PERKAWINAN DIBAWAH UMUR
1. Pengertian Perkawinan Dibawah Umur
Secara umum pengertian Perkawinan adalah suatu perjanjian
perikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dalam hal ini
perkawinan merupakan perjanjian yang sakral untuk membentuk keluarga yang kekal
dan bahagia, Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk berkasih sayang
dan untuk mendapatkan ketenteraman antara seorang laki-laki dan wanita, seperti
yang telah diisyaratkan dalam al-Quran surat Al-Rum ayat 21. [1]
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ
لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan di
antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
mawadah dan rahmah. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Dengan
demikian agama Islam secara umum memandang bahwa, perkawinan merupakan basis
yang baik dilakukan bagi masyarakat karena perkawinan merupakan ikatan lahir
batin yang sah menurut ajaran Islam, dan merupakan perjanjian yang mana hukum
adat juga berperan serta dalam penyelesaian masalah-masalah perkawinan seperti
halnnya pernikahan dini atas latar belakang yang tidak lazim menurut hukum adat
hingga hal ini adat menjadikan hukum untuk mengawinkan secara mendesak oleh
aparat desa, yang itu mengacu kepada kesepakatan masyarakat yang tidak lepas
dari unsur agama Islam.[2] Perkawinan bagi manusia bukan
sekedar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda, sebagai makhluk yang
disempurnakan Allah, maka perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal sampai maut memisahkan.
Pengertian
istilah rangkaian kata perkawinan dibawah umur tidak ditemukan dalam berbagai
literatur baik dalam buku-buku maupun dalam kitab perundang-undangan. Namun
demikian untuk memberikan penjelasan tentang pengertian perkawinan dibawah umur
dilakukan melalui pendekatan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan KHI, yang didalamnya memberikan pembatasan usia minimal perkawinan. Dengan
demikian Perkawinan dibawah umur adalah suatu akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan demi menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak serta mewujudkan suatu hidup
berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman, yang dilakukan oleh
anak yang masih dibawah umur berdasarkan batasan umur perkawinan dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI yaitu laki-laki
minimal 19 tahun dan perempuan minimal 16 tahun.
Perkawinan
dibawah umur merupakan praktik perkawinan yang dilakukan oleh pasangan salah
satu atau keduanya berusia masih muda dalam pandangan kekinian. Praktik
perkawinan ini dipandang perlu memperoleh perhatian dan pengaturan yang jelas.
Maka, selain usia minimum perkawinan ditetapkan, beberapa negara mengatur cara
untuk mengantisipasi masih mungkinnya perkawinan seperti itu bisa dilaksanakan,
antara lain, aturan yang memberikan keringanan (dispensasi). [3]
Pembatasan usia anak dalam undang-undang perkawinan dan
KHI merupakan langkah pencegahan dan perlindungan terhadap anak yang belum
mencapai usia yang dimaksud. Sehingga ketika terjadi perbuatan yang melanggar
kepada anak yang belum mencapai usia tersebut maka seharusnya dapat dikenai
sanksi. Apa yang telah ditentukan dalam KHI dan undang-undang perkawinan yang
memberikan kelonggaran terhadap perilaku yang seharusnya dapat dikenai sanksi
melalui proses perkawinan dengan batas usia yang telah ditentukan. Namun, oleh
karena adanya permasalahan yang terjadi sebelum proses perkawinan dibawah umur,
seperti perbuatan asusila, hamil diluar nikah, dan kekerasan seksual dapat
dengan mudah diselesaikan melalui proses perkawinan seperti yang dilakukan di
lingkungan masyarakat saat ini.
Dalam
setiap ikatan
perkawinan akan
timbul hak-hak dan kewajiban pada dua sisi. Maksudnya, apabila mempunyai
kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan disyaratkan
dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu
terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan. [4] Sebaliknya dengan apa yang terjadi pada perkawinan dibawah
umur, istilah ikatan perkawinan yang dimaksud ini dapat dinilai masih belum layak
jika terjadi pada perkawinan dibawah umur, dimana perkawinan dibawah umur
hampir rata-rata terjadi karena bermasalah sebelum perkawinan sehingga kemauan
dan kesanggupan itu belum dapat dipadukan. Dengan demikian perkawinan dibawah
umur merupakan sesuatu hal yang belum layak dan belum pantas dilakukan oleh
anak dibawah umur.
2.
Hukum Perkawinan
Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga tidak
dilarang. Adapun
dasarnya firman Allah dalam al-Quran
surat An-Nur ayat 32. [5]
وَأَنْكِحُوا
الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di
antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin,
Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Berdasarkan
pada perubahan illatnya atau keadaan masing-masing orang yang hendak melakukan
perkawinan, maka perkawinan hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram. [6]
Perkawinan hukumnya menjadi sunnah apabila seseorang
dilihat dari segi jasmaninya sudah memungkinkan untuk kawin dan dari segi
materi telah mempunyai sekedar biaya hidup, maka bagi orang demikian itu sunnah
baginya untuk kawin. Sedangkan ulama Syafi’yah menganggap bahwa niat itu sunnah
bagi orang yang melakukannya dengan niat
untuk mendapatkan ketenangan
jiwa dan melanjutkan keturunan. [7]
Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila seseorang
dilihat dari segi biaya hidup sudah mencukupi
dan dari segi
jasmaninya sudah mendesak
untuk kawin sehingga kalau tidak kawin dia akan terjerumus melakukan
penyelewengan, maka bagi orang yang demikian itu wajiblah baginya untuk kawin.
Perkawinan hukumnya menjadi makruh apabila seseorang yang
dipandang dari segi jasmaninya sudah
wajar untuk kawin, tetapi belum sangat mendesak sedang biaya untuk kawin belum
ada, sehingga kalau kawin hanya akan menyengsarakan hidup isteri dan
anak-anaknya, maka bagi orang yang demikian itu makruh baginya untuk kawin.
Perkawinan hukumnya menjadi haram apabila seseorang itu
menyadari bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga,
melaksanakan kewajiban batin seperti mencampuri isteri. Sebaliknya bagi
perempuan bila ia sadar dirinya tidak mampu memenuhi hak-hak suami, atau ada
hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa melayani kebutuhan batinnya, karena
sakit jiwa atau kusta atau penyakit lain pada kemaluannya, maka ia tidak boleh
mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan semuanya itu kepada
laki-lakinya. Ibaratnya
seperti seorang pedagang
yang wajib menerangkan
keadaan barang-barangnya bilamana ada aibnya. [8]
Apabila
terjadi salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya, maka ia berhak untuk
membatalkan. Jika yang aib perempuan, maka suaminya boleh membatalkan dan dapat
mengambil kembali mahar yang telah diberikan. [9]
Dalam
perkawinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal itu adalah syarat dan
rukun yang harus
dipenuhi. Adapun syarat
dan rukun merupakan perbuatan hukum yang sangat dominan menyangkut
sah atau tidaknya perbuatan tertentu dari segi hukum. Kedua kata tersebut
mengandung yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus
diadakan.[10] Diantaranya
adalah persetujuan para pihak. Menurut hukum Islam akad (perjanjian) yang
didasarkan pada kesukarelaan kedua belah
pihak calon suami
isteri. Karena pihak
wanita tidak langsung melaksanakan hak
ijab (penawaran tanggung jawab), disyaratkan izin atau meminta persetujuan
sebelum perkawinan dilangsungkan, adanya syarat ini berarti bahwa tidak boleh
ada pihak ketiga (yang melaksanakan ijab) memaksa kemauannya tanpa persetujuan
yang punya diri (calon wanita pengantin bersangkutan). Di masa lampau banyak gadis yang merana kawin
paksa dibawah umur.
Perkawinan mengandung banyak faedah dan keutamaan.
Diantara faedah-faedah tersebut adalah: [11]
a.
Melaksanakan perintah Allah SWT.
b.
Mengikuti sunnah Rasulullah SAW. dan
meneladani para Nabi
c.
Menyalurkan hasrat seksual dan memelihara
pandangan.
d.
Mencegah zina dan memelihara kehormatan kaum
perempuan.
e.
Mencegah penyebaran perbuatan keji dikalangan
kaum muslimin.
f.
Memperbanyak keturunan yang dengannya
Rasulullah SAW. bisa membanggakan umata beliau dihadapan para Nabi terdahulu.
g.
Memperoleh pahala dari hubungan seksual yang
halal.
h.
Mencintai apa yang dicintai Rasulullah SAW.
sebagaimana yang tercantum dalam sabda beliau yang artinya “Aku dianugerahi
rasa cinta kepada dua hal dari dunia kalian: wewangian dan perempuan”. (HR.
Ahmad dan Nasa’i)
i.
Membina generasi mukmin yang dapat memelihara
dan melindungi kediaman kaum muslimin serta selalu meminta ampun dosa-dosa
mereka.
j.
Melahirkan keturunan yang bisa mendatangkan
syafa’at untuk masuk syurga.
k.
Pernikahan akan melahirkan ketenangan dan rasa
kasih sayang antara sepasang suami istri.
3. Perkawinan Dibawah Umur Dalam Hukum Positif
Dalam
Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam pasal 6 ayat 2 dan pasal 7 ayat
1-3 disebutkan bahwa: [12]
Pasal 6
ayat 2:
Untuk
melangsungkan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 7:
1)
Perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria
telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
usia 16 (enam belas) tahun.
2)
Dalam hal penyimpangan pada ayat 1 pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh
kedua orang tua pihak pria atau wanita.
3)
Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah
seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini,
berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan
tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Adapun dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan: [13]
Pasal
15:
1)
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun.
2)
Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat 2, 3,
4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974.
Melalui pasal-pasal ini, ternyata hanya dalam KHI pasal
15 ayat 1 yang menjelaskan tentang maksud dari pentingnya masalah umur dalam
perkawinan, yakni demi terciptanya kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
Beberapa pasal inilah yang menjadi dasar dalam perkawinan usia dini di
Indonesia yang telah banyak dilakukan secara luas. Walaupun begitu masalah
batasan umur perkawinan usia dini yang menjadi standar perkawinan usia dini
masih terus diperdebatkan tentang standarsasinya.
[3] Asep
Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Arifin, Hukum Keluarga, Pidana
Dan Bisnis, (Cet. I, Jakarta: Kencana, 2013), h. 43.
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakkahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:
Prenada Media, 2006), h. 59.
[11] Abu Malik Kamal, Fiqih
Sunnah Wanita, (diterjemahkan oleh Ghozi. M), Cet. I, (Bandung:
Cordoba Internasional Indonesia, 2016), h. 138.
[13]
Republik Indonesia, Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum islam Di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar