Kamis, 29 Agustus 2019

TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI

TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI

"Ilutrasi Tentang Poligami"
Apa yang dimaksud dengan Poligami...?
Kata poligami, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada dasarnya disebut poligami. [1]

Poligami dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat saat ini dapat diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita. Menurut tinjauan Antropologi sosial (Sosio antropologi) poligami memang mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita atau sebaliknya. Poligami dibagi menjadi 2 macam yaitu: a) Polyandri yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. b) Poligini yaitu perkawinan antara laki-laki dengan beberapa orang perempuan.

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda dan istri tua menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus pada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi jika ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal dalam membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu, meskipun pada kenyataannya aturan yang mengaturnya juga tidak mampu membendung poligami yang terjadi di masyarakat.

Pada dasarnya memang tidak ada larangan secara mutlak terhadap poligami, bahkan para ulama sepakat untuk membolehkan apabila seseorang ingin melakukan poligami, tetapi dengan syarat apabila dia dapat berlaku adil terhadap para istrinya, baik itu dari segi materi berupa sandang, pangan, tempat tinggal dan qasam (pembagian giliran pulang) dan immateri yang berupa mawaddah wa rahmah, cinta kasih dan sayang. Allah memmberikan peluang kepada para suami untuk melakukan poligami tidak berarti dan bermaksud merendahkan dan menyiksa kaum perempuan (para isteri) ataupun mengesampingkan kepentingan istri sebelumnya dan lebih memperhatikan istri baru. Karena dalam kehidupan sangat dimungkingkan terjadinya suatu kondisi tertentu yang membolehkan para suami melakukan poligami demi harkat, martabat, dan derajat kaum perempuan itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Poligami atau menikah lebih dari seorang istri bukanlah merupakan masalah baru. Poligami sudah ada sejak dulu kala, pada kehidupan manusia di berbagai kelompok masyarakat seluruh penjuru dunia. [2] Bangsa Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia selama masa itu, termasuk pula apa yang terjadi di Indonesia sejak dahulu. Kitab-Kitab Suci agama-agama Samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa dikalangan para pemimpin maupun orang-orang awam disetiap bangsa, bahkan diantara para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang asing ataupun tidak disukai. [3] Dalam kitab suci agama Yahudi dan Nasrani, poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan dalam Talmud, perjanjian lama, dan Al-Quran, beristri lebih dari seorang, kecuali Yesus/Nabi Isa as. Bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan poligami tanpa batas. [4]

Sejak Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai Nabi terakhir, Nabi Muhammad telah melakukan perubahan khususnya apa yang terjadi di Arab yaitu dengan melarang perzinaan dan bentuk-bentuk lain yang menganggap perempuan bagaikan barang dan hewan yang dimiliki. Pada dasarnya Islam tidak mengharamkan poligami secara mutlak, tetapi diberi batasan dan bersyarat. Dengan adanya batasan jumlah perempuan yang akan dijadikan istri agar terjadi kemaslahatan keturunan, pranata sosial dan kesiapan kaum lelaki. Seorang lelaki hanya boleh menikahi maksimal empat orang perempuan. Tentu saja dengan bersyarat mampu memberi nafkah dan bisa berlaku adil.

Bagaimana sejarah terbentuknya aturan Poligami di Indonesia...?
Mengenai Sejarah terbentuknya aturan poligami di Indonesia tidak lepas dari sejarah pembentukan aturan tentang perkawinan, hal ini disebabkan poligami merupakan bagian integral dari perkawinan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.

Di Indonesia aturan poligami termuat dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974, PP No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 tahun 1990 tentang perubahan atas PP No 10 tahun 1983, dan yang selanjutnya adalah Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). 19 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan persyaratan terhadap seseorang suami yang akan beristri lebih dari seorang, untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.   Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
Artinya bahwa jika istri atau para istri sebelumnya tidak menyetujui maka pada prinsipnya poligami tidak boleh untuk dilakukan, sebab hanya berdasar pada keinginan sendiri, apalagi jika poligami yang dilakukan ternyata tidak diketahui istri sebelumnya. Persetujuan yang dimaksud pada pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.
2.  Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
Hal ini semestinya dapat dipastikan sebelum melakukan poligami, jika pada perkawinan sebelumnya hidup pas-pasan bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan istri sebelumnya, ngapain harus poligami...? kecuali jika perkawinan sebelumnya telah berkecukupan bahkan melebihi dan diyakini akan mampu untuk memenuhi kebutuhan semua istri yang dinikahi maka poligami boleh untuk dilakukan.
3.  Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Jaminan berlaku adil ini tidak hanya mampu diucapkan dengan lisan atau dengan sebuah perjanjian semata, tetapi mampu dibuktikan dalam praktik berumah tangga nanti, sebab lebih banyak perkawinan poligami yang justru merasakan dampak dari poligami yang dilakukan akibat dari suami yang tidak mampu berlaku adil.

Dalam Kompilasi Hukum Islam ada beberapa pasal yang menjelaskan tentang syarat Poligami antara lain terdapa pada pasal 55 ayat (1) dan (2) dan pasal 56 ayat (1) dan pasal 57 menyatakan syarat poligami, yaitu:
Pasal 55
1)    Beristri lebih dari satu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.
2)   Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Pasal 56
1)    Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
1)    Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2)   Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3)   Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Ketiga syarat ini pada dasarnya terkesan diskriminatif terhadap perempuan atau istri, dimana seorang istri jika telah mengalami kondisi seperti halnya dalam syarat pada pasal 57 yang tersebut diatas maka dapat di poligami, padahal dengan poligami yang dilakukan bisa jadi justru akan mengabaikan istri yang telah ada dalam kondisi tersebut diatas bahkan tidak memperdulikan lagi kondisinya. Selain itu jika yang terjadi justru kebalikan dari apa yang tersebut dalam pasal 57 dalam kata lain yang mengalami hal tersebut diatas adalah suami maka tidak ada syarat untuk istri melakukan hal yang sama, kecuali dengan jalan bercerai.

Kemudian Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, di samping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu : Pasal 58
1)  Adanya persetujuan istri,
2) Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anakanak mereka.

Sementara untuk syarat bagi PNS yang akan berpoligami terdapat dalam PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat (1) tentang Izin Perkawinan dan Perceraian, yaitu: “Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.”

Selain itu juga dalam PP No. 10 Tahun 1983 pasal 4 ayat (2) tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negri Sipil yang kemudian diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990, perubahan no. 2 ayat (2), yaitu : “Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri yang kedua/ketiga/keempat.”

Kemudian dalam Islam syarat bagi orang-orang yang ingin berpoligami adalah:
1)    Jumlah istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita. Syarat ini telah disebutkan oleh Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4): 3.
2)   Laki-laki itu dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu jika pemberian nafkah, dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahir. Sedangkan masalah batin, tentu saja, selamanya manusia tidak mungkin dapat berbuat adil secara hakiki.





[1] Tihami, Sobari Sahrani, Fiqh Munakahat : Kajian Fiqh Lengkap, (Jakarta, Rajawaali Pers, 2013), h. 351.
[2] Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 259.
[3] Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran, As-Sunah, Dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan Media Utama), h. 90.
[4] Abdurrahman I Doi, Inilah Syariah Islam Terjemahan Buku The Islamic Law, Usman Efendi AS dan Abdul Khaliq Lc, (Jakarta: Pustaka Panji, 1990), h. 207.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar