“ISLAM MASA BANI UMAYYAH”
A.
PENDAHULUAN
Peradaban Islam muncul sejak nabi muhammad lahir sebagai pembawa rahmat
bagi umat Islam di masa itu dan menjadi seorang nabi. Kemudian disusul oleh
para khulafaurrasyidin dan tabi’ tabi’in. Yang kemudian menjadi sebuah sejarah
yang sampai dengan saat ini masih tetap menjadi kenangan dan pelajaran yang
pantas untuk menjadi dasar dalam menjalankan ajaran Islam di masa
kini. Tanpa perjuangan dari para orang-orang terdahulu dan tanpa sejarah kita
tidak akan pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi pada masa itu dan kalau hal
ini terjadi bukan tidak mungkin kita akan menemukan kesesatan dan kebuntuan
dalam belajar tentang Islam, karena kita adalah manusia akhir zaman yang lahir
jauh setelah nabi Wafat. [1]
Sejarah Peradaban Islam adalah sesuatu yang wajib kita ketahui sebagai umat
Islam, karena dari Sejarah Peradaban Islam tersebut kita dapat belajar banyak
hal dan banyak nilai-nilai moral yang kita dapat seperti mempelajari hasil
kebudayaan pada suatu peradaban dan sistem pemerintahannya. Dari sinilah kita akan memperoleh nilai-nilai sosial, moral, budaya,
pendidikan dan politik. Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan pada periode
Islam klasik.. Banyak orang Eropa mendalami studi di Universitas-Universitas
Islam disana. Ketika itu bisa dikatakan, Islam telah menjadi guru bagi orang
Eropa. Selama delapan abad, Islam pernah berjaya di bumi Eropa (Andalusia) dan
membangun peradaban yang gemilang. Namun peradaban yang di bangun dengan susah
payah dan kerja keras kaum Muslimin itu, harus ditinggalkan dan dilepas begitu
saja karena kelemahan-kelemahan yang terjadi di kalangan kaum Muslimin sendiri
dan karena keberhasilan Bangsa Barat atau Eropa bangkit dari keterbelakangan.
Kebangkitan yang meliputi hampir semua element peradaban, terutama di bidang
politik yakni dengan dikalahkannya kerjaan-kerajaan Islam dan bagian dunia
lainnya sampai kemajuan di bidang sains dan teknologi.
Perjuangan Islam dimasa setelah Rasulullah wafat
dilanjutkan oleh 4 sahabat terdekatnya yaitu; Abu Bakar Siddiq ra, Umar Bin Khatab ra, Utsman Bin Affan ra, dan yang terakhir Ali Bin Abi Thalib ra, yang dikenal dengan masa
Khulafaur Rasyidin. Setelah masa Khulafaur Rasyidin muncullah daulah
bani Umayyah dan Abassiyah. Keterkaitan antara Islam dan politik sudah
berlangsung sejak masa awal Islam. Bahkan, ketika pertama kali Islam di
dakwahkan, nuansa-nuansa politik sudah menyertai perjalanan agama yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw.[2] Begitu pula dengan apa yang terjadi pada masa Bani
Umayyah nuansa politik dan suasana keagamaan pada masa ini juga berbeda dengan
apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, sehingga hal ini layak untuk
dibahas yang nantinya akan menjadi sumbangsi keilmuan dalam mendalami sejarah
Islam.
B.
PEMBAHASAN
1. Masa Pemerintahan Bani
Umayyah
Akhir masa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga
kekuatan politik; Mu’aiyah, Syi’ah, dan Khawarij. Kemunculan Khawarij semakin
memperlemah partai Ali, di sisi lain Mu’awiyah semakin kuat. Mu’awiyah
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem (660). Kemudian Ali wafat
karena dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang anggota Khawarij (661).
Sejak
kelahirannya pada awal abad ke 7 di Mekkah, Islam terus mengalami perkembangan
yang pesat melewati melewati berbagai tantangan yang berat, sampai akhirnya
tersebar keseluruh dunia. [3] Nama Daulah Umayyah berasal dari nama “Umayyah
Ibnu” Abdi Syam Ibnu “Abdi Manaf”, yaitu salah seorang pemimpin Quraisy di
zaman Jahiliyah. [4] Pada masa Muhammad diangkat sebagai Rasul Allah,
Bani Umayyah merupakan keluarga kaya, terdidik dan berpengaruh. Kecintaannya
kepada harta dan kekuasaan membuat dia dan keluarganya tidak mau mengakui
kebenaran Islam sebagai ajaran yang mulia. Untuk itu berbagai cara dilakukan
guna menggalkan gerakan reformasi yang dibangun Rasulullah saw tersebut.
sampai-sampai, cara-cara kekerasan (perang) pun mereka lakukan. Tercatat
beberapa perang besar (Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq) pasca
hijrah, melibatkan kepemimpinan Abu Sufyan.
Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf adalah salah
seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan pamannya
Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan
kedudukan. Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan bin Harb.
Muawiyyah sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyyah juga sekaligus menjadi
khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kuffah ke
Damaskus.
Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang
oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya
memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai
melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai
pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang
mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat
menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity).
Diatas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan
prestasi politiknya yang menakjubkan, sesungguhnya Muawiyyah adalah seorang
pribadi yang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat. Didalam dirinya
terkumpul sifat-sifat seorang penguasa Politikus, dan Administrator. Muawiyyah
tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya
dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah
seorang pemimpin pasukan di bawah komando Paglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang
berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium
Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Kemudian
Muawiyyah menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina
yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh
Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah menobatkannya sebagai “Amr Al-Bahr” (prince
of the sea) yang memimpin armada besar dalam penyerbuan ke kota
Konstantinopel walaupun belum berhasil.
Muawiyyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan
hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali.
Melainkan sejak semula Gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang
solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari masyarakat
Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama
diperintah oleh Muawiyyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin
di garis depan dalam melawan peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama
dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari keturunan Umayyah berada sepenuhnya
di belakang Muawiyyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak
ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan. Negeri Suriah
sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Ditambah lagi
bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai
bertambah bagi Muawiyyah.
Kedua,sebagai seorang Administrator, Muawiyyah sangat
bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga
orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu Amr bin Ash, Mugirah bin
Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu Muawiyyah merupakan empat
politikus yang sangat menggunakan di kalangan Muslim Arab. Akses mereka sangat
kuat dalam perpolitikan Muawiyyah.
Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh
bangsa Arab, karena kecakapannya sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku
Arab lainnya jika terdapat perselisihan. Setelah menjadi Muslim hanya
beberapa bulan menjelang penaklukan Mekkah, nabi segera memanfaatkan kepandaiannya
itu sebagai pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini terutama dikenang
sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama diwilayah
itu. Sejak wafatnyaKhalifah Utsman, ‘Amr bin Ash mendukung Muawiyyah dan
ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya
dua tahun ia mendampingi Muawiyyah. Orang kedua adalah Mughirah bin Syu’bah,
seorang politukus independen. Karena keterampilan politiknya yang besar,
Muawiyyah mengangkatnya manjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah bagian
utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun
semasa pemerintah Umar. Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesan
menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang
sebagian besar pendukung Ali. Sedangkan orang yang ketiga bernama Ziyad bin
Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Mu’awiyah
untuk memangku jabatan gubernur di Bashrah dengan tugas khusus si Persia
selatan. Sikap politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan
Muawiyyah kokoh di wilayah provinsi paling timur itu dikenal sangat gaduh dan
sukar diatur.
Ketiga, Muawiyyah memiliki kemampuan
menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat
yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti
Muawiyyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan
yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulai tersebut dalam diri
Muawiyyah setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani
memaklumkan jabatan khalifah secara turun-temurun. Situasi ketika Muawiyyah
naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat
lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan
umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak
Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas
diri Khalifah Utsman dan perang saudara sesama Muslim di masa pemerintahan Ali.
Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta
menjamin intergrasi kekuasaan di masa-masa yang akan datang, Muawiyyah dengan
tegas menyelenggarakan suksesi yang damai, dengan pembantaian putranya, Yazid,
beberapa tahun sebelum khalifah meninggal dunia. Ketika Yazid bin Muawiyyah naik tahta, sejumlah
tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyyah
kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa
penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang
terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Zubair
bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’
Al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali dan menghasut
Husain melakukan perlawanan. Husain dibaiat sebagai khalifah di Madinah. Pada
tahun 680 M, Yazid bin Muawiyyah mengirim pasukan untuk kembali memaksanya
setia pada pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga terjadi pertempuran tidak
seimbang yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Karbala. [5]
Para sejarawan umumnya sependapat bahwa khalifah
terbesar dari daulah Umayyah ialah Muawiyyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul
aziz. Masa
Kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14
orang khalifah. Adapun urutan khalifah umayyah adalah sebagai berikut:
1)
Muawiyah I
bin Abu Sufyan (41-61 H / 661-680 M)
2)
Yazid I
bin Muawiyah (61-64 H / 680-683 M)
3)
Muawiyah
II bin Yazid (64-65 H / 683-684 M)
4)
Marwan I bin al-Hakam (65-66 H / 684-685 M)
5)
Abdul-Malik bin Marwan (66-86 H / 685-705 M)
6)
Al-Walid I bin Abdul-Malik (86-97 H / 705-715 M)
7)
Sulaiman bin Abdul-Malik (97-99 H / 715-717 M)
8)
Umar II bin Abdul-Aziz (99-102 H / 717-720 M)
9)
Yazid II bin Abdul-Malik (102-106 H / 720-724 M)
10)
Hisyam bin Abdul-Malik (106-126 H / 724-743 M)
11)
Al-Walid II bin Yazid II (126-127 H / 743-744 M)
12)
Yazid III bin al-Walid (127 H / 744 M)
13)
Ibrahim bin al-Walid (127 H / 744 M)
14)
Marwan II bin Muhammad, memerintah di Harran, Jazirah (127-133 H / 744-750 M)
2.
Masa Kemajuan
Bani Umayyah
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai era
agresif, dimana perhatihan tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan
penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua Khulafa’ Arrasyidin terakhir. Hanya
dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin
beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol,
seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah
Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan
Turkmenistan, Usbekistan, dan Kirgististan yang termasuk Soviet dan Rusia.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di
zaman Umayyah mencakup front tiga penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan
sasaran utama pengepungan ke Ibukota Konstantinopel, dan peneyrangan ke
pulau-pulau di laut tengah.
Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan derah hitam
Arfika, pasukan Muslim juga menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang sangat luas,
sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara
ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Amudarya). Sedangkan yang lainnya ke
arah selatan menyusuri Syin, wilayah India bagian Barat.
Saat-saat yang paling mengesankan dalam ekspansi
ini ialah terjadi pada paruh pertama dari seluruh masa Kekhalifahan Bani
Umayyah, yaitu ketika kedaulatan dipegang oleh Muawiyyah bin Sofyan dan
tahun-tahun terkahir dari zaman kekuasaan Abdul Malik. Diluar masa-masa tersebut,
usaha-usaha penaklukan mengalami degradasi atau hanya mencapai
kemenangan-kemenangan yang sangat tipis.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan
besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat
rintisan. Peristiwa paling mencolok ialah keberaniannya mengepung kota Konstantinopel
melalui suatu ekspedisi yang di pusatkan di kota pelabuhan
Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau pulau di Laut Tengah seperti
Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama Award, tidak jauh dari ibukota
RomawiTimur itu. Di belahan timur, Muawiyyah berhasil menaklukkan Khurasan sampai ke sungai
Oxus dan Afghanistan. Ekspansi ke Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah,
lalu disempurkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubernur Irak,
Hajjaj bin Yusuf, tentara kaum Muslimin menyeberangi sungai Amudaria dan
mmenundukan Balk, Bukhoro, Khawarizm, Fargana, Samarkhand, pasukan Islam juga
melalui Makron masuk ke Balukhistan, Syin dan Punjab sampai ke Multan, Islam
menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumu India.
Kumudian tiba masa kekuasaan Al Walid I yang
disebut-sebut sebagai masa kemenangan yang luas. Pengepungan yang gagal atas
kota Knstantinopel di zaman Muawiyyah, dihidupkan kembali denagn memberikan
pukulan-pukulan yang cukup kuat. Walaupun cita-cita untuk menundukkan ibukota
Romawi tetap saja belum berhasil, tetapi tindakan itu sedikit banyak berhasil
menggeser kapal batas pertahanan Islam lebih jauh ke depan, dengan menguasai
basis-basis militer kerajaan Romawi di Mar’asy dan ‘Amuriah.
Prestasi yang lebih besar dicapai oleh Al-Walid I ialah di front Afrika Utara
sekitarnya. Setelah segenap tanah Afrika bagian Utara diduduki, pasukan Muslim
di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad menyebrangi selat Gibraltar masuk ke
Spanyol. Lalu ibukotanya, Cordova segera dapat di rebut, menyusul kemudian
kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira dan Toledo. Gubernur Musa bin Nushair
kemudian menyempurnakan penaklukan atas Tanah Eropa ini dengan menyisir kaki
Pegunungan Pyrenia dan menyerang Carolingian Prancis.
Berikut kemajuan-kemajuan semasa Dinasti Umayyah
berdasarkan bidangnya masing-masing:
a. Bidang Kemiliteran
Kemajuan masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang
paling menonjol adalah di bidang kemiliteran. Selama peperangan dengan militer
Romawi pasukan Arab mengambil tekhnik kemiliteran mereka dan memadukannya
dengan sistem pertahanan yang telah di miliki sebelumnya. Pasukan Islam
mendirikan tenda-tenda yang terdiri dari 2-4 pintu dengan perlindungan benteng
dan parit. Kuffah dan Basroh merupakan basis militer untuk wilayah timur,
formasi kekuatan pasukan Muslim terbagi dua barisan. Barisan depan dan barisan
belakang. Seluruhnya terdiri lima lapisan, yakni satu lapisan pusat, dua lapisan
pasukan sayap, lapisan penyerbu , dan lapisan prtahanan. Kekuatan
pasukan-pasukan Dinasti Umayyah ini telah mencatat sukses-sukses besar dalam
tugas-tugas ekspansi. Kemajuan kekuatan militer pada masa ini juga di tandai
dengan terbentuknya angkatan laut Islam oleh Muawiyyah. Ia mengarahkan para
pakar kelautan untuk merancang pembuatan galangan perkapalan di pantai Syiria.
b. Sistem Sosial
Terdapat empat kelompok masyarakat, yakni Arab Muslim.
Mawalli, non Muslim, dan kelompokm Arab-Muslim menduduki kelas sosial tertinggi
di sebabkan karena mereka sebagai kelompok pendatang yang berkuasa, juga di
karenakan sistem aristokrasi. Namun pada prinsipnya mereka semua mendapat
perlindungan hak-hak secara penuh sehingga mereka dapat hidup dengan tenang dan
damai. Perbedaan yang menonjol adalah dalam hal beban kewajiban pajak. Hampir
di katakan tidak ada perselisihan antaragama. Yang muncul perselisihan
antarsuku. Contohnya kelompok Mudariyah dengan kelompok Arab Himyariyah.
c. Kemajuan Arsitektur
Penguasa Dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam
seni arsitektur, mereka mencurahkan perhatiaanya demi kemajuan bidang ini
hasilnya adalah sejumlah bangunan megah, Masjid Baitul Maqdis di Yerussalem,
yang terkenal dengan kubah batunya (qubah al-sakhra) didirikan pada masa
Abdul Malik pada tahun 691 M. Ia adalah masjid pertama yang di tutup kubah di
atasnya. Dan juga masjid al Aqsa yang tidak kalah tinggi arsiteknya sebuah
masjid terindah yang terdapat di Damaskus yang didirikan oleh Walid bin Abdul
Aziz. Ia
juga merehap masjid Madinah antara beberapa monument peninggalan Umayyah yang
terkenal adalah istana Qusayr Amrah. Istana ini terbuat dari batu kapur yang
berwarna kuning kemerah-merahan.
d. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Bani Umayyah menyusun tata
pemerintahan yang sama sekali baru. Guna untuk memenuhi tuntutan perkembangan
wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat
majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh
beberapa orang ‘ Al Kuttab “ (sekretaris) untuk membantu dalam pelaksanaan
tugas, yang meliputi:
1) Kartib ar-Rasail, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat
menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
2) Kattib al Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan pemasukan dan
penerimaan negara.
3) Katib al Jundi, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan
dengan ketentaraan.
4) Katib as-Syurtah, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan
ketertiban.
5) Katib al Qudat, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran
awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai
negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang
berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak
hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan
Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik,
keagamaan, intelektual dan peradaban.
3.
Dinamika
Politik Masa Bani Umayyah
Dalam awal perkembangannya, Dinasti ini sangat
kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan
Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk
kuatnya eksistensi Dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari
masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri
yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
a. Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi.
Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan
Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan
Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah
menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis).
b. Sistem Sosial (Arab dan Mawali).
Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan
masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan,
sehingga masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non Muslim, dan dalam
memperlakukan orang Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua
kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali
diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada
masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria
itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari
orang Arab, sedangkan orang non-Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi
pendukung (mawali) bangsa Arab.
Dengan demikian masyarakat Muslim pada masa Dinasti
Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali. Dikalangan kaum
Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama Asy-Syu’ubiyyah
yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin yang
sebetulnya mereka bersaudara, dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka
serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan
Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.
c. Kebijaksanaan dan Orientasi Politik.
Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayyah
ini memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa
ini, seperti:
1) Pemisahan Kekuasaan.
Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual
power) di tunjuklah qadhi/ hakim dan kekuasaan politik (temporal power).
Dapatlah dipahami bahwa Mu’awiyah bukanlah seorang yang ahli dalam
keagamaan sehingga diserahkan kepada para Ulama.
2) Pembagian wilayah.
Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada
masa Bani Umayyah menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10
provinsi, yaitu:
a) Syiria dan Palestina;
b) Kuffah dan Irak;
c) Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman,
Najd dan Yamamah;
d) Arenia;
e) Hijaz;
f) Karman dan India;
g) Egypt (Mesir);
h) Ifriqiyah (Afrika Utara);
i) Yaman dan Arab selatan, dan
j) Andalusia.
3) Bidang Administrasi Pemerintahan.
Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk semacam
Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang
sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy
Syurtah dan katib al Qadi.[6] Untuk mengurusi
administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara (Gubemur
Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya
pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen pokok (dewan) yaitu :
a. Dewan Rasail (istilah sekarang disebut
sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk mengurus surat-surat negara
yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka. Ada
dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang
menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi
yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya
kemudian menjadi bahasa Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa Arab
menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.
b. Dewan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang
dikepalai oleh Shahib al-Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab
langsung kepada khalifah.
c. Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen
negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada
pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik berkembang menjadi
Departemen Pos khusus urusan pemerintah.
d. Dewan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap
peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin di dalam suatu register,
kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju.
4) Politik Arabisasi.
Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut,
menimbulkan ambisi penguasa Dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan
politik Arabisme, yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi
kaum Muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat
akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah
penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan
adat-istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab. Pada masa Bani
Umayyah (sejak Khalifah Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah Arabisasi
artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayyah di wilayah-wilayah yang
dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayyah antara lain dalam
pengangkatan kepala-kepala wilayah dari bangsa Arab untuk ditempatkan pada
wilayah-wilayah yang dikuasai. Di samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di
seluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa
Arab.
5) Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya.
`Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah
upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi'
berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat
kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah
Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke
Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani. Pada
tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap
Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang
mereka.
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan
pasukan terkemuka sebagai penaduduk yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al
Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan mencapai keberhasilan.
Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan Aljazair
dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk
memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia
Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan
pasukan Muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang kemudian
menjadi ibukota Spanyol Islam (al-Andalus).
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil
bagian ke Spanyol dan melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di
sebelah tenggara dari Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk
meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun ada kekhawatiran dari
Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan seluruh
negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk mangakhiri
ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus. [7]
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj
bin Yusuf, gubernur Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama
pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan
Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina diurungkan, karena delegasinya disuruh
kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar-menukar cenderamata, Qutaybah
menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian
menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan. [8]
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk
menundukkan India. Pada tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan
Deibul di muara sungai Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. la
memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan
Brahmanabat.
4.
Masa
Keruntuhan dan Kehancuran Dinasti Umayyah
Meskipun keberhasilan
banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat
dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan
bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai
diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan
setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Dan kemudian Muawiyah bin Abu
Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika
dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan
diserahkan kepada pemilihan umat Islam.
Deklarasi
pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan
terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di
Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian
mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk
mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk,
kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam.
Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi)
melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan menghasut Husain bin
Ali melakukan perlawanan. Husain bin Ali sendiri juga dibaiat sebagai khalifah
di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa
Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak
seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala, Husain bin Ali
terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur
di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok
Syi’ah sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan
diantaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M.
Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi) mendapat banyak pengikut
dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia,
Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga
negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri
ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka
sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak
berhasil menghentikan gerakan Syi’ah secara keseluruhan. Selain itu masih
banyak gerakan-gerakan oposisi lainnya yang dapat diredakan. Hubungan
pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz (717-720 M). Meskipun masa pemerinahannya sangat singkat, dia
berhasil membina hubungan baik dengan kaum Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan
beragama dan beribadah sesuai kepercayaan yang diyakini masing-masing orang.
Pajak diperingan dan kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Sepeninggal
Umar bin Abdul Aziz , khalifah selanjutnya adalah Yazid ibn Abdul Malik
(720-724 M) yang sangat menyukai kemewahan sehingga kurang memperhatikan
kehidupan rakyat sehingga masyarakat menyatakan kofrontasi yang berlanjut
hingga pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M). Bahkan pada
masa ini muncullah kekuatan baru dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh
golongan Mawali yang nantinya mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan
menggantinya dengan dinasti baru, Dinasti Abbasiyyah.
Sepeninggal
Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah tidak hanya lemah tetapi
juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan
oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M, Daulah Bani Umayyah digulingkan Bani Abbas
yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasani. Marwan bin Muhammad khalifah
terakhir Bani Umayyah melarikan diri ke Mesir, kemudian ditangkap dan dibunuh
disana. [9]
Faktor-faktor penyebab
runtuhnya Dinasti Umayyah:
1) Pergantian khalifah mengalami
penyelewengan dari system musyawarah Islam diganti dengan system kerajaan.
2) Latar belakang terbentuknya
Dinasti Umayyah tidak lepas dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa
Ali.
3) Adanya pertentangan antara
suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang makin
meruncing.
4) Menyalahi perjanjian Madain antara Muawiyyah
dan Hasan bin Ali.
5) Pengangkatan putra mahkota lebih dari satu.
6) Pemerintahan yang korup,
boros dan bermewah-mewah dikalangan istana.
7) Memecat dan mengganti
orang-orang dalam jabatannya dengan orang-orang yang disukai saja padahal
pengganti itu tidak ahli.
8) Kurangnya perhatian
pemerintah terhadap perkembangan agama sehingga menimbulkan pergolakan dari
golongan agama.
9) Munculnya kekuasan baru yang
dipelopori oleh Al-Abbas ibn Abdul Munthalib kekuasaan Dinasti bani Abbasiyyah.
C.
KESIMPULAN
Selama
berkuasa kurang lebih selama 90 tahun, kemajuan yang dicapai meliputi hampir di
segala bidang seperti dalam bidang pembangunan masjid dan tatanan kota yang
sangat maju dan modern. Tidak hanya ilmu agama, ilmu
pengetahuan umum juga berkembang pesat. Luasnya wilayah kekuasaan yang meliputi
tiga benua, yakni Asia Tengah, Eropa dan Afrika Utara. Selain itu didirikan
juga pos-pos yang menyediakan kuda lengkap disepanjang jalan, menertibkan
angkatan bersenjata, mengganti mata uang Byzantium dan Persia dengan mencetak mata uang
tersendiri yang memakai kata dan tulisan Bahasa Arab pada tahun 659 M.
Memberlakukan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan Islam, membangun
panti-panti untuk orang cacat, membangun jalan raya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan
masjid-masjid yang megah.
Namun,
dibalik itu semua ada banyak juga kelemahan dari masa kekuasaan Bani Umayyah,
sehingga hal inilah yang menyebabkan runtuhnya Daulah Bani Umayyah antara lain
disebabkan oleh; pergantian khalifah dari sistem musyawarah menjadi sistem
kerajaan, konflik-konflik politik dan pertentangan antar suku yang memuncak, pemerintahn yang korup, boros dan bermewah-mewahan di kalangan istana, lemahnya
para khalifah dalam memimpin pemerintahan sehingga kurang memperhatikan
kesejahteraan rakyat, munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh Al-Abbas Ibn
Abdul Mutholib yakni kekuasaan Dinasti Abbasiyyah.
Daftar Pustaka
A. Hasymy,
Sejarah Kebudayaan Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam
2, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003).
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani,
2012).
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
Fatah
Syukur, Sejarah Peradaban
Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009).
H.A.R. Gibb, Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Yayasan Franklin, 1953).
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Beragai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1978).
Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan
Kekuasaan Khalifah, (Cet. II, Yogyakarta: 2005).
Kumaidi dkk, Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta: Akik
Pusaka, 2009)
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik, (Cet. 2, Jakarta: Prenada Media, 2004)
Osman, A.Latif, Ringkasan
Sejarah,Jakarta: Widjaya, 1951.
Philip K. Hitti, Dunia Arab, terj.
Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing, (Bandung: Sumur Bandung, tth)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010).
Sulasman dan Suparman, Sejarah
Islam di Asia dan Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013).
[5] Sulasman
dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Pustaka Setia: Bandung,
2013), hlm. 127.
[7] Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P
Sihombing (Bandung Sumur Bandung.tth), h. 85
[8] Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press,
1978), jilid 1, h. 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar