedoman hidup dan mana yang justru akan menyesatkan. Kehadiran hukum islam dalam kehidupan masyarakat, merupakan salah satu solusi untuk mengatur tata kehidupan manusia yang lebih baik. 
Hukum Islam yang diterapkan diberbagai negara yang berpenduduk muslim mempunyai ciri dan model yang berbeda-beda dalam hal penerapannya. Di negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam berbeda nuansanya dengan negara yang relatif berimbang antara setiap pemeluknya, misalnya negara tersebut memiliki pluralitas agama dan dominasi penguasa juga amat berpengaruh terhadap kebijaksanaan hukum suatu negara. Karenanya implementasi hukum Islam di negara-negara muslim bukan hanya terletak pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga ditentukan oleh sistem yang dikembangkan oleh negara tersebut, sebab berlakunya hukum disuatu negara itu sangat dipengaruhi oleh pemerintahan yang berkuasa dan model penerapannya pun bisa jadi berubah-ubah tergantung dari pemerintahannya.
Salah satu hal yang berhubungan dengan peristiwa perkawinan yang juga menjadi perhatian negara-negara Islam di Dunia adalah proses pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan memang bukanlah sebagai penentu sah atau tidaknya sebuah perkawinan, karena pencatatan perkawinan tidak termasuk dalam rukun dan syarat perkawinan, sehingga perkawinan yang tidak tercatat pun kalau memenuhi rukun dan syarat perkawinan itu tetap sah di dalam hukum Islam. Walaupun begitu, ada negara Islam yang tetap mewajibkan pencatatan perkawinan itu tetap harus dilakukan bahkan dianggap tidak sah dan ilegal karena tidak dicatatkan tujuannya adalah untuk memperbaiki tatanan kehidupan manusia dan melindungi sebuah institusi perkawinan. Pencatatan perkawinan di negara-negara Islam yang ada di dunia berbeda-beda masing-masing negara dalam penerapannya.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian dalam perkawinan, dan lebih khusus bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapatkan salinannya.[1] Pencatatan perkawinan dilakukan dalam rangka penertiban pelaksanaan perkawinan sekalipun tidak termasuk dalam syarat dan rukun sahnya sebuah perkawinan, tetapi untuk pemenuhan persyaratan secara administratif. Melalui pencatatan, perkawinan yang dilaksanakan dapat diketahui bahwa yang bersangkutan sudah menikah yang dibuktikan dengan dengan buku nikah, yang merupakan salinan dari data hasil pencatatan perkawinan sebelum dilakukan akad nikah. [2]
B.       Pencatatan Perkawinan Di Dunia Islam
a.    Iran
Iran menetapkan bahwa setiap perkawinan dan percerain harus dicatatkan. Perkawinan atau  perceraian yang tidak dicatatkan adalah satu  pelanggaran. Upaya kodifikasi hukum Islam, khususnya hukum keluarga di Iran sebagai bagian dari hukum  perdata dilakukan pada tahun 1928-1935. Selanjutnya, pada tahun 1927, Menteri Keadilan Iran membentuk Komisi yang bertugas menyiapkan draft hukum perdata. Ketentuan yang berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum waris lebih mencerminkan unifikasi dan kodifikasi hukum syari`ah, sedangkan ketentuan-ketentuan di luar itu diambil dari Kode Napoleon selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari`ah. Draft yang disusun oleh komisi tersebut kemudian ditetapkan sebagai Qanun Madani (Hukum Perdata) dalam tiga tahap, antara tahun 1928-1935.
Hukum Perdata Iran  khususnya hukum waris dan hukum  keluarga didasarkan pada hukum tradisional Syi`ah Itsna Asy`ariyah (Ja`fari). Untuk materi hukum waris, hingga sekarang tetap diberlakukan tanpa ada perubahan sedangkan hukum perkawinan dan perceraian mengalami reformasi. Reformasi hukum ini telah beberapa kali dilakukan, namun upaya reformasi hukum yang dinggap cukup substansial dilakukan pada tahun 1967. Upaya ini kemudian menghasilkan Hukum Perlindungan Keluarga (Qanun Himayat Khaneiwada). Undang-undang ini bertujuan mengatur institusi perceraian dan poligami agar terhindar dari tindakan sewenang-wenang.
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu materi reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Iran. Dalam hal ini, setiap perkawinan, sebelum dilaksanakan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan tentang pencatatan perkawinan ini merupakan pembaruan yang bersifat regulatory (administratif). Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak sampai mengakibatkan tidak sahnya pernikahan, namun terhadap pelanggarnya dikenai hukuman fisik, yaitu penjara selama satu hingga enam bulan (Hukum Perkawinan 1931, Pasal 1) Peraturan seperti ini tidak ditemui dalam pemikiran fiqh klasik, baik dalam mazhab Syi`i maupun Sunni.
b.    Mesir
Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir di mulai dengan terbitnya Ordonasi 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksananan pencatatan  nikah kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonasi tahun 1880 itu diikuti dengan  lahirnya ordonasi tahun 1897 yang pasal 31 menyatakan bahwa gugatan perkara  nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawiann tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan adanya suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Tampak bahwa pasal ini mengandung persyaratan adanya dokumen yang diduga tidak palsu agar dapat dijadikan dasar keputusan. Demikian pula Ordonasi tahun 1921 mengandung ketentuan bahwa dokumen itu harus bersifat resmi, dibuat oleh pegawai berwenang yang ditugaskan untuk itu. [3]
Dari sini jelaslah bahwa undang-undang di mesir mengambil prinsip tidak mendengarkan suatu  gugatan dalam kasus-kasus perkawinan dan akibat- akibat hukumnya apabila perkawinan tersebut tidak terbukti berdasarkan suatu dokumen resmi yang diterbitkan oleh pejabat berwenang, seperti hakim dan pegawai pencatat nikah atau kosul (untuk luar negeri).
c.     Yordania
UU Yodania No. 61 Tahun 1976 mengharuskan adanya pencatatan perkawinan dan yang melanggar dapat dihukum baik mempelai maupun pegawai dengan hukuman pidana. Diantaranya pada Undang-undang tahun 1976 pasal 17 menyatakan bahwa laki-laki mendatangkan qodhi atau wakil dalam upacara, untuk mencatat dan mengeluarkan sertifikat nikah, jika tidak mendatangkan qodhi  maka semua pihak yang terlibat (dua mempelai, wali dan 2 saksi) dikenai hukuman berdasarkan  jordanian penal code atau membayar denda lebih dari  seratus dinar. [4]
d.    Turki
Pencatatan perkawinan harsus dilakukan.  Dalam permohonan perkawinan calon suami dan calon istri wajib menyatakan persetujuan atas perkawinan mereka tanpa ada paksaan. Pencatatan perkawinan boleh dilakukan di tempat domisili calon suami atau calon istri. Dokumen yang hasrus dibawa:
1.    Kartu Identitas
2.    Surat Dokter
3.    Surat keterangan masih lajang dari desa setempat
4.    Pasfoto
e.     Malaysia
Dalam Hukum Perkawinan Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan . Proses pencatatan dilakukan  setelah selesai akad  nikah. Contohnya teks UU Pinang 1985 pasal 25; “Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan tiap-tiap orang yang bermastautin dalam negeri Pulau Pinang dan perkawinan tiap-tiap orang yang tinggal di luar negeri tetapi bermastautin dalam Negeri Pulai Pinang hendaklah didaftarkan mengikuti Enakmen ini”. Bagi orang yang tidak mencatatkan perkawinannya merupakan perbuatan pelanggaran dan dapat dihukum dengan hukuman denda atau penjara, akan tetapi ada undang-undang Malaysia juga yang menyatakan bahwa pendaftarannya dilaksanakan minimal 7 hari sebelum pernikahan.
f.     Saudi Arabia
Aturan pertama yang memuat pencatatan perkawinan tertuang dalam Undang-Undang Mesir tentang Organisasi dan Prosedur Berperkara di Pengadilan tahun 1897 (Egyptian Code of Organization and Prosedure for Syari’ah Court of 1897). Dalam peraturan ini disebutkan bahwa pemberitahuan suatu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan (akta). Hal inilah yang kemudian diperluas dengan peraturan perundang-undangan tahun 1909 – 1910, dan diubah tahun 1913 dimana pada pasal 102 disebutkan bahwa perdebatan sekitar perkawinan dan perceraian yang diadukan salah satu pasangan atau orang ketiga tidak akan ditanggapi kecuali ada bukti yang meyakinkan kebenarannya. Hanya saja menurut UU tahun 1897, pembuktian ini boleh atau cukup dengan oral atau lisan yang diketahui secara umum oleh pihak yang berperkara. Sementara menurut peraturan tahun 1911, pembuktian harus dengann catatan resmi pemerintah (official document) atau tulisan tangan dan tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal. Dalam peraturan tahun 1931 lebih dipertegas lagi dengan kata-kata harus ada bukti resmi (akta) dari pemerintah (official certificate). [5]
g.    Palestina
Sama dengan mayoritas negara Islam yang lain, di Palestina juga mewajibkan  pencatatan perkawinan dan menyiapkan sanksi jika tidak melakukannya, akan tetapi tidak berarti tidak sah perkawinan jika tidak dicatatkan.
Dari pemaparan sedikit diatas menunjukkan bahwa mayoritas negara Islam  mewajibkan adanya  pencatatan perkawinan hanya dengan prosedur dan syarat-syarat yang berbeda-beda, begitu juga dengan sanksi, tidak semua negara Islam yang mewajibkan pencatatan lantas juga mewajibkan sanksi jika tidak melakukan pencatatan perkawinan. Sedangkan  di Saudi Arabia masih belum memastikan tentang  adanya pemcatatan, karena sumber hukumnya masih murni mengambil dari Al Qur'an, sunnah dan fiqh Imam Hanbali.
h.   Indonesia
Pencatatan perkawinan dilakukan dalam rangka penertiban pelaksanaan perkawinan sekalipun tidak termasuk dalam syarat dan rukun sahnya sebuah perkawinan, tetapi untuk pemenuhan persyaratan secara administratif. Di Indonesia pencatatan perkawinan dilakukan sebelum pelaksanaan akad nikah sebagai pemenuhan persyaratan untuk mendapatkan buku nikah sebagai legalitas perkawinan lewat pencatatan di KUA yang merupakan wilayah tempat pelaksanaan akad nikah.
Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa tidak ada perkawinan di luar masing-masing agama dan kepercayaan itu. Kemudian dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, sedangkan kewajiban Pegawai Pencatat Nikah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1955 dan Nomor 2 Tahun 1954. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa pencatatan bagi mereka yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.[6] Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting dimana menyatakan dalam pasal 2 ayat 2 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari dua ayat 1 tentang sahnya, ayat 2 tentang pendaftarannya. Seolah-olah karena terpisah, syarat pendaftaran tidak diperlukan untuk sahnya nikah. Tetapi dari ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dapatlah disimpulkan bahwa keduanya (syaratnya materiil dan syarat formil itu) dilakukan bersamaan.[7] Pasal 2 tersebut berbunyi: [8]
1)   Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2)   Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 berbunyi: [9]
3)   Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayannya itu perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam undang-undang perkawinan hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
Di dalam KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 di mana: [10]
1)   Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2)   Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah senagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 22 Tahun 1946 jo undang-undang nomor 32 tahun 1954.
Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan:
1)   Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2)   Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, di dalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan “agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.” Ketertiban di sini menyangkut ghayat al-tasyri’ (tujuan hukum islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat.
Pencatatan Pernikahan pada dasarnya untuk menjamin seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain, sebab salah satu bukti yang dianggap sah adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen ini berguna apabila terjadi perkara di pengadilan ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang berhubungan dengan akibat dari pernikahan, seperti warisan, masalah anak dan sebagainya.
Selain itu pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian (mistaqan ghalizhan) perkawinan dan lebih khusus bagi perempuan dalam rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah. Jika terjadi percekcokan maka dapat melakukan upaya hukum untuk mempertahankan hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
C.       Pencatatan Perkawinan Dalam Perspektif Fikih Klasik Dan Konfensional
Meninjau pencatatan perkawinan di zaman Nabi, Sahabat dan tabiin tidak ada, karena memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dilihat pada sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an, Hadist serta fiqih klasik  secara eksplisit tidak mengatur atau menyinggung terkait pencatatan perkawinan. Terdapat beberapa keadaan kenapa pencatatan tidak ada di zaman itu, diantaranya pada zaman Nabi masyarakatnya lebih ahli  dan mengandalkan hafalan/ingatan, dan memang zaman itu pencatatan belum dibutuhkan.
Lalu seiring perkembangan zaman yang dikatakan era globalisasi, muncul problematika-problematika perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya pencatatan atau nikah dibawah tangan (nikah sirri) sehingga memunculkan kebutuhan adanya campur tangan pemerintah dalam perkawinan berupa pencatatan. [11]
Ayat atau sunnah tidak mengatur tentang adanya pencatatan, namun jika kita melihat dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang menjadi dasar hukum hutang piutang atau dikenal dengan ayat mudayanah dapat ditarik sebagai dasar pencatatan dengan istinbath berupa qias, berikut ayatnya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الآُخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاّ تَرْتَابُوا إِلاّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
Terjemahnya: 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika sseorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bai kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah Maha mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[12]         
Dari ayat ini menunjukkan anjuran, bahkan  sebagian ulama anjuran ini bersifat kewajiban untuk mencatat utang piutang dan mendatangkan saksi di hadapan pihak ketiga yang dipercaya. Selain itu, ayat ini juga menekankan perlunya menulis utang walaupun hanya sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya. bertujuan untuk menghindarkan terjadinya sengketa di kemudian hari. [13]
Dengan ayat ini dapat ditarik istinbath dengan qias (analog) bahwa jika perjanjian yang berhubungan dengan harta saja dianjurkan untuk dicatatkan diatas hitam dan putih, bagaimana dengan perkawinan, sebagai ikatan lahir bathin antara laki-laki dan perempuan yang disebut dalam al qur’an sebagai mitsaqon ghalidza dengan tujuan membina keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Dengan diabsahkannya pencatatan perkawinan di mayoritas negeri muslim, bukan masalah campur tangan urusan agama dengan masyarakat, tapi pencatatan kejadian  penting yang dilakukan penduduknya menjadi tugas pemerintah untuk mencatatkan sebagai bukti otentik seperti kelahiran anak (akta lahir), pernikahan, pembuatan KTP, SIM, dll. [14]
Selain dengan konsep qias, dalil maslahah dapat dijadikan dasar penetapan pencatatan nikah. Menurut Assyatibi, syarat maslahah ialah:
  1. Harus bersifat logis,
  2. Bukan termasuk ta’abbudi dan
  3. Tidak ada dalil qath’iy yang menyatakan atau menolak. 
Sedangkan Imam al Ghazali memberikan syarat untuk menjadikan isthlah sebagai metode yaitu
1.    Sejalan dengan syariah
2.    Tidak bertentangan dengan syariah
3.    Maslahah ini masuk kategori kebutuhan dloruriyah (primer) [15]
Melihat situasi dan kondisi tentang kebutuhan pencatatan perkawinan yang bisa dikatakan termasuk kategori dlaruriyah, karena terdapa madlarat yang besar jika tidak melaksanakan pencatatan, seperti fakta yang ada, banyak pelaku prostitusi melegalkan hubungan badan dengan ijab kabul di hadapan Pegawai nikah gadungan, akibatnya tentu banyak merugikan seorang perempuan, anak jika ternyata dari hasil berhubungan itu menghasilkan anak. Dan seandainya lelaki yang melakukan transaksi tersebut terikat perkawinan, maka memungkinkan terjadinya perceraian.
D.      Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Pencatatan perkawinan telah diwajibkan di beberapa Negara Islam dengan prosedur dan tatacara yang berbeda satu sama lain, sesuai kebutuhan negaranya, begitu pula di Indonesia telah mewajibkan penduduknya untuk mendaftarkan pencatatan perkawinan dengan di undang-undangkannya KHI, UU nomor 1 tahun 1974, PP Nomor 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974 dan beberapa undang-undang sebelumnya.
  2. Adapun landasan hukum pencatatan perkawinan dapat diqiaskan pada surat Al Baqarah ayat 282, dan ditinjau dari perspektif maslahah adanya pencatatan, karena pokok dari tujuan/maqashid syariah adalah menarik kerusakan lebih didahulukan daripada menari kemaslahatan.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada., 2000).
Abdul  Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke -2.
Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet I; Gorontalo: Sultan Amai Press, 2014).
Andi Tahir Hamid, Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), Cet. Ke-1.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).
Dedi Supriyadi Dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009)
Iis Inayatul Afiyah, Pencatatan Nikah Dalam Perspektif Maslahah (Analisis RUU Hukum Materiil PA Tentang Perkawinan), (Malang: UIN Maliki Malang, 2016)
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha Ilmu, 2010).
M. Atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern dalam Khaoeruddin Nasution (Jakarta: Ciputat Press), cet I.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,  (Jakarta: Lentera Hati, 2004).
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Syamsul anwar,Islam, Negara, dan Hukum, (Jakarta; INIS).
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008)





[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada., 2000), h. 107
[2] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet I; Gorontalo: Sultan Amai Press, 2014, h. 47.
[3] Syamsul Anwar, Islam, Negara, dan Hukum, (Jakarta: INIS) hal. 106-107
[4] Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha Ilmu, 2010)
[5] M Atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern dalam Khaoeruddin Nasution (Jakarta: Ciputat Press), cet I.
[6] Abdul  Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke -2 , h. 48
[7] Andi Tahir Hamid, Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), Cet. Ke-1, h. 18.
[8] Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[9] Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[10] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
[11] Iis Inayatul Afiyah, Pencatatan Nikah dalam perspektif Maslahah (analisis RUU Hukum materiil PA tentang perkawinan), (Malang: UIN Maliki Malang, 2016)
[12] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,  (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Volume 1, h. 602
[14] Iis Inayatul Afiyah, Pencatatan Nikah dalam perspektif Maslahah (analisis RUU Hukum materiil PA tentang perkawinan), (Malang: UIN Maliki Malang, 2016)
[15] Iis Inayatul Afiyah, Pencatatan Nikah dalam perspektif Maslahah (analisis RUU Hukum materiil PA tentang perkawinan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar