Minggu, 20 Mei 2018

Politik Hukum Islam Masa Kolonial Belanda Dan Jepang


POLITIK HUKUM ISLAM PADA MASA KOLONIAL BELANDA DAN JEPANG  


Oleh
Jusuf A. Lakoro
NIM 16 2011 018


Dosen Pemandu

DR. RIZAL DARWIS, M.H.I

    

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SULTAN AMAI GORONTALO
2017
A.      Latar Belakang Masalah
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan tahun 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada abad ke-7/ke-8 Masehi. Pendapat lain mengatakan Islam masuk ke nusantara ini pada abad ke-13 Masehi.[1] Sejak saat itu Islam mulai dikembangkan dan diterapkan diseluruh wilayah Indonesia.
Proses masuknya dan tersebarnya Islam ke Indonesia dengan cara-cara damai tanpa adanya kekerasan. Cara damai tersebut dibuktikan dengan cara sebagai berikut: [2]
1.    Melalui perdagangan/bisnis. Para pedagang muslim berfungsi sebagai penyebar Islam, mereka sudah ada di nusantara sejak abad ke-7 dan ke-8 M.
2.    Melalui perkawinan. Bahwa poara pedagang muslim tersebut melakukan perkawinan dengan wanita setempat, sehingga sedikit demi sedikit terbentuknya keluarga muslim keturunan.
3.    Melalui pendidikan. Ulama menyebarkan Islam melalui pendidikan non formal seperti; pengajian di surau, dan di masjid, serta mendirikan pesantren.
4.    Melalui kesenian. Ulama dalam menyebarkan Islam juga melalui pendekatan seni, seperti seni wayang, rebana, beduk, dan lain-lain.
5.    Melalui politik. Yang dimaksud dengan melalui politik, yaitu melalui pendirian kerajaan-kerajaan Islam.
Dengan beberapa pendekatan ini berkembanglah Islam hampir ke seluruh wilayah nusantara, dan berkembang pula kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti; Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, Kerajaan Tuban, Kerajaan Gresik-Giri, Kerajaan Banjar, dan Kerajaan Kutai.
Hukum Islam yang diterapkan diberbagai negara yang berpenduduk muslim mempunyai ciri dan model yang berbeda-beda dalam hal penerapannya. Di negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam berbeda nuansanya dengan negara yang relatif berimbang antara setiap pemeluknya, misalnya negara tersebut memiliki pluralitas agama dan dominasi penguasa juga amat berpengaruh terhadap kebijaksanaan hukum suatu negara. Karenanya implementasi hukum Islam di negara-negara muslim bukan hanya terletak pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga ditentukan oleh sistem yang dikembangkan oleh negara tersebut, sebab berlakunya hukum disuatu negara itu sangat dipengaruhi oleh pemerintahan yang berkuasa dan model penerapannya pun bisa jadi berubah-ubah tergantung dari pemerintahannya.
Penerapan hukum Islam dalam setiap negara yang memberlakukan hukum Islam juga pada dasarnya di pengaruhi oleh sistem politik yang berkembang di negara tersebut. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak yang juga menerapkan hukum Islam sebagai hukum agama dan hukum positif yang berlaku sampai saat ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Pengaruh politik hukum Islam ini tidak hanya terjadi pada masa kejayaan Islam masuk ke Indonesia, tetapi juga di pengaruhi oleh sejarah kelam masa penjajahan Indonesia yang beberapa abad menjadi negara jajahan Belanda dan Jepang yang sangat terasa oleh rakyat dan para pejuang kemerdekaan saat itu yang berusaha untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sejak masa penjajahan itu hukum Islam memang sudah mulai dikembangkan di negara ini walaupun belum sepenuhnya berjalan dengan mulus karena pengaruh penjajahan yang masih terus berlangsung.
 Masa penjajahan Belanda dan Jepang merupakan masa yang sangat sulit untuk Indonesia bangkit dan membangun negara ini dengan baik, sebab semua wilayah dan rakyat dalam kekuasaan para penjajah. Walaupun begitu hukum Islam perlahan-lahan tetap tumbuh dan berkembang ditengah masa penjajahan yang terjadi dengan adanya perlawanan dari umat Islam saat itu yang merasa semakin disingkirkan oleh para penjajah. Kekuatan hukum adat pada masa itu tidak menjadikan semangat untuk mengembangkan hukum Islam itu surut, sebab hukum adat dipandang sebagai hukum yang murni lahir dari peradaban manusia yang tidak akan berpengaruh pada perkembangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, sehingga sampai dengan saat ini hukum adat masih tetap tumbuh dan berkembang di masyarakat adat Indonesia.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia ini, terutama pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika. Sehingga makalah ini akan menguraikan setiap rincian sejarah politik hukum Islam di Tanah air terutama pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Berdasarkan uraian latar belakang maka dapat diangkat fokus masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1.        Bagaimana sejarah politik hukum Islam pada masa penjajahan Belanda di Indonesia ?
2.        Bagaimana sejarah politik hukum Islam pada masa penjajahan Jepang di Indonesia ?

B.       Pembahasan
1.             Sejarah Politik Hukum Islam Masa Penjajahan Belanda Di Indonesia
Agama Islam berkembang di Indonesia berlangsung selama berabad-abad. Pemeluk-pemeluk agama Islam di Indonesia yang pertama meliputi para pedagang yang segera disusul orang-orang kota baik dari lapisan atas maupun lapisan bawah. Menganut agama Islam merupakan senjata bagi mereka untuk melawan musuh dari luar dan dari dalam. Bahaya dari dalam adalah masuknya agresor-agresor perdagangan dan agama Barat di kawasan Asia Tenggara yaitu orang-orang Portugis yang muncul sebagai unsur kekuasaan di Asia Tenggara pada permulaan abad ke-16. Sementara Hukum Islam berkembang bersamaan dengan masuknya Islam di negara ini. Sebagai hukum yang hidup dalam kehidupan umat Islam, maka hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan umat, sehingga hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang dipaksakan dari luar diri masing-masing pemeluknya. [3]
Persaingan dan perang-perang perebutan tahta antara penguasa yang telah menjadi Islam tidak jarang memberikan kesempatan kepada orang Portugis dan Belanda atau menciptakan alasan mencampuri urusan politik Indonesia. Namun, kebanyakan perlawanan yang dijumpai Portugis dan Belanda menggumpal sekitar agama Islam. Islam tetap melanjutkan perananannya selama berabad-abad sebagai pusat perlawanan terhadap campur tangan Barat dan kelak terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Di sebagian besar pulau Jawa, Islam dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan tradisi-tradisi yang telah berabad-abad umurnya, sebagian tradisi penduduk asli, sebagian tradisi Hindu-Budha, dan dalam prosesnya banyak kehilangan kelakuan doktrinernya, termasuk di dalamnya penerapan hukum waris adat yang masih terbawa oleh suasana dan tradisi masyarakat sebelum Islam.  
Pada tahun 1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau Jawa dengan perjanjian Giyanti,oleh karna itu raja Jawa pada saat itu kehilangan kekuasaan politiknya. Bahkan kebiwaan raja jawa pada saat itu sangat tergantung kepada VOC. Pada saat itu campur tangan kolonial terhadap kehidupan karaton makin meluas, sehingga ulama-ulama keraton sebagai penasihat raja-raja tersingkir. Sehingga sejak saat itu perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat muslim semakin kuat kepada pemerintahan Belanda.
Ketika penjajah Belanda semakin meluas,maka muncullah gerakan protes petani dipimpin ulama lokal untuk melawan Belanda dan pembantu-pembantu raja-raja tradisional yang dianggap kafir.para petani dan ulama lokaln menganggap gerakan itu sebagai perang suci ,perang terhadap kafir. Di antara gerakan protes petani local yang dianggap terbesar adalah yang terjadi di Cilegon tahun 1888 M.
Faktor pendorong terjadinya gerakan-gerakan protes ini ,antara lain  situasi Kolonial yang menghimpit kehidupan rakyat,kondisi yang brtentangan dengan kaidah-kaidah agama Islam, pelarangan umat islam melakukan ibadah, tindakan yang semena-mena, penggusuran tanah milik rakyat yang subur untuk tanaman tebu,kerja paksa, pajak yang memeras, penderitaan rakyat akibat ketidak adilan dan pemerasan tuan tanah, penumpukan rasa dendam, rasa kecewa, tekanan ekonomi yang sangat berat yang kemudian dipersatukan dengan semangat jihad  menjadi gerakan fanatic dan radikal.
Islam juga akan dijadikan peletak landasan kesamaan, pengikat persatuan, sebagaimana yang diperjuangkan oleh syarit islam (SI), bangsa islam yang mengawali perasaan kebangsaan sampai pengertian nasionalisme Indonesia ditemukan. Dikalangan rakyat, berkuasanya colonial dirasakan sangat berat karena terjadinya eksploitasi hasil bumi rakyat untuk kepentingan VOC. Dalam kondisi seperti ini rakyat bergabung dengan pemimpin nonformal kiai ulama dan bangsawan yang menggalang rakyat untuk melawan dan berjuang atas nama agama. Terjadilah perang faderi (1821-1837) dipelopori imam bonjol dibantu delapan ulama, perang Aceh (1873-1904) dipimpin panglima polim yang didukung oleh para ulama, haji dan muslim aceh.
Walaupun sejarah mencatatkan bahwa kekejaman penjajahan Belanda di Indonesia cukup di rasakan rakyat terutama oleh kalangan umat Islam yang tidak diberikan ruang gerak yang cukup namun ada salah satu yang berhasil didirikan oleh pemerintahan Belanda untuk melindungi hak-hak masyarakat Muslim yaitu pendirian Peradilan Agama. Pada Tahun 1882, melalui Staatsblad No. 152 Tahun 1882, tentang pendirian Radd Agama (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk Jawa dan Madura. Dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152, ini ditetapkan bahwa yang menjadi kewenangan absolutya adalah: [4]
a.       Perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah dan perwalian.
b.      Warisan.
c.       Waqaf.
Kemudian dengan adanya Staatsblad tahun 1937 No. 116, yang mulai berlaku tanggal 1 April 1937, kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi. Sejak saat itulah kekuasaan Pengadilan Agama hanya sebatas pada:
a.    Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
b.    Perkara-perkara tentang; nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang beragama Islam yang memerlukan hakim Agama Islam.
c.    Memberi keputusan perceraian.
d.   Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya ta’likut thalak sudah ada.
e.    Perkara mahar.
f.      Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan demikian perkara-perkara seperti:
a.    Perselisihan soal warisan.
b.    Pembagian harta warisan.
c.    Waqaf.
d.   Hadhanah (pemeliharaan anak) dan lain sebagainya.,
Yang sebelum tanggal 1 April 1937 dapat diurus dan diputus oleh Pengadilan Agama menjadi kompeten Pengadilan Negeri. Dalam prakteknya Hakim Pengadilan Negeri meminta fatwa kepada Hakim Pengadilan Agama Islam hal-hal menyangkut dengan cara-cara membagi harta warisan dan lain-lain yang erat hubungannya, bagi umat Islam, dan kemudian hakim Pengadilan Negeri-lah yang mengeluarkan keputusannya.
Dimasukannya kewarisan dalam Radd Agama pada waktu itu agaknya mengikuti pakar hukum Belanda yang bernama W. Van den Berg dengan teorinya yang populer dengan sebutan “receptio in complexu” yang berarti menerima agama secara menyeluruh. Maksudnya bila seseorang telah menganut agama Islam, maka ia akan menjalankan semua ajarannya termasuk kewarisan.
Pada masa toeri ini berlaku, hukum Islam bagi orang Islam dikenal dengan istilah godsdienstige wettern. Pada masa ini pula muncul adanya pembentukan Pengadilan Agama (priesteraad) disamping Pengadilan Negeri (laandraad), yang sebelumnya didahului penyusunan kitab-kitab yang berisi hukum-hukum Islam.[5]
Kemudian teori tentang  receptio in complexu ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru, yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentang dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut hukum tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan, karena belum diterima atau bertentangan dengan hukum adat.
Eksistensi teori ini kemusian dikokohkan melalui pasal 134 I.S. yang menyatakan bahwa bagi orang pribumi kalau mereka menghendaki, diberlakukan hukum Islam, selama hukum itu telah diterima masyarakat hukum adat. Akibat dari adanya teori receptie ini ternyata dapat mengeliminasi kewenangan peradilan agama, sehingga perkara waris misalnya kemudian menjadi kewenangan pengadilan umum. (landrat). [6]
Teori receptie ini menurut Prof. Hazairin adalah teori iblis. Ungkapan Haizirin ditujukan pula kepada tidak sahnya lagi pasal 134 (2) I.S (yang berasal dari tahun 1929) itu dijadikan dasar juga bagi pengaturan hukum di Indonesia. [7] Lalu lahirlah teori receptie exit, yaitu keluar dari teori receptie. Para pimpinan Islam menentang teori receptie-nya Snouk Hurgronje yang mensyaratkan berlakunya hukum Islam dengan mengikuti hukum adat. Penentangan ini memunculkan piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada tanggal 22 Juni 1942.
Piagam Jakarta merupakan rancangan Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun dan lahir dengan kesepakatan sembilan tokoh. Delapan diantaranya beragama Islam. Menurut Bung Karno, ini merupakan hasil kompromi antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. [8] Kemudian lahir teori Recetio A Contrario. Teori merupakan kebalikan dari teori receptie. Yaitu hukum adat baru berlaku kalau kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sebagai contoh di Aceh menghendaki soal perkawinan dan waris diatur dengan hukum Islam. Jika ada adat yang mengatur soal itu, boleh saja asal tidak bertentang dengan hukum Islam. Lalu lahir teori eksistensi. Teori ini merupakan teori yang menjelaskan bahwa ada hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia. Menurut teori ini, keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Bahkan merupakan beban utama hukum nasional.
Hal inilah yang merupakan salah satu keberhasilan politik hukum Islam pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Walaupun saat itu Indonesia dalam penguasaan Belanda dan bukan beragama Islam tetapi mereka pernah mencatatkan sejarah dalam pembentukan Pengadilan Agama dan penerapan Hukum Islam di Indonesia yang sampai saat ini masih tetap ada untuk mengatur kehidupan umat Islam di Indonesia, walaupun sudah ada perubahan baik bentuk peradilannya, ruang lingkup, dan wewenangnya. 
2.             Sejarah Politik Hukum Islam Masa Penjajahan Jepang Di Indonesia
Sebagai penjajah Jepang jauh lebih kejam dari Belanda. Jepang merampas semua harta milik rakyat untuk kepemtingan perang sehingga rakyat mati kelaparan. Pada masa Belanda ada istilah kerja rodi maka dizaman Jepang menjadi romusa jika kerja rodi masih bekerja paksa dikampung sendiri maka romusa dikirim jauh sampai kepedalaman Burma dan Thailand untuk membangun jalur kereta api yang menhhubungkan Birma-Bangkok melalui Konbury. Para romusa diperlakukan sangat buruk makan kurang smentaradipaksa kerja dengan keras. Diantara tiga ratus ribu romusa yang dikirim keluar negeri hanya tujuh puluh ribu yang pulang dengan selamat setelah perang selesai.
Islam akan dihapus dan diganti dengan agama Shinto oleh karena itu bahasa dan aksara arab dilarang, walaupun nanti larangan itu dicabut ketika Jepang sudah kepepet hampir kalah. Jepang sebenarnya lebih kafir daripada Belanda. Jepang mempunyai tujuan untuk me-Nippon-kan Indonesia kalau Belanda menjadikan bangsa Indonesia Irlander penduduk kelas dua Jepang ingin menghilangkan kebangsaan Indonesia menjadi Nippon.
Namun rencana Jepang untuk menghapus Islam dan mengubah kebangsaan Indonesia menjadi Nippon itu tidak berhasil dilakukan. Karena gerakan Pemerintahan Jepang saat itu ternyata bangsa Indonesia cepat sadar bahwa Jepang mempunyai tujuan yang sangat buruk ingin me-Nippon-kan bangsa Indonesia. Umat Islam Indonesia juga sadar bahwa Jepang ingin menghapus Islam menggantinya dengan sintoisme. Walaupun telah dilatih dengan kemusyirikan, tetapi akhirnya muslim Indonesia melawan baik dengan keras maupun dengan lunak, yang akhirnya pemerintahan Jepang meminta maaf dan mengkaji kembali rencana yang telah mereka susun.
Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang posisi peradilan agama. Karena berdasarkan peraturan tang dikeluarkan pemerintah Bala Tentara melalui dekritnya No. 1 Tahun 1942 menyatakan, bahwa, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum, dan semua peraturan dari tata pemerintahan yang lama dianggap masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak diketahui selama tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang.
Kemudian Dekrtit No. 14 Tahun 1942 tanggal 29 April menetapkan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja nama-namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang, untuk nama kedudukan para pejabat dan nama kantor, sementara fungsi dan wewenangnya sama dengan masa kolonial Belanda. Penggantian nama terjadi, misalnya Pengadilan Distrik diganti dengan Gun Hooin, Pengadilan Kabupaten diganti dengan Ken Hooin, Rad Fan Justitie (Pengadilan Negeri) diganti dengan Tiboo Hooin, sementara Pengadilan Agama diganti dengan nama Sooryo Hooin.
Kemudian UU No. 34  Tahun 1942 tanggal 26 September 1942 mencabut dekrit No. 14 Tahun 1942, dan menetapkan tetap berlakunya semua peradilan yang sudah ada dengan tambahan berdirinya kembali Kooto Hooin [9] dan Saiko Hooin [10] dengan tugas dan wewenangnya yang pada waktu sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, meski belum sempat diterapkan, kedudukan peradilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945. Kebijakan tersebut kemudian dibatalkan, karena tindakan tersebut merusak ketenteraman konsentrasi Jepang. Oleh karena itu, Jepang memilih untuk tidak ikut campur soal soal urusan agama umat. [11]    
Pengaruh politik Jepang pada masa penjajahannya di Indonesia dapat terlihat memang tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap penerapan hukum Islam di Indonesia. Sebab yang terasa pada saat itu adalah masa-masa penjajahannya yang dikenal sangat kejam terhadap masyarakat Indonesia dan penajajahannya pun hanya berlangsung singkat. Sehingga eksistensi dari penjajahan Jepang dalam penerapan hukum Islam di Indonesia tidak terlalu nampak karena konsentrasi terpecah dan Masyarakat Indonesia terus melakukan perlawanan untuk mengharapkan Kemerdekaan hingga akhirnya pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan Kemerdekaan. Walaupun begitu perubahan pada nama pengadilan saat itu juga merupakan sedikit kontribusi Jepang dalam pengembangan dan penerapan Hukum Islam di Indonesia.
C.      Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Politik Hukum Islam pada masa penjajahan Belanda di Indonesia mampu membuahkan hasil yang baik dalam hal mendukung hak-hak umat Islam dalam penerapan Hukum Islam walaupun ditengah perang yang terjadi saat itu antara pemerintahan Belanda dengan rakyat Indonesia. Salah satu yang berhasil pada masa penjajahan Belanda adalah dengan membentuk Peradilan Agama sebagai tempat umat Islam untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah Perkawinan, perceraian, rujuk, mahar, nafkah, wali, warisan, wakaf, dan hadhanah. Hal ini merupakan hasil dari campur tangan pemerintahan kolonial Belanda yang sampai dengan saat ini masih tetap ada walaupun sudah ada perubahannya. 
2.    Pada masa Jepang berkuasa dan menjajah Indonesia perlawanan yang sama juga terjadi untuk menentang kebijakan pemerintahan Jepang yang punya rencana untuk menghapus Islam dan mengubah kebangsaan Indonesia menjadi Nippon namun hal itu tidak berhasil. Pada masa penjajahan Jepang hukum Islam masih tetap melanjutkan apa yang sudah pernah diterapkan pada masa pemerintahan Belanda dengan sedikit perubahan pada nama yang digunakan yang menyesuaikan dengan bahasa Jepang. Pengaruh politik Jepang pada saat itu memang tidak terlalu terasa, karena tidak ada sesuatu hal yang baru yang mampu dihasilkan dalam penerapan hukum Islam di Indonesia.















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur Ansari, Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Cet. I; (Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 13-14.
Abdul Hali, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, Cet. 2; (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
Aulia Muthia, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, Cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2017)
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004).
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet. 2; (Bandung: PT Al Ma’arif, 1981), h. 28-29.
Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Cet. 1; (Jakarta: Rajawali Press, 2014).
Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: BP IBLAM, 2004).
Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya Cet. I; (Bandung: t.p., 1993).
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1985).




[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004), h. 2.
[2] Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Cet. 1; (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 136-137..
[3] Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya Cet. I; (Bandung: t.p., 1993), h. 13.
[4] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet. 2; (Bandung: PT Al Ma’arif, 1981), h. 28-29.
[5] Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: BP IBLAM, 2004), h. 23.
[6] Abdul Ghafur Ansari, Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Cet. I; (Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 13-14.
[7] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1985), h. 59.
[8] Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: BP IBLAM, 2004), h. 24.
[9] Yaitu pengadilan biasa untuk perkara perdata dan pidana untuk golongan Eropa termasuk Tionghoa.
[10] Yaitu pengadilan tertinggi yang mengadili perkara pidana bagi pejabat tinggi yang juga merupakan pengadilan banding baik untuk perkara perdata maupun pidana.
[11] Abdul Hali, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, Cet. 2; (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 67-69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar