Apa yang dimaksud dengan Dispensasi Nikah...?
Dispensasi adalah penyimpangan atau
pengecualian dari suatu peraturan. [1]
Dispensasi usia perkawinan memiliki arti keringanan akan sesuatu batasan
(batasan umur) didalam melakukan ikatan antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dispensasi usia perkawinan merupakan dispensasi atau keringanan yang diberikan
Pegadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan
perkawinan, bagi pria yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan
wanita belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dispensasi usia nikah diatur
dalam pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974. Dispensasi
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 artinya
penyimpangan terhadap batas minimum usia nikah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang yaitu minimal 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Oleh
karena itu, jika laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai usia nikah
namun hendak melangsungkan perkawinan, maka pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua belah pihak dapat memberikan penetapan dispensasi usia
nikah apabila permohonannya telah memenuhi syarat yang ditentukan dan telah
melalui beberapa tahap dalam pemeriksaan, namun sebaliknya apabila pihak yang
berperkara tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan maka pihak pejabat dalam
hal ini Pengadilan Agama tidak memberikan dispensasi untuk perkawinan kedua
belah pihak tersebut.
Apa Saja Dasar Hukum Dispensasi Nikah...?
1. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (2) tentang perkawinan.
Dalam
pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1)
mengenai batas usia minimal untuk menikah, dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
laki-laki maupun perempuan. [2]
2. Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1)
Diyatakan
bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni pihak pria sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan pihak wanita sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. [3]
Bagaimana Ketentuan Batasan Usia Perkawinan...?
1.
Menurut fiqih
Kedua belah pihak calon mempelai pria
dan wanita telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Tentang batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih.
Bahkan kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara
laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan
secara jelas, seperti ungkapan “boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang
masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau “boleh menikahkan laki-laki
yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil”. [4]
Dari
ungkapan di atas dapat dipahami bahwa si istri berumur dua tahun kebawah,
karena susuan yang menyebabkan hukum haram itu ialah bila berlangsung selagi
yang menyusu masih berumur dua tahun atau kurang. Hal ini berarti boleh
melangsungkan perkawinan selagi pengantin perempuan masih bayi. Kebolehan tersebut karena tidak ada ayat
Al-Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan
tidak pula ada hadits Nabi yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan
Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya baru 6 tahun dan
menggaulinya setelah berumur 9 tahun.
Dasar
pemikiran tidak adanya batas umur pasangan yang akan kawin itu kiranya sesuai
dengan pandangan umat ketika itu tentang hakikat perkawinan. Menurut pandangan
mereka perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubungan kelamin, tetapi dari
segi pengaruhnya dalam menciptakan hubungan mushahara. Nabi mengawini
Aisyah anak dari abu bakar dalam usia 6 tahun diantaranya ditujukan
untuk kebebasan Abu Bakar memasuki rumah tangga Nabi, karena disitu terdapat
anaknya sendiri. Namun pada saat ini perkawinan itu lebih ditekankan kepada
tujuan hubungan kelamin. Dengan demikian, tidak adanya batas umur sebagaimana
yang berlaku dalam kitab-kitab fiqh tidak relevan lagi.
2.
Menurut
Pendapat Para Ulama
Para
Ulama sepakat bahwa masa baligh pada anak laki-laki dan perempuan mewajibakan
mereka untuk ibadah, hukuman-hukuman dan syariat lainnya. Masa baligh laki-laki
adalah dimulai dengan ihtilam yaitu keluar air mani, baik karena
persetubuhan maupun yang lainnya, baik disaat terjaga maupun ketika tidur
(mimpi). Tapi para ulama sepakat bahwa tidak ada pengaruh bagi persetubuhan
yang terjadi saat mimpi kecuali bila keluar air mani.
Abu
Hanifah berkata, “batas usia baligh adalah 19 atau 18 tahun untuk anak
laki-laki dan 17 tahun untuk anak perempuan”. Sementara mayoritas ulama‟ madzhab Maliki berpendapat bahwa batas usia
baligh pada laki-laki dan perempuan adalah 17 atau 18 tahun. Imam syafi’i,
Ahmad, Ibnu Wahab dan Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa batas usia keduanya adalah
setelah sempurna 15 tahun. [5]
Tidak
dibolehkan bagi orang tua menikahkan anak gadisnya yang masih di bawah umur,
kecuali setelah baligh dan mendapatkan izin darinya. Demikian pendapat Ibnu
Syibrimah. Hasan dan Ibrahin An-Nakha’i berpendapat: diperbolehkan bagi orang
tua menikahkan putrinya yang masih kecil dan juga yang sudah besar, baik gadis
maupun janda meskipun keduanya tidak menyukainya. Disisi lain Abu Hanifah
mengatakan: orang tua diperbolehkan untuk menikahkan putrinya yang belum baligh
baik itu masih gadis ataupun sudah janda karena jika putrinya sudah mencapai
usia baligh, maka ia boleh menikahi siapa saja yang dikehendaki tanpa harus
meminta izin orang tuannya. Posisi orang tua pada saat itu sama seperti posisi
wali, yaitu tidak boleh menikahkannya dengan izinnya baik yang masih gadis
maupun janda. [6]
Mengenai
kebalighan seseorang yang merupakan syarat suatu perkawinan kecuali yang
menikah adalah walinya berarti dalam pandangan ini perkawinan di bawah umur
dibolehkan asal yang menikahkan adalah walinya, konsekuensi argumen semacam ini
logis karena seorang yang masih di bawah umur belum mampu memilih pasangan
hidup oleh karenanya si wali mempunyai tanggung jawab dalam memilihkan pasangan
hidupnya. Terkait dengan hal ini, dikenal adanya konsep hak ijbar dalam fiqih
madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali, hak ijbar ialah hak wali. (dalam madzhab
Syafi’i, ayah atau kakek) untuk mengawinkan anak perempuan yang akan dikawinkan
tersebut, asal saja dia bukan berstatus janda menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan
Hambali, hak ijbar diberlakukan baik kepada perempuan yang sudah dewasa. Namun
demikian rupanya hak ijbar ini tidak dengan kehendaknya saja. Hak ijbar dapat
dilakukan oleh ayah atau kakeknya dengan syarat memang terdapat kemaslahatan
(kepentingan yang baik). Ulama syafiiyah mengatakan bahwa untuk bisa
mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan.
Sedangkan untuk perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain. [7]
a. Tidak adanya permusuhan yang nyata antara dia
(perempuan) dengan walinya, yaitu ayah atau kakek.
b. Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata
antara dia dengan calon suaminya.
c. Calon suami harus kufu (sesuai atau setara)
d. Calon suami mampu memberikan mas kawin yang
pantas.
3. Menurut Undang - Undang No 1 Tahun 1974.
Syarat nikah
menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah:
Pasal 6 :
1) Perkawinan didasarkan atas persetujan kedua
calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang
belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.
3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Pasal 7
1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria
mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
(enam belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini
dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
4.
Menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang lebih sama. Pada pasal 15
disebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 Undang-undang Perkawinan.
Demikian juga soal dispensasi di bawah umur. Bedanya, di dalam memberikan yaitu
untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
Dalam
KHI mempertegas persyaratan yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan dengan
rumusan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam
pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 (eman belas) tahun.[8] Masalah penentuan umur dalam Undang-undang
maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memang bersifat ijtihadiyah sebagai
usaha pembaharuan pemikiran fiqih.
Sehingga
para remajapun yang belum mencapai usia
dewasa dapat melakukan kesiapan-kesiapan yang lebih
matang dalam hidupnya yaitu dapat
melakukan aktivitas belajar dan bekerja serta berpestasi dengan tetap menjaga
diri dari pergaulan
bebas. Dengan adanya batas
usia yang jelas tersebut
masa kecerdasan sebagai anak-anak tidak menjadi terampas dengan beban tanggung jawab yang harus diembannya
karena telah berubah statusnya sebagai
suami atau istri dalam usia yang masih dini. [9]
5.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer)
Dalam undang-undang ini sedikit berbeda dengan dalam UU Nomor 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap batasan umur minimal,
laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun, [10] hal ini
dalam undang-undang hukum acara perdata merupakan syarat materil mutlak dalam
pelaksanaan perkawinan, yang dimaksud dengan syarat materil mutlak, yaitu
syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk
melangsungkan perkawinan pada umumnya. [11]
[1] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, Sejarah Pemikiran
dan Realita, (Malang: UIN-Malang Press, 2009, hlm. 282.
[5] Ibnu
Hajar Al Asqolani, Fathul Ba‟an, Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhori jilid
15, (Jakarta: pustaka Azzam, 2006), hlm. 105-107.
[7] Husen
Muhandid, Fiqh Perempuan “Refleksi Kyai atas Wacana Agama & Gender”,
(Yogyakarta: Kerta.LKIS, 2001), hlm. 70-71
[11] Salim
HS, Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar