KONSEP PERKAWINAN POLIGAMI
Gambar: Perkawinan Poligami |
1. Pengertian
Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa
Yunani secara etimologis, poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan.
Jadi poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang
secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai
suatu keadaan di mana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang. [1]
Pengertian
etimologis tersebut dapat dijabarkan dan dipahami bahwa poligami merupakan
perkawinan dengan salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari seorang isteri
dalam waktu yang bersamaan. Artinya isteri-isteri tersebut masih dalam
tanggungan suami dan tidak diceraikan serta masih sah sebagai isterinya. selain
poligami ada juga istilah poliandri. Poliandri adalah suatu bentuk perkawinan
dengan ciri salah satu pihak (isteri) memiliki lebih dari seorang suami dalam
waktu bersamaan.[2] Dibandingkan
poliandri, poligami lebih banyak di praktekkan dalam kehidupan masyarakat.
Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih
poligami disebut dengan ta’addud
al-zaujat yang berarti banyak isteri, sedangkan secara istilah diartikan
sebagai kebolehan mengawini perempuan dua, tiga, atau empat, kalau bisa berlaku
adil. Jumhur ulama membatasi poligami hanya empat wanita saja. [3]
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah
“Poligami” yang sudah populer dalam masyarakat. Beristri lebih dari satu orang
dapat dibenarkan asal dipenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan lebih dari satu orang dapat
dilaksanakan apabila ada izin dari satu orang baru dilaksanakan apabila ada
izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu.[4]
Poligami atau perkawinan lebih dari
satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita.
Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh
peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang
bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan
istri muda dan istri tua menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan
ibu itu menjurus pada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal
ini biasanya terjadi jika ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang
bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin
lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat
pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal
dalam membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan
syaratsyarat tertentu. [5]
Selain
itu, secara umum poligami diartikan sebagai beristri lebih dari satu dalam
waktu tertentu (bersamaan). Secara etimologis pengertian demikian adalah kurang
tepat. Sebab dalam berbagai literatur disebutkan terminologi poligami merujuk
pada perkawinan dalam jumlah banyak, baik dilakukan suami atau istri; dan tidak
terbatas kepada suami saja. Sementara praktek perkawinan dengan berisitri lebih
dari satu, secara terminologi dinamakan poligini. Sedangkan sistem perkawinan
yang dilakukan wanita dengan suami dalam satu waktu bersamaan disebut
poliyandri. [6]
Menurut
sejarahnya poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam,
orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia,
Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah
bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian pula bangsa-bangsa Timur seperti
bangsa Ibrania dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar
apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami,
sebab dalam kenyataannya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan
berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India,
Cina, dan Jepang. Maka tidak benar kalau poligami hanya terdapat di
negeri-negeri Islam. [7]
Berdasarkan
pengertian tersebut di atas maka dapat dipahami bahwa poligami merupakan
keadaan di mana seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu, yang juga
merupakan bentuk perkawinan yang banyak dipraktikkan di masyarakat Islam di
dunia. Meskipun saat ini masih menjadi perdebatan tentang boleh tidaknya
poligami tetapi tidak dapat dipungkiri lagi hal ini sudah banyak dilakukan di
masyarakat dengan berbagai alasan yang melatar belakanginya.
2. Dasar Hukum Poligami
Islam membolehkan poligami dengan jumlah
wanita yang terbatas dan tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogamy
mutlak dengan pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristeri seorang wanita
dalam keadaan dan situasi apapun, Islam pada dasarnya, menganut sistem monogami
dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas, pada prinsipnya seorang
laki-laki hanya dapat memiliki seorang isteri dan sebaliknya seorang isteri
hanya memiliki seorang suami.[8]
Adapun dalil yang dijadikan dasar umat Islam dalam berpoligami terdapat
dalam Q.S An-Nisa ayat 3:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Terjemahnya:
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [9]
Ayat
ini pada dasarnya merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim, yang
kemudian disebutkan tentang kebolehan beristeri hanya empat isteri saja, karena
eratnya hubungan pemeliharaan anak yatim dan beristeri lebih dari satu sampai
empat yang terdapat dalam ayat ini.
Pandangan
lain tentang ayat tersebut menyebutkan bahwa Q.S. An-Nisa ayat 3 ini lebih
merekomendasikan perkawinan monogami sebagai bentuk pernikahan yang jauh dari
tindakan aniaya. Sedangkan perkawinan poligami, meskipun dibolehkan dengan
sejumlah syarat, namun rawan dengan ketidakadilan dan kezhaliman. Karena itu,
dugaan sebagian orang bahwa poligami sebagai sunnah nabi dan ibadah patut
dipertanyakan. Sebab, mungkinkah sebuah sunnah nabi yang bernilai ibadah,
tetapi memperoleh peringatan keras dan kritik dari al-Quran.[10]
Beberapa
dasar hukum berpoligami dalam Islam seperti yang disebutkan di atas baik dalam
al-Quran maupun dalam Hadis, menunjukkan bahwa Islam tidak menutup diri adanya
kecenderungan laki-laki beristeri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu
kala, dan islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki berpoligami.
Undang-Undang No.1 tahun 1974
mengatur masalah Perkawinan yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia,
tanpa melihat suku bangsa, asal usul dan agama yang dipeluknya serta tidak
melihat warga negara asli maupun keturunan asing, sehingga lebih menjamin suatu
unifikasi atau keseragaman hukum dalam hal perkawinan di Indonesia.
Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pelaksanaan antara lain
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun
1983. [11]
Maka siapapun yang akan melaksanakan pernikahan, baik masalah dispensasi nikah
atau pernikahan yang dilakukan oleh calon istri atau suami yang belum cukup
umur, malasah poligami dan yang lainnya itu tidak terlepas dengan peraturan
undangundang yang sudah mengatur secara terperinci.
3.
Alasan dan Syarat
Poligami
Demi terwujudnya
tujuan perkawinan yang disyari’atkan oleh Islam maka seorang suami yang ingin
melakukan poligami harus memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan
dengan beberapa alasan yaitu:
a. Jumlah isteri yang dipoligami tidak lebih
dari empat wanita. Pembatasan empat wanita ini didasarkan pada Al-Qur’an Surat
AnNisa’ ayat 3.
b. Syarat selanjutnya adalah sanggup berbuat
adil kepada para isteri, berbuat adil kepada para isteri dalam poligami adalah,
masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menginap dan nafkah.
c. Wanita yang dipoligami tidak ada hubungan
saudara dengan isterinya baik susuan maupun nasab, karena dilarang mengumpulkan
isteri dengan saudaranya atau dengan bibinya, larangan ini terdapat pada
AlQur’an Surat An-Nisa’ ayat 23.
d. Memiliki harta yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dengan bertambahnya isteri, maksudnya bagi seorang suami
yang ingin menikah dengan seorang wanita harus yang sudah mampu, jika belum
mampu haruslah menahan dulu (puasa).
e. Persetujuan dari isteri, hal ini sesuai
dengan posisi suami dan isteri dianggap satu kesatuan dalam keluarga, Apapun
yang dilakukan oleh suami dimintakan izin kepada isteri, apalagi masalah ingin
beristeri lagi. Persetujuan ini sangat penting demi keutuhan dan kelangsungan
hidup berkeluarga.
Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang poligami
yaitu terdapat dalam Bab IX (KHI) Pasal 55 sampai 59 yaitu: [12]
Pasal 55:
1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu
yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang,
suami harus mampu berbuat adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3) Apabila syarat utama yang disebut pada
ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56:
1) Suami yang hendak beristeri lebih dari
satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada
ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri
kedua, ketiga atau keempat tanpa izin isteri di Pengadilan Agama tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai isteri.
2) isteri mendapat cacat badan, penyakit yang
tidak dapat disembuhkan.
3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58:
1) Selain syarat utama yang disebut pada
pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula
dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun
1974 yaitu :
a)
Adanya
persetujuan isteri.
b)
Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41
huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau
isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi
sekalipun telah ada persetujuan secara tertulis, persetujuan ini dipertegas
dengan persetujuan lisan isteri pada sidang pengadilan agama.
3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf
a, tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian
atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteriisterinya
sekurang-kurangnya atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59:
[1]A. Rodli Makmun dan Evi Muafiah
(eds), Poligami Dalam Penafsiran Muhammad
Syahrur, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 15
[2]Departemen dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1998), h. 693.
[3]Supardi Mursalim, Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang
Perkawinan dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 16.
[4]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 10.
[5]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta, Kencana,
2006), h. 9.
[6]Lihat. Sofyan A.P. Kau, Tafsir Hukum Tema-Tema Kontroversial,
(Cet. II, Gorontalo: Sultan Amai Press, 2010), h. 13-14.
[7]Sa’id Thalib Al-Hamdani, Risalatun Nikah, Risalah Nikah Hukum
Perkawinan Islam, terj. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, cet ke-3,
1989), h. 80.
[8]Supardi Mursalim, Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang
Perkawinan dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 16.
[9]Kementerian
Agama RI, Dirjen Bimas Islam Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syariah, Al-Qur’an dan
Terjemahnya,
(Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012).
[10]Sofyan A.P. Kau, Tafsir Hukum Tema-Tema Kontroversial, (Cet.
II, Gorontalo: Sultan Amai Press, 2010), h. 31-32.
[11]Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, (Yogyakarta:
Al-Kautsar, 1990), h. 152.
[12]Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[13]Republik
Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar