Apa yang dimaksud dengan Poligami...?
Kata poligami, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila
pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan
yang banyak atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki
mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang
perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada
dasarnya disebut poligami. [1]
Poligami dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat saat
ini dapat diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita. Menurut
tinjauan Antropologi sosial (Sosio antropologi) poligami memang mempunyai
pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita atau sebaliknya.
Poligami dibagi menjadi 2 macam yaitu: a) Polyandri yaitu perkawinan antara
seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. b) Poligini yaitu perkawinan
antara laki-laki dengan beberapa orang perempuan.
Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu
hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau
kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya
secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam
menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda dan istri tua
menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus pada
pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi
jika ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak
terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka undang-undang
perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu,
dengan mengantisipasi lebih awal dalam membatasi kawin lebih dari satu orang
itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu, meskipun pada kenyataannya
aturan yang mengaturnya juga tidak mampu membendung poligami yang terjadi di
masyarakat.
Pada dasarnya memang tidak ada larangan secara mutlak terhadap
poligami, bahkan para ulama sepakat untuk membolehkan apabila seseorang ingin
melakukan poligami, tetapi dengan syarat apabila dia dapat berlaku adil
terhadap para istrinya, baik itu dari segi materi berupa sandang, pangan,
tempat tinggal dan qasam (pembagian giliran pulang) dan immateri yang berupa
mawaddah wa rahmah, cinta kasih dan sayang. Allah memmberikan peluang kepada
para suami untuk melakukan poligami tidak berarti dan bermaksud merendahkan dan
menyiksa kaum perempuan (para isteri) ataupun mengesampingkan kepentingan istri
sebelumnya dan lebih memperhatikan istri baru. Karena dalam kehidupan sangat
dimungkingkan terjadinya suatu kondisi tertentu yang membolehkan para suami
melakukan poligami demi harkat, martabat, dan derajat kaum perempuan itu
sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Poligami atau menikah lebih dari seorang istri bukanlah
merupakan masalah baru. Poligami sudah ada sejak dulu kala, pada kehidupan
manusia di berbagai kelompok masyarakat seluruh penjuru dunia. [2] Bangsa Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum
kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia
selama masa itu, termasuk pula apa yang terjadi di Indonesia sejak dahulu.
Kitab-Kitab Suci agama-agama Samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa
dikalangan para pemimpin maupun orang-orang awam disetiap bangsa, bahkan
diantara para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang asing ataupun
tidak disukai. [3] Dalam kitab suci agama Yahudi dan Nasrani,
poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan
dalam Talmud, perjanjian lama, dan Al-Qur‟an, beristri lebih dari seorang, kecuali Yesus/Nabi Isa as.
Bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan poligami tanpa batas. [4]
Sejak Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai Nabi terakhir,
Nabi Muhammad telah melakukan perubahan khususnya apa yang terjadi di Arab yaitu
dengan melarang perzinaan dan bentuk-bentuk lain yang menganggap perempuan
bagaikan barang dan hewan yang dimiliki. Pada dasarnya Islam tidak mengharamkan
poligami secara mutlak, tetapi diberi batasan dan bersyarat. Dengan adanya
batasan jumlah perempuan yang akan dijadikan istri agar terjadi kemaslahatan
keturunan, pranata sosial dan kesiapan kaum lelaki. Seorang lelaki hanya boleh
menikahi maksimal empat orang perempuan. Tentu saja dengan bersyarat mampu
memberi nafkah dan bisa berlaku adil.
Bagaimana sejarah terbentuknya
aturan Poligami di Indonesia...?
Mengenai
Sejarah terbentuknya aturan poligami di Indonesia tidak lepas dari sejarah
pembentukan aturan tentang perkawinan, hal ini disebabkan poligami merupakan
bagian integral dari perkawinan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu
dengan yang lainnya.
Di
Indonesia aturan poligami termuat dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974, PP No.
10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
(PNS), PP No. 45 tahun 1990 tentang perubahan atas PP No 10 tahun 1983, dan
yang selanjutnya adalah Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI). 19 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
memberikan persyaratan terhadap seseorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang, untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1.
Adanya persetujuan dari
istri/istri-istri;
Artinya bahwa jika istri atau para istri sebelumnya
tidak menyetujui maka pada prinsipnya poligami tidak boleh untuk dilakukan,
sebab hanya berdasar pada keinginan sendiri, apalagi jika poligami yang
dilakukan ternyata tidak diketahui istri sebelumnya. Persetujuan yang dimaksud
pada pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.
2. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka;
Hal ini semestinya dapat dipastikan sebelum
melakukan poligami, jika pada perkawinan sebelumnya hidup pas-pasan bahkan
tidak mampu memenuhi kebutuhan istri sebelumnya, ngapain harus poligami...?
kecuali jika perkawinan sebelumnya telah berkecukupan bahkan melebihi dan
diyakini akan mampu untuk memenuhi kebutuhan semua istri yang dinikahi maka
poligami boleh untuk dilakukan.
3. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
Jaminan berlaku adil ini tidak hanya mampu
diucapkan dengan lisan atau dengan sebuah perjanjian semata, tetapi mampu
dibuktikan dalam praktik berumah tangga nanti, sebab lebih banyak perkawinan
poligami yang justru merasakan dampak dari poligami yang dilakukan akibat dari
suami yang tidak mampu berlaku adil.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam ada beberapa pasal yang menjelaskan tentang syarat
Poligami antara lain terdapa pada pasal 55 ayat (1) dan (2) dan pasal 56 ayat
(1) dan pasal 57 menyatakan syarat poligami, yaitu:
Pasal
55
1)
Beristri lebih dari satu
bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.
2)
Syarat utama beristri lebih dari
seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Pasal
56
1)
Suami yang hendak beristri lebih
dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
Pasal
57
Pengadilan
Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
1)
Istri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai istri.
2)
Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3)
Istri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Ketiga
syarat ini pada dasarnya terkesan diskriminatif terhadap perempuan atau istri,
dimana seorang istri jika telah mengalami kondisi seperti halnya dalam syarat
pada pasal 57 yang tersebut diatas maka dapat di poligami, padahal dengan
poligami yang dilakukan bisa jadi justru akan mengabaikan istri yang telah ada
dalam kondisi tersebut diatas bahkan tidak memperdulikan lagi kondisinya. Selain
itu jika yang terjadi justru kebalikan dari apa yang tersebut dalam pasal 57
dalam kata lain yang mengalami hal tersebut diatas adalah suami maka tidak ada
syarat untuk istri melakukan hal yang sama, kecuali dengan jalan bercerai.
Kemudian
Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, di samping persyaratan yang disebutkan
pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu : Pasal
58
1)
Adanya persetujuan istri,
2)
Adanya kepastian, bahwa suami
mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anakanak mereka.
Sementara
untuk syarat bagi PNS yang akan berpoligami terdapat dalam PP No. 45 Tahun 1990
pasal 4 ayat (1) tentang Izin Perkawinan dan Perceraian, yaitu: “Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri
lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.”
Selain
itu juga dalam PP No. 10 Tahun 1983 pasal 4 ayat (2) tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negri Sipil yang kemudian diubah dengan PP No. 45
Tahun 1990, perubahan no. 2 ayat (2), yaitu : “Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri yang
kedua/ketiga/keempat.”
Kemudian
dalam Islam syarat bagi orang-orang yang ingin berpoligami adalah:
1)
Jumlah istri yang boleh
dipoligami paling banyak empat orang wanita. Syarat ini telah disebutkan oleh
Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4): 3.
2)
Laki-laki itu dapat berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriah
seperti pembagian waktu jika pemberian nafkah, dan hal-hal yang menyangkut
kepentingan lahir. Sedangkan masalah batin, tentu saja, selamanya manusia tidak
mungkin dapat berbuat adil secara hakiki.
[1] Tihami, Sobari Sahrani, Fiqh Munakahat :
Kajian Fiqh Lengkap, (Jakarta, Rajawaali Pers, 2013), h. 351.
[2] Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 259.
[3] Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran, As-Sunah, Dan Pendapat Para Ulama, (Bandung:
Mizan Media Utama), h.
90.
[4] Abdurrahman I Doi, Inilah Syari’ah
Islam Terjemahan Buku The Islamic Law,
Usman Efendi AS dan Abdul Khaliq Lc, (Jakarta:
Pustaka Panji, 1990), h. 207.