Rabu, 22 Juni 2022

"AKIBAT HUKUM MENUNDA PEMBAGIAN WARISAN"

"AKIBAT HUKUM MENUNDA PEMBAGIAN WARISAN"

Gambar: Perebutan Harta Warisan

1.   Faktor Penundaan Pembagian Harta Warisan

Berdasarkan aturan yang berlaku dalam ajaran Islam, waktu pembagian harta warisan berawal sejak wafatnya si pewaris. Petunjuk ini dapat dipahami dari maksud surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Namun, menurut adat kebiasaan di Indonesia sebagian masyarakat Islam menyelesaikan pembagian harta warisan setelah peringatan hari-hari kematian yang ketujuh, empat puluh dan seratus hari. Dengan pertimbangan pada waktu-waktu tersebut diharapkan para ahli waris dapat berkumpul di tempat pewaris. Sementara itu menurut Seminar Hukum Nasional tahun 1963 di Jakarta menyimpulkam bahwa waktu pembagian harta warisan selekas-lekasnya setelah 40 hari kematian. Keputusan ini juga menyakatakan adanya perluasan tugas Balai Peninggalan Harta. 

Menurut ajaran Islam, adat kebiasaan dikenal dengan istilah ‘urf. Kedudukan ‘urf shahih dapat dijadikan sebagai hukum dan oleh seorang hakim dapat dipergunakan dalam menetapkan suatu perkara. Atas dasar itulah ahli ushul fiqh membuat kaedah: adat kebiasaan itu merupakan syari’at yang ditetapkan sebagai hukum. Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa untuk pembagian harta warisan biasa berawal dari wafat pewaris sampai dengan dilaksanakan peringatan hari kematian yang keempat puluh. Sementara itu, mengenai lamanya waktu atau daluarsa dalam fiqh dikenal dengan istilah taqaddum, murur al-zaman, dan ba’da mada al muddah.

Menurut Al-Syeikh Abdullah al-Syarkawiy: “Apabila telah lampau batas waktu lima belas tahun hakim tidak boleh lagi menerima gugatan. Sedangkan menurut A’la al-Din Afandy, seseorang yang tidak menggugat selama 33 tahun, padahal tidak ada halangan untuk menggugat, kemudian ia menggugat kembali, maka gugatannya tidak diterima, maka ia tidak dapat menggugat padahal ada kemungkinan untuk itu. Hal ini telah dijelaskan pula bahwa ada diantara putusan yang batal karena ada gugatan diajukan setelah lampau waktu.

Berdasarkan beberapa uraian ini dapat dipahami bahwa daluarsa dalam fiqh berkisar 15 (lima belas) tahun sampai 33 (tiga puluh tiga) tahun. Untuk menetapkan waktu penundaan, maka dapat digunakan jarak antara waktu terlama pembagian harta warisan biasa 100 (seratus) hari dengan jarak waktu daluarsa 33 tahun. Dengan menggunakan ukuran di atas dapat dirumuskan tenggang waktu pembagian harta warisan kepada tiga kategori:

a.   Pembagian biasa, yaitu sejak dari wafatnya si pewaris sampai peringatan hari kematian yang ke 100 hari upacara selamatan.

b.   Penundaan, yaitu sehabis hari kematian 100 hari sampai sebelum waktu daluarsa 33 tahun.

c.   Daluarsa, yaitu dari 33 tahun sampai ke atas.

Semua harta si pewaris akan beralih kepada ahli waris secara ijbari, dari salah satu kewajiban ahli waris adalah membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak. Menurut Imam Sudiyat, kemungkinan tidak terbaginya harta peninggalan sesudah meninggalnya pewaris karena dijadikan sebagai harta keluarga yang dapat dipertahankan itu berupa tanah pertanian, pekarangan-pekarangan dan rumah.

Hilman menyatakan bahwa penundaan pembagian harta warisan, diantara harta warisan yang tertunda dapat berupa bangunan rumah beserta pekarangannya, tanah sawah, tanah kebun dan benda-benda magis. Sementara menurut Bushar, harta peninggalan yang dapat di tunda diantaranya sawah, rumah dengan pekarangannya, dan barang yang mengandung banyak khasiat.

Selanjutnya dalam beberapa Yurisprudensi Pengadilan Agama menunjukan bahwa harta warisan yang tertunda diantaranya: tanah sawah, tanah kebun, tanah pekarangan, rumah dan pekarangannya, barang perhiasan (emas dan permata), perabot rumah tangga dan toko. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua harta warisan dapat tertunda pembagiannya. Namun, harta warisan yang sering tertunda adalah tanah kebun, tanah sawah, rumah dan pekarangannya.

 Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya penundaan pembagian harta warisan adalah sebagai berikut:

1)  Penundaan atas dasar kesepakatan setiap ahli waris

Penundaan pembagian harta warisan semacam ini pada dasarnya tidak ada larangan dalam Islam, yang penting itu adalah hasil kesepakatan bersama antar ahli waris yang ada. Selain itu bilamana setiap ahli waris rela membaginya secara kekeluargaan maka dapat di bagi secara kekeluargaan, atau dibagi secara damaisesuai dengan kesepakatan setia pihak yang terkait. Bahkan, berdasarkan hal tersebut, adalah sah bilamana ada diantara ahli waris yang merelakan atau menggugurkannya dalam pembagian harta warisan itu untuk diserahkan kepada ahli waris yang lain. Dapat dipahami bahwa hak seseorang untuk menerima harta warisan dalam kategori hak hamba (hak perorangan) secara murni. Dengan demikian penundaan yang dilakukan atas dasar kesepakatan setiap ahli waris, hukumnya adalah mubah.  

2)  Penundaan atas dasar menegakkan rumah tangga yang terkecil

Untuk mengkaji status hukum penundaan atas dasar menegakkan rumah tangga yang terkecil, terlebih dahulu perlu dirumuskan pertanyaan sebagai berikut, apakah penundaan ini memiliki alasan dan tujuan yang sesuai dengan amalan syariat. Dari pertanyaan ini akan diperoleh jawaban yang selanjutnya akan dapat diketahui status hukumnya. Dalam kajian Ushul Fiqh, manakala adat kebiasaan itu telah dilakukan oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, maka ia akan masuk dalam kategori ‘urf syahih. Begitu pula jika dilihat dari alasan penundaan yang menegakkan hidup keluarga terkecil, yang terdiri dari janda dan anak-anak yang masih kecil, maka dapat dikatakan niat yang terkandung dari menegakkan keluarga yang terkecil ini adalah sebagai amal syariat dan hal ini bersesuaian dengan kaidah ushul fiqh dalam hal ini segala urusan tergantung kepada niatnya.

3)  Penundaan atas dasar sudut waktu berselangnya anak-anak mencapai usia dewasa

Kemudian jika penundaan itu dilihat dari sudut waktu berselangnya yaitu sampai anak-anak mencapai usia dewasa, maka ada petunjuk dalam ajaran Islam untuk tidak menyerahkan harta kepada orang yang tidak cakap bertindak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam membolehkan penundaan yang dilakukan atas dasar kesepakatan setiap ahli waris, kemaslahatan, dan menghindari kemudharatan.

2.   Upaya Hukum Dalam Mengatasi Dampak Negatif Dalam Penundaan Pembagian Warisan

a.   Dampak negatif dari penundaan pembagian harta warisan

Berbagai kasus posisi kewarisan menunjukan bahwa terangkatnya kasus kewarisan di Pengadilan Agama disebabkan oleh banyaknya harta peninggalan yang tidak jelas atau hilangnya data peninggalan harta tersebut. Ketidakjelasan harta peninggalan atau hilangnya data itu disebabkan oleh tidak tercatatnya jumlah dan ukuran luas harta peninggalan dan juga tidak jelasnya mana harta bawaan suami istri, dan tidak jelasnya harta bersama.

Dengan demikian akan menimbulkan masalah dalam penyelesaian pembagian warisan dari harta produktif yang akan dibagi. Bahkan dari ketidakjelasan harta peninggalan itu dapat memberi peluang kepada ahli waris yang lemah imannya untuk memanipulasi data harta peninggalan tersebut. Perkara warisan adalah persoalan yang meilbatkan anggota-anggota keluarga; karena itu ia termasuk perselisihan keluarga. Jika sampai terangkatanya kasus ke Pengadilan, maka dampaknya akan putusnya hubungan silaturrahmi diantara ahli waris dan keluarganya. Padahal hukum kewarisan Islam berperan untuk menghindari putusnya hubungan silaturrahmi.

Untuk menghindari dampak negatif dari tertundanya pembagian harta warisan, maka perlu satu upaya, guna terwujudnya kemaslahatan sesama ahli waris. Dalam kajian hukum Islam kemudharatan harus dihilangkan sesuai dengan kaedah ushul fiqh.

b.   Upaya hukum Islam dalam mengatasi dampak negatif dari hilangnya data harta peninggalan

Adapun upaya yang akan dilakukan dalam Hukum Islam untuk mengatasi dari dampak negatif hilangnya data atau tidak jelasnya harta peninggalan ditempuh dengan dua cara:

Pertama, perlu adanya pencatatan semua harta peninggalan, baikberupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak kemudian diketahui oleh para ahli waris.

Kedua, perlu ditetapkan pembatasan waktu daluarsa, guna menghindari hilangnya atau tidak jelas data harta peninggalan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar