POLITIK HUKUM ISLAM PADA MASA
KOLONIAL BELANDA DAN JEPANG
Oleh
Jusuf A. Lakoro
NIM 16 2011 018
Dosen Pemandu
DR. RIZAL DARWIS, M.H.I
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (
IAIN )
SULTAN AMAI GORONTALO
2017
A.
Latar Belakang Masalah
Hukum Islam
telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di
nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh seminar masuknya Islam ke
Indonesia yang diselenggarakan di Medan tahun 1963, Islam telah masuk ke
Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada abad ke-7/ke-8 Masehi. Pendapat
lain mengatakan Islam masuk ke nusantara ini pada abad ke-13 Masehi.[1] Sejak saat itu Islam mulai dikembangkan dan
diterapkan diseluruh wilayah Indonesia.
Proses masuknya dan tersebarnya Islam
ke Indonesia dengan cara-cara damai tanpa adanya kekerasan. Cara damai tersebut
dibuktikan dengan cara sebagai berikut: [2]
1. Melalui perdagangan/bisnis.
Para pedagang muslim berfungsi sebagai penyebar Islam, mereka sudah ada di
nusantara sejak abad ke-7 dan ke-8 M.
2. Melalui perkawinan. Bahwa
poara pedagang muslim tersebut melakukan perkawinan dengan wanita setempat,
sehingga sedikit demi sedikit terbentuknya keluarga muslim keturunan.
3. Melalui pendidikan. Ulama
menyebarkan Islam melalui pendidikan non formal seperti; pengajian di surau,
dan di masjid, serta mendirikan pesantren.
4. Melalui kesenian. Ulama dalam
menyebarkan Islam juga melalui pendekatan seni, seperti seni wayang, rebana,
beduk, dan lain-lain.
5. Melalui politik. Yang
dimaksud dengan melalui politik, yaitu melalui pendirian kerajaan-kerajaan
Islam.
Dengan beberapa pendekatan ini
berkembanglah Islam hampir ke seluruh wilayah nusantara, dan berkembang pula
kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti; Kerajaan Samudera Pasai,
Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan
Banten, Kerajaan Tuban, Kerajaan Gresik-Giri, Kerajaan Banjar, dan Kerajaan
Kutai.
Hukum Islam yang diterapkan diberbagai negara yang berpenduduk
muslim mempunyai ciri dan model yang berbeda-beda dalam hal penerapannya. Di negara yang mayoritas
penduduknya beragam Islam berbeda nuansanya dengan negara yang relatif berimbang
antara setiap pemeluknya, misalnya negara
tersebut memiliki pluralitas agama dan dominasi penguasa juga amat berpengaruh terhadap kebijaksanaan hukum suatu
negara. Karenanya implementasi hukum Islam di negara-negara muslim bukan hanya
terletak pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga ditentukan oleh sistem
yang dikembangkan oleh negara tersebut, sebab berlakunya hukum disuatu negara itu sangat
dipengaruhi oleh pemerintahan yang berkuasa dan model penerapannya pun bisa
jadi berubah-ubah tergantung dari pemerintahannya.
Penerapan
hukum Islam dalam setiap negara yang memberlakukan hukum Islam juga pada
dasarnya di pengaruhi oleh sistem politik yang berkembang di negara tersebut.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak yang juga
menerapkan hukum Islam sebagai hukum agama dan hukum positif yang berlaku
sampai saat ini. Tidak
dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas.
Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat
disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas
teritorial kenegaraan. Pengaruh politik hukum Islam ini tidak hanya terjadi
pada masa kejayaan Islam masuk ke Indonesia, tetapi juga di pengaruhi oleh
sejarah kelam masa penjajahan Indonesia yang beberapa abad menjadi negara
jajahan Belanda dan Jepang yang sangat terasa oleh rakyat dan para pejuang
kemerdekaan saat itu yang berusaha untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sejak masa penjajahan itu hukum Islam memang sudah mulai dikembangkan di negara
ini walaupun belum sepenuhnya berjalan dengan mulus karena pengaruh penjajahan
yang masih terus berlangsung.
Masa penjajahan Belanda dan Jepang merupakan
masa yang sangat sulit untuk Indonesia bangkit dan membangun negara ini dengan
baik, sebab semua wilayah dan rakyat dalam kekuasaan para penjajah. Walaupun
begitu hukum Islam perlahan-lahan tetap tumbuh dan berkembang ditengah masa
penjajahan yang terjadi dengan adanya perlawanan dari umat Islam saat itu yang
merasa semakin disingkirkan oleh para penjajah. Kekuatan hukum adat pada masa
itu tidak menjadikan semangat untuk mengembangkan hukum Islam itu surut, sebab
hukum adat dipandang sebagai hukum yang murni lahir dari peradaban manusia yang
tidak akan berpengaruh pada perkembangan hukum Islam dan hukum positif di
Indonesia, sehingga sampai dengan saat ini hukum adat masih tetap tumbuh dan
berkembang di masyarakat adat Indonesia.
Karena itu,
menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di
tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia ini, terutama pada masa
penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan seperti:
seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap
penerapan hukum Islam di Tanah Air. Di samping itu, kajian tentang sejarah
hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi
umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan
dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang
diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan
kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil
oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah
penting di masa datang. Sejarah itu
menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang
dapat selesai seketika. Sehingga makalah
ini akan menguraikan setiap rincian sejarah politik hukum Islam di Tanah air terutama pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang.
Berdasarkan uraian latar
belakang maka dapat diangkat fokus
masalah yang akan dibahas
sebagai berikut:
1.
Bagaimana sejarah politik hukum Islam pada masa penjajahan Belanda di Indonesia ?
2.
Bagaimana sejarah politik hukum Islam pada
masa penjajahan Jepang di Indonesia ?
B. Pembahasan
1.
Sejarah Politik Hukum Islam Masa
Penjajahan Belanda Di Indonesia
Agama Islam berkembang
di Indonesia berlangsung selama berabad-abad. Pemeluk-pemeluk agama Islam di
Indonesia yang pertama meliputi para pedagang yang segera disusul orang-orang
kota baik dari lapisan atas maupun lapisan bawah. Menganut agama Islam
merupakan senjata bagi mereka untuk melawan musuh dari luar dan dari dalam.
Bahaya dari dalam adalah masuknya agresor-agresor perdagangan dan agama Barat di kawasan Asia Tenggara yaitu
orang-orang Portugis yang muncul sebagai unsur kekuasaan di Asia Tenggara pada
permulaan abad ke-16. Sementara Hukum
Islam berkembang bersamaan dengan masuknya Islam di negara ini. Sebagai hukum yang hidup
dalam kehidupan umat Islam, maka hukum Islam telah menjadi bagian dari
kehidupan umat, sehingga hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma
hukum yang dipaksakan dari luar diri masing-masing pemeluknya. [3]
Persaingan dan
perang-perang perebutan tahta antara penguasa yang telah menjadi Islam tidak
jarang memberikan kesempatan kepada orang Portugis dan Belanda atau menciptakan
alasan mencampuri urusan politik Indonesia. Namun, kebanyakan perlawanan yang dijumpai Portugis dan Belanda
menggumpal sekitar agama Islam. Islam tetap melanjutkan perananannya selama
berabad-abad sebagai pusat perlawanan terhadap campur tangan Barat dan kelak
terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Di sebagian besar pulau Jawa, Islam
dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan tradisi-tradisi yang telah berabad-abad
umurnya, sebagian tradisi penduduk asli, sebagian tradisi Hindu-Budha, dan
dalam prosesnya banyak kehilangan kelakuan doktrinernya, termasuk di dalamnya
penerapan hukum waris adat yang masih terbawa oleh suasana dan tradisi
masyarakat sebelum Islam.
Pada tahun
1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau Jawa dengan
perjanjian Giyanti,oleh karna itu raja Jawa pada saat itu kehilangan kekuasaan
politiknya. Bahkan kebiwaan raja jawa pada saat itu sangat tergantung kepada VOC.
Pada saat itu campur tangan kolonial terhadap kehidupan karaton makin meluas,
sehingga ulama-ulama keraton sebagai penasihat raja-raja tersingkir. Sehingga
sejak saat itu perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat muslim semakin kuat
kepada pemerintahan Belanda.
Ketika
penjajah Belanda semakin meluas,maka muncullah gerakan protes petani dipimpin
ulama lokal untuk melawan Belanda dan pembantu-pembantu raja-raja tradisional
yang dianggap kafir.para petani dan ulama lokaln menganggap gerakan itu sebagai
perang suci ,perang terhadap kafir. Di antara gerakan protes petani local yang
dianggap terbesar adalah yang terjadi di Cilegon tahun 1888 M.
Faktor
pendorong terjadinya gerakan-gerakan protes ini ,antara lain situasi Kolonial yang menghimpit kehidupan
rakyat,kondisi yang brtentangan dengan kaidah-kaidah agama Islam, pelarangan
umat islam melakukan ibadah, tindakan yang semena-mena, penggusuran tanah milik
rakyat yang subur untuk tanaman tebu,kerja paksa, pajak yang memeras, penderitaan
rakyat akibat ketidak adilan dan pemerasan tuan tanah, penumpukan rasa dendam, rasa
kecewa, tekanan ekonomi yang sangat berat yang kemudian dipersatukan dengan
semangat jihad menjadi gerakan fanatic
dan radikal.
Islam juga
akan dijadikan peletak landasan kesamaan, pengikat persatuan, sebagaimana yang
diperjuangkan oleh syarit islam (SI), bangsa islam yang mengawali perasaan
kebangsaan sampai pengertian nasionalisme Indonesia ditemukan. Dikalangan rakyat, berkuasanya
colonial dirasakan sangat berat karena terjadinya eksploitasi hasil bumi rakyat
untuk kepentingan VOC. Dalam kondisi seperti ini rakyat bergabung dengan
pemimpin nonformal kiai ulama dan bangsawan yang menggalang rakyat untuk
melawan dan berjuang atas nama agama. Terjadilah perang faderi (1821-1837)
dipelopori imam bonjol dibantu delapan ulama, perang Aceh (1873-1904) dipimpin
panglima polim yang didukung oleh para ulama, haji dan muslim aceh.
Walaupun sejarah mencatatkan bahwa kekejaman
penjajahan Belanda di Indonesia cukup di rasakan rakyat terutama oleh kalangan
umat Islam yang tidak diberikan ruang gerak yang cukup namun ada salah satu
yang berhasil didirikan oleh pemerintahan Belanda untuk melindungi hak-hak
masyarakat Muslim yaitu pendirian Peradilan Agama. Pada Tahun 1882, melalui Staatsblad
No. 152 Tahun 1882, tentang pendirian Radd Agama (yang menjadi cikal bakal
Peradilan Agama) untuk Jawa dan Madura. Dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152, ini
ditetapkan bahwa yang menjadi kewenangan absolutya adalah: [4]
a.
Perkara-perkara
yang berhubungan dengan pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah dan
perwalian.
b.
Warisan.
c.
Waqaf.
Kemudian dengan adanya Staatsblad tahun 1937 No. 116,
yang mulai berlaku tanggal 1 April 1937, kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi.
Sejak saat itulah kekuasaan Pengadilan Agama hanya sebatas pada:
a.
Perselisihan
antara suami istri yang beragama Islam.
b.
Perkara-perkara
tentang; nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang beragama Islam
yang memerlukan hakim Agama Islam.
c.
Memberi
keputusan perceraian.
d.
Menyatakan
bahwa syarat untuk jatuhnya ta’likut thalak sudah ada.
e.
Perkara mahar.
f.
Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang
wajib diadakan oleh suami.
Dengan demikian perkara-perkara seperti:
a.
Perselisihan
soal warisan.
b.
Pembagian harta
warisan.
c.
Waqaf.
d.
Hadhanah
(pemeliharaan anak) dan lain sebagainya.,
Yang sebelum tanggal 1 April 1937 dapat diurus dan
diputus oleh Pengadilan Agama menjadi kompeten Pengadilan Negeri. Dalam
prakteknya Hakim Pengadilan Negeri meminta fatwa kepada Hakim Pengadilan Agama
Islam hal-hal menyangkut dengan cara-cara membagi harta warisan dan lain-lain
yang erat hubungannya, bagi umat Islam, dan kemudian hakim Pengadilan
Negeri-lah yang mengeluarkan keputusannya.
Dimasukannya kewarisan dalam Radd Agama pada waktu itu
agaknya mengikuti pakar hukum Belanda yang bernama W. Van den Berg dengan
teorinya yang populer dengan sebutan “receptio in complexu” yang berarti
menerima agama secara menyeluruh. Maksudnya bila seseorang telah menganut agama
Islam, maka ia akan menjalankan semua ajarannya termasuk kewarisan.
Pada masa toeri ini berlaku, hukum Islam bagi orang
Islam dikenal dengan istilah godsdienstige wettern. Pada masa ini pula
muncul adanya pembentukan Pengadilan Agama (priesteraad) disamping
Pengadilan Negeri (laandraad), yang sebelumnya didahului penyusunan
kitab-kitab yang berisi hukum-hukum Islam.[5]
Kemudian teori tentang receptio in complexu ditentang oleh Van
Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru, yaitu teori receptie
yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentang
dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk
berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum
adat. Oleh karenanya menurut hukum tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak
dapat diberlakukan, karena belum diterima atau bertentangan dengan hukum adat.
Eksistensi teori ini kemusian dikokohkan melalui pasal
134 I.S. yang menyatakan bahwa bagi orang pribumi kalau mereka menghendaki,
diberlakukan hukum Islam, selama hukum itu telah diterima masyarakat hukum
adat. Akibat dari adanya teori receptie ini ternyata dapat mengeliminasi
kewenangan peradilan agama, sehingga perkara waris misalnya kemudian menjadi
kewenangan pengadilan umum. (landrat). [6]
Teori receptie ini menurut
Prof. Hazairin adalah teori iblis. Ungkapan Haizirin ditujukan pula kepada
tidak sahnya lagi pasal 134 (2) I.S (yang berasal dari tahun 1929) itu
dijadikan dasar juga bagi pengaturan hukum di Indonesia. [7] Lalu lahirlah teori receptie exit, yaitu
keluar dari teori receptie. Para pimpinan Islam menentang teori receptie-nya
Snouk Hurgronje yang mensyaratkan berlakunya hukum Islam dengan mengikuti hukum
adat. Penentangan ini memunculkan piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada
tanggal 22 Juni 1942.
Piagam Jakarta merupakan rancangan
Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun dan lahir dengan kesepakatan sembilan
tokoh. Delapan diantaranya beragama Islam. Menurut Bung Karno, ini merupakan
hasil kompromi antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. [8] Kemudian lahir teori Recetio A Contrario. Teori
merupakan kebalikan dari teori receptie. Yaitu hukum adat baru berlaku
kalau kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sebagai contoh di Aceh
menghendaki soal perkawinan dan waris diatur dengan hukum Islam. Jika ada adat
yang mengatur soal itu, boleh saja asal tidak bertentang dengan hukum Islam.
Lalu lahir teori eksistensi. Teori ini merupakan teori yang menjelaskan bahwa
ada hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia. Menurut teori ini, keberadaan
hukum Islam dalam tata hukum nasional menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya. Bahkan merupakan beban utama hukum nasional.
Hal inilah yang merupakan salah satu
keberhasilan politik hukum Islam pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Walaupun saat itu Indonesia dalam penguasaan Belanda dan bukan beragama Islam
tetapi mereka pernah mencatatkan sejarah dalam pembentukan Pengadilan Agama dan
penerapan Hukum Islam di Indonesia yang sampai saat ini masih tetap ada untuk
mengatur kehidupan umat Islam di Indonesia, walaupun sudah ada perubahan baik
bentuk peradilannya, ruang lingkup, dan wewenangnya.
2.
Sejarah Politik Hukum Islam Masa
Penjajahan Jepang Di Indonesia
Sebagai penjajah Jepang
jauh lebih kejam dari Belanda. Jepang merampas semua harta milik rakyat untuk
kepemtingan perang sehingga rakyat mati kelaparan. Pada masa Belanda ada
istilah kerja rodi maka dizaman Jepang menjadi romusa jika kerja rodi masih
bekerja paksa dikampung sendiri maka romusa dikirim jauh sampai kepedalaman
Burma dan Thailand untuk membangun jalur kereta api yang menhhubungkan
Birma-Bangkok melalui Konbury. Para romusa diperlakukan sangat buruk makan
kurang smentaradipaksa kerja dengan keras. Diantara tiga ratus ribu romusa yang
dikirim keluar negeri hanya tujuh puluh ribu yang pulang dengan selamat setelah
perang selesai.
Islam akan dihapus dan
diganti dengan agama Shinto oleh karena itu bahasa dan aksara arab dilarang, walaupun nanti larangan itu
dicabut ketika Jepang sudah kepepet hampir kalah. Jepang sebenarnya lebih kafir
daripada Belanda. Jepang mempunyai tujuan untuk me-Nippon-kan Indonesia kalau Belanda
menjadikan bangsa Indonesia Irlander penduduk kelas dua Jepang ingin
menghilangkan kebangsaan Indonesia menjadi Nippon.
Namun rencana
Jepang untuk menghapus Islam dan mengubah kebangsaan Indonesia menjadi Nippon
itu tidak berhasil dilakukan. Karena gerakan Pemerintahan Jepang saat itu ternyata bangsa Indonesia cepat sadar
bahwa Jepang mempunyai tujuan yang sangat buruk
ingin me-Nippon-kan bangsa Indonesia. Umat Islam Indonesia juga sadar bahwa Jepang
ingin menghapus Islam menggantinya
dengan sintoisme. Walaupun telah dilatih dengan kemusyirikan, tetapi akhirnya muslim Indonesia melawan baik dengan keras
maupun dengan lunak, yang akhirnya pemerintahan Jepang meminta maaf dan mengkaji kembali
rencana yang telah mereka susun.
Dalam aspek
perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perubahan
yang mendasar tentang posisi peradilan agama. Karena berdasarkan peraturan tang
dikeluarkan pemerintah Bala Tentara melalui dekritnya No. 1 Tahun 1942
menyatakan, bahwa, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua
undang-undang, tata hukum, dan semua peraturan dari tata pemerintahan yang lama
dianggap masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak diketahui selama tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang.
Kemudian
Dekrtit No. 14 Tahun 1942 tanggal 29 April menetapkan bahwa susunan peradilan
sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja
nama-namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang, untuk
nama kedudukan para pejabat dan nama kantor, sementara fungsi dan wewenangnya
sama dengan masa kolonial Belanda. Penggantian nama terjadi, misalnya
Pengadilan Distrik diganti dengan Gun Hooin, Pengadilan Kabupaten
diganti dengan Ken Hooin, Rad Fan Justitie (Pengadilan Negeri) diganti
dengan Tiboo Hooin, sementara Pengadilan Agama diganti dengan nama Sooryo
Hooin.
Kemudian UU
No. 34 Tahun 1942 tanggal 26 September
1942 mencabut dekrit No. 14 Tahun 1942, dan menetapkan tetap berlakunya semua
peradilan yang sudah ada dengan tambahan berdirinya kembali Kooto Hooin [9] dan Saiko Hooin [10] dengan tugas dan
wewenangnya yang pada waktu sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Pada masa
pendudukan Jepang, meski belum sempat diterapkan, kedudukan peradilan agama
pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945. Kebijakan tersebut
kemudian dibatalkan, karena tindakan tersebut merusak ketenteraman konsentrasi Jepang.
Oleh karena itu, Jepang memilih untuk tidak ikut campur soal soal urusan agama
umat. [11]
Pengaruh
politik Jepang pada masa penjajahannya di Indonesia dapat terlihat memang tidak
terlalu banyak berpengaruh terhadap penerapan hukum Islam di Indonesia. Sebab
yang terasa pada saat itu adalah masa-masa penjajahannya yang dikenal sangat
kejam terhadap masyarakat Indonesia dan penajajahannya pun hanya berlangsung
singkat. Sehingga eksistensi dari penjajahan Jepang dalam penerapan hukum Islam
di Indonesia tidak terlalu nampak karena konsentrasi terpecah dan Masyarakat
Indonesia terus melakukan perlawanan untuk mengharapkan Kemerdekaan hingga
akhirnya pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan Kemerdekaan. Walaupun begitu
perubahan pada nama pengadilan saat itu juga merupakan sedikit kontribusi Jepang
dalam pengembangan dan penerapan Hukum Islam di Indonesia.
C. Kesimpulan
Dari
uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Politik
Hukum Islam pada masa penjajahan Belanda di Indonesia mampu membuahkan hasil
yang baik dalam hal mendukung hak-hak umat Islam dalam penerapan Hukum Islam
walaupun ditengah perang yang terjadi saat itu antara pemerintahan Belanda
dengan rakyat Indonesia. Salah satu yang berhasil pada masa penjajahan Belanda
adalah dengan membentuk Peradilan Agama sebagai tempat umat Islam untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah Perkawinan,
perceraian, rujuk, mahar, nafkah, wali, warisan, wakaf, dan hadhanah. Hal ini
merupakan hasil dari campur tangan pemerintahan kolonial Belanda yang sampai
dengan saat ini masih tetap ada walaupun sudah ada perubahannya.
2. Pada masa Jepang berkuasa dan
menjajah Indonesia perlawanan yang sama juga terjadi untuk menentang kebijakan
pemerintahan Jepang yang punya rencana untuk menghapus Islam dan mengubah
kebangsaan Indonesia menjadi Nippon namun hal itu tidak berhasil. Pada masa
penjajahan Jepang hukum Islam masih tetap melanjutkan apa yang sudah pernah
diterapkan pada masa pemerintahan Belanda dengan sedikit perubahan pada nama
yang digunakan yang menyesuaikan dengan bahasa Jepang. Pengaruh politik Jepang
pada saat itu memang tidak terlalu terasa, karena tidak ada sesuatu hal yang
baru yang mampu dihasilkan dalam penerapan hukum Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur Ansari, Peradilan
Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Cet. I; (Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 13-14.
Abdul Hali, Peradilan Agama Dalam
Politik Hukum Islam di Indonesia, Cet. 2; (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
Aulia Muthia, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, Cet. 1,
(Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2017)
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004).
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet. 2; (Bandung: PT Al
Ma’arif, 1981), h. 28-29.
Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di
Indonesia, Cet. 1; (Jakarta: Rajawali Press, 2014).
Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di
Indonesia, Cet. I; (Jakarta: BP
IBLAM, 2004).
Sudirman
Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum
Keluarga dan Pengkodifikasiannya Cet. I; (Bandung: t.p., 1993).
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario:
Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1985).
[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004), h. 2.
[2] Mardani, Hukum
Kewarisan Islam Di Indonesia, Cet. 1; (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 136-137..
[3] Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam
di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya Cet. I; (Bandung: t.p., 1993), h. 13.
[6] Abdul Ghafur Ansari, Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun
2006, Cet. I; (Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 13-14.
[7] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan
Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1985), h. 59.
[10] Yaitu pengadilan tertinggi yang mengadili perkara
pidana bagi pejabat tinggi yang juga merupakan pengadilan banding baik untuk
perkara perdata maupun pidana.
[11] Abdul Hali, Peradilan
Agama Dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, Cet. 2; (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 67-69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar