"KEDUDUKAN DAN KOMPETENSE HAKIM PERDATA"
1.
Tugas dan Tanggung Jawab Hakim
Perdata
Pasal 53 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa dalam memeriksa dan memutus
perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
Berdasarkan semangat proklamasi, falsafah pancasila dan hukum dasar konstitusi
UUD 1945, tugas dan tanggung jawab hakim secara utuh adalah memberi
perlindungan kepada pencari keadilan yang didalamnya terkandung secara rinci
tugas pokok dan fungsi hakim dalam proses peradilan. Tugas pokok dan fungsi
hakim dalam proses peradilan meliputi seluruh tindakan hakim dalam semua fungsi
mulai dari melakukan dading, konstatiring, kualifisiring, konstituring,
dan eksekutoring. [1]
Melalui kewenangan ex officio,
hakim wajib menjalankan tugas dan fungsi tersebut demi mewujudkan tujuan proses
peradilan, yaitu: untuk memberi perlindungan hukum dan keadilan secara nyata
kepada para pencari keadilan, melalui proses peradilan yang sederhana cepat dan
biaya ringan dengan putusan yang berkeadilan dan eksekutabel. [2]
Tugas dan tanggung jawab hakim memeriksa
perkara perdata di persidangan dalam rangka memberi perlindungan hukum dan
keadilan kepada pencari keadilan melalui proses peradilan dimaksud terkandung
di dalamnya tugas-tugas yang meliputi:
a) Memberi perlindungan hukum dan keadilan
kepada para pihak pencari keadilan yang menurut hukum dan keadilan memegang
diperlukan bagi yang bersangkutan dalam rangka penyelesaian perkara, tanpa
harus diminta dan tanpa diskriminasi.
b) Memberi
pelayanan hukum yang berkeadilan secara prima kepada para pencari keadilan.
c) Membantu pencari keadilan dengan
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya proses peradilan dan
eksekusi yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
d) Mendamaikan
para pihak yang bersengketa.
e)
Menyelesaikan sengketa antara para
pihak dan memulihkan hubungan sosial mereka.
f)
Menegakkan hukum dan keadilan
terhadap perkara yang diajukan kepadanya.
g) Memberi
putusan yang bermutu, tepat, tuntas, final dan eksekutabel. [3]
2.
Kebebasan Hakim dalam Memutuskan
Hakim merupakan salah satu elemen dasar
dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian),
sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan atas suatu perkara di dalam
pengadilan. Hakim yang merupakan personifikasi atas hukum harus menjamin rasa
keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal,
dan untuk menjamin rasa keadilan itu maka seorang hakim dibatasi oleh
rambu-rambu, seperti; akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi
dan pengawasan. profesi hakim menuntut pada pemahaman akan konsep kebebasan
yang bertanggung jawab karena kebebasan yang dimilikinya tidak boleh melanggar
dan merugikan kebebasan orang lain. [4] Kebebasan yang
dimaksud dalam hal ini adalah kebebasan dalam memutuskan perkara yang diajukan
di lembaga peradilan, sebab hakim memiliki wewenang untuk memutuskan setiap
perkara di dalamnya berdasarkan keyakinannya dan berdasarkan fakta pembuktian
dalam proses persidangan.
3. Hakim Memiliki Imunitas Personal Yang
Total
Secara konstitusional, hakim bukan
hanya diberi kebebasan bertindak tidak demokratis, tetapi juga memiliki
imunitas yang total atau total personal imunity right. Hak imunitas
merupakan konsekuensi dari kebebasan kekuasaan kehakiman (judicial
independency). Maksudnya dalam melaksanakan fungsi peradilan, konstitusi
memberikan hak imunitas kepada hakim dengan acuan sebagai berikut:
a) Salah
atau benar putusan yang dijatuhkan hakim, harus dianggap benar dan adil apabila
putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini merupakan
prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Jika prinsip ini tidak ditegakkan
sebagai hukum besi, maka bisa berakibat hancur dan runtuh sendi negara hukum
maupun sendi dasar penegakkan kepastian hukum.
b) Hakim tidak dapat dituntut dan
dipersalahkan atas pelaksanaan menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan; 1)
Meskipun ternyata hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan melakukan tindakan
yang melampaui batas wewenang (ultra vires), 2) Atau dalam memutus
perkara, hakim keliru menerapkan hukum (malpractice), dan 3) Maupun
hakim melanggar proses beracara sesuai dengan hukum acara yang berlaku (prosedural
error). [5]
Kuatnya kekebalan (immunity)
yang melekat pada diri hakim, sehingga kedudukannya dalam melaksanakan fungsi
peradilan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Jika prinsip imunitas
tidak ditegakkan secara keras, akan kacau sistem peradilan, karena akan terbuka
pintu lebar-lebar untuk menggugat kebebasan kekuasaan kehakiman. Dan setiap
orang yang berperkara, akan menuntut pembatalan putusan, yang dibarengi
menggugat hakim melakukan perbuatan melawan hukum.
Perlindungan imunitas hakim
tersebut, dipertegas lebih lanjut dalam SEMA No. 09 Tahun 1976 (19 Desember
1976), [6]
antara lain menguatkan;
a)
Pertanggungjawaban
berdasar pasal 1365 KUH Perdata atas kesalahan hakim melaksanakan peradilan,
tidak dapat dituntut secara perdata.
b) Meskipun hal itu tidak diatur secara tegas
dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dari pendekatan ilmu hukum, pada
dasarnya dan pada umumnya, ketentuan pasal 1365 KUH Perdata, tidak dapat
diterapkan terhadap hakim walaupun salah melaksanakan tugas peradilan.
c) Demikian
juga negara, tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas kesalahan hakim
melaksanakan fungsi peradilan.
d) Dari segi pendekatan yurisprudensi, dapat
dikemukakan putusan HR, 3 Desember 1971, M/1972, 137 mengatakan, terhadap
putusan hakim undang-undang menyediakan sarana hukum (rechts middelen),
sehingga undang-undang secara tuntas telah memberi perlindungan kepada
pihak-pihak yang berperkara untuk membela haknya melalui banding, kasasi dan
peninjauan kembali untuk memperoleh putusan hakim yang tepat.
Pada prinsipnya putusan hakim disamakan
dengan putusan tuhan, suatu hal yang perlu didasari para hakim pada saat
mengambil dan menjatuhkan putusan, bahwa putusan itu merupakan bentuk
penyiksaan, sehingga putusan hakim tersebut tidak berbeda dengan putusan Tuhan
atau judicium dei. Oleh Spencer disebut: ”the judgement was that of
God”. Oleh karena itu, putusan yang dijatuhkan harus benar-benar melalui
proses pemeriksaan pengadilan yang jujur (fair trial) dengan
pertimbangan yang didasarkan pada keadilan berdasarkan moral (moral justice).
Apabila putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap:
a)
Siapa pun tidak ada yang berhak dan
berkuasa untuk mengubahnya,
b) Yang
dapat merubahnya, hanya terbatas pada pemberian grasi dalam perkara pidana dan
melalui peninjauan kembali dalam perkara perdata,
c) Oleh karena itu, setiap putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib dan mesti dilaksanakan baik secara
sukarela atau dengan paksa melalui eksekusi, dan pelaksanaan atas pemenuhan
putusan itu tanpa menghiraukan apakah putusan itu kejam atau tidak menyenangkan.
[7]
Hal
tersebut di atas merupakan konsekuensi yang lahir dari otonomi kebebasan hakim
yakni mempersamakan putusan yang dijatuhkannya serupa atau tidak berbeda dengan
putusan Tuhan judicium dei. Namun, hakim yang sadar, tidak terlampau
gembira menerima predikat tersebut. Sebab terlampau banyak kritik yang
ditujukan terhadap berbagai vavat dan kelemahan putusan hakim, sehingga tidak
layak menyamakannya dengan judicial dei.
Secara
kasat mata, dapat diperlihatkan berbagai cacat putusan yang dijatuhkan
pengadilan, antara lain:
a) Putusan yang dijatuhkan kacau dan
tidak sistematis yang mengakibatkan putusan itu tidak efektif (unnefective),
menyelesaikan sengketa.
b) Sistem
peradilan yang memeriksa dan menjatuhkan putusan, tidak efisien (unnefective),
yang mengakibatkan penyelesaian terlalu lama dan lambat serta buang waktu (wast
of time) sehingga keadilan yang terkandung di dalamnya menjadi tidak adil
sebagaimana yang tersirat dalam proposisi yang berbunyi delayed, justice
denied.
c)
Untuk memperoleh putusan, harus
dibayar dengan mahal (very expensive).
d) Putusan
yang dijatuhkan sering bersifat abstrak dan tidak konkrit yang mengakibatkan
putusan itu tidak adil (unjustice).
e) Proses pemeriksaan sering
mengandung perlakuan tidak fair (unfair dealing): a) Mementingkan
kepentingan orang kaya dan penguasa pada satu segi, dan b) Mengabaikan
kepentingan kaum miskin dan lemah pada sisi lain.
f)
Putusan sering membingungkan (erratic),
karena kesimpulan yang diambil didasarkan pada pertimbangan yang irasional dan
non yuridis.
Jika
memperhatikan fakta-fakta yang dikemukakan tersebut, dihubungkan dengan
kenyataan kecakapan dan kemampuan hakim yang bersifat generalis, yakni
pengetahuan yang mereka miliki pada umumnya sangat terbatas sekali, semakin
cukup alasan untuk menolak putusan hakim sebagai judicium dei. Kemampuan
dan kecakapan hakim semakin margin dan generalis sebagai akibat kultur sistem
pengembangan karir hakim, sering didasarkan pada paradigma like or dislike.
Banyak kalangan yang berpendapat sulit menemukan hakim yang memiliki pribadi
primair; yang benar-benar tumbuh meniti karir melalui perkembangan natural (natural
development), tetapi kebanyakan tumbuh dengan polesan pribadi sekunder yang
hanya mempertontonkan kelihaian senyum sintetis untuk memperoleh jabatan dan
pengembangan karir.
4. Kendala
dalam Kebebasan Hakim
Kebebasan
hakim untuk memutuskan setiap perkara yang diajukan di lembaga peradilan,
termasuk Peradilan Agama, ada beberapa kendala yang sering di hadapi antara
lain: [8]
a)
Kendala Struktural, dalam hal ini
faktor struktur organisasi akan berpengaruh ketika struktur itu bukan sebagai
lembaga otonom yang merdeka, melainkan sebagai struktur yang tergantung dibawah
kekuasaan struktur lain. Secara psikologi hakim harus tunduk dan patuh atas
perintah eksekutif, hal ini jelas akan mempengaruhi pengembangan kebebasan
hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman secara bebas dan
mandiri.
b) Kendala
Pemahaman, perasaan tidak enak terhadap atasan menjadikan hakim tidak berani
mengambil sikap sendiri untuk menjatuhkan putusan, semuanya diserahkan kepada
atasan, sikap sepeti ini adalah bagian dari sikap paternalistis yang ternyata
masih menjadi bagian dari beberapa kehidupan hakim. Kemudian pandangan
mayarakat yang buruk terhadap profesi hakim yang melihat bahwa hakim tidak
indepen dalam memutuskan setiap perkara, lebih memilih orang yang beduit dari
pada orang yang tingkat ekonominya dibawah. Kedua hal ini terjadi akibat dari
kurangnya pemahaman baik dari hakim itu sendiri maupun dari masyarakat.
c) Kendala Peraturan Perundangan,
dalam hal ini peraturan hukum menjadi sebuah faktor negatif yang mempengaruhi
terhadap kemandirian hakim dalam memutuskan, ketika aturan hukum harus
ditegakkan sesuai dengan aturan tertulisnya, namun keyakinan hakim bisa jadi
berbeda.
d) Kendala
Kekuasaan, hal ini bukan hanya berlaku pada hakim saja, ini sudah menjadi
masalah biasa dalam sebuah lembaga, siapa yang dekat dengan penguasa maka
semakin mudah pula untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
e) Kendala Politik, faktor politik
juga mampu menjadi kendala dalam kebebasan hakim untk memutuskan, karena faktor
politik masuk dalam penentuan peraturan hukum maka dalam menjalankannya pun
unsur politik akan sulit dipisahkan didalamnya.
f)
Kendala Kesadaran Hukum masyarakat,
semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka semakin tinggi pula kemandirian
lembaga pengadilan. Nyatanya dalam prakteknya tingkat kesadaran hukum di
masyarakat termasuk penegak hukum masih terlalu rendah sehingga sangat
mempengaruhi kebebasan hakim didalamnya.
5.
Eksekusi
Putusan dan Tanggung Jawab Hakim[9]
Eksekusi perkara perdata memang bukan menjadi tugas hakim pemeriksa perkara melainkan menjadi tugas panitera dan /atau jurusita/jurusita pengganti dibawah pimpinan ketua pengadilan. Namun yang harus di ingat oleh hakim pemeriksa perkara adalah bahwa yang hendak dieksekusi adalah putisan hakim. Hakim pemeriksa perkara adalah pemegang kunci kemudahan eksekusi. Oleh sebab itu, hakim pemeriksa perkara wajib memberikan kunci kemudahan eksekusi tersebut kepada panitera. Kunci tersebut dapat diberikan dalam bentuk amar eksekutorial dan amar penopang kemudahan eksekusi. Berdasarkan amanat pasal 58 ayat (2) UU Peradilan Agama jo Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Termasuk disini adalah dalam hal penyelesaian perkara baik yang berupa eksekusi (tindakan fisik), pembayaran sejumlah uang, maupun tindak lanjut administrasi.
Oleh sebab itu, hakim pemeriksa mempunyai tanggung jawab yuridis dan teknis agar setiap putusan yang dijatuhkan; pertama, secara yuridis putusan hakim dapat dieksekusi sebagaimana mestinya; dan kedua, secara teknis eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara-cara yang sederhana, cepat dan biaya ringan sehingga eksekusi berjalan dengan efektif dan efisien. Hakim wajib menyelamatkan pencari keadilan dari kemungkinan gagalnya eksekusi akibat putusannya yang cacat hukum sehingga secara yuridis tidak dapat dieksekusi (non eksekutabel) serta membantu pencari keadilan agar mereka dengan mudah dapat menerima apa yang menjadi hak-haknya melalui eksekusi yang efektif dan efisien. Perlindungan hukum dan keadilan dalam proses peradilan dan eksekusi diberikan berdasarkan asas-asas umum hukum acara dan eksekusi agar dapat berjalan dengan saksama dengan proses yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Itulah tanggung jawab hakim pemeriksa perkara terhadap eksekusi putusan yang ia jatuhkan.
[1]H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum
Islam Demi Mewujudkan Keadilan “Membangun Sistem Peradilan Berbasis
Perlindungan Hukum dan Keadilan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h.
204.
[2]H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam
Demi Mewujudkan Keadilan “Membangun Sistem Peradilan Berbasis Perlindungan
Hukum dan Keadilan”, h. 204
[3]H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum
Islam Demi Mewujudkan Keadilan “Membangun Sistem Peradilan Berbasis
Perlindungan Hukum dan Keadilan”, h. 204.
[4] Ahmad Kamil, Filsafat Kebebsan
Hakim, (Cet. 1, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), h. 167.
[5] M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata, (Cet. 8, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h. 869-871.
[6] M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata, (Cet. 8, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h. 868, dalam Himpunan SEMA dan PERMA, Tahun 1951-1997, MA
Februari 1999, h. 335.
[7] M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata, h. 871-872.
[8] Ahmad Kamil, Filsafat Kebebsan
Hakim, h. 248-259.
[9] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan
Keadilan, h. 139-140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar