“PENTINGKAH MASA IDDAH BAGI PEREMPUAN BERCERAI...?”
1. Pengertian Masa Iddah
Secara terminologis,
para ahli fikih telah merumuskan definisi ‘iddah dengan berbagai ungkapan.
Meskipun dalam redaksi yang berbeda, berbagai ungkapan tersebut memiliki
kesamaan secara garis besarnya. Menurut al-Jaziri, ‘iddah secara syar’i
memiliki makna yang lebih luas dari pada makna bahasa, yaitu masa tunggu
seorang perempuan yang tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya,
tetapi kadang-kadang juga didasarkan pada bulan atau ditandai dengan
melahirkan, dan selama masa tersebut seorang perempuan dilarang untuk menikah
dengan laki-laki lain. [1]
Sayyid Sabiq
menjelaskan bahwa ‘iddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya
perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau
setelah berpisah dengan suaminya. Abu Yahya Zakariyya al-Anshari memberikan
definisi ‘iddah sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui
kesucian rahim, untuk beribadah (ta’abbud), atau untuk berkabung (tafajju)
atas kematian suaminya. Sedangkan al-Kasani menjelaskan bahwa ‘iddah
menurut ‘urf syara’ adalah nama untuk suatu masa yang ditetapkan
untuk mengakhiri apa yang tersisa dari pengaruh-pengaruh perkawinan. [2]
Iddah sudah dikenal sejak masa jahiliyah.
Pada masa jahiliyah mereka berlebihan dalam menghargai hak suami serta dalam
mengagungkan akad nikah melebihi dari yang semestinya, yang mana mereka
menetapkan bagi wanita yang ditalak untuk menahan diri selama setahun penuh
dengan memakai pakaian yang paling buruk serta mengurung diri di dalam rumah. Dengan
datangnya Islam, Allah swt. memberikan keringanan bagi wanita tersebut dengan syari’atnya
yang ditetapkan sebagai rahmat, hikmah dan maslahat serta nikmah dari-Nya.
Bahkan hal itu merupakan nikmat Allah SWT yang sangat mulia bagi kaum wanita. [3]
2.
Definisi Iddah Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Bagi seorang wanita yang putus perkawinanya
dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu (masa iddah), kecuali apabila
seorang istri dicerai suaminya sebelumnya berhubungan (qabla al-dukhul), baik
karena kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dituangkan dalam Pasal 11: [4]
a.
Bagi seorang wanita yang putus
perkawinannya berlaku jangka tunggu;
b. Tenggang waktu jangka tunggu yang
terdapat dalam ayat (1) Pemerintah lebih lanjut dalam akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Adapun
peraturan pemerintah yang dimaksud dalam ayat (2) diatas adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. Penjelasan tentang waktu tunggu tersebut diatur dalam
BAB VII Pasal 39 dengan rumusan sebagai berikut: [5]
1)
Waktu tunggu bagi seorang janda
sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai
berikut:
a) Apabila
perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga
puluh) hari;
b) Apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh)
hari;
c) Apabila
perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
2)
Tidak ada waktu tunggu bagi janda
yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan
bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
3)
Bagi perkawinan yang putus karena
perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
Apabila
diperhatikan materi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
dan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur mengenai waktu tunggu
sebagaimana disebutkan diatas, terlihat secara jelas bahwa Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah mengakomodir hampir sepenuhnya materi fiqh menurut pendapat Jumhur
Ulama, meskipun saat ini dapat dinilai tidak lagi relevan
dengan kondisi perceraian yang terjadi di dalam masyarakat.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan pada Pasal 153, 154, dan 155. Pasal 155 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam menyatakan: [6] “Bagi seorang
istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau ‘iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya
berlaku putus bukan karena kematian suami”. Dasarnya, Firman Allah dalam surat
Al-Ahzab (33):49: [7] “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu menikah perempuanperempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, makasekali-sekali tidak wajib
atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
Dengan demikian
dapat diambil suatu pengertian bahwa iddah itu mempunyai beberapa unsur yaitu:
a.
Suatu tenggang waktu tertentu.
b.
Wajib dijalani si bekas istri.
c.
Karena ditinggal mati oleh
suaminya maupun diceraikan oleh suaminya.
d.
Larangan untuk melakukan perkawinan
selama masa iddah.
Secara
umum, iddah bagi perempuan yang berpisah dari suaminya dalam akad yang sahih
ada dua macam, yakni iddah karena perceraian dan iddah karena kematian. [8]
Merujuk pada
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 akan kita ambil pengertian yang
sifatnya sudah cukup tegas, yang mana dalam tenggang waktu iddah, seorang janda
tidak boleh kawin bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan
tujuan:
1) Untuk
menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil.
2) Dan
juga sebagai masa berkabung bila suami yang meninggal dunia.
3) Untuk
menentukan masa rujuk bagi suami bila talak itu berupa talak raj’i.
Pemahaman tersebut diadopsi dari
pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah iddah itu sendiri yaitu pasal 11
Undang undang Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975. Dengan demikian bahwa di dalam waktu iddah inilah bekas suami
diperbolehkan untuk merujuk kepada bekas istrinya. Karena rujuk merupakan hak
bekas suami terhadap bekas istrinya, dan bekas istri pun masih berhak atas
nafkah iddah dari bekas suami,[9] sebagaimana
telah dijelaskan dalam pasal 41 (c). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bahwa
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan kewajiban bagi bekas istri”. Hal ini dapat
dipahami bahwa apa yang menjadi hak mantan istri adalah suatu kewajiban bagi
mantan suami, sedangkan apa yang menjadi hak mantan suami merupakan suatu
kewajiban bagi mantan istri.
3. Hikmah
Disyariatkan Iddah
Sebagai
peraturan yang dibuat oleh Allah swt., aturan tentang Iddah pasti mempunyai
rahasia serta manfaat tersendiri. Kadang kala manfaat itu dapat langsung kita
rasakan namun seringkali baru dapat kita rasakan setelah kejadian itu telah
lama berlalu. Hikmah atau manfaat dari diwajibkannya Iddah dapat dilihat dari
beberapa sisi diantaranya adalah dari sisi social:
1) Untuk
mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan. Untuk
selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi
jelas siapa Ayah dari bayi tersebut. Kalau tidak ada syari’at tentang Iddah
maka seorang wanita dapat langsung menikah dengan lakilaki lain sehingga
terjadi percampuran dan menghasilkan generasi yang samar.
2) Memberikan
kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga,
apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.
3) Agar
istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga
suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami hal ini jika
Iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami dan masa Iddah ini juga bisa
digunakan istri untuk sedikit mengenang kembali kenangan lama dengan sang suami
sangat tidak etis seandainya sang istri dengan cepat melangsungkan perkawinan
dengan laki-laki lain sementara sang suami baru saja meninggalkan dirinya.
4) Suatu
masa yang harus dipergunakan oleh calon, terutama suami yang akan menikahinya
untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan wanita yang baru dicerai mantan
suaminya. Ada kemungkinan wanita tersebut memilki persoalan mungkin masalah
harta ataupun yang lainnya. Dengan adanya masa Iddah ini diharapkan pasangan
suami istri yang sudah bercerai ini dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapinya.
5) Demi
untuk terbebasnya rahim si istri, ataupun untuk ibadah, ataupun untuk berkabung
atas kematian si suami, atau untuk memberikan kesempatan yang cukup untuk si
suami setelah talak agar dia kembali kepada istrinya yang telah dia talak.
Dalam
talak baa’in, perpisahan akibat rusaknya perkawinan, atau persetubuhan
yang diiringi dengan syubhat, maka
menjalani masa Iddah dimaksudkan untuk membersihkan rahim si istri untuk
menegaskan tidak adanya kehamilan dari si suami ini untuk mencegah terjadinya
percampuran nasab, serta untuk menjaga nasab. Jika ada kehamilan, maka masa
Iddah berakhir dengan kehamilan karena terwujudnya tujuan yang dimaksudkan
dengan itu. Jika dia tidak merasa yakin dengan kehamilan setelah terjadi
persetubuhan dengan si istri, maka dia harus menunggu untuk mengetahui
bersihnya rahim si istri bahkan setelah kematian.
Dalam
talak raj’i dengan Iddah dimaksudkan kemungkinan si suami untuk kembali
kepada istri yang telah dia talak pada masa Iddah, setelah topan kemarahannya
hilang, dan jiwanya telah menjadi tenang. Serta setelah memikirkan berbagai
kesulitan, dan bahaya, serta rasa kesendirian akibat perpisahan. Hal ini adalah
perhatian agama Islam untuk menjaga ikatan perkawinan, serta dorongan untuk
menghormati ikatan perkawinan. Sebagaimana ikatan perkawinan tidak terlaksana
kecuali dengan adanya saksi, maka ikatannya juga tidak terlepas kecuali dengan
menunggu dalam jangka waktu yang lama.
Hikmah
utama Iddah sebenarnya bukan sekedar ingin mengetahui benih kehamilan seorang
wanita ketika dicerai suami, seperti yang selama ini diyakini. Sebab, kemajuan
teknologi dalam bidang kedokteran sudah memberi jalan penerang untuk mengetahui
ada tidaknya janin di dalam rahim. Maka menjadi tidak masuk akal, jika iddah
hanya untuk mengetahui hamil tidaknya wanita. Akan tetapi disyariatkannya iddah
lebih menekankan pada adanya sikap introspeksi, berpikir ulang, berbelasungkawa
dan lain-lain.
Iddah
sesungguhnya dicanangkan sebagai wahana untuk mempertimbangkan kembali baik dan
buruknya perceraian. Selain itu, iddah lebih dirasa berfungsi sebagai ikatan
simbolik adanya kesedihan yang begitu menghujam melanda suami istri.
Bagaimanapun juga berpisah dengan orang yang selama ini menjadi teman hidup
sehari-hari jelas akan menorehkan rasa duka yang tak tertahankan. Walaupun ada
sebagian orang merasa bangga dan bahagia dengan adanya perceraian, namun tak
dapat dipungkiri rasa duka pasti ada walaupun segores benang.
Berdasarkan
hal tersebut di atas dapat dipahami bahwa masa iddah adalah etika moral
perceraian yang mengikat antara suami istri. Dalam ajaran iddah akan lebih
dirasakan nilai kemanusiaannya bila dipahami sebagai rasa emosional yang kokoh
antara suami dan istri dalam membentuk kepribadian yang utuh sebagai insan yang
beretika.[10]
Sedangkan dari sisi psikologi bahwasanya
hikmah dari diwajibkannya Iddah adalah dapat menimbulkan anggapan dari orang
lain bahwa kematian suami tersebut karena adanya keinginan dari pihak si isti
sehingga dia berkeinginan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain sehingga
muncul anggapan dia yang membunuh suaminya. Dampak psikis juga akan timbul pada
diri anak-anak apabila ibu dari mereka menikah lagi dalam jangka waktu yang
tidak lama dari kamatian suami ataupun dari perceraiannya, dan yang paling
dirugikan dalam hal ini adalah anak karena selain harus beradaptasi dengan
datangnya seorang ayah baru, ia juga harus menerima gunjingan dari orang lain
dan lingkungan mereka yang mana perubahan status istri menjadi seorang janda
secara psikis telah menempatkan perempuan ke dalam posisi tidak nyaman di mata
masyarakat lingkungan karena sebagian besar menganggap bahwa seorang janda
adalah perempuan yang telah gagal mempertahankan keluarganya karena adanya beberapa
hal.
4.
Pentingkah
Masa Iddah Bagi Perempuan Bercerai...?
Dalam berbagai literatur dan pemahaman baik
secara Islam maupun secara Hukum Positif di Indonesia, sepakat untuk menerapkan
masa iddah baik kepada Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya maupun yang
diceraikan oleh suaminya. Aturan tentang penerapan masa iddah jika
diterapkan untuk perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya sangatlah layak
dan wajib untuk dilakukan oleh perempuan yang masih dalam masa berkabung demi
menghormati suami yang baru saja meninggal dunia. Namun, penerapan masa iddah ini
jika diterapkan kepada Perempuan yang bercerai justru sangat bertentangan dengan
syarat dan alasan-alasan perceraian berdasarkan ketentuan undang-undang
perkawinan.
Adapun
alasan-alasan yang dapat digunakan dalam pengajuan permohonan gugatan
perceraian antara lain:
1) Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya
yang sukar disembuhkan.
2) Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3) Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
5) Salah
satu pihak mendapat cacat badan dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami istri.
6) Antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Apabila
salah satu dari syarat-syarat dan atau ketentuan-ketentuan tersebut diatas
telah terpenuhi, maka seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
gugatan perceraian ke persidangan pengadilan yang disesuaikan dengan domisili
pihak yang digugat (tergugat). Pengadilan hanya
mengenal dua jenis perkara perceraian, yaitu perkara permohonan cerai talak dan
perkara cerai gugat oleh istri. Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang
petitumnya memohon untuk di izinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya.
Sedangkan cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar
Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan tergugat.
Berdasarkan
penerapan syarat dan alasan-alasan perceraian tersebut diatas, dalam kenyataannya
Majelis Hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara Perceraian lebih banyak
menerapkan alasan perpisahan untuk kemudian dapat menjadi bahan pertimbangan Hukum
untuk memutuskan ikatan perkawinan. Alasan perpisahan berdasarkan ketentuan undang-undang
yang diterapkan adalah minimal telah berpisah 2 tahun lamanya, kalaupun ada
yang berpisah masih dibawah 2 Tahun, masih dapat dipertimbangkan untuk
perceraiannya sampai dengan batasan minimal 6 bulan dengan pertimbangan tidak
dinafkahi lagi selama 6 bulan lamanya.
Melihat
fakta perceraian yang lebih banyak dikabulkan itu merupakan perceraian yang rumah
tangganya telah lama berpisah, maka sudah semestinya juga masa iddah tidaklah
layak lagi untuk diterapkan kepada perempuan yang bercerai jika melihat
ketentuan hikmah disyariatkan masa iddah yang pada prinsipnya bertujuan untuk membersihkan
rahim perempuan dan waktu tunggu untuk suami bisa kembali rujuk. Jika tujuannya
hanya untuk membersihkan rahim perempuan jangan sampai masih ada janin dari
bekas suami, kemungkinan besar sudah tidak terjadi lagi apalagi untuk pasangan
yang telah lama berpisah, begitupun dengan tujuan untuk menunggu suami bisa
kembali rujuk, faktanya sangat jarang sekali setelah putusnya perkawinan ada
yang kemungkinan bisa kembali rujuk. Sehingga penerapan masa iddah bagi
perempuan yang bercerai khususnya bagi pasangan yang telah lama berpisah sangat
tidak layak untuk diterapkan, mengingat bahwa perpisahan yang telah lama
terjadi dan adanya masalah rumah tangga yang sudah sangat sulit untuk dapat
didamaikan lagi. Namun dengan adanya
ketentuan batasan masa iddah yang telah disyariatkan dalam Islam pada
prinsipnya juga memiliki tujuan yang sangat baik, sebab sesuatu hal yang tidak
mungkin Islam memberikan aturan yang tidak ada manfaatnya sama sekali, semua
dikembalikan kepada kita manusia sebagai umat yang beragama untuk lebih banyak
melihat dari sisi manfaatnya ketimbang mempertentangkan apa yang sudah ditentukan.
[1]Abdul Rahman
al-Jaziri,
Kitab al-Fiqh ‘ala madzahib al-Arba’ah (Mesir: Maktabah at-Tijariyyah
al-Kubra, 1969), IV:
513.
[2]Mohammad Isna
Wahyudi, Fiqh ‘Iddah
Klasik dan Kontemporer, h. 76.
[3]Ibnu Qayyim dan
Taimiyah, tt, Hukum Islam Dalam Timbangan
Akal dan Hikmah, terjemah, Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2001),
h. 169.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[5]
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[6]
Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia.
[7]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Bogor: Unit Percetakan Al-Quran, 2017).
[8]Abd al-Qadir Mansur, Fiqih
Wanita, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 130.
[9]Republik
Indonesia, Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[10]Abu Yasid, et.al., Fiqh
Today: Fatwa Tradisionalis untuk Orang Modern, (Jakarta: Erlangga), h.28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar