Selasa, 14 Juni 2022

KONSEP PERKAWINAN POLIGAMI

KONSEP PERKAWINAN POLIGAMI

Gambar: Perkawinan Poligami
                      

1.   Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani secara etimologis, poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan. Jadi poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan di mana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang. [1]

Pengertian etimologis tersebut dapat dijabarkan dan dipahami bahwa poligami merupakan perkawinan dengan salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan. Artinya isteri-isteri tersebut masih dalam tanggungan suami dan tidak diceraikan serta masih sah sebagai isterinya. selain poligami ada juga istilah poliandri. Poliandri adalah suatu bentuk perkawinan dengan ciri salah satu pihak (isteri) memiliki lebih dari seorang suami dalam waktu bersamaan.[2] Dibandingkan poliandri, poligami lebih banyak di praktekkan dalam kehidupan masyarakat.

Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami disebut dengan ta’addud al-zaujat yang berarti banyak isteri, sedangkan secara istilah diartikan sebagai kebolehan mengawini perempuan dua, tiga, atau empat, kalau bisa berlaku adil. Jumhur ulama membatasi poligami hanya empat wanita saja. [3]

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah “Poligami” yang sudah populer dalam masyarakat. Beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asal dipenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari satu orang baru dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu.[4]

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda dan istri tua menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus pada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi jika ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal dalam membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syaratsyarat tertentu. [5]

Selain itu, secara umum poligami diartikan sebagai beristri lebih dari satu dalam waktu tertentu (bersamaan). Secara etimologis pengertian demikian adalah kurang tepat. Sebab dalam berbagai literatur disebutkan terminologi poligami merujuk pada perkawinan dalam jumlah banyak, baik dilakukan suami atau istri; dan tidak terbatas kepada suami saja. Sementara praktek perkawinan dengan berisitri lebih dari satu, secara terminologi dinamakan poligini. Sedangkan sistem perkawinan yang dilakukan wanita dengan suami dalam satu waktu bersamaan disebut poliyandri. [6]

Menurut sejarahnya poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam, orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian pula bangsa-bangsa Timur seperti bangsa Ibrania dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab dalam kenyataannya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina, dan Jepang. Maka tidak benar kalau poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam. [7]

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat dipahami bahwa poligami merupakan keadaan di mana seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu, yang juga merupakan bentuk perkawinan yang banyak dipraktikkan di masyarakat Islam di dunia. Meskipun saat ini masih menjadi perdebatan tentang boleh tidaknya poligami tetapi tidak dapat dipungkiri lagi hal ini sudah banyak dilakukan di masyarakat dengan berbagai alasan yang melatar belakanginya.

2.   Dasar Hukum Poligami

Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogamy mutlak dengan pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristeri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apapun, Islam pada dasarnya, menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas, pada prinsipnya seorang laki-laki hanya dapat memiliki seorang isteri dan sebaliknya seorang isteri hanya memiliki seorang suami.[8]

Adapun dalil yang dijadikan dasar umat Islam dalam berpoligami terdapat dalam Q.S An-Nisa ayat 3:

 

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

 

Terjemahnya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [9]

Ayat ini pada dasarnya merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim, yang kemudian disebutkan tentang kebolehan beristeri hanya empat isteri saja, karena eratnya hubungan pemeliharaan anak yatim dan beristeri lebih dari satu sampai empat yang terdapat dalam ayat ini.

Pandangan lain tentang ayat tersebut menyebutkan bahwa Q.S. An-Nisa ayat 3 ini lebih merekomendasikan perkawinan monogami sebagai bentuk pernikahan yang jauh dari tindakan aniaya. Sedangkan perkawinan poligami, meskipun dibolehkan dengan sejumlah syarat, namun rawan dengan ketidakadilan dan kezhaliman. Karena itu, dugaan sebagian orang bahwa poligami sebagai sunnah nabi dan ibadah patut dipertanyakan. Sebab, mungkinkah sebuah sunnah nabi yang bernilai ibadah, tetapi memperoleh peringatan keras dan kritik dari al-Quran.[10]

Beberapa dasar hukum berpoligami dalam Islam seperti yang disebutkan di atas baik dalam al-Quran maupun dalam Hadis, menunjukkan bahwa Islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristeri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala, dan islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki berpoligami.

Undang-Undang No.1 tahun 1974 mengatur masalah Perkawinan yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat suku bangsa, asal usul dan agama yang dipeluknya serta tidak melihat warga negara asli maupun keturunan asing, sehingga lebih menjamin suatu unifikasi atau keseragaman hukum dalam hal perkawinan di Indonesia. Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pelaksanaan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983. [11] Maka siapapun yang akan melaksanakan pernikahan, baik masalah dispensasi nikah atau pernikahan yang dilakukan oleh calon istri atau suami yang belum cukup umur, malasah poligami dan yang lainnya itu tidak terlepas dengan peraturan undangundang yang sudah mengatur secara terperinci.

3.   Alasan dan Syarat Poligami

Demi terwujudnya tujuan perkawinan yang disyari’atkan oleh Islam maka seorang suami yang ingin melakukan poligami harus memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dengan beberapa alasan yaitu:

a.   Jumlah isteri yang dipoligami tidak lebih dari empat wanita. Pembatasan empat wanita ini didasarkan pada Al-Qur’an Surat AnNisa’ ayat 3.

b.  Syarat selanjutnya adalah sanggup berbuat adil kepada para isteri, berbuat adil kepada para isteri dalam poligami adalah, masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menginap dan nafkah.

c.   Wanita yang dipoligami tidak ada hubungan saudara dengan isterinya baik susuan maupun nasab, karena dilarang mengumpulkan isteri dengan saudaranya atau dengan bibinya, larangan ini terdapat pada AlQur’an Surat An-Nisa’ ayat 23.

d.  Memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan bertambahnya isteri, maksudnya bagi seorang suami yang ingin menikah dengan seorang wanita harus yang sudah mampu, jika belum mampu haruslah menahan dulu (puasa).

e.   Persetujuan dari isteri, hal ini sesuai dengan posisi suami dan isteri dianggap satu kesatuan dalam keluarga, Apapun yang dilakukan oleh suami dimintakan izin kepada isteri, apalagi masalah ingin beristeri lagi. Persetujuan ini sangat penting demi keutuhan dan kelangsungan hidup berkeluarga.

Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang poligami yaitu terdapat dalam Bab IX (KHI) Pasal 55 sampai 59 yaitu: [12]

Pasal 55:

1)  Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.

2)  Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berbuat adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

3)  Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Pasal 56:

1)  Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

2)  Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

3)  Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin isteri di Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57:

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

1)  Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.

2)  isteri mendapat cacat badan, penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3)  Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58:

1)  Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yaitu :

a)   Adanya persetujuan isteri.

b)   Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

2)  Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan secara tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang pengadilan agama.

3)  Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteriisterinya sekurang-kurangnya atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

Pasal 59:

Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin beristeri lebih dari seorang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami mengajukan banding atau kasasi. [13]

[1]A. Rodli Makmun dan Evi Muafiah (eds), Poligami Dalam Penafsiran Muhammad Syahrur, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 15    

[2]Departemen dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 693.

[3]Supardi Mursalim, Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perkawinan dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 16.

[4]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 10.

[5]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2006), h. 9.

[6]Lihat. Sofyan A.P. Kau, Tafsir Hukum Tema-Tema Kontroversial, (Cet. II, Gorontalo: Sultan Amai Press, 2010), h. 13-14.

[7]Sa’id Thalib Al-Hamdani, Risalatun Nikah, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, terj. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, cet ke-3, 1989), h. 80.

[8]Supardi Mursalim, Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perkawinan dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 16.

[9]Kementerian Agama RI, Dirjen Bimas Islam Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012).

[10]Sofyan A.P. Kau, Tafsir Hukum Tema-Tema Kontroversial, (Cet. II, Gorontalo: Sultan Amai Press, 2010), h. 31-32.

[11]Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, (Yogyakarta: Al-Kautsar, 1990), h. 152.

[12]Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.  

[13]Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar