"AKIBAT HUKUM MENUNDA PEMBAGIAN WARISAN"
Gambar: Perebutan Harta Warisan
1. Faktor Penundaan Pembagian Harta Warisan
Berdasarkan aturan yang berlaku dalam ajaran
Islam, waktu pembagian harta warisan berawal sejak wafatnya si pewaris.
Petunjuk ini dapat dipahami dari maksud surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176.
Namun, menurut adat kebiasaan di Indonesia sebagian masyarakat Islam
menyelesaikan pembagian harta warisan setelah peringatan hari-hari kematian
yang ketujuh, empat puluh dan seratus hari. Dengan pertimbangan pada
waktu-waktu tersebut diharapkan para ahli waris dapat berkumpul di tempat
pewaris. Sementara itu menurut Seminar Hukum Nasional tahun 1963 di Jakarta
menyimpulkam bahwa waktu pembagian harta warisan selekas-lekasnya setelah 40
hari kematian. Keputusan ini juga menyakatakan adanya perluasan tugas Balai
Peninggalan Harta.
Menurut ajaran Islam, adat kebiasaan dikenal
dengan istilah ‘urf. Kedudukan ‘urf shahih dapat dijadikan
sebagai hukum dan oleh seorang hakim dapat dipergunakan dalam menetapkan suatu
perkara. Atas dasar itulah ahli ushul fiqh membuat kaedah: adat kebiasaan itu
merupakan syari’at yang ditetapkan sebagai hukum. Dari paparan diatas dapat
dipahami bahwa untuk pembagian harta warisan biasa berawal dari wafat pewaris
sampai dengan dilaksanakan peringatan hari kematian yang keempat puluh.
Sementara itu, mengenai lamanya waktu atau daluarsa dalam fiqh dikenal dengan
istilah taqaddum, murur al-zaman, dan ba’da mada al muddah.
Menurut Al-Syeikh Abdullah al-Syarkawiy:
“Apabila telah lampau batas waktu lima belas tahun hakim tidak boleh lagi
menerima gugatan. Sedangkan menurut A’la al-Din Afandy, seseorang yang tidak
menggugat selama 33 tahun, padahal tidak ada halangan untuk menggugat, kemudian
ia menggugat kembali, maka gugatannya tidak diterima, maka ia tidak dapat
menggugat padahal ada kemungkinan untuk itu. Hal ini telah dijelaskan pula
bahwa ada diantara putusan yang batal karena ada gugatan diajukan setelah
lampau waktu.
Berdasarkan beberapa uraian ini dapat dipahami
bahwa daluarsa dalam fiqh berkisar 15 (lima belas) tahun sampai 33 (tiga puluh
tiga) tahun. Untuk menetapkan waktu penundaan, maka dapat digunakan jarak
antara waktu terlama pembagian harta warisan biasa 100 (seratus) hari dengan
jarak waktu daluarsa 33 tahun. Dengan menggunakan ukuran di atas dapat
dirumuskan tenggang waktu pembagian harta warisan kepada tiga kategori:
a.
Pembagian biasa, yaitu sejak dari wafatnya si
pewaris sampai peringatan hari kematian yang ke 100 hari upacara selamatan.
b.
Penundaan, yaitu sehabis hari kematian 100 hari
sampai sebelum waktu daluarsa 33 tahun.
c.
Daluarsa, yaitu dari 33 tahun sampai ke atas.
Semua harta si pewaris akan beralih kepada ahli
waris secara ijbari, dari salah satu kewajiban ahli waris adalah membagi harta
warisan di antara ahli waris yang berhak. Menurut Imam Sudiyat, kemungkinan
tidak terbaginya harta peninggalan sesudah meninggalnya pewaris karena
dijadikan sebagai harta keluarga yang dapat dipertahankan itu berupa tanah
pertanian, pekarangan-pekarangan dan rumah.
Hilman menyatakan bahwa penundaan pembagian
harta warisan, diantara harta warisan yang tertunda dapat berupa bangunan rumah
beserta pekarangannya, tanah sawah, tanah kebun dan benda-benda magis.
Sementara menurut Bushar, harta peninggalan yang dapat di tunda diantaranya
sawah, rumah dengan pekarangannya, dan barang yang mengandung banyak khasiat.
Selanjutnya dalam beberapa Yurisprudensi
Pengadilan Agama menunjukan bahwa harta warisan yang tertunda diantaranya:
tanah sawah, tanah kebun, tanah pekarangan, rumah dan pekarangannya, barang
perhiasan (emas dan permata), perabot rumah tangga dan toko. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa semua harta warisan dapat tertunda pembagiannya. Namun,
harta warisan yang sering tertunda adalah tanah kebun, tanah sawah, rumah dan
pekarangannya.
Adapun
faktor-faktor penyebab terjadinya penundaan pembagian harta warisan adalah
sebagai berikut:
1) Penundaan
atas dasar kesepakatan setiap ahli waris
Penundaan pembagian harta warisan semacam ini
pada dasarnya tidak ada larangan dalam Islam, yang penting itu adalah hasil
kesepakatan bersama antar ahli waris yang ada. Selain itu bilamana setiap ahli
waris rela membaginya secara kekeluargaan maka dapat di bagi secara
kekeluargaan, atau dibagi secara damaisesuai dengan kesepakatan setia pihak
yang terkait. Bahkan, berdasarkan hal tersebut, adalah sah bilamana ada
diantara ahli waris yang merelakan atau menggugurkannya dalam pembagian harta
warisan itu untuk diserahkan kepada ahli waris yang lain. Dapat dipahami bahwa
hak seseorang untuk menerima harta warisan dalam kategori hak hamba (hak
perorangan) secara murni. Dengan demikian penundaan yang dilakukan atas dasar
kesepakatan setiap ahli waris, hukumnya adalah mubah.
2) Penundaan
atas dasar menegakkan rumah tangga yang terkecil
Untuk
mengkaji status hukum penundaan atas dasar menegakkan rumah tangga yang
terkecil, terlebih dahulu perlu dirumuskan pertanyaan sebagai berikut, apakah
penundaan ini memiliki alasan dan tujuan yang sesuai dengan amalan syariat.
Dari pertanyaan ini akan diperoleh jawaban yang selanjutnya akan dapat
diketahui status hukumnya. Dalam kajian Ushul Fiqh, manakala adat kebiasaan itu
telah dilakukan oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan dalil syara’,
maka ia akan masuk dalam kategori ‘urf syahih. Begitu pula jika dilihat
dari alasan penundaan yang menegakkan hidup keluarga terkecil, yang terdiri
dari janda dan anak-anak yang masih kecil, maka dapat dikatakan niat yang
terkandung dari menegakkan keluarga yang terkecil ini adalah sebagai amal syariat
dan hal ini bersesuaian dengan kaidah ushul fiqh dalam hal ini segala urusan
tergantung kepada niatnya.
3) Penundaan
atas dasar sudut waktu berselangnya anak-anak mencapai usia dewasa
Kemudian jika penundaan itu dilihat dari sudut
waktu berselangnya yaitu sampai anak-anak mencapai usia dewasa, maka ada
petunjuk dalam ajaran Islam untuk tidak menyerahkan harta kepada orang yang
tidak cakap bertindak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam membolehkan
penundaan yang dilakukan atas dasar kesepakatan setiap ahli waris,
kemaslahatan, dan menghindari kemudharatan.
2. Upaya
Hukum Dalam Mengatasi Dampak Negatif Dalam Penundaan Pembagian Warisan
a.
Dampak negatif dari penundaan pembagian harta
warisan
Berbagai
kasus posisi kewarisan menunjukan bahwa terangkatnya kasus kewarisan di
Pengadilan Agama disebabkan oleh banyaknya harta peninggalan yang tidak jelas
atau hilangnya data peninggalan harta tersebut. Ketidakjelasan harta
peninggalan atau hilangnya data itu disebabkan oleh tidak tercatatnya jumlah
dan ukuran luas harta peninggalan dan juga tidak jelasnya mana harta bawaan
suami istri, dan tidak jelasnya harta bersama.
Dengan
demikian akan menimbulkan masalah dalam penyelesaian pembagian warisan dari
harta produktif yang akan dibagi. Bahkan dari ketidakjelasan harta peninggalan
itu dapat memberi peluang kepada ahli waris yang lemah imannya untuk
memanipulasi data harta peninggalan tersebut. Perkara warisan adalah persoalan
yang meilbatkan anggota-anggota keluarga; karena itu ia termasuk perselisihan
keluarga. Jika sampai terangkatanya kasus ke Pengadilan, maka dampaknya akan
putusnya hubungan silaturrahmi diantara ahli waris dan keluarganya. Padahal
hukum kewarisan Islam berperan untuk menghindari putusnya hubungan
silaturrahmi.
Untuk
menghindari dampak negatif dari tertundanya pembagian harta warisan, maka perlu
satu upaya, guna terwujudnya kemaslahatan sesama ahli waris. Dalam kajian hukum
Islam kemudharatan harus dihilangkan sesuai dengan kaedah ushul fiqh.
b.
Upaya hukum Islam dalam mengatasi dampak
negatif dari hilangnya data harta peninggalan
Adapun upaya yang akan dilakukan dalam Hukum
Islam untuk mengatasi dari dampak negatif hilangnya data atau tidak jelasnya
harta peninggalan ditempuh dengan dua cara:
Pertama, perlu adanya pencatatan semua harta peninggalan, baikberupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak kemudian diketahui oleh para ahli waris.
Kedua, perlu ditetapkan pembatasan waktu daluarsa, guna menghindari hilangnya atau tidak jelas data harta peninggalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar