SPESIFIKASI DAN KLASIFIKASI PERKARA DI PERADILAN AGAMA
Ide
dasar pembentukan Peradilan Agama sebagai peradilan Islam di Indonesia adalah
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum syariat Islam. tidak ada
pengadilan lain yang bertanggung jawab atas tegaknya hukum syariah Islam di Indonesia
selain Peradilan Agama. Secara ius constituendum, Peradilan Agama
berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang terhadapnya, menurut hukum
syariat Islam, berlaku dan tunduk pada hukum syariat Islam antara mereka yang
beragama Islam. Pihak non Muslim dapat menundukkan diri pada hukum syariat
Islam dalam perkara yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariat
Islam. Hakim Peradilan Agama tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
perkara yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariat Islam karena itu
menjadi tanggung jawabnya. [1]
Sesuai
dengan pasal 49 UU Peradilan Agama, menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a) perkawinan, b) waris, c)
wasiat, d) hibah, e) wakaf, f) zakat, g) ifaq, h) shadaqah, dan i) ekonomi
syariah. [2]
Tugas
hakim perdata sebelum memeriksa dan mengadili perkara adalah terlebih dahulu
harus memahami spesifikasi setiap jenis perkara perdata dan cita hukumnya
secara benar agar hakim mampu member perlindungan hukum dan keadilan kepada
pencari keadilan secara tepat dalam kasus yang dihadapi. Tanpa memahami
spesifikasi setiap perkara dan cita hukumnya, dipastikan hakim tidak mungkin
dapat menyelesaikan perkara secara tepat dan benar dengan menghasilkan putusan
yang bermutu. Spesifikasi
perkara merupakan kondisi khusus setiap perkara ditinjau dari berbagai sudut
yang meliputi: a) faktor penyebab timbulnya sengketa sehingga menjadi perkara,
b) jenis hubungan keperdataan antara pihak-pihak yang berperkara, c) jenis
objek sengketa, dan d) solusi menyelesaiakan perkara yang paling tepat sesuai
dengan cita hukumnya. [3]
Perkara-perkara yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: [4]
1) Perkara
Jinayat (Pidana Islam);
2) Perkara
Keluarga Islam;
3) Perkara
Perdata Islam;
4) Perkara Ekonomi
Syariah (Ekonomi Islam)
a. Perkara
Jinayat (Pidana Islam) [5]
Yang dimaksud dengan perkara jinayat
adalah perkara pidana yang diatur dalam syariat Islam yang meliputi: a) Perkara
hudud seperti jina, menuduh berzina, mencuri, merampok, minuman keras
dan napza, murtad, dan pemberontakan; b) perkara Qishash/diyat
seperti pembunuhan dan penganiayaan; dan c) perkara ta’zir, yaitu
hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain hudud
dan qishash/diyat seperti judi, klalwat, dan meninggalkan
sholat fardlu dan puasa ramadhan.
b.
Perkara Keluarga Islam; [6]
Yang dimaksud dengan perkara
keluarga adalah perkara antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,
baik karena adanya; a) hubungan hukum seperti hubungan suami dengan istri, anak
angkat dengan orang tua angkatnya, anak asuh dengan walinya, anak tiri dengan
ayah dan/atau ibu tirinya dan sebagainya, b) maupun karena adanya hubungan
darah seperti hubungan antara orang tua dengan anak dan keturunannya, anak
dengan paman/bibinya dan seseorang dengan saudara-saudaranya baik sekandung,
seayah, maupu seibu atau sepersusuan, baik yang bertalian dengan perkawinan
maupun kewarisan. Termasuk didalamnya adalah perkara hibah dan wasiat antara
anggota keluarga tersebut manakala ada perkaitan dengan kewajiban nafkah dan
warisan antara satu sama lain.
Peradilan Agama dalam memeriksa dan
mengadili perkara keluarga, maka hakim harus siap menampilkan pengadilan ini
sebagai peradilan keluarga (family courts). Peradilan keluarga ini
memiliki cirri-ciri, antara lain, sebagai berikut: [7]
1) Hukum acara
yang diterapkan dalam perkara istbat nikah, perceraian, dan pembatalan nikah
adalah hukum acara keluarga atau hukum acara khusus yang diatur dalam
undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam. hakim dapat pula
memanfaatkan hukum acara Islam yang mengatur proses peradilan ini.
2) Dalam
perkara perceraian dan pembatalan nikah, sidang-sidangnya
pada umumnya dilakukan secara tertutup, kecuali undang-undang menentukan lain.
3) Mengutamakan
perlindungan istri dan anak-anak sebagai pihak yang lemah, terutama anak-anak
yang belum mumazzis sehingga hakim lebih banyak memanfaatkan kewenangan ex
officio guna membantu dan menyelamatkan mereka dari keterpurukan dan
kerugian tanpa harus ada permintaan.
4) Dialog hakim
dengan para pihak dan juga dengan saksi maupun antar para pihak lebih
mengutamakan bahasa hati yang halus dan menyentuh perasaan karena masalah
keluarga pada hakikatnya adalah hubungan dari hati kehati yang menjadi tumpuan
harga diri. Bahasa hukum dapat digunakan sekedar untuk member kepastian dan
ketegasan maksud hati yang sesungguhnya.
5) Penyebutan
nama panggilan yag menjadi kebanggaan para pihak maupun saksi-saksi akan lebih
menguntungka kelancaran proses penyelesaian sengketa dari pada penyebutan
dengan kedudukan resmi dalam perkara, yakni penggugat, terguga, saksi.
Penyebutan pihak dengan nama panggilan yang dibanggakan akan lebih komunikatif
dan menyentuh hati sehingga sengketa lebih mudah diselesaikan.
c. Perkara
Perdata Islam; [8]
Yang dimaksud
dengan perkara perdata adalah perkara yang berkaitan dengan hubungan
keperdataan antara sesame muslim atau dengan non muslim yang menundukkan diri
pada hukum syariat Islam karena perkaranya, diluar perkara keluarga. Hal ini
misalnya perkara wakaf, hibah, wasiat, zakat, ifaq, dan shadaqah. Dalam perkara
sepenuhnya berlaku hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum. Perlindungan hukum dan keadilan dalam perkara
perdata diberikan berdasarkan ketentuan dalam hukum perdata atau muamalat dan
asas-asas hukum perdata yang berlaku.
d. Perkara Ekonomi
Syariah (Ekonomi Islam) [9]
Yang dimaksud dengan perkara ekonimi
syariat adalah perkara yang berkaitan kegiatan dan/atau usaha dibidang ekonomi
dengan menerapkan prinsip-prinsip syariat. Perlindungan hukum dan keadilan
dalam perkara ekonomi syariat diberikan berdasarkan atas hukum perlindungan
konsumen dan prinsip-prinsip syariat dalam bidang ekonomi.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan kewenangan Peradilan Agama yang telah disebutkan ini memang
tidak menjelaskan secara detail ruang lingkup terkecil dari apa yang menjadi
kewenangannya dalam memeriksa dan memutus perkara yang ada. Salah satu yang
tidak disebutkan secara detail dalam penjelasannya adalah tentang masalah
hutang bersama, yang dalam kenyataan di masyarakat hal ini banyak menimbulkan
persoalan tetapi memang proses penyelesaiannya masih belum jelas penerapan
hukumnya. Hutang
bersama saat ini dapat diadili dalam proses persidangan harta bersama, meskipun
aturannya belum dijelaskan secara tersendiri.
e.
Eksekusi
Putusan dan Tanggung Jawab Hakim[10]
Eksekusi
perkara perdata memang bukan menjadi tugas hakim pemeriksa perkara melainkan
menjadi tugas panitera dan /atau jurusita/jurusita pengganti dibawah pimpinan
ketua pengadilan. Namun yang harus di ingat oleh hakim pemeriksa perkara adalah
bahwa yang hendak dieksekusi adalah putisan hakim. Hakim pemeriksa perkara
adalah pemegang kunci kemudahan eksekusi. Oleh sebab itu, hakim pemeriksa
perkara wajib memberikan kunci kemudahan eksekusi tersebut kepada panitera. Kunci
tersebut dapat diberikan dalam bentuk amar eksekutorial dan amar penopang
kemudahan eksekusi. Berdasarkan amanat pasal 58 ayat (2) UU Peradilan Agama jo
Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan
membantu pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan. Termasuk disini adalah dalam hal penyelesaian perkara baik yang
berupa eksekusi (tindakan fisik), pembayaran sejumlah uang, maupun tindak
lanjut administrasi.
[1] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan
Keadilan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2017), h. 134.
[2] Republik Indonesia, Undang-Undang No 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama.
[3] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan
Keadilan, h. 135-136.
[4] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan
Keadilan, h. 136.
[5] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan
Keadilan, h. 136.
[6] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan Keadilan,
h. 136-137.
[7] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan
Keadilan, h. 137.
[8] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan
Keadilan, h. 138.
[9] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan
Keadilan, h. 139.
[10] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan
Keadilan, h. 139-140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar