Sabtu, 18 Juni 2022

KEDUDUKAN DAN KOMPETENSI HAKIM PERDATA

 "KEDUDUKAN DAN KOMPETENSE HAKIM PERDATA"

Gambar: Palu Hakim

1.   Tugas dan Tanggung Jawab Hakim Perdata

Pasal 53 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Berdasarkan semangat proklamasi, falsafah pancasila dan hukum dasar konstitusi UUD 1945, tugas dan tanggung jawab hakim secara utuh adalah memberi perlindungan kepada pencari keadilan yang didalamnya terkandung secara rinci tugas pokok dan fungsi hakim dalam proses peradilan. Tugas pokok dan fungsi hakim dalam proses peradilan meliputi seluruh tindakan hakim dalam semua fungsi mulai dari melakukan dading, konstatiring, kualifisiring, konstituring, dan eksekutoring. [1]

Melalui kewenangan ex officio, hakim wajib menjalankan tugas dan fungsi tersebut demi mewujudkan tujuan proses peradilan, yaitu: untuk memberi perlindungan hukum dan keadilan secara nyata kepada para pencari keadilan, melalui proses peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan dengan putusan yang berkeadilan dan eksekutabel. [2]

Tugas dan tanggung jawab hakim memeriksa perkara perdata di persidangan dalam rangka memberi perlindungan hukum dan keadilan kepada pencari keadilan melalui proses peradilan dimaksud terkandung di dalamnya tugas-tugas yang meliputi:

a)  Memberi perlindungan hukum dan keadilan kepada para pihak pencari keadilan yang menurut hukum dan keadilan memegang diperlukan bagi yang bersangkutan dalam rangka penyelesaian perkara, tanpa harus diminta dan tanpa diskriminasi.

b)  Memberi pelayanan hukum yang berkeadilan secara prima kepada para pencari keadilan.

c) Membantu pencari keadilan dengan mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya proses peradilan dan eksekusi yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

d)  Mendamaikan para pihak yang bersengketa.

e)   Menyelesaikan sengketa antara para pihak dan memulihkan hubungan sosial mereka.

f)   Menegakkan hukum dan keadilan terhadap perkara yang diajukan kepadanya.

g)  Memberi putusan yang bermutu, tepat, tuntas, final dan eksekutabel. [3]

2.   Kebebasan Hakim dalam Memutuskan

Hakim merupakan salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan atas suatu perkara di dalam pengadilan. Hakim yang merupakan personifikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal, dan untuk menjamin rasa keadilan itu maka seorang hakim dibatasi oleh rambu-rambu, seperti; akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi dan pengawasan. profesi hakim menuntut pada pemahaman akan konsep kebebasan yang bertanggung jawab karena kebebasan yang dimilikinya tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan orang lain. [4] Kebebasan yang dimaksud dalam hal ini adalah kebebasan dalam memutuskan perkara yang diajukan di lembaga peradilan, sebab hakim memiliki wewenang untuk memutuskan setiap perkara di dalamnya berdasarkan keyakinannya dan berdasarkan fakta pembuktian dalam proses persidangan.

3.   Hakim Memiliki Imunitas Personal Yang Total

Secara konstitusional, hakim bukan hanya diberi kebebasan bertindak tidak demokratis, tetapi juga memiliki imunitas yang total atau total personal imunity right. Hak imunitas merupakan konsekuensi dari kebebasan kekuasaan kehakiman (judicial independency). Maksudnya dalam melaksanakan fungsi peradilan, konstitusi memberikan hak imunitas kepada hakim dengan acuan sebagai berikut:

a) Salah atau benar putusan yang dijatuhkan hakim, harus dianggap benar dan adil apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Jika prinsip ini tidak ditegakkan sebagai hukum besi, maka bisa berakibat hancur dan runtuh sendi negara hukum maupun sendi dasar penegakkan kepastian hukum.

b) Hakim tidak dapat dituntut dan dipersalahkan atas pelaksanaan menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan; 1) Meskipun ternyata hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan melakukan tindakan yang melampaui batas wewenang (ultra vires), 2) Atau dalam memutus perkara, hakim keliru menerapkan hukum (malpractice), dan 3) Maupun hakim melanggar proses beracara sesuai dengan hukum acara yang berlaku (prosedural error). [5]

        Kuatnya kekebalan (immunity) yang melekat pada diri hakim, sehingga kedudukannya dalam melaksanakan fungsi peradilan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Jika prinsip imunitas tidak ditegakkan secara keras, akan kacau sistem peradilan, karena akan terbuka pintu lebar-lebar untuk menggugat kebebasan kekuasaan kehakiman. Dan setiap orang yang berperkara, akan menuntut pembatalan putusan, yang dibarengi menggugat hakim melakukan perbuatan melawan hukum. 

Perlindungan imunitas hakim tersebut, dipertegas lebih lanjut dalam SEMA No. 09 Tahun 1976 (19 Desember 1976), [6] antara lain menguatkan;

a)   Pertanggungjawaban berdasar pasal 1365 KUH Perdata atas kesalahan hakim melaksanakan peradilan, tidak dapat dituntut secara perdata.

b)  Meskipun hal itu tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dari pendekatan ilmu hukum, pada dasarnya dan pada umumnya, ketentuan pasal 1365 KUH Perdata, tidak dapat diterapkan terhadap hakim walaupun salah melaksanakan tugas peradilan.

c) Demikian juga negara, tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas kesalahan hakim melaksanakan fungsi peradilan.

d) Dari segi pendekatan yurisprudensi, dapat dikemukakan putusan HR, 3 Desember 1971, M/1972, 137 mengatakan, terhadap putusan hakim undang-undang menyediakan sarana hukum (rechts middelen), sehingga undang-undang secara tuntas telah memberi perlindungan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk membela haknya melalui banding, kasasi dan peninjauan kembali untuk memperoleh putusan hakim yang tepat.

Pada prinsipnya putusan hakim disamakan dengan putusan tuhan, suatu hal yang perlu didasari para hakim pada saat mengambil dan menjatuhkan putusan, bahwa putusan itu merupakan bentuk penyiksaan, sehingga putusan hakim tersebut tidak berbeda dengan putusan Tuhan atau judicium dei. Oleh Spencer disebut: ”the judgement was that of God”. Oleh karena itu, putusan yang dijatuhkan harus benar-benar melalui proses pemeriksaan pengadilan yang jujur (fair trial) dengan pertimbangan yang didasarkan pada keadilan berdasarkan moral (moral justice). Apabila putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap:

a)   Siapa pun tidak ada yang berhak dan berkuasa untuk mengubahnya,

b) Yang dapat merubahnya, hanya terbatas pada pemberian grasi dalam perkara pidana dan melalui peninjauan kembali dalam perkara perdata,

c) Oleh karena itu, setiap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib dan mesti dilaksanakan baik secara sukarela atau dengan paksa melalui eksekusi, dan pelaksanaan atas pemenuhan putusan itu tanpa menghiraukan apakah putusan itu kejam atau tidak menyenangkan. [7]

Hal tersebut di atas merupakan konsekuensi yang lahir dari otonomi kebebasan hakim yakni mempersamakan putusan yang dijatuhkannya serupa atau tidak berbeda dengan putusan Tuhan judicium dei. Namun, hakim yang sadar, tidak terlampau gembira menerima predikat tersebut. Sebab terlampau banyak kritik yang ditujukan terhadap berbagai vavat dan kelemahan putusan hakim, sehingga tidak layak menyamakannya dengan judicial dei.

Secara kasat mata, dapat diperlihatkan berbagai cacat putusan yang dijatuhkan pengadilan, antara lain:

a) Putusan yang dijatuhkan kacau dan tidak sistematis yang mengakibatkan putusan itu tidak efektif (unnefective), menyelesaikan sengketa.

b)  Sistem peradilan yang memeriksa dan menjatuhkan putusan, tidak efisien (unnefective), yang mengakibatkan penyelesaian terlalu lama dan lambat serta buang waktu (wast of time) sehingga keadilan yang terkandung di dalamnya menjadi tidak adil sebagaimana yang tersirat dalam proposisi yang berbunyi delayed, justice denied.

c)   Untuk memperoleh putusan, harus dibayar dengan mahal (very expensive).

d) Putusan yang dijatuhkan sering bersifat abstrak dan tidak konkrit yang mengakibatkan putusan itu tidak adil (unjustice).

e) Proses pemeriksaan sering mengandung perlakuan tidak fair (unfair dealing): a) Mementingkan kepentingan orang kaya dan penguasa pada satu segi, dan b) Mengabaikan kepentingan kaum miskin dan lemah pada sisi lain.

f)   Putusan sering membingungkan (erratic), karena kesimpulan yang diambil didasarkan pada pertimbangan yang irasional dan non yuridis.

Jika memperhatikan fakta-fakta yang dikemukakan tersebut, dihubungkan dengan kenyataan kecakapan dan kemampuan hakim yang bersifat generalis, yakni pengetahuan yang mereka miliki pada umumnya sangat terbatas sekali, semakin cukup alasan untuk menolak putusan hakim sebagai judicium dei. Kemampuan dan kecakapan hakim semakin margin dan generalis sebagai akibat kultur sistem pengembangan karir hakim, sering didasarkan pada paradigma like or dislike. Banyak kalangan yang berpendapat sulit menemukan hakim yang memiliki pribadi primair; yang benar-benar tumbuh meniti karir melalui perkembangan natural (natural development), tetapi kebanyakan tumbuh dengan polesan pribadi sekunder yang hanya mempertontonkan kelihaian senyum sintetis untuk memperoleh jabatan dan pengembangan karir.

4.   Kendala dalam Kebebasan Hakim

Kebebasan hakim untuk memutuskan setiap perkara yang diajukan di lembaga peradilan, termasuk Peradilan Agama, ada beberapa kendala yang sering di hadapi antara lain: [8]

a)   Kendala Struktural, dalam hal ini faktor struktur organisasi akan berpengaruh ketika struktur itu bukan sebagai lembaga otonom yang merdeka, melainkan sebagai struktur yang tergantung dibawah kekuasaan struktur lain. Secara psikologi hakim harus tunduk dan patuh atas perintah eksekutif, hal ini jelas akan mempengaruhi pengembangan kebebasan hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman secara bebas dan mandiri.

b)  Kendala Pemahaman, perasaan tidak enak terhadap atasan menjadikan hakim tidak berani mengambil sikap sendiri untuk menjatuhkan putusan, semuanya diserahkan kepada atasan, sikap sepeti ini adalah bagian dari sikap paternalistis yang ternyata masih menjadi bagian dari beberapa kehidupan hakim. Kemudian pandangan mayarakat yang buruk terhadap profesi hakim yang melihat bahwa hakim tidak indepen dalam memutuskan setiap perkara, lebih memilih orang yang beduit dari pada orang yang tingkat ekonominya dibawah. Kedua hal ini terjadi akibat dari kurangnya pemahaman baik dari hakim itu sendiri maupun dari masyarakat.

c) Kendala Peraturan Perundangan, dalam hal ini peraturan hukum menjadi sebuah faktor negatif yang mempengaruhi terhadap kemandirian hakim dalam memutuskan, ketika aturan hukum harus ditegakkan sesuai dengan aturan tertulisnya, namun keyakinan hakim bisa jadi berbeda.

d)  Kendala Kekuasaan, hal ini bukan hanya berlaku pada hakim saja, ini sudah menjadi masalah biasa dalam sebuah lembaga, siapa yang dekat dengan penguasa maka semakin mudah pula untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

e)  Kendala Politik, faktor politik juga mampu menjadi kendala dalam kebebasan hakim untk memutuskan, karena faktor politik masuk dalam penentuan peraturan hukum maka dalam menjalankannya pun unsur politik akan sulit dipisahkan didalamnya.

f)   Kendala Kesadaran Hukum masyarakat, semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka semakin tinggi pula kemandirian lembaga pengadilan. Nyatanya dalam prakteknya tingkat kesadaran hukum di masyarakat termasuk penegak hukum masih terlalu rendah sehingga sangat mempengaruhi kebebasan hakim didalamnya.

5.   Eksekusi Putusan dan Tanggung Jawab Hakim[9]

Eksekusi perkara perdata memang bukan menjadi tugas hakim pemeriksa perkara melainkan menjadi tugas panitera dan /atau jurusita/jurusita pengganti dibawah pimpinan ketua pengadilan. Namun yang harus di ingat oleh hakim pemeriksa perkara adalah bahwa yang hendak dieksekusi adalah putisan hakim. Hakim pemeriksa perkara adalah pemegang kunci kemudahan eksekusi. Oleh sebab itu, hakim pemeriksa perkara wajib memberikan kunci kemudahan eksekusi tersebut kepada panitera. Kunci tersebut dapat diberikan dalam bentuk amar eksekutorial dan amar penopang kemudahan eksekusi. Berdasarkan amanat pasal 58 ayat (2) UU Peradilan Agama jo Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Termasuk disini adalah dalam hal penyelesaian perkara baik yang berupa eksekusi (tindakan fisik), pembayaran sejumlah uang, maupun tindak lanjut administrasi.

Oleh sebab itu, hakim pemeriksa mempunyai tanggung jawab yuridis dan teknis agar setiap putusan yang dijatuhkan; pertama, secara yuridis putusan hakim dapat dieksekusi sebagaimana mestinya; dan kedua, secara teknis eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara-cara yang sederhana, cepat dan biaya ringan sehingga eksekusi berjalan dengan efektif dan efisien. Hakim wajib menyelamatkan pencari keadilan dari kemungkinan gagalnya eksekusi akibat putusannya yang cacat hukum sehingga secara yuridis tidak dapat dieksekusi (non eksekutabel) serta membantu pencari keadilan agar mereka dengan mudah dapat menerima apa yang menjadi hak-haknya melalui eksekusi yang efektif dan efisien. Perlindungan hukum dan keadilan dalam proses peradilan dan eksekusi diberikan berdasarkan asas-asas umum hukum acara dan eksekusi agar dapat berjalan dengan saksama dengan proses yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Itulah tanggung jawab hakim pemeriksa perkara terhadap eksekusi putusan yang ia jatuhkan.


[1]H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan “Membangun Sistem Peradilan Berbasis Perlindungan Hukum dan Keadilan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h. 204.

[2]H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan “Membangun Sistem Peradilan Berbasis Perlindungan Hukum dan Keadilan”, h. 204

[3]H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan “Membangun Sistem Peradilan Berbasis Perlindungan Hukum dan Keadilan”, h. 204.

[4] Ahmad Kamil, Filsafat Kebebsan Hakim, (Cet. 1, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), h. 167.

[5] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Cet. 8, Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 869-871.

[6] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Cet. 8, Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 868, dalam Himpunan SEMA dan PERMA, Tahun 1951-1997, MA Februari 1999, h. 335.

[7] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 871-872.

[8] Ahmad Kamil, Filsafat Kebebsan Hakim, h. 248-259.

[9] H.A. Mukti Arto, Penemuan Hukum islam Demi Mewujudkan Keadilan, h. 139-140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar