Selasa, 14 Juni 2022

PEREMPUAN DALAM KONSEP SOSIAL KEAGAMAAN

 

PEREMPUAN DALAM KONSEP SOSIAL KEAGAMAAN


                                   Gamber: Peran Perempuan

1.   Kedudukan Perempuan dalam Islam

Islam sangat memuliakan wanita, al-qur’an dan hadis memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita Baik dia sebagai istri, ibu, anak, saudara ataupun peran lainnya, begitu pentingnya hal ini, Allah mewahyukan sebuah surat dalam al-Qur'an kepada Nabi Muhammad Saw yang di beri nama surat an-Nisa’, sebagian besar surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan kedudukan, peran dan hak-hak wanita.[1]

Abdul Aziz Dahlan mengatakan bahwa wanita dan pria mempunyai tabiat kemanusiaan yang sama. Mereka dianugrahi potensi kemanusiaan yang sama oleh Allah SWT, sehingga dapat melakukan kegiatan masing masing dan memikul tanggung jawab.[2] Dalam Islam wanita memilik kedudukan yang sama dengan pria, baik sebagai hamba Allah maupun khalifah di muka bumi.Namun bukan berarti wanita di berikan kedudukan yang sama persis dengan kaum pria. Islam tetap mengatur adanya perbedaan yang bijaksana antara kaum pria dan wanita. Antara lain dalam hak talak.[3]

Islam menjunjung tinggi derajat wanita, ia ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat, tidak ada yang boleh menghinanya. Untuk menjaga kesucian serta ketinggian derajat dan martabat kaum wanita, maka dalam kehidupan sehari hari Islam memberikan tuntunan dengan ketentuan hukum Islam sebagai batasan dan perlindungan.[4]Dalam kedudukan wanita ada beberapa orang yang beranggapan kedudukan wanita berbeda dengan pria. Padahal setelah di telaah di atas dan buktikan dengan ayat di atas kedudukan wanita dengan pria dalam Islam adalah sama.

Isu yang sering di bahas adalah tentang hak kerja wanita, hak kerja menjadi isu yang penting dilihat dalam Islam karena diketahui ada larangan wanita keluar rumah kecuali ada hal yang di perlukan. St. Rogayah tidak mengerti alasan pelarangan tersebut. Sebenarnya tingkat keterikatan wanita dengan rumah tangga merupakan masalah sosial yang bentuknya bervariasi sesuai dengan kondisi wanita dan kondisi masyarakatnya.[5]

Akan tetapi ada juga dalil lain dan fakta sejarah bahwa wanita di perbolehkan memiliki karier atau bekerja di luar rumah. Sub bab berikutnya akan menjelaskan bagaimana fiqih memandang wanita karier. Sebelum mengetengahkan ketentuan hukum Islam terhadap wanita karier, Abdul Halim Abu Syuqqah merasa perlu mengingatkan dua masalah yang sangat penting. Pertama mengenai pandangan yang salah yang berkembang pada zaman sekarang. Kedua mengenai penelitian ilmiah yang sangat di perlukan untuk mengarahkan karir wanita. Mengenai masalah pertama penulis tekankan bahwa pandangan yang salah tentang karir wanita sebagaimana mereka yang mengatakan bahwa karir itu sangat penting bagi wanita agar dia dapat mewujudkan dan mengembangkan kepribadiannya. Mereka salah dalam masalah ini sebab wanita dapat saja mewujudkan dan mengembangkan kepribadiannya, walaupun hanya melalui pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dengan sedikit keterlibatan dalam bidang sosial atau politik. Hal ini jelas tidak akan berbenturan dengan profesi lain yang mungkin dia jalani.[6]

Pada wanita yang bekerja mereka dihadapkan pada banyak pilihan yang ditimbulkan oleh perubahan peran dalam masyarakat, di satu sisi mereka harus berperan sebagai ibu rumah tangga yang tentu saja bisa dikatakan memilki tugas yang cukup berat dan sisi lain mereka juga harus berperan sebagai wanita karir. Wanita dan laki-laki kini telah masuk dalam lapangan persaingan yang sangat ketat. Wanita berlomba lomba menguasai wilayah kerja kaum laki laki.[7]

Sebenarnya, usaha (kiprah) kaum wanita cukup luas meliputi berbagai bidang, terutama yang berhubungan dengan dirinya sendiri, yang diselaraskan dengan Islam, dalam segi akidah, akhlak dan masalah yang tidak menyimpang dari apa yang sudah digariskan atau ditetapkan oleh Islam.[8] Harus diakui Allah swt. menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.[9]

Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir.[10] Oleh karena itu, agama Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.[11]

Sebenarnya Agama Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membebankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.[12] Sedangkan, ketika si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang lain.[13]

Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.Selain itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.[14]

2.   Perempuan Muslimah

Wanita muslimah adalah wanita yang beragama Islam, yang patuh pada ajaran Islam, dan senantiasa menutup auratnya. Wanita muslimah diwajibkan menutup aurat agar terhindar dari bahaya. Hukum disyariatkannya hijab memiliki dua sisi positif bagi kaum perempuan, yaitu:

1)  Dapat menjaga perempuan secara khusus agar laki-laki tidak dapat memandang seenaknya saja sehingga dapat menyakiti perasaan perempuan dan membuatnya malu. Bahkan lebih dari itu, hijab juga menjaga perempuan dari perbuatan laki-laki yang tidak hanya sekedar melihat.

2)  Dapat menjaga perempuan agar tetap mendapatkan perhatian dari suami dan membuat suami tidak berpaling ketika melihat perempuan yang lebih cantik.

Perlu diketahui bahwa segala perbuatan yang dilakukan seseorang merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan semuanya pasti akan mendapat pahala. Seandainya tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan Allah pasti tidak akan mendapatkan pahala. Allah menciptakan laki-laki dan wanita agar keduanya membangun kehidupan bersama dan menjadi sempurna melalui perkembangan kehidupan. Oleh karena itu, kedudukan antara laki-laki dan wanita sama. Islam tidak memisahkan keduanya dari segi peranannya.

3.   Perempuan Indonesia dalam Bingkai Sosiologi Gender

    Sosiologi Gender (sosiology of gender) sosiologi gender mempercayai cara di mana perbedaan fisik antara perempuan dan laki-laki dimediasi oleh kultur dan struktur sosial. Perebedaan-perbedaan itu dirumuskan secara sosial dan kultur sebagai berikut: 1) Perempuan memperoleh kepribadian feminisme dan identitas gender melalui sosialisasi; 2) perempuan seringkali diisolasi dari aktivitas publik dalam masyarakat Industrial melalui penyungkiran mereka kedalam ranah pribadi rumah tangga; 3) perempuan ditempatkan dalam kegiatan produktif yang rendah dan secara umum merendahkan kegiatan itu; 4) perempuan ditundukkan melalui stereotip yang menjelaskan perempuan sebagai mahluk yang lemah dan tergantung pada laki-laki. [15]

    Pertanyaannya apakah perempuan Indonesia termasuk di dalam keempat perumusan tentang sosiologi gender tersebut? Tentu sebagai upaya untuk melihat pasang surut perempuan Indonesia, perumusan tersebut dapat dipinjam sebagai bingkai yang didalamnya terdapat sketsa-sketsa tentang perempuan Indonesia. [16]

4.   Perempuan Dalam Perspektif Sejarah

    Proses pemarjinalan masyarakat di dalam struktur sosial ekonomi maupun politik lambat laun menyebabkan komunitas tersebut terjebak dalam suatu kondisi yang dinamakan sebagai perangkap kemiskinan. Kemiskinan yang dialami bukan hanya kemiskinan dalam arti tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah melainkan juga kemiskinan dalam arti terkekangnya hak ataupun kemerdekaan individu dalam mengekspresikan dinamika hidupnya. [17]

    Fenomena pemarjinalan tersebut mungkin dapat kita analogikan dengan wacana yang berkaitan dengan perempuan. wacana yang berkembangan selama ini menganggap bahwa kaum perempuan cenderung dilihat sebagai korban dari berbagai proses sosial yang terjadi dalam masyarakat selama ini. perlakuan terhadap perempuan yang tidak apresiatif dalam interaksi sosialnya dengan suatu komunitas telah menjadi tren diskusi dan perbincangan diantara para pengamat dan para pemerhati sosial. Fenomena bias gender dalam konteks hubungan antara perempuan dan laki-laki akhirnya direspons dengan memunculkan suatu opini yang mengatakan bahwa dunia laki-laki, yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan norma atau nilai laki-laki. Perempuan seakan-akan hanya diskenariokan sebagai artis panggung teater yang diarahkan seorang sutradara laki-laki, dengan skenario yang dibuat laki-laki serta ditampilkan untuk memuaskan selera penonton yang kebetulan juga laki-laki. [18]

    Benar atau tidaknya anggapan diatas memang relatif dan belum tentu menjadi suatu realitas dalam kehidupan kita. Akan tetapi, dalam cuilan sejarah peradaban manusia gambaran perlakuan terhadap perempuan memang tidaklah menggembirakan atau bahkan dapat dikatakan buram. Bentuk-bentuk peradaban manusia yang menjustifikasi fenomena ketertindasan perempuan itu tergambar dalam fragmentasi sejarah diberbagai belahan dunia. Pada puncak peradaban Yunan, misalnya, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Mereka diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat sampai sekarang di Eropa adalah bukti di sisa pandangan itu. [19]

    Sedang dalam sejarah peradaban Romawi, kultur sosial yang ada men-fetakomli bahwa perempuan sepenuhnya berada dibawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan itu mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Realita itu berlangsung hingga abad ke-5 Masehi. Segala hasil usaha perempuan akan menjadi milik keluarganya yang laki-laki. Pada zaman kaisar terjadi sedikit perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami/ayah). Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari yang lain. Hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi. [20]

    Kemudian dalam pandangan Yahudi, perempuan sama dengan Pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari surga. Pandangan masyarakat Kristen, masa lalu, tidak lebih baik dari yang disebut diatas. Kemudian di Negeri Paman Sam, yang sekarang dikenal dengan negara yang mengagungkan demokrasi dan ke-elagiter-an, dalam proses peradabannya juga pernah mengalami sejarah kelam dalam konteks perlakuan sosial terhadap kaum hawa-nya. Di Negri kita pun, kisah kelam itu dapat kita temukan dalam nukilan-nukilan sejarah terutama saat terjadinya kolonialisme Belanda. Guratan-guratan keprihatinan sekaligus protes R.A. Kartini dalam tulisan lewat surat-suratnya ke para sahabatnya di Belanda menjadi salah satu bukti atas terjadinya fenomena tersebut. Di dalam konteks kebudayaan Jawa, sejarah kultur historis dapat kita temukan kenyataan bahwa perempuan ditempatkan sebagai the second sex. Tercermin dengan adanya pemeo “swarga nunut neraka katut”, yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan istri hanya tergantung pada suami. Tersirat bahwa peran perempuan hanya berfungsi sebagai peran pendukung semata. [21]


[1]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 2, (Yogyakarta: Lkis, 1997), h. 1923. 

[2]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 2, h. 1920. 

[3]St. Rogayah Bucharie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan, Kedudukan dan Peranannya, (Bandung: Baitul Hikmah, 2006), h. 81. 

[4]St. Rogayah Bucharie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan, Kedudukan dan Peranannya, h. 85. 

[5]St. Rogayah Bucharie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan, Kedudukan dan Peranannya, h. 48. 

[6]Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Chairul Halim, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 46. 

[7]Abdullah A. Djawas, Dilema Wanita Karier (Menuju Keluarga Sakinah), (Yogyakarta: Ababil, 1996), h. 37. 

[8]Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Chairul Halim, Jilid 1,h. 36. 

[9]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 59.

[10]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 59.

[11]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 60.

[12]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 62.

[13]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 63.

[14]Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Perhormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, Yessi HM. Basyaruddin, h. 64.

[15]Endang Caturwati, et al, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, h. 65.

[16]Endang Caturwati, et al, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, h. 65-66.

[17]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),  h. 40.

[18]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia,  h. 40-41.

[19]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia,  h. 41.

[20]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia,  h. 41-42.

[21]Rian Nugroho, Gender dan Pengarusutamaannya di Indpnesia,  h. 42-43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar