Minggu, 20 Mei 2018

Daya Serap Hukum Islam Di Indonesia


DAYA SERAP HUKUM ISLAM DI INDONESIA
DALAM BIDANG PUBLIK DAN PRIVAT
(Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi)
Jusuf A. Lakoro, S.HI.,MH.


A.     Pendahuluan
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law. Dalam al-Qur’an maupun sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah kata syari’ah yang dalam penjabarannya kemudian lahirlah istilah fiqh. [1]
Adapun yang dimaksud dengan hukum Perdata Islam di Indonesia adalah merupakan hukum privat materiil, yaitu hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Hukum perdata islam lebih banyak mengatur tentang hubungan-hubungan kekeluargaan, meliputi perkawinan dengan istilah akibat hukumnya, tentang diri seseorang, kekayaan antara suami istri, kewajiban dan hak orang tua terhadap anak, perwalian, perpindahan harta, apakah pada saat pemilik masih hidup atau sudah mati, wakaf, hibah, shadaqah, dan lain-lain.
Makna hukum Islam di Indonesia dapat diambil dari beberapa istilah yang dikenal dalam perkembangan hukum Islam, seperti attasyri’, al-fiqh, dan al-qanun. Pada hirarki pertama, pengertian kita tentang norma atau kaidah hukum Islam itu bersifat konkret dan kontan yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari Allah s.w.t. melalui Rasulullah s.a.w., yang langsung menjadi jawaban atas pertanyaan yang timbul atau langsung menjadi solusi terhadap aneka persoalan yang terjadi di masa kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Pada waktu itu, setiap wahyu yang mengandung norma hukum, baik yang berisi kaidah larangan  (haromat), kewajiban (fard atau wajibat), anjuran positif (sunnah), anjuran negatif (makruh), ataupun kebolehan (ibahah), dapat langsung kita sebut sebagai norma hukum (al-ahkam) yang dikemudian hari, ketika umat Islam membutuhkan identitas pembeda, disebut hukum Islam. [2]
Pada hirarki makna kedua, pengertian hukum Islam dapat diartikan sebagai masa sepeninggal Rasulullah s.a.w., ketika dibutuhkan usaha pengumpulan dan penulisan wahyu ilahi itu kedalam satu naskah yang perkembangan selanjutnya disebut disebut dengan istilah qanun. [3]
Secara garis besar hukum Islam terbagi atas dua yaitu; pertama, fikih ibadah meliputi aturan tentang shalat, pauasa, zakat, haji, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhannya, yang biasa disebut dengan hukum privat. Kedua, fikih muamalat, mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, seperti perikatan dalam perdagangan, perbankan, pelaksanaan hukum, dan aturan lainnya, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan, yang biasa disebut dengan hukum publik. [4]
Dibalik eksistensi pembaharuan hukum Islam yang semakin berkembang ini, maka semakin banyak pula tantangan yang dihadapi terutama permasalahan dalam perkawinan, yang berdasarkan fakta penelitian tiap dua juta perkawinan di Indonesia terdapat dua ratus ribu perceraian yang terjadi. Hal ini menjadi masalah karena hadirnya regulasi yang mengatur tentang perkawinan justru malah semakin menambah angka perceraian bukan menguranginya.[5]
Berkembangnya pembaharuan hukum Islam di Indonesia ini dapat dilihat dari lahirnya berbagai macam aturan atau regulasi yang berkaitan langsung dengan hukum Islam sudah menjadi bagian dari hukum posistif di Indonesia, antara lain; UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dan masih banyak lagi. Hadirnya aturan-aturan ini menjadi bukti bahwa hukum Islam menjadi bagian dari perhatian pemerintahan khusus untuk mengatur mayoritas masyarakat muslim yang ada di Indonesia, dengan harapan segala aturan yang sudah dibuat ini mampu diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat muslim dalam rangka keteraturan tatanan, jaminan dan perlindungan masyarakat muslim itu sendiri.
Daya serap hukum Islam di Indonesia yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang telah di buat oleh pemerintah Indonesia sudah semakin berkembang, terutama dalam penerapan hukum positif yang semakin banyak menganut aturan Hukum Islam di dalamnya antara lain dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Undang-undang ini pada dasarnya lebih dikenal sebagai salah satu hukum positif di Indonesia, namun dalam penerapannya undang-undang ini secara tidak langsung lebih banyak menyerap aturan hukum Islam di dalamnya. Walaupun undang-undang ini menjadi kontroversial dan banyak mendapatkan penolakan pada masa di berlakukannya namun undang-undang ini tetap diberlakukan.
Berdasarkan uraian latar belakang ini, maka sangatlah menarik untuk membahas masalah yang berkaitan dengan hukum perdata di Indonesia, khususnya tentang daya serap hukum Islam dalam bidang publik dan bidang privat, untuk melihat sejauh mana daya serap hukum Islam dalam tata aturan hukum positif di Indonesia yang saat ini berlaku baik yang berhubungan dengan bidang publik maupun bidang privat.
B.       Pandangan Umum Tentang Undang-Undang Pornografi
Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".
Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal. UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR RI pada 30 Oktober 2008. Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" ke dalam definisi pornografi. [6]
Mendefinisikan pornografi masih merupakan batasan dari arti kata, karena sampai saat ini masih banyak perdebatan tentang devinisi dan batasan dari pornografi sendiri. Perdebatan ini muncul karena definisi pornografi menurut Neng Djbaidah selain dipengaruhi oleh tempat dan waktu, juga dipengaruhi oleh kondisi dan agama penduduk setempat. [7]
Secara etimologi, pornografi berasal dari kata Yunani porne, yaitu perempaun jalang dan graphein yang berarti menulis. [8] Sementara Ashadi Siregar mendefinisikan pornografi sebagai cara atau tindakan yang tidak memiliki makna spiritual dan tidak berdasarkan perasaan halus, tidak memiliki konteks dengan masalah medis dan keilmuan umumnya. [9]
Definisi pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. [10]
Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak Pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi. [11]
C.      Daya Serap Hukum Islam Pada Bidang Publik Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Pembaharuan hukum Islam di Indonesia, pada dasarnya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dari hukum Islam itu sendiri, yaitu untuk memenuhi tuntunan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah s.w.t. dan Rasul-Nya. Pembaharuan yang akan dilaksanakan harus didasarkan kepada mashlahah yang sesuai dengan prinsip-prinsip maqashidus syari’ah. Pendekatan yang diambil tidak boleh pada nilai-nilai yang bersifat sekuler dan menyimpang dari garis yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. Oleh karena itu, dalam rangka pembaharuan hukum Islam ini harus menampung semua aspirasi umat Islam, jauh dari perpecahan dan saling menghormati dalam memberi pendapat dan pandangan dalam rangka pembaharuan hukum Islam tersebut. [12]
Hukum Islam merupakan salah satu sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia, disamping hukum adat dan hukum barat. Dalam ajaran Islam, hukum Islam merupakan salah satu unsur agama Islam yang terkait erat dengan unsur akidah dan akhlak. [13] Hukum Islam (dalam pengertian syari’ah) mencakup bidang ibadah dan mu’amalah. Di bidang mu’amalah, hukum Islam mengatur hubungan manusia terhadap dirinya sendiri (antara lain akhlak), hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Salah satu aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang banyak menyerap aturan tentang hukum Islam adalah Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Awalnya undang-undang ini merupakan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi Pornoaksi (RUU APP), Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR. Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal.
Mengenai UU Pornografi yang telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2008, Walaupun banyak mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, namun secara tidak langsung UU ini banyak menyerap hukum Islam, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa banyak yang menolak UU ini terutama dari kalangan non muslim. Undang-undang ini teridiri dari 45 Pasal, yang didalamnya ada 16 pasal yang berlaku secara umum dan tidak ada hubungannya dengan aturan dalam hukum Islam, sementara ada 29 pasal di dalamnya yang di serap dari hukum Islam terdiri dari 18 pasal diserap dari hukum Islam dalam bidang publik, dan ada 11 pasal yang diserap dari hukum Islam dalam bidang privat. 
Daya serap hukum Islam dalam bidang publik dalam Undang-Undang ini antara lain terdapat pada Pasal 2, 9, 10, 11, 12, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 35, 36, 37, 38, 39, dan 40.
1.    Pasal 2 merupakan pasal dalam ketentuan umum didalamnya dinyatakan bahwa “Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, non diskriminasi dan perlindungan terhadap warga negara”.[14]
Pada dasarnya dalam pasal ini sejalan dengan apa yang ada dalam aturan hukum Islam yang lebih mengedepankan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, melindungi kepentingan umum, melindungi harkat dan martabat manusia, dan tanpa perbedaan. Dalam hidup ini, setiap manusia menghendaki martabat dan kehormatannya terjaga. Seperti halnya jiwa, kehormatan dan nama baik setiap manusia juga harus dilindungi .Hukum Islam sebagai Rahmatan lil 'Alamin, pada prinsipnya telah menjaga dan menjamin akan martabat dan kehormatan tiap manusia dan mengharuskan untuk menjaga keduanya untuk saudara-saudaranya. Islam menjunjung kehormatan dan martabat manusia. Hal ini ditunjukkan dalam ajaran-ajaran, amalan-amalan, ibadah-ibadah, dan perintah-perintah dalam Islam itu sendiri.
2.    Pasal 9, 10, 11 dan 12 merupakan pasal yang menjelaskan tentang larangan pelibatan orang lain terhadap kegiatan pornografi, pelibatan anak-anak dalam pornografi, dan mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi. [15]
Keempat pasal ini merupakan kegiatam pelibatan orang lain untuk kepentingan pribadi yang nantinya akan menjadi konsumsi orang banyak, yang sudah jelas hal ini juga dilarang dalam aturan hukum Islam. Hal ini senada dengan apa yang menjadi larangan dalam Islam antara lain dalam ayat berikut ini:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30)
Terjemahnya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur: 30). [16]
3.    Pasal 15 dan 16 merupakan pasal tentang perlindungan anak, khusunya yang berkaitan dengan pengaruh pornografi dan pencegahan akses anak terhadap informasi pornografi. [17]
Pencegahan dan perlindungan terhadap anak merupakan tanggung jawab masyarakat secara umum dan tanggung jawab pemerintah yang memiliki peranan besar dalam mengambil suatu kebijakan aturan yang melindungi segenap masyarakat pada umumnya termasuk terhadap anak-anak. Isyarat perlindungan anak yang dikehendaki Allah SWT tertuang dalam firman-Nya, yang artinya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS.Al-Maidah:8) [18]
Ayat diatas turun berawal dari peristiwa yang menimpa Nu’man bin Basyir. Pada suatu ketika Nu’man bin Basyir mendapat sesuatu pemberian dari ayahnya, kemudian Umi Umrata binti Rawahah berkata “aku tidak akan ridha sampai peristiwa ini disaksikan oleh Rasulullah.” Persoalan itu kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. Untuk disaksikan. Rasul kemudian berkata “apakah semua anakmu mendapat pemberian yang sama?” Jawab ayah Nu’man “tidak”. Rasul berkata lagi “takutlah engkau kepada Allah dan berbuat adillah engkau kepada anak-anakmu”. Sebagian perawi menyebutkan, “sesungguhnya aku tidak mau menjadi saksi dalam kecurangan.” Mendengar jawaban itu lantas ayah Nu’man pergi dan membatalkan pemberian kepada Nu’man. (HR. Bukhari Muslim)
Esensi ayat diatas adalah semangat menegakkan keadilan dan perlindungan terhadap anak. Islam memiliki standar yang mutlak dengan penggabungan norma dasar ilahi dengan prinsip dasar insani. Syariat Islam merupakan pola yang luas tentang tingkah laku manusia yang berakal dan otoritas kehendak Allah SWT yang tertinggi, sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas seperti pada masyarakat barat pada umumnya.
4.    Pasal 17, 18, 19, 20, dan 21 merupakan pasal yang menjelaskan tentang pencegahan terhadap kegiatan pornografi dalam hal ini ada dua yang sangat berperan aktif dalam pencegahannya yaitu pemerintah dan masyarakat. [19]
Pencegahan terhadap suatu perbuatan munkar termasuk didalamnya perbuatan penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, diisyaratkan dalam sebuah hadis:
من رأى منكرًا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
Artinya: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mencegah dengan tangannya, sekiranya dia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan sekiranya dia tidak mampu (juga), maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah keimanan.” (Riwayat Imam Muslim dalam Sahihnya dari hadis Abu Said r.a). 
Hadis ini menunjukkan perintah untuk beramar makruf dan nahi mungkar bergantung di atas kemampuan insan sebagai manusia. Di antara mereka ada yang mengubah kemungkaran dengan cara mempraktikkan dengan tangannya sebagai kekuatan tubuh dan diri. Dan di antara mereka ada yang tidak mampu mencegahnya melainkan dengan lisannya dan ada di antara mereka  yang sangat lemah dan tidak mampu mencegah kemungkaran melainkan dengan hatinya. Ini dilakukan dengan mengingkari kemungkaran serta pelakunya, maka inilah kelemahan yang tidak diragukan lagi kerana takut akan dirinya diperlakukan oleh manusia dengan kekerasan lantaran kelemahannya.
5.    Pasal 35, 36, 37, 38, 39, dan 40, merupakan pasal yang berhubungan dengan ketentuan pidana bagi pelaku pornografi baik secara perorangan, bersama maupun korporasi atau lembaga.[20] Ketentuan pidana dalam pasal ini berhubungan dengan hukum publik sebab didalamnya walaupun merupakan kepentingan pribadi tetapi terdapat pelibatan terhadap orang lain untuk di publikasikan kepada masyarakat secara umum sehingga hal ini menjadi hukum publik yang dalam ketentuan pidananya juga akan melibatkan orang lain didalamnya.  
Ketentuan pidana dikenal dalam hukum Islam dengan istilah jinayah, namun ketentuan jinayah pun dalam al-Quran dibagi dalam 3 aspek yaitu; Jaraimul Qishash, Jaraimul Had, dan Jaraimul Takzir. Qishas dan had lebih banyak digunakan oleh negara-negara yang menerapkan hukum Islam secara utuh, sementara untuk Indonesia sendiri masih mempunyai pertimbangan kemanusiaan untuk menggunakan hukuman qishas dan had karena bukan negara yang menjalankan hukum Islam secara utuh, sehingga yang digunakan adalah jaraimul takzir yang menyerahkan keputusan terhadap tindak kejahatan yang diperbuat seseorang kepada orang yang berwenang didalamnya yaitu berdasarkan putusan hakim di Pengadilan yang berwenang. Sehingga perbuatan kejahatan yang seharusnya mendapatkan qishash atau had di ganti dengan hukuman kurungan penjara selama waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang.
D.       Daya Serap Hukum Islam Pada Bidang Privat Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Pornografi selalu dikaitkan dengan gerak tubuh yang erotis dan atau sensual dari perempuan dan atau laki-laki untuk membangkitkan nafsu birahi baik bagi lawan jenis maupun sejenis. Sebenarnya perbuatan pornografi bukan semata-mata perbuatan erotis yang membangkitkan nafsu birahi, tetapi juga termasuk perbuatan erotis dan atau sensual yang menjijikan, atau memalukan orang yang melihatnya atau mendengarnya, karena tidak semua orang menyukai untuk melihatnya.
Daya serap hukum Islam dalam bidang publik dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini antara lain terdapat pada Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 29, 30, 31, 32, 33 dan 34.
1.      Pasal 4, 5, 6, 7 dan 8 merupakan pasal larangan terhadap perbuatan pornografi, antara lain larangan kepada setiap orang untuk membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi, menyediakan jasa pornografi, meminjamkan atau mengunduh konten pornografi, menyimpan produk pornografi, ,mendanai atau memfasilitasi, dan menjadi objek pornografi. [21]
Perbuatan ini merupakan perbuatan yang sangat dilarang dalam agama Islam, walaupun pada dasarnya ini merupakan hak setiap orang atau privasi seseorang untuk bebas melakukan apapun yang ia inginkan, tetapi hal ini dapat menganggu kepentingan publik secara umum yang bisa jadi menimbulkan fitnah dan perbuatan zina ataupun perbuatan mendekati zina bagi orang yang melihatnya, yang sudah jelas sangat dilarang dalam Islam. Dalam hukum Islam hal ini diisyaratkan dalam al-Quran:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Terjemahnya: Janganlah kalian dekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu tindakan yang keji dan merupakan jalan yang sangat buruk. (QS Al-Isrâ, ayat 42). [22]
Ayat ini menjelaskan tentang larangan untuk mendekati perbuatan zina, mendekati zina saja termasuk sesuatu perbuatan yang haram untuk dilakukan apalagi melakukan perbuatan zina. Sementara untuk perbuatan pornografi yang dimaksud dalam pasal ini walaupun merupakan hak setiap pribadi untuk bebas melakukannya, tetapi dampaknya terhadap orang lain sangat besar yang bisa jadi akan menimbulkan perbuatan zina.
2.      Pasal 29, 30, 31, 32, 33 dan 34 merupakan pasal tentang ketentuan pidana yang sejalan dengan larangan dalam pasal 4, 5, 6, 7, dan 8. Penjelasan tentang ketentuan pidana Islam telah dijelaskan sebelumnya, tetapi dalam pasal yang dimaksud ini walaupun ini merupakan hak setiap orang untuk melakukan perbuatan pornografi untuk kepentingan pribadinya tetapi hal ini sangat berpengaruh pada masyarakat secara umum, yang akan mengakibatkan perbuatan yang dilarang dalam agama Islam. Sehingga ketentuan pidana bagi seseorang yang melakukan hal ini adalah adalah wajib untuk diadakan demi kepentingan kemaslahatan umat Islam secara umum.
E.       Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, merupakan salah satu undang-undang yang banyak menyerap ketentuan hukum Islam didalamnya. Undang-undang ini teridiri dari 45 Pasal, yang di dalamnya terdapat 16 pasal yang berlaku secara umum dan tidak ada hubungannya dengan aturan dalam hukum Islam, sementara ada 29 pasal di dalamnya yang di serap dari hukum Islam terdiri dari 18 pasal diserap dari hukum Islam dalam bidang publik, dan ada 11 pasal yang diserap dari hukum Islam dalam bidang privat.
Undang-undang ini menjadi salah satu undang-undang yang sangat kontorversial pada saat ditetapkan di tahun 2008 karena dianggap menjadi undang-undang yang tidak memperhatikan keberagaman yang ada di Indonesia khusunya terhadap keberagaman suku, adat istiadat, budaya dan agama yang ada di Indonesia. Sehingga ada beberapa daerah yang menolak secara tegas untuk diberlakukan undang-undang ini. Keberadaan hukum Islam menjadi salah satu hukum yang mempengaruhi pembentukan undang-undang ini, dengan harapan untuk melindungi kepentingan publik secara umum dan kepentingan pribadi secara khusus. Walaupun pada dasarnya perbuatan pornografi itu merupakan perbuatan yang berhubungan dengan privasi seseorang dan merupakan haknya yang terserah mau berbuat apa saja, tetapi jauh dari pada itu penting untuk diketahui bahwa negara kita adalah negara hukum yang segala sesuatunya diatur dalam aturan perundang-undangan demi untuk kemaslahatan umum.





DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Kencana, 2014). 
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam, (Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013). 
Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
Ashadi Siregar, Pornografi Dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Dalam S.E Santoso (editor), Islam Dan Konstruksi Seksualitas, (Yogyakarta: PSW IAIN Suka, 2002).
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Cet. II, Bandung: Putaka Setia, 2010). 
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002)
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang-Pornografi. 
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Cet. 6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986)., h. 29. 
Neng Djubaidah, Pornografi Dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003).   
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. 
Sa’abah, Perilaku Menyimpang Dan Perilaku Seksualitas Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001).    
Syaikh Abdul Mun’in, Saat Cerai Menjadi Pilihan, (Cet. I, Solo: Aqwam, 2011).


[1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam, (Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 7. 
[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Cet. II, Bandung: Putaka Setia, 2010), h. 329-331. 
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Cet. II, Bandung: Putaka Setia, 2010), h. 329-331. 
[4] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam, (Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 7. 
[5] Syaikh Abdul Mun’in, Saat Cerai Menjadi Pilihan, (Cet. I, Solo: Aqwam, 2011). 
[6] https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang-Pornografi. 
[7] Neng Djubaidah, Pornografi Dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 134-135.  
[8] Sa’abah, Perilaku Menyimpang Dan Perilaku Seksualitas Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 64.  
[9] Ashadi Siregar, Pornografi Dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Dalam S.E Santoso (editor), Islam Dan Konstruksi Seksualitas, (Yogyakarta: PSW IAIN Suka, 2002), h. 183.  
[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002)
[11] https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang-Pornografi. 
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Kencana, 2014). 
[13] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Cet. 6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986)., h. 29. 
[14]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. 
[15]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. 
[16] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
[17]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. 
[18] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”.
[19]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. 
[20]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. 
[21]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. 
[22] Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar