PEREMPUAN DALAM KONSEP SOSIAL KEAGAMAAN
1.
Kedudukan Perempuan dalam Islam
Islam sangat memuliakan
wanita, al-qur’an dan hadis memberikan perhatian yang sangat besar serta
kedudukan yang terhormat kepada wanita Baik dia sebagai istri, ibu, anak, saudara
ataupun peran lainnya, begitu pentingnya hal ini, Allah mewahyukan sebuah surat
dalam al-Qur'an kepada Nabi Muhammad Saw yang di beri nama surat an-Nisa’,
sebagian besar surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan
kedudukan, peran dan hak-hak wanita.[1]
Abdul Aziz Dahlan mengatakan
bahwa wanita dan pria mempunyai tabiat kemanusiaan yang sama. Mereka dianugrahi
potensi kemanusiaan yang sama oleh Allah SWT, sehingga dapat melakukan kegiatan
masing masing dan memikul tanggung jawab.[2]
Dalam Islam wanita memilik kedudukan yang sama dengan pria, baik
sebagai hamba Allah maupun khalifah di muka bumi.Namun bukan berarti wanita di
berikan kedudukan yang sama persis dengan kaum pria. Islam tetap mengatur
adanya perbedaan yang bijaksana antara kaum pria dan wanita. Antara lain dalam
hak talak.[3]
Islam menjunjung tinggi
derajat wanita, ia ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat, tidak ada
yang boleh menghinanya. Untuk menjaga kesucian serta ketinggian derajat dan
martabat kaum wanita, maka dalam kehidupan sehari hari Islam memberikan
tuntunan dengan ketentuan hukum Islam sebagai batasan dan perlindungan.[4]Dalam
kedudukan wanita ada beberapa orang yang beranggapan kedudukan wanita berbeda
dengan pria. Padahal setelah di telaah di atas dan buktikan dengan ayat di atas
kedudukan wanita dengan pria dalam Islam adalah sama.
Isu yang sering di bahas
adalah tentang hak kerja wanita, hak kerja menjadi isu yang penting dilihat
dalam Islam karena diketahui ada larangan wanita keluar rumah kecuali ada hal
yang di perlukan. St. Rogayah tidak mengerti alasan pelarangan tersebut.
Sebenarnya tingkat keterikatan wanita dengan rumah tangga merupakan masalah
sosial yang bentuknya bervariasi sesuai dengan kondisi wanita dan kondisi
masyarakatnya.[5]
Akan tetapi ada juga dalil lain dan fakta
sejarah bahwa wanita di perbolehkan memiliki karier atau bekerja di luar rumah.
Sub bab berikutnya akan menjelaskan bagaimana fiqih memandang wanita karier. Sebelum
mengetengahkan ketentuan hukum Islam terhadap wanita karier, Abdul Halim Abu
Syuqqah merasa perlu mengingatkan dua masalah yang sangat penting. Pertama
mengenai pandangan yang salah yang berkembang pada zaman sekarang. Kedua
mengenai penelitian ilmiah yang sangat di perlukan untuk mengarahkan karir
wanita. Mengenai masalah pertama penulis tekankan bahwa pandangan yang salah
tentang karir wanita sebagaimana mereka yang mengatakan bahwa karir itu sangat
penting bagi wanita agar dia dapat mewujudkan dan mengembangkan kepribadiannya.
Mereka salah dalam masalah ini sebab wanita dapat saja mewujudkan dan
mengembangkan kepribadiannya, walaupun hanya melalui pekerjaan sebagai ibu
rumah tangga dengan sedikit keterlibatan dalam bidang sosial atau politik. Hal
ini jelas tidak akan berbenturan dengan profesi lain yang mungkin dia jalani.[6]
Pada wanita yang bekerja mereka dihadapkan
pada banyak pilihan yang ditimbulkan oleh perubahan peran dalam masyarakat, di
satu sisi mereka harus berperan sebagai ibu rumah tangga yang tentu saja bisa
dikatakan memilki tugas yang cukup berat dan sisi lain mereka juga harus
berperan sebagai wanita karir. Wanita dan laki-laki kini telah masuk dalam
lapangan persaingan yang sangat ketat. Wanita berlomba lomba menguasai wilayah
kerja kaum laki laki.[7]
Sebenarnya, usaha (kiprah) kaum wanita
cukup luas meliputi berbagai bidang, terutama yang berhubungan dengan dirinya
sendiri, yang diselaraskan dengan Islam, dalam segi akidah, akhlak dan masalah
yang tidak menyimpang dari apa yang sudah digariskan atau ditetapkan oleh
Islam.[8] Harus
diakui Allah swt. menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang
berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar,
kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat, pantang menyerah, sabar dan
lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya
yaitu menghidupi keluarga secara layak.[9]
Sedangkan bentuk kesulitan
yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan
mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan
berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir.[10] Oleh
karena itu, agama Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang
tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di
dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya,
kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.[11]
Sebenarnya Agama Islam telah
menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu
untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membebankan ke atas
pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi
keluarganya.[12] Sedangkan,
ketika si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu
(‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya
dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang lain.[13]
Bila si wanita ini menikah,
maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua
urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang
suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda,
memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan
mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal
tersebut.Selain itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab
terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari
Baitul Mal kaum Muslimin.[14]
2.
Perempuan
Muslimah
Wanita muslimah adalah wanita yang
beragama Islam, yang patuh pada ajaran Islam, dan senantiasa menutup auratnya.
Wanita muslimah diwajibkan menutup aurat agar terhindar dari bahaya. Hukum
disyariatkannya hijab memiliki dua sisi positif bagi kaum perempuan, yaitu:
1) Dapat menjaga perempuan secara khusus agar
laki-laki tidak dapat memandang seenaknya saja sehingga dapat menyakiti
perasaan perempuan dan membuatnya malu. Bahkan lebih dari itu, hijab juga
menjaga perempuan dari perbuatan laki-laki yang tidak hanya sekedar melihat.
2) Dapat menjaga perempuan agar tetap
mendapatkan perhatian dari suami dan membuat suami tidak berpaling ketika
melihat perempuan yang lebih cantik.
Perlu diketahui bahwa segala perbuatan
yang dilakukan seseorang merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan
semuanya pasti akan mendapat pahala. Seandainya tidak melakukan perbuatan yang
diperintahkan Allah pasti tidak akan mendapatkan pahala. Allah menciptakan
laki-laki dan wanita agar keduanya membangun kehidupan bersama dan menjadi
sempurna melalui perkembangan kehidupan. Oleh karena itu, kedudukan antara
laki-laki dan wanita sama. Islam tidak memisahkan keduanya dari segi peranannya.
3.
Perempuan
Indonesia dalam Bingkai Sosiologi Gender
Sosiologi Gender (sosiology
of gender) sosiologi gender mempercayai cara di mana perbedaan fisik antara
perempuan dan laki-laki dimediasi oleh kultur dan struktur sosial.
Perebedaan-perbedaan itu dirumuskan secara sosial dan kultur sebagai berikut:
1) Perempuan memperoleh kepribadian feminisme dan identitas gender melalui
sosialisasi; 2) perempuan seringkali diisolasi dari aktivitas publik dalam
masyarakat Industrial melalui penyungkiran mereka kedalam ranah pribadi rumah
tangga; 3) perempuan ditempatkan dalam kegiatan produktif yang rendah dan
secara umum merendahkan kegiatan itu; 4) perempuan ditundukkan melalui
stereotip yang menjelaskan perempuan sebagai mahluk yang lemah dan tergantung
pada laki-laki. [15]
Pertanyaannya apakah perempuan Indonesia termasuk di dalam keempat
perumusan tentang sosiologi gender tersebut? Tentu sebagai upaya untuk melihat
pasang surut perempuan Indonesia, perumusan tersebut dapat dipinjam sebagai
bingkai yang didalamnya terdapat sketsa-sketsa tentang perempuan Indonesia. [16]
4.
Perempuan Dalam
Perspektif Sejarah
Proses pemarjinalan masyarakat di dalam struktur sosial ekonomi
maupun politik lambat laun menyebabkan komunitas tersebut terjebak dalam suatu
kondisi yang dinamakan sebagai perangkap kemiskinan. Kemiskinan yang dialami
bukan hanya kemiskinan dalam arti tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah
melainkan juga kemiskinan dalam arti terkekangnya hak ataupun kemerdekaan
individu dalam mengekspresikan dinamika hidupnya. [17]
Fenomena pemarjinalan tersebut mungkin dapat kita analogikan dengan
wacana yang berkaitan dengan perempuan. wacana yang berkembangan selama ini
menganggap bahwa kaum perempuan cenderung dilihat sebagai korban dari berbagai
proses sosial yang terjadi dalam masyarakat selama ini. perlakuan terhadap
perempuan yang tidak apresiatif dalam interaksi sosialnya dengan suatu
komunitas telah menjadi tren diskusi dan perbincangan diantara para pengamat
dan para pemerhati sosial. Fenomena bias gender dalam konteks hubungan antara
perempuan dan laki-laki akhirnya direspons dengan memunculkan suatu opini yang
mengatakan bahwa dunia laki-laki, yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa
dengan norma atau nilai laki-laki. Perempuan seakan-akan hanya diskenariokan
sebagai artis panggung teater yang diarahkan seorang sutradara laki-laki,
dengan skenario yang dibuat laki-laki serta ditampilkan untuk memuaskan selera
penonton yang kebetulan juga laki-laki. [18]
Benar atau tidaknya anggapan diatas memang relatif dan belum tentu
menjadi suatu realitas dalam kehidupan kita. Akan tetapi, dalam cuilan sejarah
peradaban manusia gambaran perlakuan terhadap perempuan memang tidaklah
menggembirakan atau bahkan dapat dikatakan buram. Bentuk-bentuk peradaban
manusia yang menjustifikasi fenomena ketertindasan perempuan itu tergambar
dalam fragmentasi sejarah diberbagai belahan dunia. Pada puncak peradaban
Yunan, misalnya, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki.
Mereka diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera
tersebut dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang
terlihat sampai sekarang di Eropa adalah bukti di sisa pandangan itu. [19]
Sedang dalam sejarah peradaban Romawi, kultur sosial yang ada men-fetakomli bahwa perempuan sepenuhnya
berada dibawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin kekuasaan pindah ke tangan
suami. Kekuasaan itu mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan
membunuh. Realita itu berlangsung hingga abad ke-5 Masehi. Segala hasil usaha
perempuan akan menjadi milik keluarganya yang laki-laki. Pada zaman kaisar
terjadi sedikit perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi
perempuan dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga
(suami/ayah). Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari yang lain. Hak
hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian
suaminya, istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar.
Tradisi ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi. [20]
[1]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia
Hukum Islam, Jilid 2, (Yogyakarta: Lkis, 1997), h. 1923.
[2]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia
Hukum Islam, Jilid 2, h. 1920.
[3]St. Rogayah Bucharie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan, Kedudukan dan Peranannya, (Bandung:
Baitul Hikmah, 2006), h. 81.
[4]St. Rogayah Bucharie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan, Kedudukan dan Peranannya, h. 85.
[5]St. Rogayah Bucharie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan, Kedudukan dan Peranannya, h. 48.
[6]Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Chairul Halim, Jilid
1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 46.
[7]Abdullah A. Djawas, Dilema Wanita Karier (Menuju Keluarga
Sakinah), (Yogyakarta: Ababil, 1996), h. 37.
[8]Abdul Halim Abu Syuqqah,
Kebebasan Wanita, Chairul Halim, Jilid 1,h. 36.
[9]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas
Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, (Jakarta: Amzah,
2005), h. 59.
[10]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas
Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 59.
[11]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas
Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 60.
[12]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas
Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 62.
[13]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas
Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 63.
[14]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas
Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 64.
[15]Endang
Caturwati, et al, Perempuan Indonesia
Dulu dan Kini, h. 65.
[16]Endang
Caturwati, et al, Perempuan Indonesia
Dulu dan Kini, h. 65-66.
[17]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.
40.
[18]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia, h. 40-41.
[19]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia, h. 41.
[20]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia, h. 41-42.
[21]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia, h. 42-43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar