"TINJAUAN
UMUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA"
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum
oleh para pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan
tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok
sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan
keputusan.[1]
Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat
memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum
dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum
yang diperkarakan. [2]
Subekti, mantan Ketua MA RI dan guru besar hukum perdata pada Universitas
Indonesia berpendapat bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat
bukti dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuatu hukum acara yang
berlaku. [3]
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa
pengertian, yaitu: [4]
a.
Membuktikan dalam arti logis,
berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap
orang dan tidak memungkinan adanya bukti lawan.
b.
Membuktikan dalam arti
konvensional, berarti memberi kepastian tetapi bukan kepastian mutlak melainkan
kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai
berikut:
1) Kepastian
yang hanya didasarkan pada perasaan, sehingga bersifat intuitif dan disebut conviction intime.
2) Kepastian
yang didasarkan pada pertimbangan akal, sehingga disebut conviction raisonee.
3) Membuktikan
dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata), tidak lain berarti memberi
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Sampai
saat ini sistem pembuktian hukum perdata di Indonesia, masih menggunakan
ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dari Pasal 1865 s/d Pasal 1945, sedangkan dalam Herzine
Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah
Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162 s/d Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169 s/d Pasal
177, dan dalam Rechtreglement Voor de
Buitengewesten (RBg) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar
Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 282 s/d Pasal 314.
2. Teori Kekuatan Pembuktian Suatu Alat Bukti
Ketika
membahas tentang penilaian pembuktian, alat bukti yang diajukan oleh para pihak
ke persidangan akan dilakukan penilaian, yang dalam hal ini yang berwenang
untuk melakukan penilaian adalah Hakim. Pada umumnya, sepanjang undang-undang
tidak mengatur sebaliknya, Hakim bebas untuk menilai pembuktian. Dalam hal ini,
pembentuk undang-undang dapat mengikat Hakim pada alat-alat bukti tertentu
(misalnya alat bukti surat/sertifikat), sehingga Hakim tidak bebas menilainya.
Salah satu contohnya adalah alat bukti surat yang mempunyai kekuatan pembuktian
mengikat bagi Hakim maupun para pihak.
Sebaliknya,
pembentuk undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan pada Hakim
dalam menilai pembuktian terhadap alat bukti, misalnya keterangan saksi yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya diserahkan pada Hakim untuk
menilai pembuktiannya, Hakim boleh terikat atau tidak pada keterangan yang
diberikan oleh saksi. [5]
Pada
saat menilai alat bukti, hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh
Undang-undang, dalam hal ini terdapat dua teori, yaitu: [6]
a.
Teori Pembuktian Bebas Hakim bebas
menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang beperkara, baik
alat-alat bukti yang sudah disebutkan oleh Undang-Undang, maupun alat-alat
bukti yang tidak disebutkan oleh Undang-Undang.
b.
Teori Pembuktian Terikat Hakim
terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang beperkara.
Putusan yang dijatuhkan, harus selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan
dalam persidangan.
Lebih lanjut teori ini dibagi menjadi:
1) Teori
Pembuktian Negatif, Hakim terikat dengan larangan Undang-Undang dalam melakukan
penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
2) Teori
Pembuktian Positif, Hakim terikat dengan perintah Undang-Undang dalam melakukan
penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
3) Teori
Pembuktian Gabungan, Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian. Dalam
menilai pembuktian, seorang hakim harus pula mengingat asas-asas yang penting
dalam hukum pembuktian perdata.
Dengan
demikian bahwa pembuktian surat ataupun akta otentik seperti halnya sertifikat
hak milik merupakan pembuktian yang mengikat dan hakim tidak bebas untuk
menilainya, sementara pembuktian berupa keterangan saksi merupakan pembuktian
bebas dan diserahkan kepada hakim untuk menilainya. Dari penjelasan ini jelas
bahwa pembuktian sertifikat hak milik merupakan pembuktian yang nilai
kekuatannya mengikat dan sah secara hukum.
Kekuatan
pembuktian alat bukti surat dapat dibedakan antara yang berbentuk akta dengan
bukan akta. Surat yang berbentuk akta juga dapat dibedakan menjadi akta otentik
dan akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian suatu akta dapat dibedakan
menjadi: [7]
a.
Kekuatan pembuktian luar
Suatu akta otentik yang diperlihatkan
harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya bahwa akta itu bukan akta otentik. Selama tidak dapat dibuktikan
sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar. Maksud dari kata
memiliki daya pembuktian luar adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa
setiap akta otentik harus dianggap benar sebagai akta otentik sampai pihak
lawan mampu membuktikan sebaliknya.
b.
Kekuatan pembuktian formil
Berdasarkan Pasal 1871 KUHPerdata, bahwa
segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan
disampaikan kepada pejabat yang membuatnya. [8] Oleh karena itu
segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam akta otentik dianggap
benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan.
Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada
keterangan atau pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya
tetapi meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta:
mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus
dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh
para pihak dan hakim.
c.
Kekuatan pembuktian materil
Mengenai kekuatan pembuktian materil akta
otentik menyangkut permasalahan benar atau tidak keterangan yang tercantum di
dalamnya. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok
akta otentik.
3. Pembuktian
Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil[9]
Prinsip umum pembuktian adalah landasan
penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan
yang digariskan prinsip dimaksud. Memang disamping itu masih terdapat lagi
prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk setiap jenis alat bukti, sehingga
harus dijadikan patokan dalam penerapan sistem pembuktian. Namun apa yang
dibicarakan dalam prinsip umum, merupakan ketentuan yang berlaku bagi sistem
hukum pembuktian secara umum.
Sistem pembuktian yang dimuat Hukum Acara
Perdata tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatif
wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut
pencarian kebenaran:
1)
Harus dibuktikan berdasarkan alat
bukti yang mencapai batas minimal pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah dalam arti memenuhi syarat formil dan materil;
2)
Harus didukung oleh keyakinan hakim
tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).
Hal ini berbeda dengan pembuktian pada
proses peradilan perdata. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim, cukup
kebenaran formil (formeel waarheid) dari diri dan sanubari hakim, tidak
dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian
berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teortis harus
diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak
perdata pihak yang bersangkutan.
Kerangka sistem pembuktian yang demikian,
sekiranya tergugat mengakui dalil-dalil penggugat, meskipun hal itu bohong dan
palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan
pengakuan itu, tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas
hal yang diperkarakan. Meskipun hakim berpendapat kebenaran dalil gugat yang
diakui itu setengah benar dan setengah palsu, secara teoritis dan yuridis,
hakim tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang diajukan para pihak di
persidangan. Sikap yang demikian ditegaskan dalam putusan MA NO. 3136
K/Pdt/1983, yang mengatakan, tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan
menemukan kebenaran materil namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan
dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan
kebenaran formil.
[1] Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin,
dan A.Chodari, Surat Gugat Dan Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.
50.
[2] Abd. Rasyid As’ad, Akta Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam
Perkara Perdata,
http://fakultashukumdarussalam.blogspot.com/2012/11/akta-elektronik-sebagai-alatbukti.html,
dikutip pada 5 Mei 2019.
[3] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), h. 7.
[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi
enam (Yogyakarta: Liberty, 2012), h. 127.
[5] Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian
Perdata, Cetakan ke-2, (Bandung: PT Alumni, 2013), h. 40.
[6] Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian
Perdata, h. 53.
[7] Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata, h. 152.
[8]Republik Indonesia, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
[9] Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 498-504.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar