Kamis, 16 Juni 2022

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

 

"TINJAUAN UMUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA"


Gambar: Palu Hakim
 

1.   Pengertian Pembuktian

        Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan.[1] Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. [2] Subekti, mantan Ketua MA RI dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku. [3]

Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa pengertian, yaitu: [4]

a.   Membuktikan dalam arti logis, berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinan adanya bukti lawan.

b.   Membuktikan dalam arti konvensional, berarti memberi kepastian tetapi bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut:

1)  Kepastian yang hanya didasarkan pada perasaan, sehingga bersifat intuitif dan disebut conviction intime.

2)  Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, sehingga disebut conviction raisonee.

3)  Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata), tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

        Sampai saat ini sistem pembuktian hukum perdata di Indonesia, masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dari Pasal 1865 s/d Pasal 1945, sedangkan dalam Herzine Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162 s/d Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169 s/d Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 282 s/d Pasal 314.

2.   Teori Kekuatan Pembuktian Suatu Alat Bukti

        Ketika membahas tentang penilaian pembuktian, alat bukti yang diajukan oleh para pihak ke persidangan akan dilakukan penilaian, yang dalam hal ini yang berwenang untuk melakukan penilaian adalah Hakim. Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, Hakim bebas untuk menilai pembuktian. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengikat Hakim pada alat-alat bukti tertentu (misalnya alat bukti surat/sertifikat), sehingga Hakim tidak bebas menilainya. Salah satu contohnya adalah alat bukti surat yang mempunyai kekuatan pembuktian mengikat bagi Hakim maupun para pihak.

Sebaliknya, pembentuk undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan pada Hakim dalam menilai pembuktian terhadap alat bukti, misalnya keterangan saksi yang mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya diserahkan pada Hakim untuk menilai pembuktiannya, Hakim boleh terikat atau tidak pada keterangan yang diberikan oleh saksi. [5]

Pada saat menilai alat bukti, hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh Undang-undang, dalam hal ini terdapat dua teori, yaitu: [6]

a.   Teori Pembuktian Bebas Hakim bebas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang beperkara, baik alat-alat bukti yang sudah disebutkan oleh Undang-Undang, maupun alat-alat bukti yang tidak disebutkan oleh Undang-Undang.

b.   Teori Pembuktian Terikat Hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang beperkara. Putusan yang dijatuhkan, harus selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan.

Lebih lanjut teori ini dibagi menjadi:

1)  Teori Pembuktian Negatif, Hakim terikat dengan larangan Undang-Undang dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

2)  Teori Pembuktian Positif, Hakim terikat dengan perintah Undang-Undang dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

3)  Teori Pembuktian Gabungan, Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian. Dalam menilai pembuktian, seorang hakim harus pula mengingat asas-asas yang penting dalam hukum pembuktian perdata.

        Dengan demikian bahwa pembuktian surat ataupun akta otentik seperti halnya sertifikat hak milik merupakan pembuktian yang mengikat dan hakim tidak bebas untuk menilainya, sementara pembuktian berupa keterangan saksi merupakan pembuktian bebas dan diserahkan kepada hakim untuk menilainya. Dari penjelasan ini jelas bahwa pembuktian sertifikat hak milik merupakan pembuktian yang nilai kekuatannya mengikat dan sah secara hukum.

        Kekuatan pembuktian alat bukti surat dapat dibedakan antara yang berbentuk akta dengan bukan akta. Surat yang berbentuk akta juga dapat dibedakan menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian suatu akta dapat dibedakan menjadi: [7]

a.   Kekuatan pembuktian luar

Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan akta otentik. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar. Maksud dari kata memiliki daya pembuktian luar adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap akta otentik harus dianggap benar sebagai akta otentik sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.

b.   Kekuatan pembuktian formil

Berdasarkan Pasal 1871 KUHPerdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang membuatnya. [8] Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam akta otentik dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya tetapi meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta: mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh para pihak dan hakim.

c.   Kekuatan pembuktian materil

Mengenai kekuatan pembuktian materil akta otentik menyangkut permasalahan benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta otentik.

3.   Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil[9]

Prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud. Memang disamping itu masih terdapat lagi prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk setiap jenis alat bukti, sehingga harus dijadikan patokan dalam penerapan sistem pembuktian. Namun apa yang dibicarakan dalam prinsip umum, merupakan ketentuan yang berlaku bagi sistem hukum pembuktian secara umum.

Sistem pembuktian yang dimuat Hukum Acara Perdata tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatif wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran:

1)  Harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti memenuhi syarat formil dan materil;

2)  Harus didukung oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).

Hal ini berbeda dengan pembuktian pada proses peradilan perdata. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim, cukup kebenaran formil (formeel waarheid) dari diri dan sanubari hakim, tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teortis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan. 

Kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat mengakui dalil-dalil penggugat, meskipun hal itu bohong dan palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu, tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan. Meskipun hakim berpendapat kebenaran dalil gugat yang diakui itu setengah benar dan setengah palsu, secara teoritis dan yuridis, hakim tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang diajukan para pihak di persidangan. Sikap yang demikian ditegaskan dalam putusan MA NO. 3136 K/Pdt/1983, yang mengatakan, tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materil namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.



[1] Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 50.

[2] Abd. Rasyid As’ad, Akta Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perdata, http://fakultashukumdarussalam.blogspot.com/2012/11/akta-elektronik-sebagai-alatbukti.html, dikutip pada 5 Mei 2019.

[3] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), h. 7.

[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam (Yogyakarta: Liberty, 2012), h. 127.

[5] Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Cetakan ke-2, (Bandung: PT Alumni, 2013), h. 40.

[6] Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, h. 53.

[7] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 152.

[8]Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

[9] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 498-504.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar