Minggu, 02 September 2018

Prinsip Perkawinan


PRINSIP PERKAWINAN

Membangun sebuah rumah tangga pada dasarnya tidak mudah untuk dilalui oleh setiap orang yang menjalaninya, terutama bagi pasangan yang masih dibawah umur, yang sudah pasti kesiapan mental dan kesiapan lahir batin belum terlalu siap sepenuhnya untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu ada hal-hal yang prinsip yang sudah seharusnya ditanamkan dalam diri setiap pasangan dalam menjalani kehidupan rumah tangga, terutama bagi pasangan yang masih dibawah umur. Ada lima prinsip pokok perkawinan yang penting untuk diperhatikan, dan semestinya juga menjadi pegangan tiap pasangan dalam berumah tangga; [1]
1.    Prinsip cinta dan kasih sayang
Mawaddah secara bahasa bermakna cinta kasih, sedangkan rahmah berarti kasih sayang. Suami istri sejak akad nikah hendaknya telah dipertautkan oleh ikatan mawaddah dan rahmah, sehingga keduanya tidak mudah goyah dalam mengarungi samudera perkawinan. Keluarga mawaddah wa rahmah hanya dapat terbentuk dari suasana hati yang ikhlas dan rela berkorban demi kebahagiaan bersama kedua pasangan. Penting untuk diketahui bahwa anugerah mawaddah wa rahmah ini hanya dikhususkan kepada manusia, tidak kepada makhluk lainnya.    
2.    Prinsip saling melengkapi
Prinsip ini ditemukan, antara lain, dalam firman Allah swt. Q.S. Al-Baqarah ayat 187: [2]
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Terjemahnya:
            Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka.
Firman Allah ini mengisyaratkan bahwa sebagai makhluk, laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Tidak ada orang yang sempurna dan hebat dalam semua hal. Sebaliknya tidak ada pula yang serba kekurangan. Karena itu, dalam kehidupan suami istri, manusia pasti saling membutuhkan, saling mengisi, saling menyempurnakan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya. Ibarat pakaian menutupi tubuh.
3.    Prinsip memperlakukan pasangan dengan sopan (Mu’asyarah bi al-Ma’ruf)
Prinsip ini jelas sekali ditemukan dalam firman Allah swt. Q.S. An-Nisa ayat 19: [3]
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Terjemahnya:
Pergaulilah istri-istrimu dengan sopan, dan apabila kamu tidak lagi mencintai mereka (jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, tapi Allah menjadikan padanya (dibalik itu) kebaikan yang banyak.
Ayat-ayat al-Qur’an lainnya mengenai hal ini termaktub dalam surah al-Baqarah ayat 229-231. Berbagai ayat itu menyatakan suatu prinsip bahwa setiap suami dalam kehidupan rumah tangga harus menetapkan satu pilihan diantara dua pilihan.
Pertama, memenuhi semua hak istrinya dan melaksanakan segala kewajibannya dengan sopan santun. Kedua, memutuskan ikatan perkawinan dan membebaskan istri dengan cara-cara yang patut dan sopan (ma’ruf). Tidak ada pilihan lain. Perilaku suami yang tidak mau memenuhi hak-hak istrinya secara patut dan tidak pula mau menceraikannya dengan sopan tidaklah dibenarkan dalam Islam.
4.    Prinsip keadilan gender (Gender Equity)
Keadilan gender adalah suatu kondisi dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Kondisi ini dapat dibangun melalui upaya-upaya penghentian segala bentuk diskriminasi yang secara sosial-budaya diwarisi secara turun-temurun di masyarakat. Gender sejatinya adalah suatu konstruksi sosial. Prinsip keadilan gender bukan hanya bukan hanya sesuai dengan ajaran agama, tapi juga mengajarkan bagaimana mengelola kehidupan keluarga sesuai dengan porsi tugas dan tanggung jawab masing-masing suami istri yang dibagi secara adil. Yang dimaksudkan dengan adil disini tidak mesti berarti bahwa tugas dan tanggung jawab keduanya sama persis, melainkan dibagi secara proporsional, dan bergantung pada kesepakatan bersama.
5.    Prinsip Monogami
Keluarga sejahtera, harmonis, sakinah, mawaddah wa rahamah hanya dapat dibangun diatas prinsip monogami (satu suami, satu istri). Prinsip ini hendaknya dipahami dalam makna yang hakiki, artinya pernyataan satu suami dan satu istri itu bukan hanya diatas kertas , melainkan diterapkan dalam realitas yang sebenarnya. Suami atau istri hanya memiliki satu pasangan baik dalam kehidupan di dalam maupun di luar rumah.
Tetapi hukum Islam memberi kemungkinan/membolehkan adanya poligami bagi orang tertentu, dengan alasan tertentu, dalam keadaan tertentu, dan dengan syarat-syarat tertentu pula. Diantara syarat-syarat yang dimaksud ialah bahwa poligami dilakukan harus atas persetujuan istri atau istri-istri yang telah ada, berkemampuan secara ekonomis, dan memperoleh izin dari engadilan yang berwenang. [4]
Untuk menjaga agar kebolehan kawin poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki yang jarang mendalami maksud dan tujuan perkawinan menurut ajaran Islam atas dasar maslahah mursalah, negara dibenarkan melakukan penertiban, tetapi tidak berkecenderungan untuk menutup sama sekali pintu poligami. [5] Poligami juga boleh dilakukan oleh orang tertentu, sepanjang memenuhi syarat dan alasan yang dapat diterima dan dipertanggungjawabkan.


[1] Siti Musda Mulia, Membangun Surga Di Bumi “Kiat-Kiat Membina Keluarga Ideal Dalam Islam”, h. 50-55.    
[2] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).
[3] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”.
[4] Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.   
[5] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Cet. 9, Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 40.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar