PRINSIP PERKAWINAN
Membangun sebuah rumah tangga pada dasarnya
tidak mudah untuk dilalui oleh setiap orang yang menjalaninya, terutama bagi
pasangan yang masih dibawah umur, yang sudah pasti kesiapan mental dan kesiapan
lahir batin belum terlalu siap sepenuhnya untuk menjalani kehidupan rumah
tangga. Oleh karena itu ada hal-hal yang prinsip yang sudah seharusnya
ditanamkan dalam diri setiap pasangan dalam menjalani kehidupan rumah tangga,
terutama bagi pasangan yang masih dibawah umur. Ada lima prinsip pokok
perkawinan yang penting untuk diperhatikan, dan semestinya juga menjadi
pegangan tiap pasangan dalam berumah tangga; [1]
1. Prinsip cinta
dan kasih sayang
Mawaddah secara bahasa bermakna cinta kasih, sedangkan rahmah
berarti kasih sayang. Suami istri sejak akad nikah hendaknya telah dipertautkan
oleh ikatan mawaddah dan rahmah, sehingga keduanya tidak mudah
goyah dalam mengarungi samudera perkawinan. Keluarga mawaddah wa rahmah
hanya dapat terbentuk dari suasana hati yang ikhlas dan rela berkorban demi
kebahagiaan bersama kedua pasangan. Penting untuk diketahui bahwa anugerah mawaddah
wa rahmah ini hanya dikhususkan kepada manusia, tidak kepada makhluk
lainnya.
2. Prinsip saling
melengkapi
Prinsip ini ditemukan, antara lain, dalam
firman Allah swt. Q.S. Al-Baqarah ayat 187: [2]
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ
لِبَاسٌ لَهُنَّ
Terjemahnya:
Istri-istri kamu (para suami) adalah
pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka.
Firman Allah ini mengisyaratkan bahwa sebagai
makhluk, laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki kelemahan dan
keunggulan. Tidak ada orang yang sempurna dan hebat dalam semua hal. Sebaliknya
tidak ada pula yang serba kekurangan. Karena itu, dalam kehidupan suami istri,
manusia pasti saling membutuhkan, saling mengisi, saling menyempurnakan.
Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya. Ibarat
pakaian menutupi tubuh.
3. Prinsip
memperlakukan pasangan dengan sopan (Mu’asyarah bi al-Ma’ruf)
Prinsip ini jelas sekali ditemukan dalam firman
Allah swt. Q.S. An-Nisa ayat 19: [3]
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ
خَيْرًا كَثِيرًا
Terjemahnya:
Pergaulilah
istri-istrimu dengan sopan, dan apabila kamu tidak lagi mencintai mereka
(jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi
sesuatu, tapi Allah menjadikan padanya (dibalik itu) kebaikan yang banyak.
Ayat-ayat al-Qur’an lainnya mengenai hal ini
termaktub dalam surah al-Baqarah ayat 229-231. Berbagai ayat itu menyatakan
suatu prinsip bahwa setiap suami dalam kehidupan rumah tangga harus menetapkan
satu pilihan diantara dua pilihan.
Pertama, memenuhi semua hak istrinya dan melaksanakan
segala kewajibannya dengan sopan santun. Kedua, memutuskan ikatan
perkawinan dan membebaskan istri dengan cara-cara yang patut dan sopan (ma’ruf).
Tidak ada pilihan lain. Perilaku suami yang tidak mau memenuhi hak-hak istrinya
secara patut dan tidak pula mau menceraikannya dengan sopan tidaklah dibenarkan
dalam Islam.
4. Prinsip
keadilan gender (Gender Equity)
Keadilan gender adalah suatu kondisi dan
perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Kondisi ini dapat dibangun melalui
upaya-upaya penghentian segala bentuk diskriminasi yang secara sosial-budaya diwarisi
secara turun-temurun di masyarakat. Gender sejatinya adalah suatu konstruksi
sosial. Prinsip keadilan gender bukan hanya bukan hanya sesuai dengan ajaran
agama, tapi juga mengajarkan bagaimana mengelola kehidupan keluarga sesuai
dengan porsi tugas dan tanggung jawab masing-masing suami istri yang dibagi
secara adil. Yang dimaksudkan dengan adil disini tidak mesti berarti bahwa
tugas dan tanggung jawab keduanya sama persis, melainkan dibagi secara
proporsional, dan bergantung pada kesepakatan bersama.
5. Prinsip
Monogami
Keluarga
sejahtera, harmonis, sakinah, mawaddah wa rahamah hanya dapat dibangun
diatas prinsip monogami (satu suami, satu istri). Prinsip ini hendaknya
dipahami dalam makna yang hakiki, artinya pernyataan satu suami dan satu istri
itu bukan hanya diatas kertas , melainkan diterapkan dalam realitas yang
sebenarnya. Suami atau istri hanya memiliki satu pasangan baik dalam kehidupan
di dalam maupun di luar rumah.
Tetapi hukum
Islam memberi kemungkinan/membolehkan adanya poligami bagi orang tertentu,
dengan alasan tertentu, dalam keadaan tertentu, dan dengan syarat-syarat
tertentu pula. Diantara syarat-syarat yang dimaksud ialah bahwa poligami
dilakukan harus atas persetujuan istri atau istri-istri yang telah ada,
berkemampuan secara ekonomis, dan memperoleh izin dari engadilan yang
berwenang. [4]
Untuk
menjaga agar kebolehan kawin poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki yang
jarang mendalami maksud dan tujuan perkawinan menurut ajaran Islam atas dasar maslahah
mursalah, negara dibenarkan melakukan penertiban, tetapi tidak
berkecenderungan untuk menutup sama sekali pintu poligami. [5] Poligami juga boleh dilakukan
oleh orang tertentu, sepanjang memenuhi syarat dan alasan yang dapat diterima
dan dipertanggungjawabkan.
[1] Siti
Musda Mulia, Membangun Surga Di Bumi “Kiat-Kiat Membina Keluarga Ideal Dalam
Islam”, h. 50-55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar