Rabu, 15 Juni 2022

PEREMPUAN YANG HARAM DINIKAHI

 "Larangan Perkawinan Dalam Islam"

Jusuf A. Lakoro, S.H.I., M.H. (Advokat/Pengacara)

1.  Larangan Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

        Larangan Perkawinan Larangan perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dalam Bab II Pasal 8 sampai dengan Pasal 11. Adapun larangan-larangan perkawinan itu disebutkan dalam UndangUndang tentang Perkawinan adalah sebagai berikut:

Pasal 8:

1)  Perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

2)  Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3)  Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri.

4)  Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan ibu/ paman susuan.

5)  Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

6)  Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. [1]

Adapun wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (halangan abadi) karena pertalian nasab adalah: [2]

a)   Ibu: yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya ke atas).

b)  Anak perempuan: yang dimaksud ialah wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya ke bawah.

c)   Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.

d)  Bibi: Yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau seibu dan seterusnya ke atas.

e)   Kemenakan (keponakan) perempuan: yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

Selain itu, adapula larangan kawin karena hubungan sesusuan, yaitu:

a)   Ibu susuan: yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu, sehingga haram melakukan perkawinan.

b)  Nenek susuan: yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan, sehingga haram melakukan perkawinan.

c)   Bibi susuan: yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya ke atas.

d)  Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.

e)   Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.

Selanjutnya ditambah larangan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 yaitu:

1)  Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk ber-isteri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan (Pasal 9 jo. Pasal 3 ayat (2)) dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggal.[3]

2)  Suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dan lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melakukan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[4]

Larangan Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah perbuatan kawin cerai berulang kali, agar suami dan isteri saling harga menghargai dan mengurus rumah tangga yang tertib dan teratur.

2.   Larangan Perkawinan Dalam KUH Perdata

Larangan perkawinan juga diatur dalam KUHPerdata (BW) Pasal 30-35 tentang larangan perkawinan, maka perkawinan yang dilarang adalah sbb: [5]

1)  Antara mereka yang satu dan lain bertalian keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, baik karena kelahiran yang sah atau tidak sah atau karena perkawinan (Pasal 30).

2)  Antara mereka yang bertalian keluarga dalam garis menyimpang antara saudara pria dan saudara wanita yang sah atau tidak sah (Pasal 30).

3)  Antara ipar pria dan ipar wanita karena perkawinan sah atau tidak sah, kecuali si suami atau si isteri yang mengakibatkan periparan sudah meninggal atau jika karena keadaaan tidak hadirnya suami yang ditinggalkannya, oleh Hakim diizinkan untuk kawin dengan orang lain (Pasal 31 (e)).

4)  Antara paman atau paman orang tua dan anak wanita saudara atau cucu wanita saudara, seperti juga bibi atau bibi dari orang tua dan anak pria saudara atau cucu pria dari saudara yang sah atau tidak sah. Dalam hal adanya alasan penting, Presiden berkuasa meniadakan larangan dalam Pasal ini dengan memberikan dispensasi (Pasal 31 (2e))

5)  Antara teman berzinah, jika telah dinyatakan dengan putusan Hakim salah karena berzinah (Pasal 32)

6)  Antara mereka yang perkawinannya telah dibubarkan karena putusan hakim setelah pisah meja dan ranjang, atau karena perceraian (Pasal 33 jo. 199 (3e-4e)), kecuali setelah lewat waktu satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang terakhir. Perkawinan yang kedua kalinya antara orang-orang yang sama dilarang.

7)  Seorang wanita dilarang kawin lagi kecuali setelah lewat waktu 300 hari sejak perkawinannya terakhir dibubarkan.

3.   Perempuan Yang Haram dinikahi

Selain telah dijelaskan dalam syarat perkawinan, perempuan yang haram dinikahi untuk sementara waktu juga lebih jelasnya dapat dijelaskan seperti berikut ini:[6]

1)  Mengumpulkan antara dua perempuan bersaudara menjadi istri seseorang, apabila dengan jalan pergantian, setelah berpisah dengan salah seorang saudara, lalu ganti mengawini saudaranya diperbolehkan. Hal ini sering terjadi pada seseorang karena kematian istrinya lalu ganti mengawini adik iparnya. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 23, yang berbunyi; (diharamkan juga bagi kamu) dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.

Kecuali larangan mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara menurut ketentuan al-Quran, hadis Nabi mengajarkan pula bahwa tidak boleh seseorang mengumpulkan antara seorang perempuan dan bibinya (saudara ayah atau ibu); demikian pula antara seorang perempuan dan kerabatnya yang jika diperkirakan salah satunya laki-laki tidak dibolehkan kawin dengan yang lain; misalnya antara seorang perempuan dan ponakannya, seorang perempuan dan cucunya dan sebagainya.

2)  Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain, sebagaimana ditentukan dalam Q.S. An-Nisa ayat 24.

3)  Perempuan sedang dalam menjalani masa iddah, baik iddah karena kematian maupun karena iddah talak.

4)  Perempuan yang ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi dengan bekas suami yang mentalaknya, kecuali setelah kawin lagi dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya. Sesuai dengan firman Allah swt. Q.S. Al-Baqarah ayat 230.

5)  Perkawinan orang yang dalam ihram, baik melakukan akad nikah untuk diri sendiri atau bertindak sebagai wali atau wakil orang lain.

6)  Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dan perempuan pelacur atau perempuan baik-baik dengan laki-laki pezina, tidak dihalalkan, kecuali setelah masing-masing menyatakan bertobat. Q.S an-Nur mengajarkan bahwa laki-laki pezina tidak pantas kawin kecuali dengan perempuan pelacur atau perempuan musyrik, demikian pula perempuan pelacur tidak pantas dikawini kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik.

Apabila pecina benar-benar bertobat, mohon ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya pada masa lampau dan berjanji tidak akan mengulanginya, diikuti dengan ketaatan menjalankan aturan-aturan Allah, insya Allah, Allah akan menerima tobatnya dan akan memasukannya kedalam golongan orang-orang yang saleh.

7)  Mengawini wanita musyrik. Para fukaha sepakat bahwa laki-laki muslim haram mengawini wanita musyrik sesuai ketentuan Q.S. al-Baqarah ayat 221. Syirik adalah mempertuhankan selain Allah, apapun agamanya kecuali yahudi dan nasrani. Para penganut agama Yahudi dan Nasrani disebut dalam al-Quran dengan nama ahli kitab. Laki-laki muslim dalam ketentuan Q.S. al-Maidah ayat 5 dibolehkan dengan ahli kitab; tetapi apabila kita perhatikan ayat-ayat lain, kebolehan ini tidak mutlak, melainkan dengan syarat bahwa suami yang beragama Islam itu tidak dikhawatirkan akan terdesak mengikuti agama istri, atau tidak dikhawatirkan akan sanggup mendidik anak-anaknya mengikuti agama ayah, disebabkan lemah iman atau kedudukannya dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga. Sedangkan wanita muslimah sama sekali tidak boleh kawin dengan laki-laki non muslim.

8)  Kawin dengan lebih dari empat istri. Q.S. an-Nisa ayat 3 memberi kelonggaran laki-laki kawin poligami sebanyak-banyaknya empat istri. Laki-laki yang telah mempunyai empat orang istri haram kawin lagi dengan istri kelima dan seterusnya.

4.   Perkawinan Terlarang Dalam Islam

        Adapun didalam Islam terdapat ketentuan-ketentuan tentang larangan perkawinan bagi pria dan wanita. Ketentuan tentang larangan perkawinan ini ada yang sifatnya sementara dan ada yang sifatnya tetap. Yang dimaksud dengan larangan perkawinan yang sifatnya tetap adalah bahwa seorang pria dilarang menikahi/mengawini seorang wanita untuk selama-lamanya.[7] Hal-hal yang menyebabkan seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanita wanita untuk selamanya adalah:

1)  Karena adanya hubungan darah, yaitu: ibu, nenek, saudara kandung, keponakan, dan bibi.

2)  Karena hubungan susuan, yaitu: ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan, dan keponakan susuan.

3)  Karena hubungan semenda, yaitu: mertua, menantu, anak tiri dan ibu tiri.

4)  Karena sumpah li’an, yaitu suami istri yang putus perkawinannya karena sumpah li’an, kedua belah pihak dilarang menjadi suami istri kembali untuk selama-lamanya.[8]



[1]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[2]Abd. Rahman Ghazaly, M.A, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h 22.

[3]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[4]Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

[5]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[6] Abdul Ghofur Ansori, Hukum Perkawinan Islam “Perspektif Fikih dan Hukum Positif”, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011), h. 50-57.

[7]Abdul Ghofur Ansori, Hukum Perkawinan Islam, Perspektif Fikih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Prress, 2011), h. 187.

[8]Abdul Ghofur Ansori, Hukum Perkawinan Islam, Perspektif Fikih dan Hukum Positif, h. 187.

1 komentar: