Minggu, 02 September 2018

Perkawinan Dibawah Umur


PERKAWINAN DIBAWAH UMUR

1.     Pengertian Perkawinan Dibawah Umur
Secara umum pengertian Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dalam hal ini perkawinan merupakan perjanjian yang sakral untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk berkasih sayang dan untuk mendapatkan ketenteraman antara seorang laki-laki dan wanita, seperti yang telah diisyaratkan dalam al-Quran surat Al-Rum ayat 21. [1]
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Terjemahnya:
Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Dengan demikian agama Islam secara umum memandang bahwa, perkawinan merupakan basis yang baik dilakukan bagi masyarakat karena perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang sah menurut ajaran Islam, dan merupakan perjanjian yang mana hukum adat juga berperan serta dalam penyelesaian masalah-masalah perkawinan seperti halnnya pernikahan dini atas latar belakang yang tidak lazim menurut hukum adat hingga hal ini adat menjadikan hukum untuk mengawinkan secara mendesak oleh aparat desa, yang itu mengacu kepada kesepakatan masyarakat yang tidak lepas dari unsur agama Islam.[2] Perkawinan bagi manusia bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda, sebagai makhluk yang disempurnakan Allah, maka perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sampai maut memisahkan.
Pengertian istilah rangkaian kata perkawinan dibawah umur tidak ditemukan dalam berbagai literatur baik dalam buku-buku maupun dalam kitab perundang-undangan. Namun demikian untuk memberikan penjelasan tentang pengertian perkawinan dibawah umur dilakukan melalui pendekatan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI, yang didalamnya memberikan pembatasan usia minimal perkawinan. Dengan demikian Perkawinan dibawah umur adalah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan demi menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak serta mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman, yang dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur berdasarkan batasan umur perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI yaitu laki-laki minimal 19 tahun dan perempuan minimal 16 tahun.
Perkawinan dibawah umur merupakan praktik perkawinan yang dilakukan oleh pasangan salah satu atau keduanya berusia masih muda dalam pandangan kekinian. Praktik perkawinan ini dipandang perlu memperoleh perhatian dan pengaturan yang jelas. Maka, selain usia minimum perkawinan ditetapkan, beberapa negara mengatur cara untuk mengantisipasi masih mungkinnya perkawinan seperti itu bisa dilaksanakan, antara lain, aturan yang memberikan keringanan (dispensasi). [3]
Pembatasan usia anak dalam undang-undang perkawinan dan KHI merupakan langkah pencegahan dan perlindungan terhadap anak yang belum mencapai usia yang dimaksud. Sehingga ketika terjadi perbuatan yang melanggar kepada anak yang belum mencapai usia tersebut maka seharusnya dapat dikenai sanksi. Apa yang telah ditentukan dalam KHI dan undang-undang perkawinan yang memberikan kelonggaran terhadap perilaku yang seharusnya dapat dikenai sanksi melalui proses perkawinan dengan batas usia yang telah ditentukan. Namun, oleh karena adanya permasalahan yang terjadi sebelum proses perkawinan dibawah umur, seperti perbuatan asusila, hamil diluar nikah, dan kekerasan seksual dapat dengan mudah diselesaikan melalui proses perkawinan seperti yang dilakukan di lingkungan masyarakat saat ini.
Dalam setiap ikatan perkawinan akan timbul hak-hak dan kewajiban pada dua sisi. Maksudnya, apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan disyaratkan dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan. [4] Sebaliknya dengan apa yang terjadi pada perkawinan dibawah umur, istilah ikatan perkawinan yang dimaksud ini dapat dinilai masih belum layak jika terjadi pada perkawinan dibawah umur, dimana perkawinan dibawah umur hampir rata-rata terjadi karena bermasalah sebelum perkawinan sehingga kemauan dan kesanggupan itu belum dapat dipadukan. Dengan demikian perkawinan dibawah umur merupakan sesuatu hal yang belum layak dan belum pantas dilakukan oleh anak dibawah umur.
2.     Hukum Perkawinan
Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga tidak dilarang. Adapun dasarnya firman Allah dalam al-Quran surat An-Nur ayat 32. [5]
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ  
Terjemahnya:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Berdasarkan pada perubahan illatnya atau keadaan masing-masing orang yang hendak melakukan perkawinan, maka perkawinan hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram. [6]
Perkawinan hukumnya menjadi sunnah apabila seseorang dilihat dari segi jasmaninya sudah memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai sekedar biaya hidup, maka bagi orang demikian itu sunnah baginya untuk kawin. Sedangkan ulama Syafi’yah menganggap bahwa niat itu sunnah bagi orang yang melakukannya  dengan  niat  untuk  mendapatkan  ketenangan  jiwa  dan melanjutkan keturunan. [7]
Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila seseorang dilihat dari segi biaya hidup  sudah  mencukupi  dan  dari  segi  jasmaninya  sudah  mendesak  untuk kawin sehingga kalau tidak kawin dia akan terjerumus melakukan penyelewengan, maka bagi orang yang demikian itu wajiblah baginya untuk kawin.
Perkawinan hukumnya menjadi makruh apabila seseorang yang dipandang  dari segi jasmaninya sudah wajar untuk kawin, tetapi belum sangat mendesak sedang biaya untuk kawin belum ada, sehingga kalau kawin hanya akan menyengsarakan hidup isteri dan anak-anaknya, maka bagi orang yang demikian itu makruh baginya untuk kawin.
Perkawinan hukumnya menjadi haram apabila seseorang itu menyadari bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban batin seperti mencampuri isteri. Sebaliknya bagi perempuan bila ia sadar dirinya tidak mampu memenuhi hak-hak suami, atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa melayani kebutuhan batinnya, karena sakit jiwa atau kusta atau penyakit lain pada kemaluannya, maka ia tidak boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan semuanya itu  kepada  laki-lakinya. Ibaratnya seperti  seorang  pedagang  yang wajib menerangkan keadaan barang-barangnya bilamana ada aibnya. [8] 
Apabila terjadi salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya, maka ia berhak untuk membatalkan. Jika yang aib perempuan, maka suaminya boleh membatalkan dan dapat mengambil kembali mahar yang telah diberikan. [9]
Dalam perkawinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal itu adalah syarat  dan  rukun  yang  harus  dipenuhi.  Adapun  syarat  dan  rukun merupakan perbuatan hukum yang sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tertentu dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.[10] Diantaranya adalah persetujuan para pihak. Menurut hukum Islam akad (perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan  kedua  belah  pihak  calon  suami  isteri.  Karena  pihak  wanita tidak langsung melaksanakan hak ijab (penawaran tanggung jawab), disyaratkan izin atau meminta persetujuan sebelum perkawinan dilangsungkan, adanya syarat ini berarti bahwa tidak boleh ada pihak ketiga (yang melaksanakan ijab) memaksa kemauannya tanpa persetujuan yang punya diri (calon wanita pengantin bersangkutan). Di masa lampau banyak gadis yang merana kawin paksa dibawah umur.
Perkawinan mengandung banyak faedah dan keutamaan. Diantara faedah-faedah tersebut adalah: [11]
a.    Melaksanakan perintah Allah SWT.
b.   Mengikuti sunnah Rasulullah SAW. dan meneladani para Nabi
c.    Menyalurkan hasrat seksual dan memelihara pandangan.
d.   Mencegah zina dan memelihara kehormatan kaum perempuan.
e.    Mencegah penyebaran perbuatan keji dikalangan kaum muslimin.
f.     Memperbanyak keturunan yang dengannya Rasulullah SAW. bisa membanggakan umata beliau dihadapan para Nabi terdahulu.
g.   Memperoleh pahala dari hubungan seksual yang halal.
h.   Mencintai apa yang dicintai Rasulullah SAW. sebagaimana yang tercantum dalam sabda beliau yang artinya “Aku dianugerahi rasa cinta kepada dua hal dari dunia kalian: wewangian dan perempuan”. (HR. Ahmad dan Nasa’i)
i.     Membina generasi mukmin yang dapat memelihara dan melindungi kediaman kaum muslimin serta selalu meminta ampun dosa-dosa mereka.
j.     Melahirkan keturunan yang bisa mendatangkan syafa’at untuk masuk syurga.
k.   Pernikahan akan melahirkan ketenangan dan rasa kasih sayang antara sepasang suami istri.

3.     Perkawinan Dibawah Umur Dalam Hukum Positif

Dalam Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam pasal 6 ayat 2 dan pasal 7 ayat 1-3 disebutkan bahwa: [12]
Pasal 6 ayat 2:
Untuk melangsungkan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 7:
1)   Perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
2)   Dalam hal penyimpangan pada ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau wanita.
3)   Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Adapun dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan: [13]
Pasal 15:
1)   Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
2)   Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974.
Melalui pasal-pasal ini, ternyata hanya dalam KHI pasal 15 ayat 1 yang menjelaskan tentang maksud dari pentingnya masalah umur dalam perkawinan, yakni demi terciptanya kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Beberapa pasal inilah yang menjadi dasar dalam perkawinan usia dini di Indonesia yang telah banyak dilakukan secara luas. Walaupun begitu masalah batasan umur perkawinan usia dini yang menjadi standar perkawinan usia dini masih terus diperdebatkan tentang standarsasinya.


[1] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).
[2] Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1991), h. 1-2.   
[3] Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Arifin, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, (Cet. I, Jakarta: Kencana, 2013), h. 43.
[4] Achmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 1-2.
[5] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).
[6] Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1991).   
[7] Hamdani, Risalah Al-Munakkahah, (Jakarta: Citra Karsa Mandiri, 1995), h. 24-25.   
[8] Hamdani, Risalah Al-Munakkahah, h. 21.   
[9] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, Juz IV, 2000), h. 24.   
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakkahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 59.   
[11] Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (diterjemahkan oleh Ghozi. M), Cet. I, (Bandung: Cordoba Internasional Indonesia, 2016), h. 138.
[12] Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.   
[13] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum islam Di Indonesia.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar