"Larangan Perkawinan Dalam Islam"
1. Larangan Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Larangan Perkawinan Larangan perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dalam Bab II Pasal 8 sampai dengan
Pasal 11. Adapun larangan-larangan perkawinan itu disebutkan dalam UndangUndang
tentang Perkawinan adalah sebagai berikut:
Pasal 8:
1) Perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak
tiri.
4) Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan ibu/ paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin. [1]
Adapun wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (halangan
abadi) karena pertalian nasab adalah: [2]
a) Ibu: yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan darah dalam
garis keturunan garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu
dan seterusnya ke atas).
b) Anak perempuan: yang dimaksud ialah wanita yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik
dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya ke bawah.
c) Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.
d) Bibi: Yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung
ayah atau seibu dan seterusnya ke atas.
e) Kemenakan (keponakan) perempuan: yaitu anak perempuan saudara
laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
Selain itu, adapula larangan kawin karena
hubungan sesusuan, yaitu:
a) Ibu susuan: yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang
pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu,
sehingga haram melakukan perkawinan.
b) Nenek susuan: yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari
suami yang menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu, suami dari ibu yang
menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan, sehingga haram melakukan
perkawinan.
c) Bibi susuan: yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara
perempuan suami ibu susuan dan seterusnya ke atas.
d) Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu
susuan.
e) Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu
saja.
Selanjutnya ditambah larangan dalam
Pasal 9 dan Pasal 10 yaitu:
1) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk ber-isteri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
bersangkutan (Pasal 9 jo. Pasal 3 ayat (2)) dengan mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggal.[3]
2) Suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dan lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melakukan
perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[4]
Larangan Pasal ini dimaksudkan untuk
mencegah perbuatan kawin cerai berulang kali, agar suami dan isteri saling
harga menghargai dan mengurus rumah tangga yang tertib dan teratur.
2.
Larangan
Perkawinan Dalam KUH Perdata
Larangan perkawinan juga diatur
dalam KUHPerdata (BW) Pasal 30-35 tentang larangan perkawinan, maka perkawinan
yang dilarang adalah sbb: [5]
1) Antara mereka yang satu dan lain bertalian keluarga dalam garis
lurus ke atas dan ke bawah, baik karena kelahiran yang sah atau tidak sah atau
karena perkawinan (Pasal 30).
2) Antara mereka yang bertalian keluarga dalam garis menyimpang antara
saudara pria dan saudara wanita yang sah atau tidak sah (Pasal 30).
3) Antara ipar pria dan ipar wanita karena perkawinan sah atau tidak
sah, kecuali si suami atau si isteri yang mengakibatkan periparan sudah
meninggal atau jika karena keadaaan tidak hadirnya suami yang ditinggalkannya,
oleh Hakim diizinkan untuk kawin dengan orang lain (Pasal 31 (e)).
4) Antara paman atau paman orang tua dan anak wanita saudara atau cucu
wanita saudara, seperti juga bibi atau bibi dari orang tua dan anak pria
saudara atau cucu pria dari saudara yang sah atau tidak sah. Dalam hal adanya
alasan penting, Presiden berkuasa meniadakan larangan dalam Pasal ini dengan
memberikan dispensasi (Pasal 31 (2e))
5) Antara teman berzinah, jika telah dinyatakan dengan putusan Hakim
salah karena berzinah (Pasal 32)
6) Antara mereka yang perkawinannya telah dibubarkan karena putusan
hakim setelah pisah meja dan ranjang, atau karena perceraian (Pasal 33 jo. 199
(3e-4e)), kecuali setelah lewat waktu satu tahun sejak pembubaran perkawinan
mereka yang terakhir. Perkawinan yang kedua kalinya antara orang-orang yang
sama dilarang.
7) Seorang wanita dilarang kawin lagi kecuali setelah lewat waktu 300
hari sejak perkawinannya terakhir dibubarkan.
3. Perempuan Yang Haram
dinikahi
Selain telah dijelaskan dalam syarat perkawinan, perempuan yang haram
dinikahi untuk sementara waktu juga lebih jelasnya dapat dijelaskan seperti
berikut ini:[6]
1) Mengumpulkan antara
dua perempuan bersaudara menjadi istri seseorang, apabila dengan jalan
pergantian, setelah berpisah dengan salah seorang saudara, lalu ganti mengawini
saudaranya diperbolehkan. Hal ini sering terjadi pada seseorang karena kematian
istrinya lalu ganti mengawini adik iparnya. Hal ini sebagaimana dalam firman
Allah Q.S. An-Nisa ayat 23, yang berbunyi; (diharamkan juga bagi kamu) dan
menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau.
Kecuali larangan
mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara menurut ketentuan al-Quran, hadis
Nabi mengajarkan pula bahwa tidak boleh seseorang mengumpulkan antara seorang
perempuan dan bibinya (saudara ayah atau ibu); demikian pula antara seorang
perempuan dan kerabatnya yang jika diperkirakan salah satunya laki-laki tidak
dibolehkan kawin dengan yang lain; misalnya antara seorang perempuan dan
ponakannya, seorang perempuan dan cucunya dan sebagainya.
2)
Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain, sebagaimana
ditentukan dalam Q.S. An-Nisa ayat 24.
3)
Perempuan sedang dalam menjalani masa iddah,
baik iddah karena kematian maupun karena iddah talak.
4)
Perempuan yang ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi dengan bekas
suami yang mentalaknya, kecuali setelah kawin lagi dengan laki-laki lain,
kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya. Sesuai dengan firman Allah
swt. Q.S. Al-Baqarah ayat 230.
5)
Perkawinan orang yang dalam ihram, baik melakukan akad nikah untuk diri
sendiri atau bertindak sebagai wali atau wakil orang lain.
6)
Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dan perempuan
pelacur atau perempuan baik-baik dengan laki-laki pezina, tidak dihalalkan,
kecuali setelah masing-masing menyatakan bertobat. Q.S an-Nur mengajarkan bahwa
laki-laki pezina tidak pantas kawin kecuali dengan perempuan pelacur atau
perempuan musyrik, demikian pula perempuan pelacur tidak pantas dikawini
kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik.
Apabila pecina
benar-benar bertobat, mohon ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya pada
masa lampau dan berjanji tidak akan mengulanginya, diikuti dengan ketaatan
menjalankan aturan-aturan Allah, insya Allah, Allah akan menerima tobatnya dan
akan memasukannya kedalam golongan orang-orang yang saleh.
7)
Mengawini wanita musyrik. Para fukaha sepakat bahwa laki-laki muslim
haram mengawini wanita musyrik sesuai ketentuan Q.S. al-Baqarah ayat 221.
Syirik adalah mempertuhankan selain Allah, apapun agamanya kecuali yahudi dan
nasrani. Para penganut agama Yahudi dan Nasrani disebut dalam al-Quran dengan
nama ahli kitab. Laki-laki muslim dalam ketentuan Q.S. al-Maidah ayat 5
dibolehkan dengan ahli kitab; tetapi apabila kita perhatikan ayat-ayat lain,
kebolehan ini tidak mutlak, melainkan dengan syarat bahwa suami yang beragama
Islam itu tidak dikhawatirkan akan terdesak mengikuti agama istri, atau tidak
dikhawatirkan akan sanggup mendidik anak-anaknya mengikuti agama ayah,
disebabkan lemah iman atau kedudukannya dalam kehidupan keluarga dan rumah
tangga. Sedangkan wanita muslimah sama sekali tidak boleh kawin dengan
laki-laki non muslim.
8)
Kawin dengan lebih dari empat istri. Q.S. an-Nisa ayat 3 memberi
kelonggaran laki-laki kawin poligami sebanyak-banyaknya empat istri. Laki-laki
yang telah mempunyai empat orang istri haram kawin lagi dengan istri kelima dan
seterusnya.
4.
Perkawinan Terlarang Dalam Islam
Adapun didalam Islam terdapat ketentuan-ketentuan tentang larangan
perkawinan bagi pria dan wanita. Ketentuan tentang larangan perkawinan ini ada
yang sifatnya sementara dan ada yang sifatnya tetap. Yang dimaksud dengan
larangan perkawinan yang sifatnya tetap adalah bahwa seorang pria dilarang
menikahi/mengawini seorang wanita untuk selama-lamanya.[7] Hal-hal yang menyebabkan seorang pria dilarang menikah dengan
seorang wanita wanita untuk selamanya adalah:
1) Karena adanya hubungan darah, yaitu:
ibu, nenek, saudara kandung, keponakan, dan bibi.
2) Karena hubungan susuan, yaitu: ibu
susuan, nenek susuan, bibi susuan, dan keponakan susuan.
3) Karena hubungan semenda, yaitu:
mertua, menantu, anak tiri dan ibu tiri.
4) Karena sumpah li’an, yaitu suami
istri yang putus perkawinannya karena sumpah li’an, kedua belah pihak dilarang
menjadi suami istri kembali untuk selama-lamanya.[8]
[1]Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[2]Abd. Rahman
Ghazaly, M.A, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h 22.
[3]Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[4]Republik Indonesia,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
[5]Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[6] Abdul Ghofur
Ansori, Hukum Perkawinan Islam
“Perspektif Fikih dan Hukum Positif”, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2011), h. 50-57.
[7]Abdul Ghofur Ansori, Hukum
Perkawinan Islam, Perspektif Fikih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII
Prress, 2011), h. 187.
[8]Abdul Ghofur Ansori, Hukum
Perkawinan Islam, Perspektif Fikih dan Hukum Positif, h. 187.
.....
BalasHapus