Minggu, 20 Mei 2018

ISLAM MASA BANI UMAYYAH


ISLAM MASA BANI UMAYYAH”

   Jusuf A. Lakoro, S.H.I., M.H. (Pengacara/Advokat)

A.      PENDAHULUAN
Peradaban Islam muncul sejak nabi muhammad lahir sebagai pembawa rahmat bagi umat Islam di masa itu dan menjadi seorang nabi. Kemudian disusul oleh para khulafaurrasyidin dan tabi’ tabi’in. Yang kemudian menjadi sebuah sejarah yang sampai dengan saat ini masih tetap menjadi kenangan dan pelajaran yang pantas untuk menjadi dasar dalam menjalankan ajaran Islam di masa kini. Tanpa perjuangan dari para orang-orang terdahulu dan tanpa sejarah kita tidak akan pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi pada masa itu dan kalau hal ini terjadi bukan tidak mungkin kita akan menemukan kesesatan dan kebuntuan dalam belajar tentang Islam, karena kita adalah manusia akhir zaman yang lahir jauh setelah nabi Wafat. [1]
Sejarah Peradaban Islam adalah sesuatu yang wajib kita ketahui sebagai umat Islam, karena dari Sejarah Peradaban Islam tersebut kita dapat belajar banyak hal dan banyak nilai-nilai moral yang kita dapat seperti mempelajari hasil kebudayaan pada suatu peradaban dan sistem pemerintahannya. Dari sinilah kita akan memperoleh nilai-nilai sosial, moral, budaya, pendidikan dan politik. Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan pada periode Islam klasik.. Banyak orang Eropa mendalami studi di Universitas-Universitas Islam disana. Ketika itu bisa dikatakan, Islam telah menjadi guru bagi orang Eropa. Selama delapan abad, Islam pernah berjaya di bumi Eropa (Andalusia) dan membangun peradaban yang gemilang. Namun peradaban yang di bangun dengan susah payah dan kerja keras kaum Muslimin itu, harus ditinggalkan dan dilepas begitu saja karena kelemahan-kelemahan yang terjadi di kalangan kaum Muslimin sendiri dan karena keberhasilan Bangsa Barat atau Eropa bangkit dari keterbelakangan. Kebangkitan yang meliputi hampir semua element peradaban, terutama di bidang politik yakni dengan dikalahkannya kerjaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya sampai kemajuan di bidang sains dan teknologi.
Perjuangan Islam dimasa setelah Rasulullah wafat dilanjutkan oleh 4 sahabat terdekatnya yaitu; Abu Bakar Siddiq ra, Umar Bin Khatab ra, Utsman Bin Affan ra, dan yang terakhir Ali Bin Abi Thalib ra, yang dikenal dengan masa Khulafaur Rasyidin. Setelah masa Khulafaur Rasyidin muncullah daulah bani Umayyah dan Abassiyah. Keterkaitan antara Islam dan politik sudah berlangsung sejak masa awal Islam. Bahkan, ketika pertama kali Islam di dakwahkan, nuansa-nuansa politik sudah menyertai perjalanan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.[2]  Begitu pula dengan apa yang terjadi pada masa Bani Umayyah nuansa politik dan suasana keagamaan pada masa ini juga berbeda dengan apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, sehingga hal ini layak untuk dibahas yang nantinya akan menjadi sumbangsi keilmuan dalam mendalami sejarah Islam.











B.       PEMBAHASAN
1.    Masa Pemerintahan Bani Umayyah
Akhir masa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik; Mu’aiyah, Syi’ah, dan Khawarij. Kemunculan Khawarij semakin memperlemah partai Ali, di sisi lain Mu’awiyah semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem (660). Kemudian Ali wafat karena dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang anggota Khawarij (661).
Sejak kelahirannya pada awal abad ke 7 di Mekkah, Islam terus mengalami perkembangan yang pesat melewati melewati berbagai tantangan yang berat, sampai akhirnya tersebar keseluruh dunia. [3] Nama Daulah Umayyah berasal dari nama “Umayyah Ibnu” Abdi Syam Ibnu “Abdi Manaf”, yaitu salah seorang pemimpin Quraisy di zaman Jahiliyah. [4] Pada masa Muhammad diangkat sebagai Rasul Allah, Bani Umayyah merupakan keluarga kaya, terdidik dan berpengaruh. Kecintaannya kepada harta dan kekuasaan membuat dia dan keluarganya tidak mau mengakui kebenaran Islam sebagai ajaran yang mulia. Untuk itu berbagai cara dilakukan guna menggalkan gerakan reformasi yang dibangun Rasulullah saw tersebut. sampai-sampai, cara-cara kekerasan (perang) pun mereka lakukan. Tercatat beberapa perang besar (Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq) pasca hijrah, melibatkan kepemimpinan Abu Sufyan.
Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf adalah salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan. Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan bin Harb. Muawiyyah sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kuffah ke Damaskus.
Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity).
Diatas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, sesungguhnya Muawiyyah adalah seorang pribadi yang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat. Didalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang penguasa Politikus, dan Administrator. Muawiyyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando Paglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Kemudian Muawiyyah menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah menobatkannya sebagai “Amr Al-Bahr” (prince of the sea) yang memimpin armada besar dalam penyerbuan ke kota Konstantinopel walaupun belum berhasil.
Muawiyyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali. Melainkan sejak semula Gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari masyarakat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam melawan peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari keturunan Umayyah berada sepenuhnya di belakang Muawiyyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Muawiyyah.
Kedua,sebagai seorang Administrator, Muawiyyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu Muawiyyah merupakan empat politikus yang sangat menggunakan di kalangan Muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam perpolitikan Muawiyyah.
Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab, karena kecakapannya sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika terdapat perselisihan. Setelah menjadi Muslim hanya beberapa bulan menjelang penaklukan Mekkah, nabi segera memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini terutama dikenang sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama diwilayah itu. Sejak wafatnyaKhalifah Utsman, ‘Amr bin Ash mendukung Muawiyyah dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi Muawiyyah. Orang kedua adalah Mughirah bin Syu’bah, seorang politukus independen. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyyah mengangkatnya manjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah bagian utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintah Umar. Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesan menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Sedangkan orang yang ketiga bernama Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Mu’awiyah untuk memangku jabatan gubernur di Bashrah dengan tugas khusus si Persia selatan. Sikap politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyyah kokoh di wilayah provinsi paling timur itu dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.
Ketiga, Muawiyyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti Muawiyyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulai tersebut dalam diri Muawiyyah setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan  jabatan khalifah secara turun-temurun. Situasi ketika Muawiyyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas diri Khalifah Utsman dan perang saudara sesama Muslim di masa pemerintahan Ali.
Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin intergrasi kekuasaan di masa-masa yang akan datang, Muawiyyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai, dengan pembantaian putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal dunia. Ketika Yazid bin Muawiyyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyyah kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Zubair bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali dan menghasut Husain melakukan perlawanan. Husain dibaiat sebagai khalifah di Madinah. Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyyah mengirim pasukan untuk kembali memaksanya setia pada pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Karbala. [5]
Para sejarawan umumnya sependapat bahwa khalifah terbesar dari daulah Umayyah ialah Muawiyyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul aziz. Masa Kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Adapun urutan khalifah umayyah adalah sebagai berikut:
1)   Muawiyah I bin Abu Sufyan (41-61 H / 661-680 M)
2)   Yazid I bin Muawiyah (61-64 H / 680-683 M)
3)   Muawiyah II bin Yazid (64-65 H / 683-684 M)
4)    Marwan I bin al-Hakam (65-66 H / 684-685 M)
5)    Abdul-Malik bin Marwan (66-86 H / 685-705 M)
6)    Al-Walid I bin Abdul-Malik (86-97 H / 705-715 M)
7)    Sulaiman bin Abdul-Malik (97-99 H / 715-717 M)
8)    Umar II bin Abdul-Aziz (99-102 H / 717-720 M)
9)    Yazid II bin Abdul-Malik (102-106 H / 720-724 M)
10)     Hisyam bin Abdul-Malik (106-126 H / 724-743 M)
11)     Al-Walid II bin Yazid II (126-127 H / 743-744 M)
12)     Yazid III bin al-Walid (127 H / 744 M)
13)     Ibrahim bin al-Walid (127 H / 744 M)
14)     Marwan II bin Muhammad, memerintah di Harran, Jazirah (127-133 H / 744-750 M)
2.    Masa Kemajuan Bani Umayyah
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai era agresif, dimana perhatihan tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua Khulafa’ Arrasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Usbekistan, dan Kirgististan yang termasuk Soviet dan Rusia.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup front tiga penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke Ibukota Konstantinopel, dan peneyrangan ke pulau-pulau di laut tengah.
Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan derah hitam Arfika, pasukan Muslim juga menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Amudarya). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Syin, wilayah India bagian Barat.
Saat-saat yang paling mengesankan dalam ekspansi ini ialah terjadi pada paruh pertama dari seluruh masa Kekhalifahan Bani Umayyah, yaitu ketika kedaulatan dipegang oleh Muawiyyah bin Sofyan dan tahun-tahun terkahir dari zaman kekuasaan Abdul Malik. Diluar masa-masa tersebut, usaha-usaha penaklukan mengalami degradasi atau hanya mencapai kemenangan-kemenangan yang sangat tipis.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mencolok ialah keberaniannya  mengepung kota Konstantinopel melalui suatu ekspedisi  yang di pusatkan di kota  pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau pulau di Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama Award, tidak jauh dari ibukota RomawiTimur itu. Di belahan timur, Muawiyyah berhasil menaklukkan Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan. Ekspansi ke Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah, lalu disempurkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, tentara kaum Muslimin menyeberangi sungai Amudaria dan mmenundukan Balk, Bukhoro, Khawarizm, Fargana, Samarkhand, pasukan Islam juga melalui Makron masuk ke Balukhistan, Syin dan Punjab sampai ke Multan, Islam menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumu India.
Kumudian tiba masa kekuasaan Al Walid I yang disebut-sebut sebagai masa kemenangan yang luas. Pengepungan yang gagal atas kota Knstantinopel di zaman Muawiyyah, dihidupkan kembali denagn memberikan pukulan-pukulan yang cukup kuat. Walaupun cita-cita untuk menundukkan ibukota Romawi tetap saja belum berhasil, tetapi tindakan itu sedikit banyak berhasil menggeser kapal batas pertahanan Islam lebih jauh ke depan, dengan menguasai basis-basis militer kerajaan Romawi di Mar’asy dan ‘Amuriah.
            Prestasi yang lebih besar dicapai oleh Al-Walid I ialah di front Afrika Utara sekitarnya. Setelah segenap tanah Afrika bagian Utara diduduki, pasukan Muslim di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad menyebrangi selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Lalu ibukotanya, Cordova segera dapat di rebut, menyusul kemudian kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira dan Toledo. Gubernur Musa bin Nushair kemudian menyempurnakan penaklukan atas Tanah Eropa ini dengan menyisir kaki Pegunungan Pyrenia dan menyerang Carolingian Prancis.
Berikut kemajuan-kemajuan semasa Dinasti Umayyah berdasarkan bidangnya masing-masing:
a.    Bidang Kemiliteran
Kemajuan masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang paling menonjol adalah di bidang kemiliteran. Selama peperangan dengan militer Romawi pasukan Arab mengambil tekhnik kemiliteran mereka dan memadukannya dengan sistem pertahanan yang telah di miliki sebelumnya. Pasukan Islam mendirikan tenda-tenda yang terdiri dari 2-4 pintu dengan perlindungan benteng dan parit. Kuffah dan Basroh merupakan basis militer untuk wilayah timur, formasi kekuatan pasukan Muslim terbagi dua barisan. Barisan depan dan barisan belakang. Seluruhnya terdiri lima lapisan, yakni satu lapisan pusat, dua lapisan pasukan sayap, lapisan penyerbu , dan lapisan prtahanan. Kekuatan pasukan-pasukan Dinasti Umayyah ini telah mencatat sukses-sukses besar dalam tugas-tugas ekspansi. Kemajuan kekuatan militer pada masa ini juga di tandai dengan terbentuknya angkatan laut Islam oleh Muawiyyah. Ia mengarahkan para pakar kelautan untuk merancang pembuatan galangan perkapalan di pantai Syiria.
b.    Sistem Sosial
Terdapat empat kelompok masyarakat, yakni Arab Muslim. Mawalli, non Muslim, dan kelompokm Arab-Muslim menduduki kelas sosial tertinggi di sebabkan karena mereka sebagai kelompok pendatang yang berkuasa, juga di karenakan sistem aristokrasi. Namun pada prinsipnya mereka semua mendapat perlindungan hak-hak secara penuh sehingga mereka dapat hidup dengan tenang dan damai. Perbedaan yang menonjol adalah dalam hal beban kewajiban pajak. Hampir di katakan tidak ada perselisihan antaragama. Yang muncul perselisihan antarsuku. Contohnya kelompok Mudariyah dengan kelompok Arab Himyariyah.
c.    Kemajuan Arsitektur
Penguasa Dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur, mereka mencurahkan perhatiaanya demi kemajuan bidang ini hasilnya adalah sejumlah bangunan megah, Masjid Baitul Maqdis di Yerussalem, yang terkenal dengan kubah batunya (qubah al-sakhra) didirikan pada masa Abdul Malik pada tahun 691 M. Ia adalah masjid pertama yang di tutup kubah di atasnya. Dan juga masjid al Aqsa yang tidak kalah tinggi arsiteknya sebuah masjid terindah yang terdapat di Damaskus yang didirikan oleh Walid bin Abdul Aziz. Ia juga merehap masjid Madinah antara beberapa monument peninggalan Umayyah yang terkenal adalah istana Qusayr Amrah. Istana ini terbuat dari batu kapur yang berwarna kuning kemerah-merahan.
d.   Bidang Politik
Dalam bidang politik, Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru. Guna untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa orang ‘ Al Kuttab “ (sekretaris) untuk membantu dalam pelaksanaan tugas, yang meliputi:
1)   Kartib ar-Rasail, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
2)   Kattib al Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan pemasukan dan penerimaan negara.
3)   Katib al Jundi, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
4)   Katib as-Syurtah, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban.
5)   Katib al Qudat, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual dan peradaban.
3.    Dinamika Politik Masa Bani Umayyah
Dalam awal perkembangannya, Dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi Dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
a.    Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi.
Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis).
b.    Sistem Sosial (Arab dan Mawali).
Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non Muslim, dan dalam memperlakukan orang  Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non-Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab.
Dengan demikian masyarakat Muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali. Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama Asy-Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin yang sebetulnya mereka bersaudara, dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.
c.    Kebijaksanaan dan Orientasi Politik.
Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayyah ini memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini, seperti:
1)   Pemisahan Kekuasaan.
Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual power) di tunjuklah qadhi/ hakim dan kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa Mu’awiyah bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada para Ulama.
2)   Pembagian wilayah.
Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani Umayyah menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:
a)    Syiria dan Palestina;
b)   Kuffah dan Irak;
c)    Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah;
d)   Arenia;
e)    Hijaz;
f)    Karman dan India;
g)   Egypt (Mesir);
h)   Ifriqiyah (Afrika Utara);
i)     Yaman dan Arab selatan, dan
j)     Andalusia.
3)   Bidang Administrasi Pemerintahan.
Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.[6] Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara (Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen pokok (dewan) yaitu :
a.    Dewan Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka. Ada dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya kemudian menjadi bahasa Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa Arab menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.
b.    Dewan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada khalifah.
c.    Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan pemerintah.
d.   Dewan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju.
4)   Politik Arabisasi.
Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi penguasa Dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme, yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum Muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat-istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab. Pada masa Bani Umayyah (sejak Khalifah Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayyah antara lain dalam pengangkatan kepala-kepala wilayah dari bangsa Arab untuk ditempatkan pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Di samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di seluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab.
5)   Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya.
`Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penaduduk yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan Muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al-Andalus).
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus. [7]
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina diurungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar-menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan. [8]
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.
4.    Masa Keruntuhan dan Kehancuran Dinasti Umayyah
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam.
Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan menghasut Husain bin Ali melakukan perlawanan. Husain bin Ali sendiri juga dibaiat sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala, Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi’ah sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan diantaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi) mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah secara keseluruhan. Selain itu masih banyak gerakan-gerakan oposisi lainnya yang dapat diredakan. Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Meskipun masa pemerinahannya sangat singkat, dia berhasil membina hubungan baik dengan kaum Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan beragama dan beribadah sesuai kepercayaan yang diyakini masing-masing orang. Pajak diperingan dan kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Sepeninggal Umar bin Abdul Aziz , khalifah selanjutnya adalah Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M) yang sangat menyukai kemewahan sehingga kurang memperhatikan kehidupan rakyat sehingga masyarakat menyatakan kofrontasi yang berlanjut hingga pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncullah kekuatan baru dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali yang nantinya mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantinya dengan dinasti baru, Dinasti Abbasiyyah.
Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah tidak hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M, Daulah Bani Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasani. Marwan bin Muhammad khalifah terakhir Bani Umayyah melarikan diri ke Mesir, kemudian ditangkap dan dibunuh disana. [9]
Faktor-faktor penyebab runtuhnya Dinasti Umayyah:
1)   Pergantian khalifah mengalami penyelewengan dari system musyawarah Islam diganti dengan system kerajaan.
2)   Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak lepas dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.
3)   Adanya pertentangan antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang makin meruncing.
4)   Menyalahi perjanjian Madain antara Muawiyyah dan Hasan bin Ali.
5)   Pengangkatan putra mahkota lebih dari satu.
6)   Pemerintahan yang korup, boros dan bermewah-mewah dikalangan istana.
7)   Memecat dan mengganti orang-orang dalam jabatannya dengan orang-orang yang disukai saja padahal pengganti itu tidak ahli.
8)   Kurangnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan agama sehingga menimbulkan pergolakan dari golongan agama.
9)   Munculnya kekuasan baru yang dipelopori oleh Al-Abbas ibn Abdul Munthalib kekuasaan Dinasti bani Abbasiyyah.





















C.      KESIMPULAN
Selama berkuasa kurang lebih selama 90 tahun, kemajuan yang dicapai meliputi hampir di segala bidang seperti dalam bidang pembangunan masjid dan tatanan kota yang sangat maju dan modern. Tidak hanya ilmu agama, ilmu pengetahuan umum juga berkembang pesat. Luasnya wilayah kekuasaan yang meliputi tiga benua, yakni Asia Tengah, Eropa dan Afrika Utara. Selain itu didirikan juga pos-pos yang menyediakan kuda lengkap disepanjang jalan, menertibkan angkatan bersenjata, mengganti mata uang Byzantium dan Persia dengan mencetak mata uang tersendiri yang memakai kata dan tulisan Bahasa Arab pada tahun 659 M. Memberlakukan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan Islam, membangun panti-panti untuk orang cacat, membangun jalan raya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Namun, dibalik itu semua ada banyak juga kelemahan dari masa kekuasaan Bani Umayyah, sehingga hal inilah yang menyebabkan runtuhnya Daulah Bani Umayyah antara lain disebabkan oleh; pergantian khalifah dari sistem musyawarah menjadi sistem kerajaan, konflik-konflik politik dan pertentangan antar suku yang memuncak, pemerintahn yang korup, boros dan bermewah-mewahan di kalangan istana, lemahnya para khalifah dalam memimpin pemerintahan sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat, munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh Al-Abbas Ibn Abdul Mutholib yakni kekuasaan Dinasti Abbasiyyah.






Daftar Pustaka

A.  Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1975).

A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003).

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2012).

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)

Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009).

H.A.R. Gibb, Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Yayasan Franklin, 1953).

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beragai Aspeknya(Jakarta: UI Press, 1978).


Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, (Cet. II, Yogyakarta: 2005).

Kumaidi dkk, Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta: Akik Pusaka, 2009)

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Cet. 2, Jakarta: Prenada Media, 2004)

Osman, A.Latif, Ringkasan Sejarah,Jakarta: Widjaya, 1951.

Philip K. Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing, (Bandung: Sumur Bandung, tth)

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010).

Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013).



[1] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009)
[2] Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, (Cet. II, Yogyakarta: 2005), h. 5.
[3] H.A.R. Gibb, Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Yayasan Franklin, 1953), h. 25.
[4] A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), h. 21.
[5] Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Pustaka Setia: Bandung, 2013), hlm. 127.
[6] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), h.151..
[7] Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing (Bandung Sumur Bandung.tth), h. 85
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press, 1978), jilid 1, h. 61.
[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 118-136.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar