Jumat, 24 Juni 2022

“PRAKTIK KAWIN TURUN DI GORONTALO”

“PRAKTIK KAWIN TURUN DI GORONTALO”

Gambar: Prosesi Perkawinan 

Perkawinan atau pernikahan dengan kata dasarnya nikah, menurut hukum Islam berasal dari bahasa Arab adalah al-Zawaj yang menunjukan pertemuan dua perkara. Kata al-Zawaj menunjukan kepada pertemuan, maka dapat dikatakan nikah adalah pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Dan pertemuan ini dinamakan Zawajun yang bermakna perkawinan atau pernikahan.[1]

Dalam pengertian sebenarnya nikah adalah dam yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul. Sedangkan dalam pengertian kiasannya ialah wata’ yang berarti setubuh. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan dibanding arti sebenarnya, makna nikah dalam arti sebenarnya jarang sekali dipakai.[2]Nikah diartikan dengan kawin(bahasa Indonesia), yang memiliki makna penyatuan dua jenis manusia yang berkumpul dalam satu ikatan suci yang disebut dengan akad.

Selain itu perkawinan dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.[3]

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.Berasal dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan wathi atau bersetubuh.[4]Sedangkan menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan “satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.[5]

Berdasarkan pengertian tersebut diatas maka perkawinan atau kawin adalah suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dalam hal ini perkawinan merupakan perjanjian yang sakral untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, bahkan dalam pandangan masyarakat perkawinan itu bertujuan membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

        Sementara yang dimaksud dengan Kata Turun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bergerak ke arah bawah, bergerak ke tempat yang lebih rendah dari pada tempat semula atau bergerak (berjalan dan sebagainya) dari hulu (udik) ke hilir, menghilir (dari atas angin) ke bawah angin, datang dari suatu tempat atau daerah yang jauh ke tempat sendiri.

    Sehingga yang dimaksud dengan istilah Kawin Turun adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan dan seorang laki-laki dengan tujuan bukan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, tetapi semata-mata hanya untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang telah dilakukan atau karena kesepakatan bersama untuk tidak hidup bersama ataupun dilakukan dengan salah satu pasangan yang memiliki niat yang buruk terhadap perkawinan tersebut akibat dari ketidak jujuran sebelum proses perkawinan dilakukan.

        Istilah Kawin turun sering kita jumpai umunya di masyarakat Gorontalo, yang pada prinsipnya merupakan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang pada dasarnya tidak diinginkan atau tidak direstui oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak, perkawinan seperti ini biasanya dilakukan dalam keadaan terpaksa dengan berbagai macam alasan. Biasanya yang turun dari rumah setelah terjadinya perkawinan dalam praktiknya adalah laki-laki atau suami tetapi ada juga beberapa kasus justru perempuan yang turun dari rumah setelah prosesi akad selesai dilaksanakan. Akad nikah dilakukan hanya sekedar menggugurkan kewajibannya saja, atau sekedar mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah dilakukan, setelah itu salah satunya dalam hal ini suami kembali kerumahnya tanpa tanggung jawab sedikitpun terhadap istri yang telah dinikahi, begitu pun dengan istri yang turun tanpa beban bahwa ada laki-laki yang rela berkorban untuk dirinya.

         Perkawinan seperti ini banyak meninggalkan duka yang mendalam terhadap perempuan atau laki-laki sebagai korban dari hasil kawin turun, bukan hanya pada saat itu saja, tetapi sampai batas waktu yang cukup lama. Kawin turun berbeda dengan kawin lari yang merupakan tindakan melarikan seorang wanita tanpa izin, yang bertujuan untuk hidup bersama maupun menikah. Dapat juga berarti penculikan gadis di bawah umur atas persetujuannnya, namun tak disukai oleh orang tuanya, perkawinan semacam ini biasanya keinginan keduanya untuk menikah sangat kuat, tetapi dihalangi oleh orang tua yang biasanya tidak setuju dengan perkawinan tersebut.

        Praktik kawin turun di Gorontalo ada yang dilakukan dengan cara tercatat dan ada juga yang tidak tercatat. Dalam praktiknya banyak yang dilakukan dengan tidak tercatat, proses perkawinan dengan cara seperti ini  sangat berpengaruh terhadap keberadaan anak dari hasil perkawinan tersebut yang tidak jelas keberadaannya, begitu pun dengan istri yang hidup tanpa kejelasan status. Lain halnya dengan kawin turun yang dilakukan dengan tercatat, istri atau suami masih memiliki status yang jelas dan anak pun akan mendapatkan pengakuan secara negara tentang keberadaannya.

Sebelum datangnya Islam, dalam masyarakat sudah berlaku macam-macam perkawinan yang berlaku secara turun temurun sampai datangnya Islam, dimana beberapa perkawinan ini merupakan perkawinan yang setelah datangnya Islam sangat dilarang untuk dilakukan, antara lain;

1. Nikah Al-kidn, yaitu pergundikan yang dilakukan secara bersembunyi. Dan menurut anggapan mereka asal tidak ketahuan tidak apa-apa, akan tetapi kalau ketahuan dianggap tercela. Pernikahan ini seperti halnya memelihara selir.[6] Dimana Seorang laki-laki yang menggauli perempuan yang dijadikan gundikanya dengan imbalan mendapatkan nafkah dari laki-laki tersebut. Wanita yang dijadikan gundik tidak terbatas jumlahnya tergantung kemampuan laki-laki yang menggaulinya.

2.  Nikah istibdha', yaitu nikah untuk mencari bibit unggul, praktek perkawinan seperti ini merupakan kebiasaan orang arab sebelum datangnya Islam, yaitu seorang suami menyuruh atau mengizinkan istrinya untuk bergaul dengan orang-orang yang terpandang (bangsawan).Adapun tujuannya adalah untuk mencari bibit unggul atau keturunan yang baik dari hubungan tersebut. Sementara pihak suami berpisah dengan istrinya sampai si istri tersebut hamil. Dan mengumpulinya kembali kalau suami mau. Adapun anak yang lahir dari hubungan seksual dengan orang-orang ternama tersebut dinisbatkan pada suami istri tersebut.[7] Biasanya sepasang suami istri ingin mendapat keturunan dari laki-laki tertentu (yang mempunyai kelebihan tertentu). Sang suami menyuruh istrinya untuk melakukan hubungan badan dengan laki-laki yang diinginkan keturunannya, setelah hamil maka istri tersebut kembali kepada suaminya semula. Perkawinan ini semata-mata untuk memperoleh keturunan bibit unggul.

3.   Nikah waris, yaitu salah satu pernikahan yang telah menjadi kebiasaan bangsa Arab jahiliyah, yaitu menikahi mantan istri ayahnya. Istri-istri mendiang ayahnya dianggap sebagai warisan sebagaimana halnya harta benda. Si anak boleh menikahinya tanpa harus membayar mahar. Bahkan, dia boleh menikahkan mantan istri ayahnya tersebut kepada orang lain dengan menerima maharnya. Ahli waris juga dapat mencegah mantan istri ayahnya menikah denganorang lain atau membiarkannya menjanda selama hidupnya.[8]

4.  Sejumlah Laki-laki (di bawah sepuluh orang) Mengumpuli seorang perempuan, mereka semua mencampurinya, masing-masing mendapat giliran. Dan jikalau perempuan tadi sudah hamil dan melahirkan, selang beberapa lama perempuan tersebut mamanggil semua laki-laki yang telah mencampurinya dan mereka tidak boleh menolaknya. Setelah semua berkumpul, perempuan tersebut berkata: "semua sudah tahu apa yang kamu perbuat terhadap diriku, sekarang saya telah melahirkan, dan anak itu adalah anakmu (sambil menunjuk dan menyebut nama seseorang yang ia sukai, dari laki-laki yang telah mencampurinya)", maka anak yang dilahirkan tadi diajukan menjadi anak dari laki-laki yang telah ditunjuk dan laki-laki yang ditunjuk tidak boleh membantahnya. [9]

5.   Perempuan yang tidak menolak untuk digauli oleh beberapa laki-laki, mereka disebut dengan pelacur, didepan rumah-rumah mereka dipasang bendera, siapa yang berkehendak boleh masuk. Bila salah seorang diantaranya hamil, maka semua laki-laki yang pernah datang berkumpul dan memanggil ahli firasat untuk meneliti anak siapa yang si jabang bayi, lalu diberikanlah kepada laki-laki yang serupa dengannya dan tidak boleh menolak.[10]

        Bentuk-bentuk perkawinan di atas merupakan macam-macam perkawinan menurut adat jahiliyah sebelum datangnya ajaran Islam. Dan sesudah diutusnya Nabi Muhammad yang telah membawa ajaran-ajaran Islam, maka perkawinan tersebut dibatalkan dan dilarang. Pernikahan tersebut dibatalkan oleh Islam karena merupakan perbuatan yang tidak layak menurut etika kemanusiaan. Selain itu juga dapat menimbulkan hal-hal negatif dan banyak mudharatnya, baik bagi pelaku secara pribadi, maupun masyarakat, peradaban dan juga terhadap agama bahkan terhadap bangsa dan Negara.[11]

        Saat ini perkawinan yang diakui dalam Islam hanyalah kawin pinang, yaitu Seorang laki-laki meminang seorang wanita baik melalui walinya atau langsung kepada perempuan itu sendiri, kemudian memberikan mahar (mas kawin) dan menikahinya. Dalam praktik kawin turun sebenarnya perkawinan seperti ini tidaklah sesuai dengan apa yang diatur dalam ajaran Islam, karena banyak merugikan salah satu pihak ataupun kedua belah pihak yang ada dalam perkawinannya, tetapi apa yang terjadi di masyarakat Gorontalo perkawinan seperti ini banyak terjadi, dan sering disebut dengan istilah kawin turun.

        Praktik kawin turun yang terjadi di Gorontalo menimbulkan beberapa persoalan antara lain yaitu:

1)  Tujuan perkawinan tidak tercapai, dalam berbagai literatur dan dalam aturan undang-undang perkawinan menjelaskan tentang tujuan perkawinan namun pada kenyataannya praktik kawin turun justru dapat dinilai merupakan perkawinan yang merusak kesakralan sebuah ikatan perkawinan yang sah, sehingga apa yang ada dalam tujuan perkawinan dalam Islam pada praktiknya dalam sistem kawin turun tidak ada yang tercapai sebagaimana yang diharapkan.

2)  Perkawinan tidak tercatat, dengan alasan yang cukup beragam antara lain karena laki-laki yang menikahi memiliki istri lain yang sah, perkawinan yang dipaksanakan, dan alasan lainnya, sehingga menyebabkan prosedur perkawinannya bermasalah dan praktik permkawinannya pun tidak dibenarkan.

3)  Perceraian, pada persoalan perceraian pasangan dengan status kawin turun sudah sangat jelas permasalahannya sehingga mudah terjadi perceraian, perceraian dilakukan oleh mereka yang melakukan kawin turun ini disaat sudah ada laki-laki lain atau perempuan lain yang akan dinikahi.

4)  Psikologis pelaku perkawinan, psikologis adalah dampak yang ditimbulkan dalam perkawinan yang bermasalah, khusus untuk perempuan yang menjadi korban perkawinan dengan sistem kawin turun, perkawinan bagi mereka justru bukan mendatangkan kebahagiaan tetapi seakan hanya menjadi bencana dalam hidup sehingga menimbulkan trauma dan rasa penyesalan dalam hidup. Kemudian bagi laki-laki yang menjadi korban mereka pun akan cenderung merasa trauma dan putus asa hingga ada yang tidak lagi berkeinginan untuk menikah, begitupun dengan psikologis anak hasil perkawinan yang cukup terganggu dengan adanya sistem perkawinan yang dilakukan dengan cara yang tidak jelas.

5)  Masalah sosial kemasyarakatan, masalah sosial kemasyarakatan sudah pasti terjadi dalam praktik kawin turun terutama pada masa depan perempuan, ketika terjadi perkawinan dengan sistem kawin turun, masa depan untuk perempuan menjadi rusak, yang sebelumnya merasakan kebahagiaan hidup sendiri tanpa ada yang menjadi beban dalam hidup tetapi ketika terjadi perkawinan semacam ini maka mereka akan menjadi tumpuan penderitaan dalam keluarga, yang harus menanggung beban ekonomi dalam rumah tangga, serta merawat dan membesarkan anak secara mandiri.



[1] Syaikh M. Ahmad Kan’an, Kado Terindah Untuk Kedua Mempelai, Diterjemahkan Oleh Ali Muhdi Amnur, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), h. 18.  

[2] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. I,  h. 268.  

[3] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1989). 

[4]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 8. 

[5]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam “Perspektif Fikih Dan Hukum Positif”, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 20.

[6]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 2000), h, 479.

[7]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 2000),h. 478-479.

[8]http://www.indospiritual.com/artikel_berbagai-jenis-perkawinan-masa-jahiliyah.html,

[9]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 479-480.

[10]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 480.

[11]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 481. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar