DAYA SERAP HUKUM ISLAM DI INDONESIA
DALAM BIDANG PUBLIK DAN PRIVAT
(Undang-Undang No. 44 Tahun
2008 Tentang Pornografi)
Jusuf A. Lakoro, S.HI.,MH.
A.
Pendahuluan
Istilah hukum Islam
merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamy
atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-Islamy. Istilah ini
dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law. Dalam al-Qur’an
maupun sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan
adalah kata syari’ah yang dalam penjabarannya kemudian lahirlah istilah fiqh. [1]
Adapun yang dimaksud
dengan hukum Perdata Islam di Indonesia adalah merupakan hukum privat materiil,
yaitu hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Hukum perdata islam
lebih banyak mengatur tentang hubungan-hubungan kekeluargaan, meliputi perkawinan
dengan istilah akibat hukumnya, tentang diri seseorang, kekayaan antara suami
istri, kewajiban dan hak orang tua terhadap anak, perwalian, perpindahan harta,
apakah pada saat pemilik masih hidup atau sudah mati, wakaf, hibah, shadaqah,
dan lain-lain.
Makna hukum Islam di
Indonesia dapat diambil dari beberapa istilah yang dikenal dalam perkembangan
hukum Islam, seperti attasyri’, al-fiqh, dan al-qanun.
Pada hirarki pertama, pengertian kita tentang norma atau kaidah hukum Islam itu
bersifat konkret dan kontan yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari
Allah s.w.t. melalui Rasulullah s.a.w., yang langsung menjadi jawaban atas
pertanyaan yang timbul atau langsung menjadi solusi terhadap aneka persoalan
yang terjadi di masa kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Pada waktu itu, setiap
wahyu yang mengandung norma hukum, baik yang berisi kaidah larangan (haromat), kewajiban (fard atau
wajibat), anjuran positif (sunnah), anjuran negatif (makruh),
ataupun kebolehan (ibahah), dapat langsung kita sebut sebagai norma hukum
(al-ahkam) yang dikemudian hari, ketika umat Islam membutuhkan identitas
pembeda, disebut hukum Islam. [2]
Pada hirarki makna kedua,
pengertian hukum Islam dapat diartikan sebagai masa sepeninggal Rasulullah
s.a.w., ketika dibutuhkan usaha pengumpulan dan penulisan wahyu ilahi itu
kedalam satu naskah yang perkembangan selanjutnya disebut disebut dengan istilah
qanun. [3]
Secara garis besar hukum
Islam terbagi atas dua yaitu; pertama, fikih ibadah meliputi aturan
tentang shalat, pauasa, zakat, haji, dan sebagainya yang bertujuan untuk
mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhannya, yang biasa disebut dengan
hukum privat. Kedua, fikih muamalat, mengatur hubungan antara manusia
dengan sesamanya, seperti perikatan dalam perdagangan, perbankan, pelaksanaan
hukum, dan aturan lainnya, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara
perorangan maupun kemasyarakatan, yang biasa disebut dengan hukum publik. [4]
Dibalik eksistensi
pembaharuan hukum Islam yang semakin berkembang ini, maka semakin banyak pula
tantangan yang dihadapi terutama permasalahan dalam perkawinan, yang
berdasarkan fakta penelitian tiap dua juta perkawinan di Indonesia terdapat dua
ratus ribu perceraian yang terjadi. Hal ini menjadi masalah karena hadirnya
regulasi yang mengatur tentang perkawinan justru malah semakin menambah angka
perceraian bukan menguranginya.[5]
Berkembangnya pembaharuan
hukum Islam di Indonesia ini dapat dilihat dari lahirnya berbagai macam aturan
atau regulasi yang berkaitan langsung dengan hukum Islam sudah menjadi bagian
dari hukum posistif di Indonesia, antara lain; UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah, dan masih banyak lagi. Hadirnya aturan-aturan ini menjadi
bukti bahwa hukum Islam menjadi bagian dari perhatian pemerintahan khusus untuk
mengatur mayoritas masyarakat muslim yang ada di Indonesia, dengan harapan
segala aturan yang sudah dibuat ini mampu diimplementasikan dalam kehidupan
masyarakat muslim dalam rangka keteraturan tatanan, jaminan dan perlindungan
masyarakat muslim itu sendiri.
Daya
serap hukum Islam di Indonesia yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan yang telah di buat oleh pemerintah Indonesia sudah semakin berkembang,
terutama dalam penerapan hukum positif yang semakin banyak menganut aturan
Hukum Islam di dalamnya antara lain dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008
tentang Pornografi. Undang-undang ini pada dasarnya lebih dikenal sebagai salah
satu hukum positif di Indonesia, namun dalam penerapannya undang-undang ini
secara tidak langsung lebih banyak menyerap aturan hukum Islam di dalamnya.
Walaupun undang-undang ini menjadi kontroversial dan banyak mendapatkan
penolakan pada masa di berlakukannya namun undang-undang ini tetap
diberlakukan.
Berdasarkan
uraian latar belakang ini, maka sangatlah menarik untuk membahas masalah yang
berkaitan dengan hukum perdata di Indonesia, khususnya tentang daya serap hukum
Islam dalam bidang publik dan bidang privat, untuk melihat sejauh mana daya
serap hukum Islam dalam tata aturan hukum positif di Indonesia yang saat ini
berlaku baik yang berhubungan dengan bidang publik maupun bidang privat.
B. Pandangan Umum Tentang
Undang-Undang Pornografi
Pornografi dalam rancangan
pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi
yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual,
kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi
adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di
muka umum".
Pada draf kedua, beberapa pasal yang
kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang
dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan
pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan
pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan
definisi pornografi yang berasal dari bahasa
Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos
(gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti "tulisan atau gambar
tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah "upaya
mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan
pornografi".
Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada
Presiden pada 24
Agustus 2007, RUU
ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga
menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008,
Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri
Komunikasi dan Informatika, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan untuk
membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya
direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal
terdiri dari 8 bab dan 44 pasal. UU ini disahkan menjadi
undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR RI pada 30 Oktober 2008. Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal
1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam
bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi
lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai
kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi
pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" ke dalam
definisi pornografi.
[6]
Mendefinisikan pornografi
masih merupakan batasan dari arti kata, karena sampai saat ini masih banyak
perdebatan tentang devinisi dan batasan dari pornografi sendiri. Perdebatan ini
muncul karena definisi pornografi menurut Neng Djbaidah selain dipengaruhi oleh
tempat dan waktu, juga dipengaruhi oleh kondisi dan agama penduduk setempat. [7]
Secara etimologi,
pornografi berasal dari kata Yunani porne, yaitu perempaun jalang dan graphein
yang berarti menulis. [8] Sementara Ashadi Siregar mendefinisikan pornografi
sebagai cara atau tindakan yang tidak memiliki makna spiritual dan tidak
berdasarkan perasaan halus, tidak memiliki konteks dengan masalah medis dan
keilmuan umumnya. [9]
Definisi pornografi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: penggambaran tingkah laku secara
erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan
bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu
berahi dalam seks. [10]
Selama pembahasannya dan setelah diundangkan,
UU ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Masyarakat Bali berniat
akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama
Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan
tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie
mendesak Pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah
disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan
diri dari Indonesia. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak
pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi. [11]
C. Daya Serap Hukum Islam
Pada Bidang Publik Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Pembaharuan
hukum Islam di Indonesia, pada dasarnya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dari
hukum Islam itu sendiri, yaitu untuk memenuhi tuntunan naluri hidup manusia,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
keluarga sesuai ajaran Allah s.w.t. dan Rasul-Nya. Pembaharuan yang akan
dilaksanakan harus didasarkan kepada mashlahah yang sesuai dengan
prinsip-prinsip maqashidus syari’ah. Pendekatan yang diambil tidak boleh
pada nilai-nilai yang bersifat sekuler dan menyimpang dari garis yang telah
ditetapkan oleh syari’at Islam. Oleh karena itu, dalam rangka pembaharuan hukum
Islam ini harus menampung semua aspirasi umat Islam, jauh dari perpecahan dan
saling menghormati dalam memberi pendapat dan pandangan dalam rangka
pembaharuan hukum Islam tersebut. [12]
Hukum
Islam merupakan salah satu sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia,
disamping hukum adat dan hukum barat. Dalam ajaran Islam, hukum Islam merupakan
salah satu unsur agama Islam yang terkait erat dengan unsur akidah dan akhlak. [13] Hukum Islam (dalam pengertian
syari’ah) mencakup bidang ibadah dan mu’amalah. Di bidang mu’amalah, hukum
Islam mengatur hubungan manusia terhadap dirinya sendiri (antara lain akhlak),
hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia
dengan alam sekitarnya.
Salah
satu aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang banyak menyerap
aturan tentang hukum Islam adalah Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Awalnya undang-undang ini merupakan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi
Pornoaksi (RUU APP), Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak
tahun 1997 di DPR.
Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan
berisi 11 bab dan 93 pasal.
Mengenai
UU Pornografi yang telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2008, Walaupun banyak mendapatkan penolakan dari
berbagai pihak, namun secara tidak langsung UU ini banyak menyerap hukum Islam,
sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa banyak yang menolak UU ini terutama dari
kalangan non muslim. Undang-undang ini teridiri dari 45 Pasal, yang didalamnya
ada 16 pasal yang berlaku secara umum dan tidak ada hubungannya dengan aturan
dalam hukum Islam, sementara ada 29 pasal di dalamnya yang di serap dari hukum
Islam terdiri dari 18 pasal diserap dari hukum Islam dalam bidang publik, dan
ada 11 pasal yang diserap dari hukum Islam dalam bidang privat.
Daya
serap hukum Islam dalam bidang publik dalam Undang-Undang ini antara lain
terdapat pada Pasal 2, 9, 10, 11, 12, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 35, 36, 37,
38, 39, dan 40.
1.
Pasal 2
merupakan pasal dalam ketentuan umum didalamnya dinyatakan bahwa “Pengaturan
pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan
martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, non diskriminasi dan
perlindungan terhadap warga negara”.[14]
Pada dasarnya dalam pasal ini sejalan dengan apa yang ada dalam
aturan hukum Islam yang lebih mengedepankan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, melindungi
kepentingan umum, melindungi harkat dan martabat manusia, dan tanpa perbedaan. Dalam
hidup ini, setiap manusia menghendaki martabat dan kehormatannya terjaga.
Seperti halnya jiwa, kehormatan dan nama baik setiap manusia juga harus
dilindungi .Hukum Islam sebagai Rahmatan lil 'Alamin, pada prinsipnya telah
menjaga dan menjamin akan martabat dan kehormatan tiap manusia dan mengharuskan
untuk menjaga keduanya untuk saudara-saudaranya. Islam menjunjung kehormatan
dan martabat manusia. Hal ini ditunjukkan dalam ajaran-ajaran, amalan-amalan,
ibadah-ibadah, dan perintah-perintah dalam Islam itu sendiri.
2.
Pasal 9, 10, 11
dan 12 merupakan pasal yang menjelaskan tentang larangan pelibatan orang lain
terhadap kegiatan pornografi, pelibatan anak-anak dalam pornografi, dan
mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau
memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi. [15]
Keempat
pasal ini merupakan kegiatam pelibatan orang lain untuk kepentingan pribadi
yang nantinya akan menjadi konsumsi orang banyak, yang sudah jelas hal ini juga
dilarang dalam aturan hukum Islam. Hal ini senada dengan apa yang menjadi
larangan dalam Islam antara lain dalam ayat berikut ini:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30)
Terjemahnya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur: 30). [16]
3.
Pasal 15 dan 16
merupakan pasal tentang perlindungan anak, khusunya yang berkaitan dengan
pengaruh pornografi dan pencegahan akses anak terhadap informasi pornografi. [17]
Pencegahan
dan perlindungan terhadap anak merupakan tanggung jawab masyarakat secara umum
dan tanggung jawab pemerintah yang memiliki peranan besar dalam mengambil suatu
kebijakan aturan yang melindungi segenap masyarakat pada umumnya termasuk
terhadap anak-anak. Isyarat perlindungan anak yang dikehendaki Allah SWT
tertuang dalam firman-Nya, yang artinya sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
perbuat.” (QS.Al-Maidah:8) [18]
Ayat
diatas turun berawal dari peristiwa yang menimpa Nu’man bin Basyir. Pada suatu
ketika Nu’man bin Basyir mendapat sesuatu pemberian dari ayahnya, kemudian Umi
Umrata binti Rawahah berkata “aku tidak akan ridha sampai peristiwa ini disaksikan
oleh Rasulullah.” Persoalan itu kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah SAW.
Untuk disaksikan. Rasul kemudian berkata “apakah semua anakmu mendapat
pemberian yang sama?” Jawab ayah Nu’man “tidak”. Rasul berkata lagi “takutlah
engkau kepada Allah dan berbuat adillah engkau kepada anak-anakmu”. Sebagian
perawi menyebutkan, “sesungguhnya aku tidak mau menjadi saksi dalam
kecurangan.” Mendengar jawaban itu lantas ayah Nu’man pergi dan membatalkan
pemberian kepada Nu’man. (HR. Bukhari Muslim)
Esensi
ayat diatas adalah semangat menegakkan keadilan dan perlindungan terhadap anak.
Islam memiliki standar yang mutlak dengan penggabungan norma dasar ilahi dengan
prinsip dasar insani. Syariat Islam merupakan pola yang luas tentang tingkah
laku manusia yang berakal dan otoritas kehendak Allah SWT yang tertinggi,
sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa
ditarik secara jelas seperti pada masyarakat barat pada umumnya.
4.
Pasal 17, 18,
19, 20, dan 21 merupakan pasal yang menjelaskan tentang pencegahan terhadap
kegiatan pornografi dalam hal ini ada dua yang sangat berperan aktif dalam
pencegahannya yaitu pemerintah dan masyarakat. [19]
Pencegahan
terhadap suatu perbuatan munkar termasuk didalamnya perbuatan penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi, diisyaratkan dalam sebuah hadis:
من
رأى منكرًا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف
الإيمان
Artinya:
“Barangsiapa yang
melihat kemungkaran maka hendaklah dia mencegah dengan tangannya, sekiranya dia
tidak mampu, maka dengan lisannya, dan sekiranya dia tidak mampu (juga), maka
dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah keimanan.” (Riwayat Imam
Muslim dalam Sahihnya dari hadis Abu Said r.a).
Hadis ini menunjukkan
perintah untuk beramar makruf dan nahi mungkar bergantung di atas kemampuan
insan sebagai manusia. Di antara mereka ada yang mengubah kemungkaran dengan
cara mempraktikkan dengan tangannya sebagai kekuatan tubuh dan diri. Dan di
antara mereka ada yang tidak mampu mencegahnya melainkan dengan lisannya dan
ada di antara mereka yang sangat lemah dan tidak mampu mencegah
kemungkaran melainkan dengan hatinya. Ini dilakukan dengan mengingkari kemungkaran
serta pelakunya, maka inilah kelemahan yang tidak diragukan lagi kerana takut
akan dirinya diperlakukan oleh manusia dengan kekerasan lantaran kelemahannya.
5.
Pasal 35, 36,
37, 38, 39, dan 40, merupakan pasal yang berhubungan dengan ketentuan pidana
bagi pelaku pornografi baik secara perorangan, bersama maupun korporasi atau
lembaga.[20] Ketentuan
pidana dalam pasal ini berhubungan dengan hukum publik sebab didalamnya
walaupun merupakan kepentingan pribadi tetapi terdapat pelibatan terhadap orang
lain untuk di publikasikan kepada masyarakat secara umum sehingga hal ini
menjadi hukum publik yang dalam ketentuan pidananya juga akan melibatkan orang
lain didalamnya.
Ketentuan
pidana dikenal dalam hukum Islam dengan istilah jinayah, namun ketentuan
jinayah pun dalam al-Quran dibagi dalam 3 aspek yaitu; Jaraimul Qishash,
Jaraimul Had, dan Jaraimul Takzir. Qishas dan had
lebih banyak digunakan oleh negara-negara yang menerapkan hukum Islam secara
utuh, sementara untuk Indonesia sendiri masih mempunyai pertimbangan
kemanusiaan untuk menggunakan hukuman qishas dan had karena bukan negara yang
menjalankan hukum Islam secara utuh, sehingga yang digunakan adalah jaraimul
takzir yang menyerahkan keputusan terhadap tindak kejahatan yang diperbuat
seseorang kepada orang yang berwenang didalamnya yaitu berdasarkan putusan
hakim di Pengadilan yang berwenang. Sehingga perbuatan kejahatan yang
seharusnya mendapatkan qishash atau had di ganti dengan hukuman kurungan
penjara selama waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang.
D.
Daya
Serap Hukum Islam Pada Bidang Privat Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi
Pornografi selalu
dikaitkan dengan gerak tubuh yang erotis dan atau sensual dari perempuan dan
atau laki-laki untuk membangkitkan nafsu birahi baik bagi lawan jenis maupun
sejenis. Sebenarnya perbuatan pornografi bukan semata-mata perbuatan erotis
yang membangkitkan nafsu birahi, tetapi juga termasuk perbuatan erotis dan atau
sensual yang menjijikan, atau memalukan orang yang melihatnya atau
mendengarnya, karena tidak semua orang menyukai untuk melihatnya.
Daya serap hukum Islam
dalam bidang publik dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
ini antara lain terdapat pada Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 29, 30, 31, 32, 33 dan 34.
1.
Pasal 4, 5, 6, 7 dan 8 merupakan pasal larangan
terhadap perbuatan pornografi, antara lain larangan kepada setiap orang untuk
membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi, menyediakan jasa pornografi, meminjamkan atau mengunduh konten
pornografi, menyimpan produk pornografi, ,mendanai atau memfasilitasi, dan
menjadi objek pornografi. [21]
Perbuatan ini merupakan perbuatan yang sangat dilarang
dalam agama Islam, walaupun pada dasarnya ini merupakan hak setiap orang atau
privasi seseorang untuk bebas melakukan apapun yang ia inginkan, tetapi hal ini
dapat menganggu kepentingan publik secara umum yang bisa jadi menimbulkan
fitnah dan perbuatan zina ataupun perbuatan mendekati zina bagi orang yang
melihatnya, yang sudah jelas sangat dilarang dalam Islam. Dalam hukum Islam hal
ini diisyaratkan dalam al-Quran:
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Terjemahnya: Janganlah kalian dekati zina. Sesungguhnya zina itu
adalah suatu tindakan yang keji dan merupakan jalan yang sangat buruk. (QS
Al-Isrâ, ayat 42). [22]
Ayat ini menjelaskan tentang larangan untuk mendekati
perbuatan zina, mendekati zina saja termasuk sesuatu perbuatan yang haram untuk
dilakukan apalagi melakukan perbuatan zina. Sementara untuk perbuatan
pornografi yang dimaksud dalam pasal ini walaupun merupakan hak setiap pribadi
untuk bebas melakukannya, tetapi dampaknya terhadap orang lain sangat besar
yang bisa jadi akan menimbulkan perbuatan zina.
2.
Pasal 29, 30, 31, 32, 33 dan 34 merupakan pasal tentang ketentuan pidana
yang sejalan dengan larangan dalam pasal 4, 5, 6, 7, dan 8. Penjelasan tentang
ketentuan pidana Islam telah dijelaskan sebelumnya, tetapi dalam pasal yang
dimaksud ini walaupun ini merupakan hak setiap orang untuk melakukan perbuatan
pornografi untuk kepentingan pribadinya tetapi hal ini sangat berpengaruh pada
masyarakat secara umum, yang akan mengakibatkan perbuatan yang dilarang dalam
agama Islam. Sehingga ketentuan pidana bagi seseorang yang melakukan hal ini
adalah adalah wajib untuk diadakan demi kepentingan kemaslahatan umat Islam secara
umum.
E. Kesimpulan
Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, merupakan salah satu undang-undang yang
banyak menyerap ketentuan hukum Islam didalamnya. Undang-undang ini teridiri dari 45 Pasal, yang di
dalamnya terdapat 16 pasal yang berlaku secara umum dan tidak ada hubungannya
dengan aturan dalam hukum Islam, sementara ada 29 pasal di dalamnya yang di
serap dari hukum Islam terdiri dari 18 pasal diserap dari hukum Islam dalam
bidang publik, dan ada 11 pasal yang diserap dari hukum Islam dalam bidang
privat.
Undang-undang ini menjadi
salah satu undang-undang yang sangat kontorversial pada saat ditetapkan di
tahun 2008 karena dianggap menjadi undang-undang yang tidak memperhatikan
keberagaman yang ada di Indonesia khusunya terhadap keberagaman suku, adat
istiadat, budaya dan agama yang ada di Indonesia. Sehingga ada beberapa daerah
yang menolak secara tegas untuk diberlakukan undang-undang ini. Keberadaan
hukum Islam menjadi salah satu hukum yang mempengaruhi pembentukan
undang-undang ini, dengan harapan untuk melindungi kepentingan publik secara
umum dan kepentingan pribadi secara khusus. Walaupun pada dasarnya perbuatan
pornografi itu merupakan perbuatan yang berhubungan dengan privasi seseorang
dan merupakan haknya yang terserah mau berbuat apa saja, tetapi jauh dari pada
itu penting untuk diketahui bahwa negara kita adalah negara hukum yang segala
sesuatunya diatur dalam aturan perundang-undangan demi untuk kemaslahatan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam Di Indonesia,
(Cet. I, Jakarta: Kencana, 2014).
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam, (Cet. I, Jakarta: Rajawali
Pers, 2013).
Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta,
2009
Ashadi Siregar, Pornografi Dan Kekerasan
Terhadap Perempuan,
Dalam S.E Santoso (editor), Islam Dan Konstruksi Seksualitas, (Yogyakarta: PSW IAIN Suka,
2002).
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Cet. II, Bandung: Putaka
Setia, 2010).
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2002)
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang-Pornografi.
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Cet. 6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986)., h. 29.
Neng Djubaidah, Pornografi Dan Pornoaksi
Ditinjau Dari Hukum Islam,
(Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Sa’abah, Perilaku Menyimpang Dan
Perilaku Seksualitas Kontemporer Umat Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 2001).
Syaikh Abdul Mun’in, Saat Cerai Menjadi Pilihan, (Cet. I, Solo: Aqwam, 2011).
[6]
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang-Pornografi.
[7] Neng Djubaidah, Pornografi Dan Pornoaksi
Ditinjau Dari Hukum Islam,
(Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 134-135.
[8] Sa’abah, Perilaku Menyimpang Dan
Perilaku Seksualitas Kontemporer Umat Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 64.
[9] Ashadi Siregar, Pornografi Dan Kekerasan
Terhadap Perempuan,
Dalam S.E Santoso (editor), Islam Dan Konstruksi Seksualitas, (Yogyakarta: PSW IAIN Suka,
2002), h. 183.
[10]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang, 2002)
[11]
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang-Pornografi.
[13] Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Cet. 6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986)., h. 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar