Kamis, 29 Agustus 2019

DISPENSASI NIKAH DAN KETENTUAN BATASAN USIA PERKAWINAN

“DISPENSASI NIKAH DAN KETENTUAN BATASAN USIA PERKAWINAN”
"Dispensasi Nikah"
Apa yang dimaksud dengan Dispensasi Nikah...?
Dispensasi adalah penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan. [1] Dispensasi usia perkawinan memiliki arti keringanan akan sesuatu batasan (batasan umur) didalam melakukan ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Dispensasi usia perkawinan merupakan dispensasi atau keringanan yang diberikan Pegadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dispensasi usia nikah diatur dalam pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974. Dispensasi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 artinya penyimpangan terhadap batas minimum usia nikah yang telah ditetapkan oleh undang-undang yaitu minimal 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Oleh karena itu, jika laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai usia nikah namun hendak melangsungkan perkawinan, maka pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua belah pihak dapat memberikan penetapan dispensasi usia nikah apabila permohonannya telah memenuhi syarat yang ditentukan dan telah melalui beberapa tahap dalam pemeriksaan, namun sebaliknya apabila pihak yang berperkara tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan maka pihak pejabat dalam hal ini Pengadilan Agama tidak memberikan dispensasi untuk perkawinan kedua belah pihak tersebut.

Apa Saja Dasar Hukum Dispensasi Nikah...?
1.   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (2) tentang perkawinan.
Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) mengenai batas usia minimal untuk menikah, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki-laki maupun perempuan. [2]
2.   Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1)
Diyatakan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni pihak pria sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan pihak wanita sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. [3]

Bagaimana Ketentuan Batasan Usia Perkawinan...?
1.    Menurut fiqih
Kedua belah pihak calon mempelai pria dan wanita telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan. Tentang batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih. Bahkan kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas, seperti ungkapan “boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau “boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil”. [4]

Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa si istri berumur dua tahun kebawah, karena susuan yang menyebabkan hukum haram itu ialah bila berlangsung selagi yang menyusu masih berumur dua tahun atau kurang. Hal ini berarti boleh melangsungkan perkawinan selagi pengantin perempuan masih bayi. Kebolehan tersebut karena tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan tidak pula ada hadits Nabi yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya baru 6 tahun dan menggaulinya setelah berumur 9 tahun.

Dasar pemikiran tidak adanya batas umur pasangan yang akan kawin itu kiranya sesuai dengan pandangan umat ketika itu tentang hakikat perkawinan. Menurut pandangan mereka perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubungan kelamin, tetapi dari segi pengaruhnya dalam menciptakan hubungan mushahara. Nabi mengawini Aisyah anak dari abu bakar dalam usia 6 tahun diantaranya ditujukan untuk kebebasan Abu Bakar memasuki rumah tangga Nabi, karena disitu terdapat anaknya sendiri. Namun pada saat ini perkawinan itu lebih ditekankan kepada tujuan hubungan kelamin. Dengan demikian, tidak adanya batas umur sebagaimana yang berlaku dalam kitab-kitab fiqh tidak relevan lagi.

2.    Menurut Pendapat Para Ulama
Para Ulama sepakat bahwa masa baligh pada anak laki-laki dan perempuan mewajibakan mereka untuk ibadah, hukuman-hukuman dan syariat lainnya. Masa baligh laki-laki adalah dimulai dengan ihtilam yaitu keluar air mani, baik karena persetubuhan maupun yang lainnya, baik disaat terjaga maupun ketika tidur (mimpi). Tapi para ulama sepakat bahwa tidak ada pengaruh bagi persetubuhan yang terjadi saat mimpi kecuali bila keluar air mani.

Abu Hanifah berkata, “batas usia baligh adalah 19 atau 18 tahun untuk anak laki-laki dan 17 tahun untuk anak perempuan”. Sementara mayoritas ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa batas usia baligh pada laki-laki dan perempuan adalah 17 atau 18 tahun. Imam syafi’i, Ahmad, Ibnu Wahab dan Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa batas usia keduanya adalah setelah sempurna 15 tahun. [5]

Tidak dibolehkan bagi orang tua menikahkan anak gadisnya yang masih di bawah umur, kecuali setelah baligh dan mendapatkan izin darinya. Demikian pendapat Ibnu Syibrimah. Hasan dan Ibrahin An-Nakha’i berpendapat: diperbolehkan bagi orang tua menikahkan putrinya yang masih kecil dan juga yang sudah besar, baik gadis maupun janda meskipun keduanya tidak menyukainya. Disisi lain Abu Hanifah mengatakan: orang tua diperbolehkan untuk menikahkan putrinya yang belum baligh baik itu masih gadis ataupun sudah janda karena jika putrinya sudah mencapai usia baligh, maka ia boleh menikahi siapa saja yang dikehendaki tanpa harus meminta izin orang tuannya. Posisi orang tua pada saat itu sama seperti posisi wali, yaitu tidak boleh menikahkannya dengan izinnya baik yang masih gadis maupun janda. [6]

Mengenai kebalighan seseorang yang merupakan syarat suatu perkawinan kecuali yang menikah adalah walinya berarti dalam pandangan ini perkawinan di bawah umur dibolehkan asal yang menikahkan adalah walinya, konsekuensi argumen semacam ini logis karena seorang yang masih di bawah umur belum mampu memilih pasangan hidup oleh karenanya si wali mempunyai tanggung jawab dalam memilihkan pasangan hidupnya. Terkait dengan hal ini, dikenal adanya konsep hak ijbar dalam fiqih madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali, hak ijbar ialah hak wali. (dalam madzhab Syafi’i, ayah atau kakek) untuk mengawinkan anak perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja dia bukan berstatus janda menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, hak ijbar diberlakukan baik kepada perempuan yang sudah dewasa. Namun demikian rupanya hak ijbar ini tidak dengan kehendaknya saja. Hak ijbar dapat dilakukan oleh ayah atau kakeknya dengan syarat memang terdapat kemaslahatan (kepentingan yang baik). Ulama syafiiyah mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan. Sedangkan untuk perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain. [7]
a.  Tidak adanya permusuhan yang nyata antara dia (perempuan) dengan walinya, yaitu ayah atau kakek.
b.  Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon suaminya.
c.  Calon suami harus kufu (sesuai atau setara)
d.  Calon suami mampu memberikan mas kawin yang pantas.

3.    Menurut Undang - Undang No 1 Tahun 1974.
Syarat nikah menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah:
Pasal 6 :
1)  Perkawinan didasarkan atas persetujan kedua calon mempelai.
2)  Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3)  Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Pasal 7
1)  Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
2)  Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

4.    Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang lebih sama. Pada pasal 15 disebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 Undang-undang Perkawinan. Demikian juga soal dispensasi di bawah umur. Bedanya, di dalam memberikan yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.

Dalam KHI mempertegas persyaratan yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan dengan rumusan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 (eman belas) tahun.[8] Masalah penentuan umur dalam Undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memang bersifat ijtihadiyah sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqih.

Sehingga para remajapun yang  belum mencapai usia dewasa dapat melakukan kesiapan-kesiapan yang lebih matang dalam hidupnya yaitu dapat melakukan aktivitas belajar dan bekerja serta berpestasi dengan tetap menjaga  diri  dari  pergaulan  bebas. Dengan  adanya  batas  usia  yang  jelas tersebut masa kecerdasan sebagai anak-anak tidak menjadi terampas dengan beban tanggung jawab yang harus diembannya karena telah berubah statusnya sebagai suami atau istri dalam usia yang masih dini. [9]

5.    Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Dalam undang-undang ini sedikit berbeda dengan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap batasan umur minimal, laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun, [10] hal ini dalam undang-undang hukum acara perdata merupakan syarat materil mutlak dalam pelaksanaan perkawinan, yang dimaksud dengan syarat materil mutlak, yaitu syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. [11]




[1] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Realita, (Malang: UIN-Malang Press, 2009, hlm. 282.
[2] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[3] Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia
[4] Ibnu Al-Humam, kitab Syarh Fath Al-Qadir, terj. Moh. Tolehah Mansor, Menara, kudus hlm. 274
[5] Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Baan, Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhori jilid 15, (Jakarta: pustaka Azzam, 2006), hlm. 105-107.
[6] Syaikh kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 1998), hlm. 381.
[7] Husen Muhandid, Fiqh Perempuan “Refleksi Kyai atas Wacana Agama & Gender”, (Yogyakarta: Kerta.LKIS, 2001), hlm. 70-71
[8] Inpres No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia.
[9] Lukman A. Irfan, Seri Tuntutan Praktis Nikah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 97
[10] Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
[11] Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar